Bab 27Ya sudah la ya, aku pasrah menunggu Dhifa keluar kantor. Aku menunggu agak jauh dari pos Satpam. Satu jam, dua jam aku sudah menunggu. Perutku lapar, aku belum sempat makan siang tadi. Jam berapa sih dia keluarnya, apa dia gak makan siang. Atau dia sudah pesan makanan online. Soalnya tadi ada beberapa ojol mengantar makanan kedalam. Oh malangnya nasibku, kenapa wanita baik dan cantik sepertiku mengalami cobaan seperti ini.Sudah lebih dari tiga jam aku menunggu. Dan aku terlonjak kaget saat melihat Dhifa keluar dengan beberapa pria disampingnya.Aku bergegas masuk ingin menemuinya. Tapi Satpam tadi menghalangiku. Aku berteriak memanggil Dhifa, dan usahaku tak sia-sia. Dia menoleh melihat kearahku.Dhifa menemuiku di pos satpam. Teman-temannya juga mengikuti dia."Ada apa Ren, Mas Fatan sudah sadar?" tanya Dhifa dengan datar.Aku hendak menjawab, tetapi pria disamping Dhifa lebih dulu bicara."Fatan kenapa Fa?" tanya pria itu. Lumayan ganteng sih, tapi masih lebih ganteng sua
Bab 28Pov Fatan.Perlahan aku membuka mataku, ruangan serba putih di sekelilingku. Di mana aku, apa aku sudah berada di surga?Ya, aku pasti sudah meninggal. Dan sekarang aku berada di surga. Aku memejamkan mataku kembali, ingin menikmati aroma surga. Tapi, kok bau obat-obatan ya aroma yang tercium? pikirku heran. "Mas, kamu sudah sadar?" Terdengar sebuah suara menyapaku. Hey suara itu, aku seperti mengenalnya. Itu suara Bidadariku, Irene. Kenapa dia juga bisa berada di surga. Apa dia menyusulku? "Mas, buka matamu. Aku tau kamu sudah sadar!" Itu suara Irena, bidadariku. Kok Bidadariku marah sih, aku membuka mataku. Benar kan, Irene menyusulku ke surga. Oh, aku sangat tersanjung sekali melihat kesetiaan Irena. Sampai aku meninggal dan pergi ke surga, dia juga mwnyusulku. "Ren, kamu menyusul Mas ya?" tanyaku penasaran. "Iya Mas, aku datang setelah Dhifa memberitahuku," jawabnya sedih."Dhifa, apa dia ada di sini juga. Kok bisa dia masuk surga juga. Dia kan istri durhaka karena me
Bab 29Pov Irene.Huh, aku menarik nafas kesal. Sebenarnya aku tak ikhlas menerima syarat yang diajukan Dhifa kemarin. Tapi mau bagaimana lagi, aku gak punya pilihan lain.Aku mendekati pintu gerbang rumah Dhifa. Seorang satpam melihatku, dia mendekatiku yang masih berdiri di depan gerbang."Maaf Mbak, mau cari siapa?" tanyanya menyelidikiku. Dipindainya tubuhku dari atas ke bawah dengan tatapan tajam. "Sa-saya Irene, saya---" "Oh Mbak Irene, pembantu baru Bu Dhifa. Silahkan masuk!" Satpam itu memotong ucapanku lalu mengajakku untuk masuk ke dalam rumah Dhifa. Aku mengikuti satpam ke dalam rumah Dhifa yang sangat mewah dan indah. Ah, andai saja Mas Fatan pintar, pasti aku juga akan tinggal di rumah mewah seperti milik Dhifa ini. Sayangnya, otak Mas Fatan itu sangat bodoh. Tapi, entah kenapa aku sangat mencintainya. "Sudah datang kamu Ren?" Ternyata Mama Mas Fatan yang menyambutku. Aku celingukan mencari keberadaan Dhifa. "Dhifa sudah berangkat kerja, dia sudah mewakilkan padaku
Bab 30"Bentaran doang Ma, lagian kerjaanku sudah beres kok," sahutku."Beres apanya, itu lihat lantai masih kotor. Kamu bisa kerja gak sih?" Lantainya masih kotor, perasaan tadi sudah kubersihkan deh. "Kok bisa kotor lagi, tadi kan sudah aku bersihkan Ma?" Aku mengajukan protes kepada mertuaku. "Mana saya tahu, saya keluar kamar sudah jorok begitu! Bersihkan!" seru mama mertua sambil melotot. "Dasar nenek lampir!" rutukku, tentu saja di selama hati. Mana berani aku bersuara, bisa-bisa mama mertuaku itu keluar tanduknya. Aku mengambil sapu dan alat pel kembali. Sementara mertuaku ke dapur untuk memasak. Aku membersihkan lantai yang masih jorok, aneh padahal jelas-jelas tadi sudah aku bersihkan lho. Apa ini kerjaan hantu ya?Hiiii aku bergidik ngeri, ternyata rumah Dhifa ini seram. Banyak hantunya."Sudah selesai!" Aaaaaaa! Aku berteriak kaget. "Mama jangan suka begitu dong, kalau aku kaget terus jantungku copot gimana?" "Ganti aja pakai jantung pisang," jawab mertuaku enteng.
Bab 31Pov Nadhifa."Assalamualaikum," salamku. Namun, tak ada jawaban dari Mama. Segera saja kubuka pintu depan dengan kunci cadangan yang selalu kubawa ke mana pun. Aku masuk ke dalam rumah, adzan Maghrib baru saja selesai berkumandang. Mungkin Mama sedang shalat. Aku menuju kamarku, mandi dan menunaikan kewajiban shalat Maghrib.Setelah itu, barulah aku keluar kamar dan mendapati mertuaku tengah menyiapkan makan malam. Hanya untuk kami berdua, karena Alea dan Axel menginap di rumah Om Faisal. Mereka memang sering di ajak menginap di sana. "Kamu sudah pulang rupanya, kok Mama gak dengar ya?" "Mungkin Mama sedang salat tadi," jawabku."Oh iya jadi Mama gak dengar kamu masuk." "Aku lapar, Ma," ujarku lalu duduk di kursi makan. "Kebetulan ini sudah selesai mama hidang, kita makan sekarang kalau begitu," kata Mama mertuaku lalu mbweikan sepiring nasi kepadaku. Kami pun makan malam berdua, Mama menceritakan apa yang dikerjakan oleh Irene sepanjang hari. Aku mendengarkan mertuaku
Bab 32Pov Mama Fatan. Pagi hari di kediaman Dhifa. Dhifa baru saja berangkat ke kantornya. Aku menunggu kedatangan Irene dengan gemas. Ingin aku bejek-bejek aja rasanya wajah sok cantiknya itu."Assalamualaikum Ma," salamnya."Waalaikumsalam, masuk!" perintahku. Dia masuk dan langsung mengerjakan pekerjaan rumah. Aku naik kelantai dua dan berdiri di tempat yang tak terlihat dari bawah. Aku mengawasi Irene, aku tak mau kecolongan seperti kemarin. Untung saja Dhifa gak marah. Ah Dhifa memang terlalu baik, bukannya melapor ke polisi dia malah memilih mengikhlaskan barang yang sudah diambil oleh Irene kemarin. Kadang aku kasihan sama Dhifa, dia terlalu baik pada orang. Tapi mungkin itu juga yang membuat rejeki seperti tak putus menghampirinya.Perusahaannya maju pesat dan usaha salonnya juga maju dan ramai.Sudah dua jam aku sembunyi di atas. Irene sudah selesai mencuci, menyapu dan mengepel kayaknya. Sekarang dia masuk ke dapur dan mulai mencuci piring. Tapi ngapain dia membuka l
Bab 33Ke-empat temanku memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Irene. Celana ketat warna merah dengan kaos ketat juga berwarna sama. "Ini gak salah Jeng, siapa dia? Pembantu baru ya. Bi Ijah mana?" tanya Bu Pipit. Dia memang pernah kemari dan sudah mengenal Bi Ijah pembantu Dhifa yang lama. "Maaf Ibu-ibu saya bukan pembantu, perkenalkan saya Irene menantunya Mama," sahut Irene dengan percaya diri.Habis kamu Ren, mereka ini kan termasuk diantara wanita anti pelakor."Menantu, bukannya menantunya Jeng itu si Dhifa kan ya?" tanya Bu Pipit lagi."Tidak lagi sekarang aku---""Mending kamu masuk Ren!" potongku sebelum dia banyak bicara lagi."Kenapa Ma, kan memang benar aku menantu Mama. Aku istrinya Mas Fatan!" sahutnya ketus.Hah serah lo deh Ren, wajah Bu Pipit dan yang lainnya sudah berubah."Oh jadi kamu istrinya Fatan yang baru. Bangga benar kamu mengenalkan diri. Gak malu kamu ya?" bentak Bu Pipit."Malu kenapa?" tanya Irene masih mengeyel."Kamu itu pelakor, perebut laki ora
Bab 34Pov Irene.Untung saja aku cepat mendapatkan ojek, perutku sudah mules tidak karuan rasanya. "Pak, bisa lebih cepat lagi, gak. Perut aku sakit sekali ini!" seruku kesal kepada tukang ojek yang aku tumpangi. "Ini juga sudah ngebut, Mbak. Oh iya, ngomong-ngomong itu bibir ke apa sampai bengkak gitu, mbak. Apa Mbak habis ....""Habis apa, jangan aneh-aneh pikiran kamu, ya. Ini habis kena cabai rawit. Makanya perut aku mulas!" ucapku kesal karena sudah tahu apa maksud dari pertanyaan tukang ojek walau dia ragu untuk melanjutkan. "Oh, begitu. Kok bisa, Mbak?" tanyanya lagi. Huh, usil amat sih tukang ojek ini. "Udah, deh, Pak! Mending diam, deh!" sentakku marah. Akhirnya tukang ojek itu pun diam. Sampai kami tiba di depan rumahku. Langsung kubayar ongkosnya kemudian berlari masuk ke dalam sebelum ada yang melihat keadaanku. Brakkk! Aku membuka pintu rumahku dengan kasar lalu aku berlari ke dapur. Kuambil air minum lalu kuteguk sebanyak-banyaknya.Tapi rasa pedas dan panas di