Share

Tunangan

Penulis: UKIR PENA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 08:37:59

[Tiga Hari Setelah Kecelakaan – Ruang ICU]

Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian tragis itu. Tiga hari penuh kecemasan, doa, dan… kebencian yang perlahan tumbuh di hati orang tua Jennie terhadap menantu mereka.

Selama tiga hari penuh, Jennie tidak sadarkan diri, dan selama itu pula Nyonya Kim, Tuan Kim, serta Raka bergiliran menjaga putri semata wayang mereka.

Liam? Tidak ada kabarnya.

"Dia bahkan tidak datang menjenguk Jennie… sama sekali," gumam Nyonya Kim dengan nada kesal, sambil mengusap dahi putrinya yang masih terbaring lemah.

"Sudah kubilang sejak awal, pria itu tidak punya tanggung jawab! Dan sekarang lihatlah sendiri, Sayang. Jennie terbaring begini pun dia tak peduli," sahut Tuan Kim, berdiri di samping ranjang.

Tadi pagi, Tuan Kim sempat menyuruh supirnya untuk mengecek kediaman Jennie dan Liam. Ketika maid membuka pintu, ia menjawab,

"Tuan Liam sudah tiga hari tidak pulang. Sejak pagi itu… tidak ada kabarnya."

Mendengar itu, amarah Tuan Kim semakin membuncah.

"Brengsek!" geramnya dalam hati. "Kalau dia muncul lagi, aku akan pastikan dia tidak akan pernah dekat lagi dengan Jennie!"

***

[Beberapa Jam Kemudian – Masih di Ruang ICU]

Udara di ruangan itu hening, hanya bunyi alat monitor detak jantung yang mengisi keheningan. Namun tiba-tiba… jari jemari Jennie yang semula diam, mulai bergerak pelan.

Nyonya Kim yang sedang duduk sambil meremas tisu langsung menegang.

"Sayang…? Jennie?" panggilnya cepat, berdiri menghampiri.

Perlahan, kelopak mata Jennie terbuka sedikit, berkedip, lalu terbuka lebih lebar. Tatapannya masih kabur, tapi jelas menunjukkan kehidupan yang perlahan kembali.

"D-Dia sadar…!" pekik Nyonya Kim panik dan haru.

Raka yang duduk di sisi kanan ranjang langsung berdiri dan menekan tombol panggil darurat.

"Dokter! Cepat! Jennie sadar!" katanya setengah berteriak ke arah pintu.

Tuan Kim mendekat, wajahnya pucat namun matanya berair. "Jennie… Sayang, kamu dengar Daddy? Ini Daddy…"

Jennie mengerutkan kening pelan, menatap mereka satu per satu. Tangannya perlahan bergerak menyentuh kepalanya yang terasa nyeri.

"Ugh… K-Kepalaku… Sakit…" lirihnya.

"Kamu habis mengalami kecelakaan, Sayang…" Nyonya Kim membelai pipi putrinya. "Kamu sudah tidur selama tiga hari. Kami di sini terus, menunggumu bangun…"

Jennie memandangi sekeliling dengan bingung, suara ibunya seolah masuk ke telinga namun sulit diuraikan.

"I-ini di mana…?"

"Kamu di rumah sakit, di ruang ICU," jelas Tuan Kim lembut. "Kamu koma setelah kecelakaan mobil. Tapi sekarang kamu sudah sadar, Sayang… Daddy sangat bersyukur."

Raka yang sedari tadi berdiri di sisi kanan ranjang ikut bicara dengan nada lembut. "Apa kamu ingat sesuatu, Jennie? Atau… apa yang kamu rasakan sekarang?"

Jennie menoleh pelan, menatap Raka. Keningnya kembali berkerut. Pandangannya seperti mencoba mengenali wajah pria itu. "R…Raka?"

Raka tersenyum hangat, menunduk sedikit, lalu menggenggam tangan Jennie. "Iya, ini aku. Raka… cinta pertamamu."

Namun, seketika itu juga, Jennie menarik perlahan tangannya. Sentuhan itu terasa asing. Tidak nyaman. Ada yang salah.

Raka sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum menahan kecewa. "Kamu pasti masih kaget ya… Tidak apa-apa. Aku akan tetap di sini menemanimu."

Nyonya Kim mencoba menutupi reaksi putrinya. "Jennie… kamu tahu? Selama kamu tidak sadar, Raka selalu ada di sini. Dia bahkan tidak pulang satu malam pun. Menjagamu seperti malaikat."

Jennie kembali diam, tatapannya kosong, bingung, seolah sedang mencari kepingan-kepingan memori yang menghilang.

"Daddy tahu… mungkin kamu lupa semuanya. Tapi tidak apa-apa," ujar Tuan Kim dengan nada yakin, lalu ia menatap lembut putrinya. "Raka adalah tunanganmu, Jennie. Kalian akan menikah sebentar lagi."

Jennie membeku. "T-tunangan…?" bisiknya pelan. "Aku… akan menikah…?"

"Iya, Sayang." Nyonya Kim menyambung. "Kamu akan menikah dengan Raka. Semuanya sudah disiapkan. Kamu hanya butuh istirahat dan sembuh."

Raka tersenyum lebar, menyambut narasi itu dengan puas. "Aku akan menjagamu, Jennie. Seperti dulu… seperti selalu."

Tapi Jennie tak menjawab. Dadanya terasa sesak. Kepalanya berdenyut lagi. Ia tidak tahu kenapa; tapi ada sesuatu yang tidak pas. Seolah ada lubang besar di hatinya yang kosong. Ada nama yang tidak bisa dia sebut. Tapi perasaannya… begitu rindu. Rindu yang tidak bisa dijelaskan.

***

[Lorong Depan ICU – Beberapa Saat Sebelum Masuk ke Ruangan Jennie]

Langkah kaki Dokter Cha terdengar mantap menyusuri lorong, berkas hasil pemeriksaan Jennie ada di tangannya. Namun belum sempat ia menyentuh gagang pintu, suara dingin dan tegas menahannya dari belakang.

"Dokter Cha."

Dokter Cha menoleh, sedikit terkejut melihat Tuan Kim berdiri di belakangnya dengan ekspresi serius.

"T-Tuan Kim…"

Tuan Kim maju mendekat, jaraknya hanya tinggal beberapa langkah dari sang dokter. Nadanya pelan, tapi penuh tekanan.

"Sebelum Anda masuk, saya ingin memperjelas sesuatu."

Dokter Cha menegakkan badan. "Ada yang ingin Anda bicarakan, Pak?"

"Ya. Tentang suami Jennie… Liam." Tuan Kim memajukan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata Dokter Cha. "Dia tidak ada dalam cerita ini. Saya tidak ingin nama itu disebut, tidak hari ini, tidak besok, dan tidak pernah."

Dokter Cha sempat mengerutkan kening. "Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa-"

"Anda bisa." Potong Tuan Kim cepat, nadanya tajam namun tetap tenang. "Kalau tidak, Anda akan kehilangan lebih dari sekadar pekerjaan Anda di sini."

Dokter Cha diam. Bahunya menegang.

"Saya akan pastikan tidak ada rumah sakit di negeri ini yang akan menerima Anda kalau Anda macam-macam," lanjut Tuan Kim dengan tekanan. "Saya punya kuasa. Jangan coba-coba mempertaruhkan karier Anda demi seorang pria yang bahkan tidak peduli istrinya koma."

Setelah memberi ancaman itu, Tuan Kim menepuk pelan bahu sang dokter dan berkata dengan senyum palsu, "Sekarang, silakan masuk. Tapi ingat… jangan main-main dengan saya."

***

[Di Dalam Ruangan Jennie – Beberapa Menit Kemudian]

Dokter Cha menarik napas panjang sebelum masuk. Wajahnya tetap ramah seperti biasa, namun ada kegelisahan terselip di matanya. Ia mendekat ke ranjang Jennie yang kini sudah sadar dan tampak lebih segar.

"Halo, Miss, Jennie. Saya Dokter Cha, dokter yang menangani Anda sejak masuk rumah sakit."

Jennie menoleh pelan, mengangguk kecil. "D-dokter… Cha."

"Senang sekali akhirnya Anda sadar. Selama tiga hari terakhir kami terus mengawasi kondisi Anda." Ia membuka berkas di tangannya dan mulai memeriksa peralatan di sekitar ranjang. "Saya akan melakukan pemeriksaan ringan, ya. Kalau ada yang sakit atau terasa tidak nyaman, tolong beritahu saya."

Jennie hanya mengangguk pelan. Tatapannya lelah, dan wajahnya menyiratkan kebingungan.

Dokter Cha mengecek detak jantung, pupil mata, serta refleks motorik Jennie.

"Apakah Anda merasa mual? Atau pusing yang berlebihan?"

"Kepalaku… kadang berdenyut. Tapi tidak terlalu."

"Baik. Sekarang, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sederhana. Untuk memastikan kondisi memori Anda."

Jennie mengangguk lagi.

"Siapa nama lengkap Anda?"

"Jennie Kim."

"Berapa usia Anda?"

"Dua puluh empat…? Aku… aku rasa begitu."

"Anda tinggal di mana sekarang?"

Jennie tampak berpikir cukup lama sebelum menjawab. "Aku… rumah… rumah besar… Aku tidak yakin di mana, tapi aku ingat ada halaman luas."

"Siapa yang tinggal bersama Anda di rumah itu?"

Jennie terdiam. Wajahnya berubah bingung.

"Aku… aku tidak tahu. Mungkin… Daddy? Mommy? Atau-Raka?" gumamnya ragu.

Dokter Cha mencatat dengan hati-hati.

"Apakah Anda ingat pernah menikah?"

Jennie menggigit bibirnya, bingung. "Menikah…? Aku… aku tidak tahu… Rasanya… tidak."

Tatapan Dokter Cha perlahan menjadi sayu. Hatinya menolak untuk menyembunyikan fakta, tapi ancaman tadi begitu nyata.

"Baiklah. Terima kasih sudah menjawab, Miss, Jennie. Untuk sekarang, fokuslah pada pemulihan fisik Anda. Kami akan bantu perlahan-lahan mengembalikan ingatan Anda, jika memungkinkan."

"Dokter… aku kenapa tidak ingat banyak hal…?" bisik Jennie, nyaris seperti anak kecil yang takut.

Dokter Cha hanya tersenyum lembut, "Kadang tubuh kita melindungi diri dengan mengunci beberapa memori yang menyakitkan. Tapi jangan khawatir, itu tidak salah. Kita akan lewati ini sama-sama."

***

[Beberapa Saat Kemudian – Di Luar Ruangan Jennie]

Dokter Cha melangkah keluar, diikuti Tuan Kim yang menunggu di luar dengan tangan disilangkan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Tuan Kim cepat.

"Secara fisik, kondisinya stabil dan sangat baik. Pemulihan berjalan cepat."

"Dan?"

Dokter Cha menatap mata pria itu. "Seperti yang saya duga… kemungkinan besar dia mengalami amnesia sementara."

"Apa buktinya?"

"Saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadinya. Tidak ada satu pun jawaban yang menyinggung tentang suaminya."

Tuan Kim tersenyum puas, seperti baru saja memenangkan pertempuran.

"Bagus." katanya singkat.

Dokter Cha menatap lurus ke depan, masih merasa ada yang menghantui pikirannya.

Dalam hati kecilnya, ia tahu; ada kebenaran yang sedang dimatikan dengan paksa.

***

Sementara itu, Raka membatin penuh kepuasan dan kepicikan.

"Sempurna. Kepercayaan kedua orang tuanya kini ada di tanganku. Tak ada lagi yang menghalangi langkahku untuk menggantikan posisi suaminya."

Ia tersenyum miring, penuh kelicikan.

"Kecelakaan itu… benar-benar berkah tak terduga. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sedikit lagi… Jennie akan sepenuhnya menjadi milikku."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lensasenja2104 99
Jahat banget Raka, nih...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami Malang Tunarunguku   Akhir Bahagia

    Tiga tahun telah berlalu... Laviska Ruby Meshach kini genap berusia enam tahun—masih menjadi satu-satunya buah hati dalam keluarga kecil yang penuh cinta itu. Hari ini menjadi hari bersejarah baginya, hari pertama masuk sekolah dasar. Sejak semalam, Laviska tak henti-hentinya mempersiapkan perlengkapannya sendiri: seragam yang digantung rapi di dekat tempat tidur, sepatu yang disemir bersama Daddy, hingga kotak makan lucu berisi camilan kesukaannya yang disiapkan oleh Mommy. Wajahnya semringah penuh antusias, begitu tak sabar ingin memperkenalkan diri di depan kelas, bertemu guru-guru, dan menjalin pertemanan dengan anak-anak lain. Namun di sisi lain, Jennie; sang Eomma, mengalami malam yang sangat berbeda. Bukannya tidur lelap karena hari besar putrinya akan segera tiba, Jennie justru menghabiskan malam dalam pelukan suaminya dengan tangis pelan yang tak berhenti. Tangis seorang ibu. Tangis akan waktu yang berjalan terlalu cepat. Tangis karena putri kecilnya kini sudah cu

  • Suami Malang Tunarunguku   Appa Eomma Hebat

    Waktu makan malam tiba. Lampu ruang rawat sedikit diredupkan, hanya cahaya dari layar televisi yang menampilkan film animasi keluarga dan lampu kota dari jendela besar yang menyinari ruangan itu dengan lembut. Jennie duduk di samping suami dan putrinya, sambil membawa mangkuk bubur hangat.Di pangkuan Liam, Laviska meringkuk manja, bersandar pada dada bidang ayahnya, menolak bergerak bahkan sedetik pun. Sejak tadi sore, Laviska tidak ingin berpisah dari Liam. Ia bahkan menangis ketika Liam hendak ke kamar mandi.“Laviska, sayang… sekarang waktunya makan malam,” kata Jennie dengan suara lembut sambil membelai rambut anak gadisnya yang lembut dan sedikit kusut.Laviska menggeleng cepat, wajahnya meringis. “Enggak mau… enggak lapar, Eomma…”Jennie tersenyum sabar. “Kalau kamu enggak makan, nanti tubuhmu makin lemas, Nak. Luka di keningnya juga nanti lama sembuhnya…”Liam mencium ubun-ubun Laviska dan berkata dengan suara hangat, “Sayang, kalau kamu makan yang banyak, nanti bisa cepat lep

  • Suami Malang Tunarunguku   Tragedi

    Pagi hari, tepat pukul 07.00, ketiganya; Jennie, Liam, dan Laviska; baru saja selesai menikmati sarapan sederhana bersama di ruang makan mereka yang hangat dan penuh cahaya matahari pagi. Piring-piring sudah hampir kosong, dan gelas jus jeruk milik Laviska tinggal setengah. Jennie mengelap bibir Laviska dengan lembut menggunakan tisu, lalu menatap putrinya yang duduk di pangkuannya. “Sayang, hari ini mau ikut Eomma ke rumah sakit atau ikut Appa ke kafe?” tanya Jennie sambil membelai rambut hitam lurus Laviska. Gadis kecil itu menoleh ke arah ayahnya, lalu kembali menatap ibunya dengan mata bulat penuh semangat. “Mau ikut Appa ajaa~!” jawabnya dengan cadel khas anak kecil. “Appa janji kemarin mau main sama Laviska di kafe, kan?” Jennie tertawa kecil. “Iya, Appa ingat.” Ia menoleh ke arah Liam yang hanya tersenyum sambil menyesap kopi hangatnya. “Kalau begitu, janji ya,” Jennie kembali menatap La

  • Suami Malang Tunarunguku   Hari Bahagia

    Tiga tahun telah berlalu dengan cepat. Hari itu, mentari pagi menelusup hangat ke dalam kamar utama mansion mewah keluarga kecil Kim. Di atas ranjang empuk berbalut seprai putih bersih, Jennie telah terjaga lebih dulu bersama Laviska; putri mungilnya yang hari ini genap berusia tiga tahun. "Selamat ulang tahun, sayang Eomma," bisik Jennie lembut, mengecup pelipis Laviska yang duduk di antara dirinya dan Liam yang masih terlelap. Laviska mengedip pelan. Mata bulatnya yang besar menatap wajah sang Appa yang tertidur pulas dengan posisi menyamping membelakangi mereka. Helaan napas Liam terdengar teratur. Ia baru pulang larut malam setelah menyelesaikan urusan di café yang akan mereka buka ulang dengan konsep baru: ramah anak. Café mereka. "Eomma..." bisik Laviska pelan. "Hmm?" Jennie mengusap anak rambut putrinya yang acak-acakan. "Appa... ngolok," ucap Laviska sambil menunjuk Liam

  • Suami Malang Tunarunguku   LAVISKA RUBY MESHACH

    9 bulan 9 hari. Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk lewat jendela besar ruang perawatan bersalin VIP di rumah sakit ternama kota. Ruangan itu terasa hangat, namun tetap penuh ketegangan. Di dalamnya, Jennie terbaring di ranjang pasien dengan wajah yang mulai pucat dan lelah, sementara Liam duduk di sebelahnya, tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan sang istri. Tuan dan Nyonya Kim telah menginap sejak malam sebelumnya, menemani dan membantu putri mereka. Tapi pagi itu mereka sedang pergi ke kantin untuk membelikan sarapan ringan untuk mereka dan Liam, yang sedari subuh belum beranjak dari sisi Jennie. Liam perlahan mengangkat botol air minum yang dia pegang sedari tadi. “Minum dulu, Sayang,” ucapnya lembut, membantu Jennie yang sedikit bersandar untuk minum. Jennie meneguk perlahan, napasnya sedikit terengah. “Terima kasih… Appa Debay…” bisiknya pelan, senyum lemah tersungging di bibirnya yang mulai kering.

  • Suami Malang Tunarunguku   Pembukaan

    Mobil hitam itu melaju pelan melewati jalanan kota pagi itu. Di dalamnya, Jennie duduk di kursi penumpang depan, mengenakan cardigan lembut berwarna pastel dan masker yang sedikit diturunkan saat menyuapi suaminya dengan potongan kecil sandwich hangat yang mereka bungkus dari rumah. Di kursi pengemudi, Liam fokus menyetir dengan satu tangan sementara tangan satunya menerima suapan dengan pasrah dan manja. "Aaah...," gumam Jennie sambil mengangkat potongan sandwich ke mulut Liam. Liam membuka mulutnya sambil melirik istrinya dengan senyum kecil. Setelah mengunyah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Kamu tahu," katanya dengan suara sedikit serak karena menahan mual, "aku masih nggak percaya... aku yang ngidam, bukan kamu." Jennie tersenyum lembut, lalu menyeka remah roti dari sudut bibir suaminya dengan jari. "Aku yang hamil, tapi kamu yang mual dan muntah. Aku yang bawa debay di perut, tapi kamu yang ngidam mi instan jam tiga pagi dan nangis karena kehabisan susu stroberi," godan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status