Share

Provokasi

Penulis: UKIR PENA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 00:13:40

Pintu utama rumah sakit terbuka cepat. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam dan sorot mata tajam berjalan tergesa disamping seorang wanita elegan dengan wajah panik; Tuan dan Nyonya Kim.

Petugas medis dan perawat yang berada di lobi langsung berdiri, membungkukkan badan memberi hormat.

"Selamat siang, Tuan Kim, Nyonya Kim."

Tuan Kim tidak membalas, wajahnya serius dan tegang. Nyonya Kim langsung bertanya dengan suara bergetar,

"Di mana anak saya? Di mana Jennie saya?!"

Seorang perawat perempuan segera mendekat sambil membungkuk sopan.

"Mrs. Jennie sedang berada di ruang ICU, Nyonya. Beliau masih dalam penanganan pasca operasi penjahitan luka."

"ICU? Ya Tuhan…" Nyonya Kim menggenggam dada kirinya yang terasa sesak.

"Cepat antar kami ke sana," perintah Tuan Kim.

Mereka berdua langsung dibawa menuju ruang ICU di lantai dua dengan lift khusus staf medis. Begitu pintu lift terbuka, langkah kaki mereka bergema cepat di koridor sunyi. Ruang ICU terletak di ujung lorong dengan dinding kaca buram.

Begitu mereka masuk…

"Jennie!!" isak Nyonya Kim pecah saat melihat putrinya terbaring lemah, kepala diperban dan wajah cantiknya dipenuhi luka gores serta selang infus di tangan kanan.

Di sisi tempat tidur, berdiri seorang wanita dengan jas dokter berwarna biru navy. Dia menunduk sopan.

"Selamat malam, Tuan dan Nyonya Kim. Saya Dokter Cha. Saya yang menangani Mrs. Jennie siang ini."

Tuan Kim mengangguk singkat, lalu berjalan ke samping tempat tidur putrinya. Suaranya tegas namun dalam nada tertahan, "Bagaimana kondisi putri saya, Dokter Cha?"

Dokter Cha menghela napas pendek, mencoba menata kata-katanya sebijak mungkin. "Benturan keras di bagian kepala menyebabkan pendarahan internal dan trauma hebat. Kami telah menghentikan pendarahan dan menjahit luka di pelipis serta tangan beliau. Tapi…"

"Tapi apa, Dokter?" sela Nyonya Kim dengan suara parau, air mata mengalir deras di pipinya.

Dokter Cha menatap mereka bergantian sebelum akhirnya berkata dengan pelan namun jelas, "Ada kemungkinan Mrs. Jennie akan mengalami amnesia, Nyonya."

"A-Amnesia?" suara Nyonya Kim pecah, dia terduduk di kursi sebelah ranjang Jennie, memegangi tangan putrinya yang dingin.

"Seberapa parah kemungkinan itu, Dokter?" tanya Tuan Kim, berusaha tetap tenang meski wajahnya memucat.

"Untuk saat ini kami belum bisa memastikannya. Jenis amnesianya baru bisa kami kenali setelah beliau sadar nanti. Bisa jadi hanya sementara, bisa juga… lebih lama."

"Tidak… tidak mungkin," gumam Nyonya Kim sambil mengelus rambut Jennie. "Anakku tidak akan melupakan semuanya… dia kuat… dia pasti ingat…"

Tuan Kim menatap putrinya dalam diam, rahangnya mengeras. "Terima kasih. Untuk saat ini, bisakah Anda memberi kami waktu bersama putri kami?"

Dokter Cha menunduk hormat. "Tentu, Tuan. Jika ada perubahan, saya akan segera kembali."

Dia melangkah mundur dengan sopan, membuka pintu dan menutupnya pelan, meninggalkan pasangan orang tua yang sedang tenggelam dalam kekhawatiran paling dalam atas putri tunggal mereka.

***

Hening. Hanya suara mesin monitor detak jantung dan napas lembut Jennie yang terdengar di ruangan ICU itu. Nyonya Kim masih menggenggam tangan putrinya yang dingin, sementara Tuan Kim berdiri kaku di sisi tempat tidur, tatapannya kosong menatap wajah pucat anak satu-satunya.

"Sayang…" bisik Nyonya Kim lirih, suaranya bergetar, matanya sembab. "Ini Mommy, Nak… Jennie, dengar suara Mommy, ya…"

Ia membelai lembut pipi putrinya yang luka, bibirnya gemetar menahan tangis. Tangan kirinya meremas pergelangan tangan Jennie yang masih dingin.

"Kau harus bangun, Sayang. Jangan seperti ini… Mommy mohon… Lihat Mommy sebentar saja…"

Tuan Kim melangkah mendekat, duduk perlahan di tepi tempat tidur Jennie, mencoba bersikap tegar walau suaranya terdengar berat saat akhirnya ikut berbicara.

"Jennie… Daddy di sini, Nak." Dia menghela napas panjang, menatap wajah anaknya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kau selalu kuat. Dari kecil, kau selalu bisa hadapi semua hal. Daddy yakin… kau bisa lewati ini juga."

Nyonya Kim menggigit bibir bawahnya, tak mampu menyembunyikan tangisnya. "Harusnya Mommy yang ada di posisimu sekarang, bukan kamu. Kamu terlalu muda untuk terluka separah ini, Jennie…" Ia menunduk, mencium kening anaknya yang diperban. "Anak Mommy… Tolong bangun, ya… Mommy tidak sanggup kalau kehilangan kamu…"

Tuan Kim meraih tangan istrinya, menggenggamnya kuat.

"Kita harus kuat… Demi Jennie."

"Aku tahu," jawab Nyonya Kim dengan suara lirih. "Tapi melihat dia seperti ini… seperti boneka tanpa jiwa… aku hancur."

Tuan Kim memejamkan mata sesaat, lalu mengelus rambut Jennie yang sedikit basah karena keringat.

"Kau punya rumah sakit ini karena kerja kerasmu. Kau berjuang begitu keras untuk sampai di titik ini. Kau tidak boleh menyerah, Jennie. Banyak yang menantimu untuk sembuh. Mommy dan Daddy… selalu di sini."

"Bangun, Jennie… Demi semua orang yang mencintaimu… Demi orang-orang yang kau lindungi dan rawat selama ini…"

Air mata Nyonya Kim kembali tumpah.

"Kau ingat, kan, Sayang? Kau bilang, tugas dokter itu menyelamatkan, bukan diselamatkan. Tapi kali ini… Mommy mohon… Biarkan orang lain menyelamatkanmu, Jennie."

Mesin monitor tetap menunjukkan detak stabil. Namun tak ada respons dari tubuh Jennie. Ia masih terbaring dalam diam, seakan mendengar namun belum mampu menjawab panggilan dari kedua orang tuanya.

***

Suasana di ruang ICU masih diliputi keheningan dan kesedihan, ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka perlahan. Sosok tinggi berpakaian formal dengan wajah cemas masuk dengan langkah terburu-buru.

"Paman… Bibi… Bagaimana kondisi Jennie?" suara Raka terdengar terburu-buru, nafasnya memburu, tatapannya langsung jatuh pada tubuh Jennie yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.

Nyonya Kim yang masih memegangi tangan anaknya, menoleh sekilas, matanya merah karena menangis terlalu lama.

Tuan Kim bangkit dari duduknya dan menatap Raka sekilas. "Kondisinya kritis. Dia kehilangan banyak darah, dan… menurut Dokter, ada kemungkinan dia akan mengalami amnesia saat siuman nanti."

Raka langsung menutup mulutnya, menahan napas. "A-Amnesia?" Tatapannya beralih pada Jennie. "Astaga… Jennie…"

Dia berjalan pelan mendekat, berdiri di sisi tempat tidur. "Kenapa bisa seburuk ini? Jennie… Jennie tidak pantas dapat ini semua…" katanya lirih, seolah menggumam kepada diri sendiri.

Lalu ia menoleh pada kedua orang tua Jennie dengan ekspresi penuh iba. "Aku benar-benar ikut prihatin, Paman… Bibi. Kecelakaan ini… sangat tragis. Aku ikut sedih."

"Kami juga belum bisa menerima ini, Raka," balas Nyonya Kim dengan suara lelah.

"Apa sudah menghubungi suaminya?" tanya Raka dengan nada yang dibuat terdengar tulus, meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Leon… pasti sudah tahu, kan? Berita ini viral di mana-mana…"

Tuan Kim menggeleng pelan. "Kami tidak menghubunginya. Dia pasti sudah tahu… Berita kecelakaan Jennie sudah tayang di seluruh saluran berita nasional dan viral di media sosial. Tidak mungkin dia tidak melihatnya."

Raka mengangguk pelan, lalu tiba-tiba menghembuskan napas panjang. "Tapi… aneh juga ya, Paman… Bibi. Maksudku… kalau dia benar-benar peduli, kenapa belum juga muncul sampai sekarang?"

Nyonya Kim menoleh tajam. "Apa maksudmu, Raka?"

Raka pura-pura ragu, lalu berkata perlahan. "Aku… aku hanya khawatir. Mungkin… mungkin saja Leon memang tahu, tapi dia memilih diam. Siapa tahu dia sudah tidak peduli lagi pada Jennie… Atau bahkan…" ia melirik Jennie sejenak, lalu menatap serius ke arah Tuan Kim. "Atau mungkin… Leon terlibat dalam kecelakaan ini."

"Apa maksudmu?" suara Tuan Kim mengeras.

"Aku hanya berpikir… bisa saja mobil Jennie disabotase, bukan? Mungkin saja ada yang sengaja melukai dia. Dan siapa yang paling diuntungkan kalau sesuatu terjadi pada Jennie?"

Raka berhenti sejenak, lalu menatap tajam. "Leon. Dia hidup dari uang Jennie. Kalau Jennie tidak sadar… atau lebih parah… dia akan dapat semua warisannya, atau setidaknya bebas tanpa tanggung jawab apa-apa lagi."

"Brengsek!" Nyonya Kim membentak, dadanya naik-turun menahan amarah. "Aku tahu laki-laki itu tidak bisa dipercaya! Dari awal aku tidak pernah suka dia bersama putriku!"

"Tenang dulu, Sayang…" Tuan Kim mencoba menenangkan istrinya, meski matanya juga sudah merah karena murka. Ia mengepalkan tangannya.

"Kalau benar dia ada di balik semua ini… Aku akan pastikan Leon tidak akan bisa berdiri lagi! Aku sendiri yang akan hancurkan dia!"

Raka menunduk sedikit, pura-pura menghela napas berat. Tapi sudut bibirnya tersenyum samar.

"Aku hanya tidak ingin kalian terlambat tahu kebenarannya… dan menyesal di akhir."

Di dalam hatinya, Raka puas. Ucapannya berhasil menyulut bara kemarahan Tuan dan Nyonya Kim. Dan itu artinya… jarak antara Liam dan Jennie akan makin jauh.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Malang Tunarunguku   Pemulihan & Pertemuan

    Eomma Jihye meletakkan kimchi ke dalam mangkuk makan Liam sambil tersenyum hangat. “Kau harus makan yang banyak supaya cepat pulih dan benar-benar sembuh, ya,” ujarnya lembut. Liam mengangguk, tersenyum tulus. “Ne, terima kasih, Eomma. Masakan Eomma memang yang terbaik.” “Benarkah? Kau sangat murah hati melontarkan pujian. Sangat berbeda dengan Jihye yang selalu saja mengomel setiap kali makan di rumah,” kata Eomma sambil menambahkan potongan daging ke mangkuk Liam. “Aku tidak suka berbohong, Eomma,” jawab Liam jujur. Tatapannya beralih pada Jihye yang duduk di seberangnya, sedang mengunyah sambil mengerutkan kening kesal karena ibunya mengungkapkan semua kebiasaan buruknya di depan bosnya. Liam melanjutkan, nadanya lembut tapi penuh makna. “Kau harus lebih murah hati dalam melontarkan pujian untuk masakan dan semua hal yang Eommamu lakukan untukmu. Suatu hari nanti, kau akan menangis dan menyesal saat Eommamu sudah tak ada lagi. Jadi manfaatkan waktu bersama orang yang kau s

  • Suami Malang Tunarunguku   Siapa Kamu

    (Disclaimer: Liam adalah seorang tunarungu. Meskipun ia tidak dapat mendengar, ia mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir mereka secara cermat. Karena itu, gangguan pendengarannya tidak terlalu menghambat komunikasi sehari-hari, selama lawan bicara berada di hadapannya. Namun, jika seseorang memanggilnya atau berbicara dari belakang, ia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat mendengar suara tersebut).Ruang UGD, Rumah Sakit Kim – Pukul 23:45. "Luka di bagian pelipis kanan cukup dalam, segera siapkan peralatan jahit luka!" seru Dokter Cha begitu melihat kondisi Liam yang tak sadarkan diri dan wajahnya penuh darah. Dua perawat di sampingnya sigap menuruti perintah. "Sudah dicek tekanan darahnya?" tanya Dokter Cha cepat, sambil dengan cekatan membersihkan darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Liam. "Sudah, Dokter. Masih dalam batas aman, tapi denyut nadinya sedikit lemah," jawab salah satu perawat sambil menyerahkan kasa steril. Dokter

  • Suami Malang Tunarunguku   Keluar Masuk

    (Disclaimer: Liam adalah seorang tunarungu. Meskipun ia tidak dapat mendengar, ia mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir mereka secara cermat. Karena itu, gangguan pendengarannya tidak terlalu menghambat komunikasi sehari-hari, selama lawan bicara berada di hadapannya. Namun, jika seseorang memanggilnya atau berbicara dari belakang, ia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat mendengar suara tersebut)."Pagi yang bagus untuk memulai hari," gumam Liam sambil meregangkan tubuhnya di atas kasur kecil di kamar mungil yang terletak di lantai atas cafenya.Glek! Glek! Glek!"Hah..." desahnya lega setelah meneguk setengah isi air dalam gelas di atas meja lampu tidurnya.Liam beranjak dari tempat tidur, merapikannya dengan rapi seperti kebiasaannya, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Setelah bersih dan berpakaian rapi, ia turun ke luar cafe untuk mencari sarapan.Pilihannya jatuh pada kedai kecil yang tak jauh dari cafenya; pe

  • Suami Malang Tunarunguku   Tunangan

    [Tiga Hari Setelah Kecelakaan – Ruang ICU]Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian tragis itu. Tiga hari penuh kecemasan, doa, dan… kebencian yang perlahan tumbuh di hati orang tua Jennie terhadap menantu mereka.Selama tiga hari penuh, Jennie tidak sadarkan diri, dan selama itu pula Nyonya Kim, Tuan Kim, serta Raka bergiliran menjaga putri semata wayang mereka.Liam? Tidak ada kabarnya."Dia bahkan tidak datang menjenguk Jennie… sama sekali," gumam Nyonya Kim dengan nada kesal, sambil mengusap dahi putrinya yang masih terbaring lemah."Sudah kubilang sejak awal, pria itu tidak punya tanggung jawab! Dan sekarang lihatlah sendiri, Sayang. Jennie terbaring begini pun dia tak peduli," sahut Tuan Kim, berdiri di samping ranjang.Tadi pagi, Tuan Kim sempat menyuruh supirnya untuk mengecek kediaman Jennie dan Liam. Ketika maid membuka pintu, ia menjawab,"Tuan Liam sudah tiga hari tidak pulang. Sejak pagi itu… tidak ada kabarnya."Mendengar itu, amarah Tuan Kim semakin membuncah."Brengsek!"

  • Suami Malang Tunarunguku   Provokasi

    Pintu utama rumah sakit terbuka cepat. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam dan sorot mata tajam berjalan tergesa disamping seorang wanita elegan dengan wajah panik; Tuan dan Nyonya Kim.Petugas medis dan perawat yang berada di lobi langsung berdiri, membungkukkan badan memberi hormat."Selamat siang, Tuan Kim, Nyonya Kim."Tuan Kim tidak membalas, wajahnya serius dan tegang. Nyonya Kim langsung bertanya dengan suara bergetar,"Di mana anak saya? Di mana Jennie saya?!"Seorang perawat perempuan segera mendekat sambil membungkuk sopan."Mrs. Jennie sedang berada di ruang ICU, Nyonya. Beliau masih dalam penanganan pasca operasi penjahitan luka.""ICU? Ya Tuhan…" Nyonya Kim menggenggam dada kirinya yang terasa sesak."Cepat antar kami ke sana," perintah Tuan Kim.Mereka berdua langsung dibawa menuju ruang ICU di lantai dua dengan lift khusus staf medis. Begitu pintu lift terbuka, langkah kaki mereka bergema cepat di koridor sunyi. Ruang ICU terletak di ujung lorong dengan din

  • Suami Malang Tunarunguku   Hatiku... Sudah Mati

    Sirine ambulans memecah malam. Lampu merah-biru memantul di dinding rumah sakit mewah itu. Para petugas medis yang semula bersiap menerima pasien lain, tiba-tiba berhamburan ke luar begitu suara radio memberi kode merah.“AMBULANS MASUK! KODE MERAH! CEPAT SIAPKAN TIM!”Salah satu koordinator jaga berteriak sambil berlari ke arah pintu otomatis.Ban ambulans berhenti dengan rem mendecit. Pintu belakang terbuka kasar. Dua paramedis segera menurunkan brankar, dan tubuh tergeletak di atasnya membuat semua orang menahan napas.“Astaga... itu... itu Direktur Jennie!”Salah satu perawat hampir menjatuhkan clipboard di tangannya. Tangannya gemetar.“Jangan bengong! SEMUA SIAP!” bentak Dokter Yoon, segera berlari sambil menarik sarung tangan medis.“Pasien perempuan, dua puluh tujuh tahun! Luka robek dalam di pelipis kanan, benturan kepala parah, kehilangan kesadaran sesaat di TKP!”“Tekanan darah 80/50! Saturasi turun! Ada respons mata, tapi lemah!”Paramedis di sisi kiri masih menggenggam ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status