Pintu utama rumah sakit terbuka cepat. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam dan sorot mata tajam berjalan tergesa disamping seorang wanita elegan dengan wajah panik; Tuan dan Nyonya Kim.
Petugas medis dan perawat yang berada di lobi langsung berdiri, membungkukkan badan memberi hormat. "Selamat siang, Tuan Kim, Nyonya Kim." Tuan Kim tidak membalas, wajahnya serius dan tegang. Nyonya Kim langsung bertanya dengan suara bergetar, "Di mana anak saya? Di mana Jennie saya?!" Seorang perawat perempuan segera mendekat sambil membungkuk sopan. "Mrs. Jennie sedang berada di ruang ICU, Nyonya. Beliau masih dalam penanganan pasca operasi penjahitan luka." "ICU? Ya Tuhan…" Nyonya Kim menggenggam dada kirinya yang terasa sesak. "Cepat antar kami ke sana," perintah Tuan Kim. Mereka berdua langsung dibawa menuju ruang ICU di lantai dua dengan lift khusus staf medis. Begitu pintu lift terbuka, langkah kaki mereka bergema cepat di koridor sunyi. Ruang ICU terletak di ujung lorong dengan dinding kaca buram. Begitu mereka masuk… "Jennie!!" isak Nyonya Kim pecah saat melihat putrinya terbaring lemah, kepala diperban dan wajah cantiknya dipenuhi luka gores serta selang infus di tangan kanan. Di sisi tempat tidur, berdiri seorang wanita dengan jas dokter berwarna biru navy. Dia menunduk sopan. "Selamat malam, Tuan dan Nyonya Kim. Saya Dokter Cha. Saya yang menangani Mrs. Jennie siang ini." Tuan Kim mengangguk singkat, lalu berjalan ke samping tempat tidur putrinya. Suaranya tegas namun dalam nada tertahan, "Bagaimana kondisi putri saya, Dokter Cha?" Dokter Cha menghela napas pendek, mencoba menata kata-katanya sebijak mungkin. "Benturan keras di bagian kepala menyebabkan pendarahan internal dan trauma hebat. Kami telah menghentikan pendarahan dan menjahit luka di pelipis serta tangan beliau. Tapi…" "Tapi apa, Dokter?" sela Nyonya Kim dengan suara parau, air mata mengalir deras di pipinya. Dokter Cha menatap mereka bergantian sebelum akhirnya berkata dengan pelan namun jelas, "Ada kemungkinan Mrs. Jennie akan mengalami amnesia, Nyonya." "A-Amnesia?" suara Nyonya Kim pecah, dia terduduk di kursi sebelah ranjang Jennie, memegangi tangan putrinya yang dingin. "Seberapa parah kemungkinan itu, Dokter?" tanya Tuan Kim, berusaha tetap tenang meski wajahnya memucat. "Untuk saat ini kami belum bisa memastikannya. Jenis amnesianya baru bisa kami kenali setelah beliau sadar nanti. Bisa jadi hanya sementara, bisa juga… lebih lama." "Tidak… tidak mungkin," gumam Nyonya Kim sambil mengelus rambut Jennie. "Anakku tidak akan melupakan semuanya… dia kuat… dia pasti ingat…" Tuan Kim menatap putrinya dalam diam, rahangnya mengeras. "Terima kasih. Untuk saat ini, bisakah Anda memberi kami waktu bersama putri kami?" Dokter Cha menunduk hormat. "Tentu, Tuan. Jika ada perubahan, saya akan segera kembali." Dia melangkah mundur dengan sopan, membuka pintu dan menutupnya pelan, meninggalkan pasangan orang tua yang sedang tenggelam dalam kekhawatiran paling dalam atas putri tunggal mereka. *** Hening. Hanya suara mesin monitor detak jantung dan napas lembut Jennie yang terdengar di ruangan ICU itu. Nyonya Kim masih menggenggam tangan putrinya yang dingin, sementara Tuan Kim berdiri kaku di sisi tempat tidur, tatapannya kosong menatap wajah pucat anak satu-satunya. "Sayang…" bisik Nyonya Kim lirih, suaranya bergetar, matanya sembab. "Ini Mommy, Nak… Jennie, dengar suara Mommy, ya…" Ia membelai lembut pipi putrinya yang luka, bibirnya gemetar menahan tangis. Tangan kirinya meremas pergelangan tangan Jennie yang masih dingin. "Kau harus bangun, Sayang. Jangan seperti ini… Mommy mohon… Lihat Mommy sebentar saja…" Tuan Kim melangkah mendekat, duduk perlahan di tepi tempat tidur Jennie, mencoba bersikap tegar walau suaranya terdengar berat saat akhirnya ikut berbicara. "Jennie… Daddy di sini, Nak." Dia menghela napas panjang, menatap wajah anaknya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kau selalu kuat. Dari kecil, kau selalu bisa hadapi semua hal. Daddy yakin… kau bisa lewati ini juga." Nyonya Kim menggigit bibir bawahnya, tak mampu menyembunyikan tangisnya. "Harusnya Mommy yang ada di posisimu sekarang, bukan kamu. Kamu terlalu muda untuk terluka separah ini, Jennie…" Ia menunduk, mencium kening anaknya yang diperban. "Anak Mommy… Tolong bangun, ya… Mommy tidak sanggup kalau kehilangan kamu…" Tuan Kim meraih tangan istrinya, menggenggamnya kuat. "Kita harus kuat… Demi Jennie." "Aku tahu," jawab Nyonya Kim dengan suara lirih. "Tapi melihat dia seperti ini… seperti boneka tanpa jiwa… aku hancur." Tuan Kim memejamkan mata sesaat, lalu mengelus rambut Jennie yang sedikit basah karena keringat. "Kau punya rumah sakit ini karena kerja kerasmu. Kau berjuang begitu keras untuk sampai di titik ini. Kau tidak boleh menyerah, Jennie. Banyak yang menantimu untuk sembuh. Mommy dan Daddy… selalu di sini." "Bangun, Jennie… Demi semua orang yang mencintaimu… Demi orang-orang yang kau lindungi dan rawat selama ini…" Air mata Nyonya Kim kembali tumpah. "Kau ingat, kan, Sayang? Kau bilang, tugas dokter itu menyelamatkan, bukan diselamatkan. Tapi kali ini… Mommy mohon… Biarkan orang lain menyelamatkanmu, Jennie." Mesin monitor tetap menunjukkan detak stabil. Namun tak ada respons dari tubuh Jennie. Ia masih terbaring dalam diam, seakan mendengar namun belum mampu menjawab panggilan dari kedua orang tuanya. *** Suasana di ruang ICU masih diliputi keheningan dan kesedihan, ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka perlahan. Sosok tinggi berpakaian formal dengan wajah cemas masuk dengan langkah terburu-buru. "Paman… Bibi… Bagaimana kondisi Jennie?" suara Raka terdengar terburu-buru, nafasnya memburu, tatapannya langsung jatuh pada tubuh Jennie yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Nyonya Kim yang masih memegangi tangan anaknya, menoleh sekilas, matanya merah karena menangis terlalu lama. Tuan Kim bangkit dari duduknya dan menatap Raka sekilas. "Kondisinya kritis. Dia kehilangan banyak darah, dan… menurut Dokter, ada kemungkinan dia akan mengalami amnesia saat siuman nanti." Raka langsung menutup mulutnya, menahan napas. "A-Amnesia?" Tatapannya beralih pada Jennie. "Astaga… Jennie…" Dia berjalan pelan mendekat, berdiri di sisi tempat tidur. "Kenapa bisa seburuk ini? Jennie… Jennie tidak pantas dapat ini semua…" katanya lirih, seolah menggumam kepada diri sendiri. Lalu ia menoleh pada kedua orang tua Jennie dengan ekspresi penuh iba. "Aku benar-benar ikut prihatin, Paman… Bibi. Kecelakaan ini… sangat tragis. Aku ikut sedih." "Kami juga belum bisa menerima ini, Raka," balas Nyonya Kim dengan suara lelah. "Apa sudah menghubungi suaminya?" tanya Raka dengan nada yang dibuat terdengar tulus, meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Leon… pasti sudah tahu, kan? Berita ini viral di mana-mana…" Tuan Kim menggeleng pelan. "Kami tidak menghubunginya. Dia pasti sudah tahu… Berita kecelakaan Jennie sudah tayang di seluruh saluran berita nasional dan viral di media sosial. Tidak mungkin dia tidak melihatnya." Raka mengangguk pelan, lalu tiba-tiba menghembuskan napas panjang. "Tapi… aneh juga ya, Paman… Bibi. Maksudku… kalau dia benar-benar peduli, kenapa belum juga muncul sampai sekarang?" Nyonya Kim menoleh tajam. "Apa maksudmu, Raka?" Raka pura-pura ragu, lalu berkata perlahan. "Aku… aku hanya khawatir. Mungkin… mungkin saja Leon memang tahu, tapi dia memilih diam. Siapa tahu dia sudah tidak peduli lagi pada Jennie… Atau bahkan…" ia melirik Jennie sejenak, lalu menatap serius ke arah Tuan Kim. "Atau mungkin… Leon terlibat dalam kecelakaan ini." "Apa maksudmu?" suara Tuan Kim mengeras. "Aku hanya berpikir… bisa saja mobil Jennie disabotase, bukan? Mungkin saja ada yang sengaja melukai dia. Dan siapa yang paling diuntungkan kalau sesuatu terjadi pada Jennie?" Raka berhenti sejenak, lalu menatap tajam. "Leon. Dia hidup dari uang Jennie. Kalau Jennie tidak sadar… atau lebih parah… dia akan dapat semua warisannya, atau setidaknya bebas tanpa tanggung jawab apa-apa lagi." "Brengsek!" Nyonya Kim membentak, dadanya naik-turun menahan amarah. "Aku tahu laki-laki itu tidak bisa dipercaya! Dari awal aku tidak pernah suka dia bersama putriku!" "Tenang dulu, Sayang…" Tuan Kim mencoba menenangkan istrinya, meski matanya juga sudah merah karena murka. Ia mengepalkan tangannya. "Kalau benar dia ada di balik semua ini… Aku akan pastikan Leon tidak akan bisa berdiri lagi! Aku sendiri yang akan hancurkan dia!" Raka menunduk sedikit, pura-pura menghela napas berat. Tapi sudut bibirnya tersenyum samar. "Aku hanya tidak ingin kalian terlambat tahu kebenarannya… dan menyesal di akhir." Di dalam hatinya, Raka puas. Ucapannya berhasil menyulut bara kemarahan Tuan dan Nyonya Kim. Dan itu artinya… jarak antara Liam dan Jennie akan makin jauh. ***Cahaya matahari pagi mengintip dari balik tirai jendela ruang makan mereka yang mungil tapi hangat. Aroma roti panggang dan telur orak-arik mengisi udara, berpadu dengan harum minuman cokelat kesukaan Liam. Meja makan bundar dari kayu yang hanya berisi dua kursi itu dipenuhi dengan keheningan hangat khas pasangan yang saling memahami; tak perlu banyak kata untuk merasa nyaman. Jennie duduk berhadapan dengan Liam, mengenakan blouse putih dan rok pensil abu-abu. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersih tanpa makeup tebal. Liam di sisi lain terlihat kasual tapi rapi, mengenakan kemeja hitam dan celana panjang kain berwarna krem. Wajahnya tenang, namun ada sedikit ketegangan di sudut matanya. “Hmm... Jadi nanti aku bawa makan siang aja ya,” gumam Jennie sambil menusuk potongan sosis di piringnya. “Aku bisa keluar istirahat sekitar jam satu, terus ke cafemu dan kita makan bareng.” Liam mengangkat wajahnya, menatapnya penuh sayang. “Sayang...” katanya lembut, suaranya serak pagi. “Ka
Setelah makan siang bersama teman-teman, Liam dan Jennie akhirnya tiba di apartemen baru mereka yang terletak di jantung kota Berlin. Gedung pencakar langit modern itu menjulang megah dengan balkon kaca bening yang menghadap langsung ke lanskap kota. Dari jendela, tampak deretan gedung tinggi, lalu lintas kota yang ramai namun teratur, dan langit biru yang mulai dihiasi semburat jingga menjelang senja. Jennie membuka pintu apartemen dengan senyum bangga. “Selamat datang di rumah kita selama di Jerman, Sayang,” ujarnya sambil menoleh ke arah Liam yang berdiri di ambang pintu, memandang takjub. Liam melangkah masuk perlahan, matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan penuh kagum. Langit-langit tinggi, dinding putih bersih, perabotan kayu berdesain minimalis, dan jendela lebar yang membiarkan cahaya alami membanjiri ruangan. “Wow…” gumamnya pelan, lalu menoleh dan tersenyum hangat. “Sayang, ini… luar biasa.” Jennie tertawa pelan. “Kau suka?” Liam mengangguk dengan penuh semangat. “
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka resmi menikah kembali. Tiga hari yang mereka habiskan di dalam mansion tanpa keluar sama sekali; hanya berdua, menikmati kehangatan rumah yang kini benar-benar terasa seperti rumah. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya setelah hari pernikahan, mereka keluar. Jennie duduk di balik kemudi, mengenakan blouse putih sederhana dengan celana jeans terang yang memperlihatkan pesonanya yang alami. Rambutnya diikat longgar ke belakang, beberapa helai tergerai, menambah kesan manis di wajahnya. Liam duduk di samping, diam-diam memperhatikannya sejak mereka meninggalkan gerbang mansion. “Sayang,” Jennie membuka suara sambil menatap sekilas ke arah suaminya, “kita mampir sarapan di kedai dulu, atau beli makanan terus makan di cafe barumu?” Liam masih menatap wajah istrinya. Tatapan yang membuat Jennie merasa seperti tengah diperhatikan oleh mata paling lembut di dunia. Tanpa mengalihkan pandangan, Liam menjawab pelan, “Kita parkir aja dulu di cafe, lalu jalan
Hari itu, langit Seoul seolah merestui kebahagiaan yang kembali terajut. Matahari bersinar hangat tanpa menyilaukan, angin semilir menari di antara dedaunan, dan denting lonceng gereja terdengar syahdu, menyambut momen yang akan selamanya terpatri dalam hidup Jennie dan Liam. Gereja putih bergaya klasik itu tampak megah namun tenang. Di dalamnya, bangku-bangku kayu diisi para tamu undangan yang hadir dengan penuh antusias dan haru. Di barisan depan, Tuan dan Nyonya Kim duduk berdampingan, tampak anggun dalam balutan busana formal. Wajah mereka mencerminkan kebanggaan dan rasa damai, karena akhirnya putri tercinta mereka menikah kembali dengan pria yang sungguh mencintainya. Di sisi lain, tampak Jiah tersenyum lembut sambil merangkul Jehan yang duduk di pangkuannya, sementara para karyawan kafe Liam; Minjae, Jihye, dan lainnya; berdiri dengan mata berbinar. Teman-teman Jennie dari Jerman pun duduk tak jauh dari altar, beberapa masih tak percaya bahwa sahabat mereka telah membawa mere
10 bulan kemudian...Hari itu langit Berlin tampak sendu, seolah ikut merasakan suasana hati banyak orang di Rumah Sakit Jerman tempat Jennie bekerja selama satu tahun setengah. Di depan gedung utama rumah sakit, puluhan rekan kerja, staf medis, perawat, bahkan beberapa pasien dan keluarga pasien yang mengenalnya berkumpul mengantar kepergian Jennie ke Korea Selatan.Jennie berdiri dengan koper kecil di sisinya, mengenakan trench coat krem panjang, syal rajut abu-abu yang dililitkan oleh salah satu perawat, dan mata berkaca-kaca yang sulit menyembunyikan haru di balik senyumnya.“Aku… nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Jennie pelan, suaranya sedikit bergetar saat ia berdiri di tengah-tengah semua rekan kerjanya. “Tapi, terima kasih. Terima kasih karena sudah menerima aku, membimbing aku, mengizinkan aku belajar dan bekerja di tempat ini dengan semua cinta dan kepercayaan.”Suara isakan pelan terdengar dari beberapa perawat wanita yang berdiri di barisan belakang.“Selama di sini,
Langit Berlin pagi itu berwarna kelabu, mendung seperti menyatu dengan suasana hati Jennie yang berdiri dalam pelukan terakhir suaminya di terminal keberangkatan Bandara Tegel.Pelukan mereka erat dan penuh bisu, seolah mencoba mengunci waktu, menolak kenyataan bahwa mereka akan kembali terpisah jarak dan waktu untuk sepuluh bulan ke depan.“Aku akan kembali, Sayang...” bisik Jennie pelan di dada Liam, suaranya terdengar serak menahan tangis. “Sepuluh bulan lagi. Setelah masa praktik ini selesai, aku akan kembali ke Seoul. Lalu kita akan menikah lagi. Aku janji.”Liam mengeratkan pelukannya sesaat, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka, menatap wajah Jennie yang mulai memerah karena air mata yang tertahan.Tangannya terulur, membelai anak rambut Jennie yang keluar dari balik telinga. Lembut dan penuh kasih.“Aku akan menunggu, J.” suara Liam terdengar tenang namun penuh makna. “Tak peduli berapa lama... Aku siap menikahimu kembali. Kali ini, tanpa jeda. Tanpa luka.”Jennie menggigit