Mataku tak bisa terpejam meski jam sudah berdentang dua belas kali. Aku melirik Mas Dayat yang tertidur pulas di sebelahku setelah meminta haknya sebagai suami. Selalu begitu, setiap berh@srat sikapnya sangat manis, tetapi bila sudah mendapatkan maunya, dia akan kembali acuh tak acuh. Aku mengamati setiap lekuk parasnya, sembari bertanya-tanya apa yang membuatku jatuh cinta padanya hingga bertahan dengan sikapnya. Dia tidak kaya, sangat penurut kepada Ibunya, dan cenderung plin-plan. Akhirnya aku sadar wajah tampan dan mulut manisnya yang membuatku terpikat. Alasan yang sangat b0doh. Kupikir memiliki suami tampan dan bisa berkata-kata manis sangat menyenangkan, rumah tangga kami akan diwarnai canda-tawa. Sebuah kekeliruan besar yang kusesali sampai sekarang. Andai tak ada Gio mungkin hatiku tak berat berpisah dengan Mas Dayat.
Aku tumbuh di keluarga broken home. Pernikahan keduanya kandas di tahun ke tujuh, karena Ibu tak tahan menjadi istri kedua yang selalu dipandang hi-na oleh masyarakat. Walau pun Ayah tak pernah melalaikan kewajibannya, tetap saja ada yang hilang di hatiku. Aku tak mau Gio mengalami hal yang sama. Aku tahu rasanya melihat anak-anak lain dijemput Ayah dan Ibunya, sedangkan aku hanya ditemani Ibu atau Ayah. Aku tak mau putraku kehilangan figur Ayah di hidupnya. Demi Gio kurelakan hatiku berdenyut nyeri setiap saat. Aku bangkit dari tempat tidur bermaksud membersihkan diri. Kepalaku penuh dengan kecurigaan kepada Mas Dayat. Apa benar jual-beli di toko sangat sepi? Sependek pengetahuanku mengelola toko dulu, sesepi apa pun aku masih bisa mendapatkan pendapatan bersih lima belas sampai dua puluh juta sebulan, sangat jauh berkurang bukan? Firasatku mengatakan Mas Dayat menyembunyikan sesuatu dariku. Aku baru keluar dari kamar mandi ketika melihat ponsel Mas Dayat berkedip-kedip. Sejak kapan dia membisukan suara notifikasi di ponselnya? Didorong rasa penasaran aku meraih benda itu untuk melihat siapa yang menelepon. Dahiku berkerut melihat nomor tidak dikenal, hendak menerima panggilan telepon sudah terlebih dahulu terputus. Aku membuka aplikasi w******p Mas Dayat, sayangnya dikunci. Tentu saja rasa curiga tumbuh di hatiku. Biasanya aplikasi apa pun di ponselnya tak pernah dikunci. Kenapa sekarang seolah-olah ada sesuatu yang dirahasiakan? Terpaksa kuredam rasa ingin tahu untuk saat ini, tetapi cepat atau lambat aku pasti tahu apa yang dia sembunyikan * Pagi menjelang, setelah salat subuh aku sibuk di dapur menyiapkan sarapan juga menu makan siang untuk Mas Dayat. Beruntung suhu badan Gio sudah normal sehingga rasa cemas hengkang dari dada. Aku menuang air mendidih ke dalam gelas yang berisi gula dan kopi, aroma wangi khas minuman itu membuat Dayat mendekat. "Imah, hari ini aku gak usah sarapan." Aku melirik Mas Dayat sembari meletakkan cangkir berisi kopi panas ke atas meja. "Kenapa, Mas?" "Aku buru-buru, mau antar Mbak Nisa ke pabrik untuk ngelamar kerja." Aku diam sejenak memperhatikan Mas Dayat menuang kopi ke piring kecil agar cepat mendingin. "Sejak kapan Mbak Anis kepikiran kerja?" Mas Dayat menghela napas mendengar sindiranku. Aku tidak bermaksud begitu, tetapi aneh saja mendengar Mbak Anis mau bekerja. Biasanya dia hanya pandai menadahkan tangan ke Mas Dayat. "Jangan begitu, harusnya kamu doakan agar Mbak Anis diterima." Aku tersenyum tipis lalu berkata, "Iya, aku doakan biar gak jadi para-sit lagi." "Halimah! Kamu kenapa jadi sinis gini sama Mbak Anis?!" Aku terkejut mendengar benta-kan Mas Dayat ditambah dia memu-kul meja. Sejak menikah baru kali ini dia bersikap seperti itu. Nyaliku sempat menciut melihat wajah garangnya, tetapi hanya sesaat. Aku tak akan membiarkan siapa pun mengin-timidasiku lagi, termasuk Mas Dayat. "Sinis?" Aku berdecih pelan. "Aku ngomong yang sebenarnya. Sejak dulu Kakakmu selalu memoroti keuangan kita. Bahkan, saat dia punya suami pun masih minta ke kita mulai dari belanja lauk, beras, sampai beli kebutuhan yang gak penting. Kita juga bayarin utang ju-di suaminya dulu. Apa aku protes? Gak! Tapi Kakakmu gak ada terima kasih ke aku." "Wajar aku nolong Mbak Anis, dia saudaraku. Lagipula itu u-angku, apa hakmu melarang?!" Aku terperangah mendengar balasan Mas Dayat. "Aku jelas punya hak melarang. Toko grosir itu milikku warisan almarhum Ayahku. Kamu hanya dititipi mengurusnya dan digaji. Jadi, u-ang yang dihasilkan dari toko itu milikku. Aku harap Mas tidak lupa itu." Aku terpaksa mengungkit jasa mendiang Ayah ke Mas Dayat agar matanya terbuka kalau selama ini kami masih menggantungkan hidup dari kebaikan keluargaku. Dulu, aku mengelola toko sembako dengan harga grosiran dan pangkalan gas yang bersebelahan dengan ruko itu. Mas Dayat menikahiku bermodal mahar seratus ribu saja. Ayah menentang keras pernikahan kami, karena menurutnya aku pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik. Namun, cinta buta membuatku nekat sehingga Ayah mengalah. Kini, baru aku sadar insting orang tua tidak pernah salah. "Em, maksudku bukan begitu. Aku hanya ...." "Sekarang begini saja. Mas cari saja pekerjaan yang lain, biar aku yang urus toko sembako lagi. Lagipula aku lihat-lihat sejak Mas mengelola pendapatan toko semakin berkurang." Wajah Mas Dayat memucat. "Si, siapa bilang? Toko ramai, kok." Dahiku berkerut. "Ramai? Bukannya semalam Mas bilang akhir-akhir ini sepi? Mana yang benar?" Aku bersedekap dan menajamkan mata padanya. "Bu, bukan gitu. Em, maksudku toko ramai kemarin-kemarin, tapi akhir-akhir ini sepi." Mas Dayat bangkit lalu merengkuh bahuku. "Sayang, sudah, pagi-pagi gak baik bertengkar, pamali." Aku menepis tangan Mas Dayat, sikap garang tadi menghilang entah ke mana berganti dengan senyum manis. Selalu seperti itu kalau dia terdesak. Sikap Mas Dayat memantik rasa curiga di hatiku. Entah mengapa aku yakin ada yang dia sembunyikan. Aku harus mencari tahu keadaan toko yang sebenarnya termasuk isi ponselnya, sebab tak mungkin benda itu disandi kecuali ada yang tidak beres dan aku tak boleh tahu."Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap
"Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps
Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru
"Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S