Share

2. Tidak akan berpisah

Dia datang bak antagonis yang merobohkan kehidupan pemeran utama. Menikah dengan ayah kandung dari putrinya, sekaligus merebut laki-laki itu dari tunangannya. Begitulah yang dikatakan orang-orang di sekitarnya. Padahal mereka tahu dengan jelas setelah Kalandra mengakhiri pertunangan lalu meminang Litha.

Mereka menyalahkannya karena mencari Kalandra setelah anak itu sudah besar.

5 tahun lalu ketika melahirkan Gemini, usianya baru menginjak 22 tahun. Menjadi ibu tunggal selama empat tahun sebelum menikah dengan Kalandra, ia berjuang sendiri tanpa dukungan psikologis.

Yang lebih menyesakkan lagi, Litha diusir oleh keluarganya karena merahasiakan kehamilannya yang dianggap merusak reputasi keluarga. Dan sampai sekarang tak sekalipun ia menghubungi keluarganya.

Diingatkan akan masa-masa itu membuat pelupuk Litha menjadi hangat. Dan kalau ia lanjutkan untuk mengingat kenangan itu, maka air matanya akan benar-benar tumpah.

“Lihat mata pelakor itu merah. Apa sebentar lagi dia akan menangis?”

“Haha! Menangis kamu bilang? Memangnya dia punya air mata?”

“Dia punya air mata palsu. Terlihat memelas adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk menjadi istri Kalandra.”

Ketika kalimat itu terlepas, semua orang menatap ke asal suara. Mereka cukup kaget karena Nyonya Rumah ikut mengemukakan pendapat tentang Litha, menantu daripada Nyonya Rumah sendiri.

Litha yang mendengar nada ejekan ibu mertuanya, hanya dapat mengepalkan tangan kuat-kuat agar rasa sakit pada telapaknya dapat merebut fokusnya dari kecaman keluarga suaminya.

Setiap kali datang ke rumah utama ia selalu mendengar ejekan dan kecaman. Bukan hanya dari para anggota keluarga yang tinggal di rumah utama, bahkan para pelayan di kediaman itu juga ikut meremehkannya. Kalau saja hari ini bukan jamuan untuk merayakan kelulusan adik perempuan Kalandra, ia tidak akan datang.

“Aku tidak tahan melihat wajahnya. Ekspresinya memuakkan.” Lagi-lagi ibu mertuanya melontarkan kebencian.

Litha seketika menegakkan badan, membuat semua orang kaget. Bahkan, ibu mertuanya juga terlihat membola.

Surai hitam bergelombang terurai sampai pinggang, perawakan rampingnya dibalut gaun toska. Fitur wajah ovalnya yang menawan memiliki ekspresi yang dibuat setenang mungkin membuat kecantikannya terpancar. Tak heran para lelaki yang duduk di meja seberang menatap dengan mata menginginkan.

Ia berjalan dengan elegan mendekati ibu mertuanya sambil menahan diri untuk tidak memaki. Kemudian ia berhenti di sebelah wanita setengah baya yang tengah menyesap cangkir teh.

“Setiap kali melihatku, Mama selalu terang-terangan mengutarakan kebencian. Mama tidak lelah mengatakan hal kasar itu padaku?” Litha berucap pelan, meski begitu masih dapat didengar oleh anggota keluarga yang duduk di dekat Rosella.

Rosella bukannya marah, tetapi menampilkan senyum sinis. Sekilas Rosella melirik Kalandra bersama Gemini berjalan semakin mendekat, sebelum ia membalas ucapan Litha.

“Sebenarnya aku lelah melihat wajahmu. Lelah menerima kenyataan bahwa kamu adalah menantuku. Membuatku sempat marah pada putraku karena keputusannya yang tiba-tiba ingin menikahi wanita tidak jelas sepertimu.” Rosella memang tidak pernah memikirkan perasaan menantunya dan mengutarakan apa pun yang ada di benaknya saat itu juga.

“Sampai sekarang pun kamu masih tidak bisa dibandingkan dengan mantan tunangan Kalandra,” imbuh Rosella. Wanita itu menyesap cangkir sejenak sebelum memulai kembali berucap, “Kepercayaan dirimu sungguh besar sampai tidak mau berpisah dengan putraku, padahal tawaran yang aku berikan sangat menguntungkan untukmu.”

Jelas sekali semua orang dapat mendengar suara Rosella yang cukup keras. Litha tahu Rosella sengaja untuk mempermalukannya di hadapan banyak orang.

Kalandra mendadak menghentikan langkah tak jauh dari Litha. Pria itu lantas meminta Gemini untuk bermain bersama para sepupunya. Kemudian ia melangkah kembali sembari mengamati punggung istrinya.

“Tawaran Mama tidak penting. Jadi aku sudah memutuskan tidak akan pernah berpisah dengan Kalandra,” kata Litha.

Ucapannya sempat menghentikan langkah Kalandra untuk sejenak. Lelaki itu seperti terbius akan kalimat kedua Litha.

“Oh, kamu lebih memilih untuk dibenci oleh semua orang. Silakan saja bertahan sampai kamu lelah dan memohon untuk meninggalkan putraku.” Rosella tak menyangka Litha memiliki kepercayaan diri yang besar untuk mempertahankan rumah tangga dengan cinta sepihak, menurut Rosella.

Litha tidak pernah memilih untuk dibenci, karena sepantasnya Kalandra menjadi suaminya. Rosella dan anggota keluarganya lah yang memilih untuk membenci Litha.

“Apa yang dikatakan Litha persis seperti apa yang ada di pikiranku.” Kalandra menimpali ucapan Rosella.

Lelaki berwajah bersih dengan bibir penuh itu menampilkan senyum teramat tipis. Kalandra sudah berdiri di sebelah Litha, melingkarkan lengan kanan ke pinggang istrinya. Saat berdiri berdampingan mereka terlihat serasi dan memunculkan aura pasangan harmonis.

“Kalandra....” Litha mendongak untuk melihat wajah Kalandra. Ia tahu Kalandra sedang membantunya.

“Kamu yakin tidak akan menceraikan dia, Kalandra?”

“Usia pernikahan kami menginjak satu tahun, tapi Mama sudah berpikir terlalu jauh. Kami tidak akan berpisah.”

****

Begitu acara tersebut usai, Litha dan keluarga kecilnya meninggalkan kediaman utama keluarga Kalandra. Sejak menikah tahun lalu, Kalandra membeli rumah untuk mereka tinggali bertiga. Dengan begitu Litha tidak perlu mendengarkan kebencian ibu mertuanya setiap hari.

Ia sesekali mencuri pandang pada Kalandra yang tengah mengemudi. Membuka bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tak kunjung bersuara.

“Makasih karena kamu sudah membelaku tadi,” kata Litha yang akhirnya menyampaikan rasa terima kasih.

“Aku mengatakan yang sejujurnya pada Mama dan pada semua orang. Kamu pikir aku bercanda?”

“Jadi, kamu sungguh-sungguh?” tanya Litha memastikan. Ia pikir Kalandra menikahinya hanya karena rasa tanggung jawab, apakah lebih dari itu?

Namun, Litha enggan terlalu berharap.

“Selama satu tahun ini aku belum bisa meyakinkan Mama untuk menerima kamu. Tapi, aku berjanji sama kamu, aku akan bujuk Mama supaya menerima kamu.”

“Kamu tidak perlu melakukannya. Lagi pula, akan sia-sia.”

Litha menoleh ke belakang, mendapati Gemini masih tertidur pulas. Ia pikir Gemini akan terbangun karena percakapan mereka.

Kemudian pandangan Litha beralih pada suaminya yang masih menatap lurus ke depan. ‘Apa sih yang dia pikirkan. Dia ini terlalu polos. Rosella sangat kekeuh pada pendapatnya tentangku.’

Kalandra memarkirkan mobil ketika sampai kediaman. Rumah dua lantai itu sangat besar dan luas untuk ditinggali oleh keluarga tiga orang.

Pria itu mendorong pintu mobil, keluar dari mobilnya untuk membantu menggendong Gemini yang masih lelap.

“Tenang saja, aku tidak akan mengecewakanmu.”

Langkah keduanya terhenti tak jauh dari ruang tamu. Dikarenakan manik mereka menemukan sosok wanita anggun tengah menyesap cangkir kopi.

Bagi Kalandra, sosok wanita itu sudah tak asing. Namun, Litha perlu mengingat-ingat siapa kiranya wanita itu.

“Kamu sebaiknya ikut aku ke kamar Gemini,” pinta Kalandra.

“Kenapa? Di rumah ada tamu. Sebaiknya aku sapa dia.”

“Tidak perlu.” Suara Kalandra terdengar pelan dan dingin, membuat Litha mengurungkan niat untuk menyapa wanita itu.

“Kalau begitu, biar aku yang gendong Gemini ke atas.”

Kalandra menghiraukan Litha, ia berjalan beberapa langkah mendekati ruang tamu dan berkata pada tamu tersebut, “Tunggu di sini sebentar.”

Wanita itu nampak ingin berucap, tapi urung karena langkah Kalandra yang semakin cepat sudah menghilang dari pandangannya. Kemudian tatapan wanita itu jatuh pada Litha, tapi tak lama perempuan itu menoleh ke arah lain seolah mengabaikan kehadiran Litha.

Merasa dirinya diabaikan, ia pun melenggang naik mengikuti Kalandra yang mungkin sudah berada di kamar Gemini. ‘Aku tuan rumah ini, tapi diabaikan oleh tamu—yang tidak kukenal.’

Ia bersandar pada dinding di depan kamar Gemini, karena pikirannya terusik oleh kedatangan tamu tak terduga. Sesekali Litha menarik napas gusar sembari menunggu Kalandra.

Ketika mendengar suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali, ia menegakkan badan. Senyum terpukau sempat terlukis di wajahnya ketika melihat sosok Kalandra berdiri tegap di depan pintu kamar Gemini.

Sudah beberapa hari sosok tinggi mempesona Kalandra membuatnya tak tenang karena selalu hadir dalam pikirannya. Ia menekan perasaan yang mulai tumbuh lantaran takut rasa itu akan membuatnya tenggelam.

“Kamu menungguku?”

“Aku ingin tahu siapa wanita itu?”

“Dia Indira,” sahut Kalandra.

Indira?

Nama ini mengingatkan Litha pada seseorang yang menangis patah hati karena tunangannya menikah dengan wanita lain.

“Jadi, wanita itu mantan tunangan kamu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status