Share

3. Mantan Tunangan Bertamu

Indira merapikan gaun branded yang dikenakannya begitu melihat Kalandra memasuki ruang tamu.

Raut muka Kalandra nampak tenang. Pandangannya memang tertuju pada wanita di seberangnya, tapi entah kenapa pikirannya tersangkut pada Litha.

“Alan, maaf aku datang ke sini tanpa mengabari,” kata Indira membuka percakapan. “Aku memaki kamu di depan banyak orang waktu itu. Aku minta maaf,” suaranya terdengar serak dan tulus.

Meski hubungan mereka sudah pupus satu tahun lalu, tapi kebiasaan Indira memanggil ‘Alan’ tak dapat wanita itu ubah.

“Aku paham. Kalaupun kamu tidak minta maaf, aku tidak menyalahkan kamu. Aku berada di posisi yang sulit waktu itu, dan semua itu memang salahku,” Kalandra menahan ucapannya sejenak. “Tapi kurasa keputusanku sudah benar.”

Mata Indira membelalak. Keputusan yang dimaksud Kalandra adalah memilih Litha dan Gemini. Cairan hangat tumpah dari pelupuk Indira dan debar jantungnya semakin kencang karena amarah yang dia pendam mulai berkobar.

“Kamu tidak menyesal menyakiti aku dan membuangku?” lirih Indira.

Kalandra tengah mengolah kata yang tepat. Lama tidak berucap membuat suasana ruang tamu mewah itu menjadi hening.

“Hatiku juga terluka karena menyakiti kamu. Tapi, bagaimanapun juga aku harus memilih putriku. Gemini membutuhkan figur seorang ayah dan aku juga harus bertanggungjawab pada ibu putriku.” Akhirnya Kalandra berucap.

Indira mengangkat wajah sehingga Kalandra bisa melihat bola matanya yang berkaca-kaca berusaha menahan air mata agar tidak kembali tumpah. “Alan, aku bersedia menjadi ibu tiri Gemini. Tapi... tapi kamu hanya boleh memiliki aku sebagai istri.”

Kalandra mengernyit dalam. “Indira, sepertinya kamu sudah salah paham—”

“Aku sangat mengerti, Alan. Kamu tidak mungkin meninggalkan putrimu, tapi kamu bisa menceraikan perempuan itu dan memberikan kompensasi. Setelah itu kita bisa menikah. Iya, ‘kan?”

Gagasan yang dipikirkan Indira selama beberapa waktu akhirnya dapat disampaikan pada Kalandra. Wanita itu penuh harap mendengar tanggapan positif Kalandra.

Justru yang didapat wanita itu adalah sorot mata dingin Kalandra.

“Aku dan Litha tidak akan berpisah dan aku tidak bisa menikahimu. Rumah tanggaku dengan Litha memang tidak sempurna, tapi kami menghargai setiap waktu bersama. Dan aku mulai terbiasa.”

Kalandra mengatakan kejujuran pada Indira, tapi di telinga Indira terdengar seperti kebohongan besar. Dikarenakan Indira masih percaya akan cinta Kalandra terhadapnya.

Indira menggeleng berkali-kali. Di sini dialah yang dikhianati dan merasa paling menderita. Tunangannya direbut dan harusnya Litha sebagai pelakor yang mendapatkan karma.

“Kurasa lebih baik kalau kamu tetap bersikap seperti sebelumnya, mengabaikan aku atau—”

“Apa yang kamu tahu?!” Indira memotong ucapan Kalandra. Suaranya cukup keras sampai para pelayan pun mendengar. Kemarahan Indira menguar dan dia berdiri seraya berkata,“Kamu bilang paham. Paham betapa sakitnya hati aku? Aku datang ke sini berniat baik memulai hubungan kita kembali. Tapi kamu malah menyuruhku untuk mengabaikan kamu.”

Wajah cantik perempuan itu sudah basah oleh air mata. “Kamu sudah berubah, Alan ... tapi aku ....” Suaranya tercekat. Indira menundukkan wajah dan bahunya terlihat bergetar. Dia berharap Kalandra menariknya ke pelukan dan menghiburnya, tapi itu tidak terjadi.

****

Gemini terjaga beberapa saat lalu. Anak itu terbangun karena mendengar suara keras di lantai bawah. Ditatapnya Litha yang tengah tersenyum sembari mengusap rambutnya.

“Mama kenapa di bawah ribut-ribut?”

“Mungkin para asisten rumah sedang membahas sesuatu sampai mereka berteriak,” kata Litha terpaksa berbohong.

Gemini meloloskan diri dari ranjang, kaki kecilnya dengan cepat berjalan menuju pintu. “Aku mau ke bawah.”

“Sayang, kamu mau apa? Biar Mama yang ambilkan.” Wajah Litha penuh kecemasan, mencegah Gemini di balik pintu yang masih tertutup, agar Gemini tidak bertemu Indira.

“Pasti Mama menyembunyikan sesuatu dari Gemini. Pokoknya aku mau ke bawah. Aku mau cari Papa.” Meski Gemini bersikeras, tetapi tangan kecilnya belum mampu meraih gagang pintu karena dihalangi oleh Litha.

“Tidak ada apa pun yang Mama sembunyikan dari kamu. Kalau mau cari Papa, kamu bisa ke kamar Mama.”

“Ya sudah, aku ke kamar kalian cari Papa.”

Dengan terpaksa Litha membuka pintu dan tanpa peringatan, Gemini menerobos keluar berlari dengan kaki kecilnya menuju tangga. Rupanya Litha telah dibohongi oleh putri kecilnya itu.

“Gemini jangan lari! Lantainya licin, Sayang.” Gegas ia pun mengejar Gemini dengan langkah lebar.

Sampai di atas tangga, Gemini perlahan menuruni anak tangga. Si kecil itu hanya menampilkan senyum polos ketika Litha berhasil menyamakan langkah. Ia menarik napas dalam karena cemas.

“Kamu bikin Mama jantungan tahu. Jangan lari-lari lagi, oke? Janji sama mama.”

“Iya. Iya, Gemini janji.”

“Katanya mau cari Papa? Kita cari ke kamar.”

“Papa ada di lantai bawah. Jangan halang-halangi Gemini, Ma,” sahut Gemini sembari menarik tangan ibunya.

Litha sudah berusaha menghentikan Gemini, tetapi anak itu keras kepala. Kalau dihalangi lagi, dia mungkin akan menangis keras.

Keduanya tiba di lantai bawah. Manik coklat gelap Gemini mengamati ruang tamu, melihat dua orang tengah duduk berhadapan. “Itu Papa.” Ia melangkah cepat menuju ruang tamu.

Kalandra terkejut oleh kedatangan bidadari kecil itu yang memanggilnya, “Papa!”

“Lho, kamu sudah bangun. Kenapa tidak lanjut tidur siang?” tanya Kalandra, mengalihkan fokusnya pada Gemini.

Sebelum menjawab ayahnya, Gemini memperhatikan perempuan yang menutupi wajahnya dengan telapak tangan karena sedang menangis. “Aku dengar suara keras tadi, terus aku kebangun, deh. Papa siapa perempuan yang menangis itu?”

Kalandra merasa bingung bagaimana caranya memperkenalkan Indira pada Gemini. Ia membantu Gemini duduk di sebelahnya bersamaan dengan Litha yang menempatkan diri di sebelah kanan Kalandra.

“Itu Tante Indira. Dia sedang ada masalah. Apa Gemini bisa balik ke kamar?”

Gemini menggeleng dan semakin lengket memeluk lengan Kalandra.

Tangisan Indira terhenti setelah mendengar kehangatan dalam nada Kalandra. Indira menatap sengit pada Gemini dan kemudian beralih menatap Litha.

Litha hanya membalas dengan tatapan datar. ‘Rupanya dia ke sini untuk merengek minta balikan sama Kalandra,’ batin Litha menyimpulkan keadaan saat ini.

“Anak sama ibu kelakuannya sama saja,” celetuk Indira yang sesudahnya menyapu air mata di wajahnya.

“Apa maksud kamu?” sergah Litha.

Bahkan, Kalandra pun merasa geram karena Indira berbicara kasar di depan putrinya. “Minta maaf sama Litha dan Gemini!” Itu bukan lagi permintaan, melainkan titah.

Punggung Indira sempat membeku sebelum dia bangkit sambil meraih shoulder bag-nya dengan kasar. Dia menancapkan kuku indahnya pada telapak tangannya, mengabaikan ucapan Kalandra. Wanita itu kemudian melenggang pergi, tanpa kata.

Litha merasa marah, mengambil langkah cepat untuk menyusul wanita itu.

“Berhenti,” ujar Litha ketika mereka sudah berada di halaman depan.

Indira membalik badan, langsung melontarkan kata-kata kasar, “Perempuan jalang seperti kamu tidak pantas hidup bahagia!”

Litha tersenyum datar seraya mengamati baik-baik wajah perempuan di depannya itu. “Buktinya aku bahagia. Artinya aku pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Kalau kamu juga ingin bahagia, lupakan Kalandra. Kamu bisa membangun kembali bersama pria yang lebih pantas kamu dapatkan. Di kehidupan ini, Kalandra tidak bisa menjadi bagian hidupmu.” Litha benar-benar berucap seperti seorang antagonis.

“Dan jangan pernah berkata seperti itu lagi di depan Gemini. Ini bukan permintaan, tapi peringatan,” tegas Litha.

Bukan berarti ia jahat karena mengabaikan kepedihan Indira. Ia hanya seorang wanita egois yang memikirkan kebahagiaan putrinya.

“Dasar pelakor murahan!” Indira membentak lantang di depan wajah Litha, setelahnya menggertakkan gigi.

“Mengamuk saja di rumahmu. Pulang sana, calon pelakor murahan.” Litha geram karena orang-orang selalu menyebutnya sebagai pelakor. Menatap sengit pada dirinya. Melemparkan kata-kata yang menyakitkan. Litha sudah bertekad akan menjaga apa pun yang sudah dia dapatkan.

“Argh! Litha Lathaya,” Indira mendesis. “Beraninya kamu ngatain aku pelakor. Dari awal kamu memang tidak punya rasa malu, ya. Aku dengar satu pun di keluarga Kalandra tidak ada yang menyukai ataupun mendukung kamu. Itu yang kamu sebut kebahagiaan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status