Indira merapikan gaun branded yang dikenakannya begitu melihat Kalandra memasuki ruang tamu.
Raut muka Kalandra nampak tenang. Pandangannya memang tertuju pada wanita di seberangnya, tapi entah kenapa pikirannya tersangkut pada Litha.“Alan, maaf aku datang ke sini tanpa mengabari,” kata Indira membuka percakapan. “Aku memaki kamu di depan banyak orang waktu itu. Aku minta maaf,” suaranya terdengar serak dan tulus.Meski hubungan mereka sudah pupus satu tahun lalu, tapi kebiasaan Indira memanggil ‘Alan’ tak dapat wanita itu ubah.“Aku paham. Kalaupun kamu tidak minta maaf, aku tidak menyalahkan kamu. Aku berada di posisi yang sulit waktu itu, dan semua itu memang salahku,” Kalandra menahan ucapannya sejenak. “Tapi kurasa keputusanku sudah benar.”Mata Indira membelalak. Keputusan yang dimaksud Kalandra adalah memilih Litha dan Gemini. Cairan hangat tumpah dari pelupuk Indira dan debar jantungnya semakin kencang karena amarah yang dia pendam mulai berkobar.“Kamu tidak menyesal menyakiti aku dan membuangku?” lirih Indira.Kalandra tengah mengolah kata yang tepat. Lama tidak berucap membuat suasana ruang tamu mewah itu menjadi hening.“Hatiku juga terluka karena menyakiti kamu. Tapi, bagaimanapun juga aku harus memilih putriku. Gemini membutuhkan figur seorang ayah dan aku juga harus bertanggungjawab pada ibu putriku.” Akhirnya Kalandra berucap.Indira mengangkat wajah sehingga Kalandra bisa melihat bola matanya yang berkaca-kaca berusaha menahan air mata agar tidak kembali tumpah. “Alan, aku bersedia menjadi ibu tiri Gemini. Tapi... tapi kamu hanya boleh memiliki aku sebagai istri.”Kalandra mengernyit dalam. “Indira, sepertinya kamu sudah salah paham—”“Aku sangat mengerti, Alan. Kamu tidak mungkin meninggalkan putrimu, tapi kamu bisa menceraikan perempuan itu dan memberikan kompensasi. Setelah itu kita bisa menikah. Iya, ‘kan?”Gagasan yang dipikirkan Indira selama beberapa waktu akhirnya dapat disampaikan pada Kalandra. Wanita itu penuh harap mendengar tanggapan positif Kalandra.Justru yang didapat wanita itu adalah sorot mata dingin Kalandra.“Aku dan Litha tidak akan berpisah dan aku tidak bisa menikahimu. Rumah tanggaku dengan Litha memang tidak sempurna, tapi kami menghargai setiap waktu bersama. Dan aku mulai terbiasa.”Kalandra mengatakan kejujuran pada Indira, tapi di telinga Indira terdengar seperti kebohongan besar. Dikarenakan Indira masih percaya akan cinta Kalandra terhadapnya.Indira menggeleng berkali-kali. Di sini dialah yang dikhianati dan merasa paling menderita. Tunangannya direbut dan harusnya Litha sebagai pelakor yang mendapatkan karma.“Kurasa lebih baik kalau kamu tetap bersikap seperti sebelumnya, mengabaikan aku atau—”“Apa yang kamu tahu?!” Indira memotong ucapan Kalandra. Suaranya cukup keras sampai para pelayan pun mendengar. Kemarahan Indira menguar dan dia berdiri seraya berkata,“Kamu bilang paham. Paham betapa sakitnya hati aku? Aku datang ke sini berniat baik memulai hubungan kita kembali. Tapi kamu malah menyuruhku untuk mengabaikan kamu.”Wajah cantik perempuan itu sudah basah oleh air mata. “Kamu sudah berubah, Alan ... tapi aku ....” Suaranya tercekat. Indira menundukkan wajah dan bahunya terlihat bergetar. Dia berharap Kalandra menariknya ke pelukan dan menghiburnya, tapi itu tidak terjadi.****Gemini terjaga beberapa saat lalu. Anak itu terbangun karena mendengar suara keras di lantai bawah. Ditatapnya Litha yang tengah tersenyum sembari mengusap rambutnya.“Mama kenapa di bawah ribut-ribut?”“Mungkin para asisten rumah sedang membahas sesuatu sampai mereka berteriak,” kata Litha terpaksa berbohong.Gemini meloloskan diri dari ranjang, kaki kecilnya dengan cepat berjalan menuju pintu. “Aku mau ke bawah.”“Sayang, kamu mau apa? Biar Mama yang ambilkan.” Wajah Litha penuh kecemasan, mencegah Gemini di balik pintu yang masih tertutup, agar Gemini tidak bertemu Indira.“Pasti Mama menyembunyikan sesuatu dari Gemini. Pokoknya aku mau ke bawah. Aku mau cari Papa.” Meski Gemini bersikeras, tetapi tangan kecilnya belum mampu meraih gagang pintu karena dihalangi oleh Litha.“Tidak ada apa pun yang Mama sembunyikan dari kamu. Kalau mau cari Papa, kamu bisa ke kamar Mama.”“Ya sudah, aku ke kamar kalian cari Papa.”Dengan terpaksa Litha membuka pintu dan tanpa peringatan, Gemini menerobos keluar berlari dengan kaki kecilnya menuju tangga. Rupanya Litha telah dibohongi oleh putri kecilnya itu.“Gemini jangan lari! Lantainya licin, Sayang.” Gegas ia pun mengejar Gemini dengan langkah lebar.Sampai di atas tangga, Gemini perlahan menuruni anak tangga. Si kecil itu hanya menampilkan senyum polos ketika Litha berhasil menyamakan langkah. Ia menarik napas dalam karena cemas.“Kamu bikin Mama jantungan tahu. Jangan lari-lari lagi, oke? Janji sama mama.”“Iya. Iya, Gemini janji.”“Katanya mau cari Papa? Kita cari ke kamar.”“Papa ada di lantai bawah. Jangan halang-halangi Gemini, Ma,” sahut Gemini sembari menarik tangan ibunya.Litha sudah berusaha menghentikan Gemini, tetapi anak itu keras kepala. Kalau dihalangi lagi, dia mungkin akan menangis keras.Keduanya tiba di lantai bawah. Manik coklat gelap Gemini mengamati ruang tamu, melihat dua orang tengah duduk berhadapan. “Itu Papa.” Ia melangkah cepat menuju ruang tamu.Kalandra terkejut oleh kedatangan bidadari kecil itu yang memanggilnya, “Papa!”“Lho, kamu sudah bangun. Kenapa tidak lanjut tidur siang?” tanya Kalandra, mengalihkan fokusnya pada Gemini.Sebelum menjawab ayahnya, Gemini memperhatikan perempuan yang menutupi wajahnya dengan telapak tangan karena sedang menangis. “Aku dengar suara keras tadi, terus aku kebangun, deh. Papa siapa perempuan yang menangis itu?”Kalandra merasa bingung bagaimana caranya memperkenalkan Indira pada Gemini. Ia membantu Gemini duduk di sebelahnya bersamaan dengan Litha yang menempatkan diri di sebelah kanan Kalandra.“Itu Tante Indira. Dia sedang ada masalah. Apa Gemini bisa balik ke kamar?”Gemini menggeleng dan semakin lengket memeluk lengan Kalandra.Tangisan Indira terhenti setelah mendengar kehangatan dalam nada Kalandra. Indira menatap sengit pada Gemini dan kemudian beralih menatap Litha.Litha hanya membalas dengan tatapan datar. ‘Rupanya dia ke sini untuk merengek minta balikan sama Kalandra,’ batin Litha menyimpulkan keadaan saat ini.“Anak sama ibu kelakuannya sama saja,” celetuk Indira yang sesudahnya menyapu air mata di wajahnya.“Apa maksud kamu?” sergah Litha.Bahkan, Kalandra pun merasa geram karena Indira berbicara kasar di depan putrinya. “Minta maaf sama Litha dan Gemini!” Itu bukan lagi permintaan, melainkan titah.Punggung Indira sempat membeku sebelum dia bangkit sambil meraih shoulder bag-nya dengan kasar. Dia menancapkan kuku indahnya pada telapak tangannya, mengabaikan ucapan Kalandra. Wanita itu kemudian melenggang pergi, tanpa kata.Litha merasa marah, mengambil langkah cepat untuk menyusul wanita itu.“Berhenti,” ujar Litha ketika mereka sudah berada di halaman depan.Indira membalik badan, langsung melontarkan kata-kata kasar, “Perempuan jalang seperti kamu tidak pantas hidup bahagia!”Litha tersenyum datar seraya mengamati baik-baik wajah perempuan di depannya itu. “Buktinya aku bahagia. Artinya aku pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Kalau kamu juga ingin bahagia, lupakan Kalandra. Kamu bisa membangun kembali bersama pria yang lebih pantas kamu dapatkan. Di kehidupan ini, Kalandra tidak bisa menjadi bagian hidupmu.” Litha benar-benar berucap seperti seorang antagonis.“Dan jangan pernah berkata seperti itu lagi di depan Gemini. Ini bukan permintaan, tapi peringatan,” tegas Litha.Bukan berarti ia jahat karena mengabaikan kepedihan Indira. Ia hanya seorang wanita egois yang memikirkan kebahagiaan putrinya.“Dasar pelakor murahan!” Indira membentak lantang di depan wajah Litha, setelahnya menggertakkan gigi.“Mengamuk saja di rumahmu. Pulang sana, calon pelakor murahan.” Litha geram karena orang-orang selalu menyebutnya sebagai pelakor. Menatap sengit pada dirinya. Melemparkan kata-kata yang menyakitkan. Litha sudah bertekad akan menjaga apa pun yang sudah dia dapatkan.“Argh! Litha Lathaya,” Indira mendesis. “Beraninya kamu ngatain aku pelakor. Dari awal kamu memang tidak punya rasa malu, ya. Aku dengar satu pun di keluarga Kalandra tidak ada yang menyukai ataupun mendukung kamu. Itu yang kamu sebut kebahagiaan?”“Benar. Mereka memang tidak menyukaiku. Tidak mengapa asalkan Kalandra berada di sisiku dan mendukung aku. Itu sudah cukup untuk membuatku merasa bahagia,” ucap Litha.Ia berucap demikian karena ingin membungkam Indira dan meruntuhkan keangkuhan perempuan itu. Benar saja satu kata pun tak mampu dilontarkan oleh Indira, yang membuat Litha puas.Namun, tak lama karena wanita itu mengeluarkan tawa mengejek.“Terus kamu pikir Kalandra akan selamanya ada di sisi kamu? Seperti dia yang pernah mengkhianati aku, dia juga bisa melakukan hal yang sama. Dia bakal mengkhianati kamu.” Kata-kata Indira seperti memberikan kutukan supaya Kalandra mengkhianati Litha.Litha menyunggingkan senyum miring. “Itu tidak akan pernah terjadi karena aku tidak akan membiarkan Kalandra berakhir di pelukan wanita lain.” Ia berbalik untuk masuk ke rumah, mengunci pintu rapat-rapat agar wanita itu tidak bisa masuk lagi.Ketenangan yang dipertahankan Litha menipis. Bahunya bergetar karena perasaan cemas mulai mengger
Litha masih tak menemukan perubahan eskpresi di wajah tampan suaminya, tetap datar dan tenang.Kalandra menjawab desakan pertanyaan Litha dengan nada tenang seperti biasa, “Aku menolaknya. Kami tidak mungkin bisa kembali seperti dulu. Tapi memang dia ingin berbaikan denganku.”Jawaban Kalandra cukup membuat Litha puas. Untuk saat ini hatinya masih bisa tenang, tapi ia tak tahu sampai kapan pria itu akan tetap pada keputusannya saat ini.“Aku harap kamu tidak salah paham,” kata Kalandra. “Tapi, aku tidak bisa memastikan kalau dia tidak akan berkunjung lagi ke rumah. Dia adalah orang yang keras kepala,” Kalandra menambahkan.Itu artinya Kalandra tidak memiliki niat untuk melarang Indira bertamu ke rumah mereka.Mendengar ucapan Kalandra membuat Litha mengerutkan kening. Ia sempat berharap pria itu berinisiatif melarang Indira datang lagi. Rupanya tidak.“Jadi kamu tidak berniat melarang dia datang ke rumah? Apa kamu bermaksud untuk memperbaiki kembali hubungan kalian?” Litha bertanya te
Pagi-pagi sekali keluarga kecil itu kedatangan seorang tamu di depan pintu mereka. Tamu yang membuat keributan kemarin dan hampir memecah ketentraman keluarga Litha.Paras wanita itu menampilkan senyum anggun seolah-olah apa yang dilakukannya kemarin bukanlah hal yang besar.Dia berdiri di depan pintu dengan melambaikan tangan kanannya. Sorot matanya bergantian memperhatikan Kalandra dan Gemini.“Buat apa kamu datang sepagi ini? Bukannya urusan kita sudah selesai kemarin?” tanya Kalandra yang bingung akan kehadiran Indira. Dia lalu menoleh pada Gemini di sebelahnya yang juga memasang raut bingung. “Sayang, kamu naik ke mobil duluan, ya.”“Oke, Papa. Karena aku sudah nurut, sebagai gantinya Papa harus traktir aku sepulang sekolah,” kata Gemini yang memiliki senyum manis. Gadis kecil itu berjalan perlahan menuju mobil setelah mendapatkan anggukan dari sang ayah.Senyum Indira perlahan memudar mendengar pertanyaan Kalandra. Apalagi melihat kedekatan ayah dan anak itu. Tentu saja dia mera
Begitu sampai di depan sekolah, Litha segera turun dari taksi. Langkahnya begitu terburu-buru lantaran anak-anak TK sudah keluar bersama orang tua mereka. Salahkan jalanan yang macet sampai membuat Litha terlambat menjemput Gemini. “Ya, ampun! Gemini pasti ngambek, deh.” Ya, biasanya anak itu akan merajuk jika Litha telat menjemputnya. Gemini tidak suka menunggu sendirian, jadi kalau Litha telat, biasanya dia akan menunggu di ruang guru. “Gemini di mana?” Litha sudah masuk ke dalam sekolah, tetapi sekolah sudah mulai sepi saat ini menyebabkan ia merasa gelisah. “Ah, iya, ruang guru!” Ia berjalan cepat ke ruang guru. Untungnya Litha mendapati wali kelas Gemini masih di dalam ruangan. Pandangannya menyapu ke dalam ruang guru, tetapi tak menemukan putrinya di sana. “Selamat siang, Bu Vita. Apa Ibu tahu di mana Gemini?” tanya Litha. “Gemini tidak ada meminta saya menemaninya, Bu Litha. Saya pikir Ibu sudah menjemputnya tadi,” balas Vita sembari menghampiri Litha. “Hari ini saya te
Mata Litha tak percaya mendapati seluruh bunga dalam greenhouse-nya mati, tenggorokannya ikut terasa kering, sehingga ia tak mampu berkata-kata. Pak Kerta segera menyodorkan sebotol air mineral pada Litha. Tangannya gemetar kala ia membawa botol tersebut ke bibirnya. Ia bahkan merasa kesulitan untuk meneguk air tersebut. Mengapa? Pertanyaan itu ada dalam benaknya. Litha menggeleng beberapa kali lantaran tak percaya bisnisnya hancur dalam sekejap. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Bunga-bunga tersebut masih terlihat segar dan siap dipanen. “Tolong jelasin sama saya, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini?” Litha melirik para karyawannya satu per satu, tetapi mereka semua menunduk cemas. Hanya Pak Kerta yang berani melihat wajah kecewa Litha. “Kami merawat tanamannya seperti biasa, Bu. Tapi, sempat mencium bau obat pembasmi rumput, Bu. Saya tanya sama semua karyawan, mereka juga bilang tidak tahu siapa pelakunya,” jelas Pak Kerta. Seketika tatapan semua orang beralih pa
“Apa bisnis Litha benar-benar hancur?” Pertanyaan itu terlepas dari mulut Rosella yang terdengar bernada datar. Dia yang tidak pernah peduli akan Litha, sekarang untuk pertama kalinya tertarik untuk membahas menantunya. Mungkin saja karena kegagalan bisnis juga akan berimbas pada Kalandra.“Bener, Ma,” sahut Kinasih terdengar antusias. Kemudian wanita berusia tiga puluh tahun itu menjelaskan dengan mata berbinar seakan-akan hancurnya bisnis Litha adalah berita baik untuk mereka. “Entah siapa orang baik yang menggunakan tangannya untuk menghancurkan Litha. Sekarang wanita itu tidak akan berani menyombong lagi.”Di meja makan itu hanya Kinasih yang terlihat bersemangat. Sedangkan suami dan adik iparnya tak berkomentar apa pun. Namun, adik iparnya memiliki ekspresi tak setuju dengan perkataan Kinasih. Seingat Devita, Litha tidak pernah menyombongkan bisnisnya selama ini. Devita memutar bola mata setiap kali mendengar ucapan Kinasih yang menjelekkan Litha.“Hati-hati dengan perkataan kamu,
“Mama. Lihat aku bawa apa,” celetuk gadis kecil berwajah bulat tersebut yang agaknya berhasil mengagetkan ibunya. Kedua tangan Gemini saat ini memegang baki yang berisi bolu gulung.Litha bergegas mengambil alih baki tersebut lantas menaruhnya di atas meja. “Kenapa kamu bawa sendiri kuenya?”“Biar spesial dong, Ma,” sahutnya terdengar menggemaskan.Sejak satu jam lalu mereka berada di ruang keluarga. Tepatnya mereka menonton sebuah film kartun. Namun, beberapa saat yang lalu, tanpa Litha ketahui, Gemini keluar untuk mengambil bolu gulung tersebut.“Tadi aku minta Bi Rina buatin bolu gulung ini pakai resep buatan Mama.” Tangan mungilnya perlahan mengambil bolu gulung dan disodorkan pada Litha. “Buat Mama,” imbuhnya dengan lengkungan senyum terpasang di wajahnya.Litha terkesima mengetahui betapa perhatian putrinya. Beberapa hari ini dia memang agak murung dan sudah membuat Gemini khawatir.Hati Litha dipenuhi kehangatan dan segera memeluk putrinya. “Makasih, Sayang. Maaf, ya, Mama kuran
Jemari ramping wanita itu sibuk memijat pelipisnya. Sesekali alis indahnya akan berkerut kala menahan rasa sakit. Seorang wanita dengan busana gaun putih polos tergesa-gesa menghampiri Indira sembari membawa sebutir obat dan segelas air putih pada kedua tangannya.“Kamu tidak mau ke rumah sakit, Sayang?” Salma menyodorkan kedua benda di tangannya pada Indira, lalu diambil satu per satu oleh wanita itu.Usai minum obat, Indira menggeleng kecil sembari masih memijat pelipisnya. “Cuma sakit kepala biasa, Ma. Ini gara-gara Kalandra dan Litha.”Setelah berdebat dengan Kalandra kemarin, dan pagi ini dia mendapat pemberitahuan bahwa dia dan timnya dikeluarkan dari proyek film. Dia langsung sakit kepala. Sekarang Indira tidak akan bisa lagi berpura-pura menjadi wanita lemah lembut—yang tersakiti—di depan Kalandra. Karena dia sudah memperlihatkan wajah aslinya. Begitu juga bagus, karena terkadang Indira merasa muak jika harus memelas di hadapan Kalandra.“Kalandra jahat banget Ma. Hanya karena