Bab 6
Pov Nadhifa.
Bukan aku tak sayang anak-anakku saat aku memilih menitipkan mereka di rumah Papinya. Justru aku ingin anak-anakku itu bisa membuka mata hati suamiku yang sudah tertutup agar sadar dan kembali pada kami keluarganya.
Aku tahu dia telah berbuat kesalahan, tapi bukankah manusia itu memang tempatnya salah dan dosa. Aku juga merasa bersalah, semenjak ada anak-anak aku kurang memperhatikannya.
Jika Mas Fatan mau bertobat dan menyadari kesalahannya, aku akan mencoba memaafkannya dan menerima dia kembali.
Tanpa si ulet bulu Irene pastinya. Jika dia masih bersama ulet bulu itu takkan pernah kuterima dirinya kembali.
Ah sudah pukul enam lewat sedikit, saatnya menjemput anak-anak dirumah Mas Fatan untuk kuantar kesekolah.
Soalnya mobil Mas Fatan sudah aku sita, biar dia rasakan pergi ke kantor naik angkot atau ojol. Gajinya di kantor juga sudah kupangkas habis.
Dari gaji 50 juta sekarang hanya 15 juta yang kuberi, dan dia menerimanya. Aku tahu dia malas untuk mencari kerja di luaran sana.
Aku tiba di depan rumah Mas Fatan, kuhidupkan klakson sebagai kode agar anak-anak tahu aku telah datang.
Pintu terbuka, anak- anak menghambur kedalam mobil. Axel menangis dan wajah Alea merah-merah seperti alergi.
Aku keluar dari mobil dan bertanya pada Mas Fatan yang hanya berdiri termangu di teras rumahnya.
"Mereka kenapa Mas, kenapa menangis seperti itu. Dan Alea kenapa?" tanyaku kesal.
Mas Fatan hanya diam saja, Mama yang menjawab.
"Alea kemakan udang tadi Fa, dan Axel kepedasan!"
Aku menggeram dengan kesalnya.
"Mas sekali lagi aku peringatkan, jika isttimu itu tidak becus merawat anak-anak dia harus angkat kaki dari rumah ini. Kasih tahu sama dia!" ucapku pelan tapi dingin.
Mas Fatan hanya mengangguk dengan wajah merah. Biarin dia mau marah, bodo amat.
Aku masuk kedalam mobilku. Kuambil bekal yang sengaja aku bawa. Aku sudah menduga kalau anak-anakku bakalan gak sarapan.
"Ini makan ya Sayang, Alea juga. Nanti kita ke klinik dekat sekolah!" ucapku lembut.
Mereka senang sekali dan langsung melahap bekal yang kubawa. Sampai di klinik, Alea segera diobati. Dan syukur dia masih bisa sekolah karena alerginya hanya sedikit.
Sampai di sekolah bel telah berbunyi. Ale dan Axel turun lalu menyalamiku.
"Nanti pulangnya dijemput Pak Tarjo ya!" pesanku.
Pak Tarjo supir perusahaanku.
"Iya Mi, Mami hati-hati ya. Besok jemput kita lagi kan?" tanya Axel.
"Iya sayang, buruan masuk gih. Udah bel tuh!" suruhku.
"Daghhhh Mami, assalamualaikum," ucap mereka kompak.
"Waalaikumsalam," jawabku sambil tersenyum.
***
"Wita, meeting hari ini pukul berapa?" tanyaku begitu sampai di kantor.
Mas Fatan melirikku sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya. Hmm tampaknya dia ingin bermain cantik dengan tetap bekerja.
Aku tau niat busukmu Mas. Takkan kubiarkan kau menangani proyek-proyek besar. Pasti kau punya niat ingin mencuranginya, aku sudah hafal dengan sifat licikmu.
"Hari ini tidak ada Bu, hanya hari ini ada undangan dari Pak Subroto. Pertunangan anaknya di Hotel ABCD Bu!" jawab Wita.
"0h oke, nanti kamu temani saya Wit!"
"Siap Bu!"
"Hey, kenapa kau tak mengajakku. Aku ini masih suamimu kalau kau lupa!" ucap Mas Fatan kesal.
"Sepertinya tidak ada syarat harus membawa pasangan didalam undangannya!" jawabku ketus.
"Aku tak perduli, kau harus pergi dengan aku!" balasnya tak perduli.
Oke kita lihat Mas, siapa yang pulang nanti dengan wajah tertawa.
Mas Fatan menyeringai penuh kemenangan saat aku akhirnya setuju ditemaninya.
Bersambung
"Selamat datang Pak Fatan dam Bu Dhifa. Terima kasih sudah mau hadir di acara kami!" sambut Pak Subroto dan istrinya.Aku mengucapkan selamat dan terima kasih pada pasangan suami istri itu. Selesai berbasa-basi aku memilih mengambil minuman disudut ruangan. Lalu aku memilih duduk di sofa yang ada di dekat dinding yang terbuat dari kaca.Lalu lalang kenderaan terlihat dari sini. Hotel ini memang terletak di tepi jalan yang selalu ramai."Dhifa, angin apa yang membawamu kemari. Mana suamimu, masih indehoy dengan istri barunya kah?" Suara seseorang mengagetkanku."Eh Mas Dera, apa kabar. Wah rupanya kabar Mas Fatan jadi trending topik ya!" jawabku sedikit gugup.Gila, aku gak nyangka sudah banyak yang tau kelakuan Mas Fatan."Dia sering mengunggah beritanya di grup PPM. Foto-fotonya dengan istri barunya juga di pamerkan setiap hari," terang Mas Dera."PPM, Perkumpulan Pengusaha Muda itu. Luar biasa.""Kami juga kaget Fa, yah sebejat-bejatnya kami. Gak akan sampai kebablasan kayak suamim
Bab 8Pov Fatan"Sial, kenapa aku ikut tadi ya. Kan begini jadinya. Malu sekali aku," gerutuku sepanjang perjalanan."Bapak gak apa-apa kan?" tanya supir ojol yang kutumpangi."Eh gak apa Mas, jalan aja terus!" jawabku malu.Aku kembali mengumpat dalam hati. Aku gak nyangka kalau Dera dan teman-temannya juga hadir disana. Ternyata calon menantu Pak Subroto juga anggota grup PPM. Aku baru tahu saat bersalaman dengan anak dan calon menantu Pak Subroto tadi."Ya pinggir disini Pak!" Motor berhenti dan aku langsung turun, kubayar ongkos ojol dan akupun masuk kedalam rumah.Suara teriakan dan tangisan menyambutku didalam.Ya ampun, apalagi ini. Axel sedang menangis dilantai. Dan Mama kulihat sedang berteriak marah pada Irene."Papiiiii," teriak Axel menyambutku.Kupeluk Axel yang masih menangis. "Syukur kamu pulang Tan, lihat ini kelakuan istrimu. Berani sekali dia menjewer telinga Axel. Maminya saja gak pernah sekejam itu pada anak-anaknya!" lapor Ibuku."Terlalu dimanja, makanya anakm
Bab 9"Papi mau kemana?" tanya Alea saat melihatku turun bersama Irene dengan pakaian rapi.Kutoleh anakku, rupanya mereka sedang menonton TV dengan Mamaku."Papi mau ke Mall sama Tante, kalian sa---""Ke Mall, ikut Pi!" teriak Axel."Iya, kami ikut!" sambung Alea."Sudah malam, kalian kan besok sekolah!" jawabku beralasan."Gak perduli, pokoknya ikut!" ucap Alea."Sudah bawa aja Tan, kasihan mereka sudah lama gak jalan-jalan!" Mama ikut berbicara membuat Irene kembali cemberut. Aku mengelus tangannya yang kugenggam mencoba menenangkannya."Ya sudah boleh ikut, tapi jangan minta macam-macam ya!" ingatku. "Asyikkkk, Oma ikut juga yuk!" teriak anak-anakku.Akhirnya kami berlima pergi ke Mall, naik Taksi yang mendadak sempit. Aku duduk di depan bersama Axel, Mama dan Alea duduk di belakang beserta Irene yang makin cemberut.Aku kasihan padanya, sebagai penebus kekecewaanya. Nanti aku suruh dia belanja sepuasnya. Kalau perlu sampai jebol Credit Cardku. Biar saja, toh bukan aku yang me
Bab 10Pov Mama Fatan.Senyummu mengembang saat melihat Irena datang dengan wajah cemberut. Di belakangnya Fatan mengikuti dengan tak bersemangat. "Kamu kenapa, Irena? Mana belanjaan kamu?" tanyaku pura-pura tak tahu. "Belanja apaan, anak Mama duh, bohong aja kerjanya," sahut Irena. Dia melirik kepada Fatan dengan wajah sedih dan kecewa. Puas hatiku melihat wajah Irene yang kecewa dan malu karena barang yang sudah dipilihnya batal dibeli. Tak akan kubiarkan Irena leluasa menikmati hasil kerja keras Fatan dan Dhifa selama ini. Aku bersyukur Dhifa bertindak cepat memblokir kartu kredit yang dipegang Fatan setelah kutelepon tadi. . Kalau tidak uang lebih dari 35 juta melayang dibuat wanita tak tahu diri itu.Heran aku, beli pakaian dan barang lain sampai begitu banyak. Belinya di Butik ternama lagi yang harga satu potong baju aja bisa sampai 5 juta.Gak habis pikir aku, kok bisa baju begitu aja sampai semahal itu. Syukurlah keinginan Irene untuk beli pakaian mahal tak kesampaian."Ma
Bab 11"Alea sudah siap belum?" "Axel, kamu juga sudah siap belum?" Kuketuk pintu kamar cucuku satu per satu, mereka pun keluar kamar sudah berpakaian rapi.Aku mengajak mereka untuk sarapan. Kuambil masing-masing satu mangkok sup untuk kedua cucuku. Mereka makan dengan lahap. Aku pun ikut sarapan dengan mereka berdua. "Lho Mama sama anak-anak kok sudah makan supnya. Itu belum aku kasih garam lho." Suara lembut tapi terdengar cempreng bagiku, siapa lagi kalau bukan suara Irene."Gak papa, ini sudah enak kok!" jawabku ketus."Ihh Mama, lidahnya sudah mati rasa ya. Masakan masih anyep begitu dibilang enak." gerutunya.Lalu dengan pedenya dia menambahkan dua sendok makan garam tanpa mengetes rasanya terlebih dahulu.Aku tersenyum geli melihatnya. Kedua cucuku saling memandang heran, lalu ikut tersenyum melihat Irene.Aku menyuruh Alea dan Axel untuk menghabiskan sup di dalam mangkok masing-masing tanpa sisa. "Biar gak ada barang bukti," bisikku disambut tawa geli kedua cucuku."Wah
Bab 12Pov Alea."Nanti pulangnya dijemput sama Pak Tarjo ya Sayang, seperti biasa!" ucap Mami padaku."Iya Mi, Mami hati-hati ya!" balasku sambil mengecup pipi Mami.Aku masuk kedalam sekolah dengan hati riang. Karena melihat wajah Papi dan Tante Irene saat sarapan tadi. Aku terkikik geli kalau ingat ekspresi mereka."Senang banget Le!" sapa Cindy teman sebangkuku."Hihi kamu tau Cin, hari ini aku senang sekali!" ucapku sambil tertawa."Emangnya kenapa? Cerita dong!" Tawa Cindy pecah kala kuceritakan kejadian tadi. Cindy memang tahu keadaan keluargaku. Aku dan Cindy selalu berbagi cerita susah maupun senang."Haha hebat banget Oma ya, bisa kepikiran gitu lho ngerjain Tante Irene." Tawa Cindy sambil memegangi perutnya."Oma bilang dia gak sengaja kok, mulanya niatnya baik. Gak tau malah jadi begitu."Kami pun tak habis-habisnya tertawa. Sayang harus terhenti karena bel berbunyi."Selamat pagi anak-anak!" salam Pak Satria wali kelasku."Selamat pagi, Pak!" sahut murid-murid kompak."
Bab 13"Alea!" panggil Cindy.Aku membalas lambaian tangannya. Aku baru turun dari Taksi bersama Tante Irene.Aku melirik pada Tante Irene. Dandanannya wah banget, memakai pakaian mini dress berwarna merah. Dengan lipstik yang juga berwarna merah menyala. Sungguh menyilaukan dilihat apalagi saat hari panas begini. Padahal masih jam 9 lho ya. Gimana kalau sudah tengah hari nanti. Aku terkikik geli sambil berjalan disamping Tante Irene. Semua pandangan mata mengarah pada kami.Pada Tante Irene sih sebenarnya. Dia dengan pede berjalan menuju kekumpulan Ibu-Ibu temanku yang sedang ngerumpi.Para Ibu yang melihat Tante Irene langsung menghentikan obrolannya. Mereka memandang Tante Irene sambil saling berbisik. "Itu siapa Le?" tanya Mamanya Cindy."Tante Irene, istri barunya Papi Tante," jawabku sopan. "Istri baru, jadi benar gosip yang Tante dengar itu. Papi kamu kawin lagi. Jadi dia ini pelakor!" sambung Mamanya Heni teman sekelasku.Wajah Tante Irene memerah. Entah marah atau malu ak
Bab 14Pov Nadhifa.Aku merasa lega saat tiba di sekolah Alea. Masoh banyak waktu sebelum rapat dimulai. Alea pasti senang melihat kedatanganku. Setelah turun dari mobil, aku pun melangkah memasuki gedung sekolah. "Mami!" teriak Alea sambil menyongsongku."Rapatnya belum mulai kan Sayang?" tanyaku."Belum Mi, tapi kok Mami datang. Kan Alea dah bilang Tante Irene bisa ikut.""Mana Tante Irene nya?" tanyaku lagi."Sudah pulang Mi, hihihi," jawab Alea sambil tertawa."Kok malah ketawa, ada apa sih?" tanyaku penasaran."Sini, Ma. Duduk di sini!" Alea mengajakku duduk di bawah pohon di halaman sekolahnya."Kamu kenapa, sih, Lea. Ketawa terus dari tadi?" tanyaku setelah kami duduk Alea masih terus tertawa geli. Wajahnya sampai memerah, kelihatan sangat menggemaskan. "Habis lucu, Ma. Tadi Tante Irena ...."Alea menceritakan kejadian yang dialami Irene tadi. Aku tertawa geli sekaligus kasihan. "Sudah ah Sayang, gak boleh tertawa di atas penderitaan orang. Kita masuk yuk!" ajakku sambil men