Share

5. Dia Mencintaiku

Litha masih tak menemukan perubahan eskpresi di wajah tampan suaminya, tetap datar dan tenang.

Kalandra menjawab desakan pertanyaan Litha dengan nada tenang seperti biasa, “Aku menolaknya. Kami tidak mungkin bisa kembali seperti dulu. Tapi memang dia ingin berbaikan denganku.”

Jawaban Kalandra cukup membuat Litha puas. Untuk saat ini hatinya masih bisa tenang, tapi ia tak tahu sampai kapan pria itu akan tetap pada keputusannya saat ini.

“Aku harap kamu tidak salah paham,” kata Kalandra. “Tapi, aku tidak bisa memastikan kalau dia tidak akan berkunjung lagi ke rumah. Dia adalah orang yang keras kepala,” Kalandra menambahkan.

Itu artinya Kalandra tidak memiliki niat untuk melarang Indira bertamu ke rumah mereka.

Mendengar ucapan Kalandra membuat Litha mengerutkan kening. Ia sempat berharap pria itu berinisiatif melarang Indira datang lagi. Rupanya tidak.

“Jadi kamu tidak berniat melarang dia datang ke rumah? Apa kamu bermaksud untuk memperbaiki kembali hubungan kalian?” Litha bertanya terus terang.

Kalandra menyesap tehnya sembari melirik pada Litha. Ia beranggapan kalau Litha saat ini tengah cemburu.

“Aku bertanya begitu, bukan karena aku cemburu, oke. Lagi pula kamu tahu tidak ada perasaan romantis itu antara kita.” Litha menegaskan. “Aku ingin tahu bagaimana perasaan kamu terhadap dia sekarang. Keputusan kamu saat ini bisa saja berubah dikemudian hari dan itu bisa berpengaruh pada Gemini.”

“Itu sudah tidak penting lagi. Kurasa walau kami sudah putus, kami masih bisa menjadi teman.” Ia memberi jeda untuk menarik napas dan kembali melanjutkan, “Apa yang sudah menjadi keputusanku tidak akan berubah, Litha.”

Apa katanya, mereka bisa menjadi teman? Sungguh membuat Litha ingin tertawa.

“Kamu ini kelewat polos, ya! Kamu pikir dia mau berteman sama kamu. Kalau dia datang terus ke rumah, artinya dia mau menarik perhatian kamu. Dia mau bikin aku kesal. Atau yang paling parah, dia mungkin bakal balas dendam sama aku.”

“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Balas dendam sama kamu adalah suatu hal yang mustahil. Karena dia ... tidak pernah berniat menyakiti siapa pun.” Kalandra menatap dalam pada Litha. Ia seperti bisa merasakan kecemasan Litha saat ini, tetapi ia tidak merasa perlu untuk menghiburnya.

Jadi, menurut Kalandra, Indira adalah orang dengan hati yang baik?

Namun, mengapa wanita itu mengejek, berteriak di depan wajah Litha, bahkan mengutuk agar Kalandra mengkhianati Litha. Litha tidak mau membahas hal ini karena Kalandra pasti akan memuji habis-habisan mantan tunangannya. Tidak heran sih, karena Indira adalah wanita yang paling lama berada di sisi Kalandra. Jelas pria itu merasa sangat mengenalnya.

“Aku cuma menebak saja. Sebelumnya, makasih karena kamu sudah memberikan aku penjelasan.” Litha memaksa dirinya agar menyunggingkan senyum.

Kalandra mengangguk sebagai balasan. Ia melirik pada arloji yang masih melekat di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul sebelas malam. “Mengenai ucapan kamu yang tadi itu... sangat menggangguku,” Kalandra memotong ucapannya sendiri sembari menoleh pada Litha yang menaikkan sebelah alis. Pria itu kemudian melanjutkan, “Tidak ada perasaan romantis di antara kita? Kalimat itu sungguh mengganggu.”

“Ya, ‘kan, memang tidak ada,” timpal Litha.

“Kamu yakin tidak memiliki perasaan apa pun padaku? Kita sudah tinggal serumah selama satu tahun, apa aku belum bisa mengisi hati kamu?”

Mulut Litha ternganga. Apa sekarang Kalandra ingin membalas pertanyaannya tadi dengan bertanya balik.

Litha merasa canggung dan dengan terbata-bata ia menjawab, “Ti-tidak.” Ia mengibaskan tangan kirinya lantaran merasa suhu ruangan menjadi pengap. “Ka-kamu belum bisa menyentuh hatiku,” imbuhnya.

Kalandra mengangguk pelan sembari bangkit dari sofa. Pria itu beralih duduk di sebelah Litha, memiringkan kepalanya lebih dekat pada telinga Litha. Kemudian dia berbisik, “Lalu bagaimana caranya membuatmu jatuh hati padaku?”

Ia menjerit dalam hatinya yang tak bisa didengar siapa pun. Pertanyaan tiba-tiba itu membuatnya panik sampai salah tingkah.

“Kamu kenapa, sih? Bikin kesal saja! Aku tidak mengerti kenapa kamu bertanya begitu,” kata Litha dengan suara yang hampir seperti berteriak.

Litha bisa mendengar suara tarikan napas kasar dari pria di sebelahnya yang saat ini menyandarkan punggung ke belakang. Pria itu hanya melirik sekilas, tanpa ada keinginan menjelaskan lebih jauh.

“Sudahlah. Lupakan saja,” ujar Kalandra.

“Hei,” Jemari Litha mengetuk lengan Kalandra beberapa kali. “Ini cuma tebakanku saja, kamu tidak jatuh cinta padaku, ‘kan? Heh, yang benar saja.” Ia terpingkal canggung sembari memindai wajah tampan Kalandra yang nampak agak merona seperti warna bunga sakura.

“Tidak salah, ‘kan? Itu hal yang benar dan wajar,” sahut Kalandra.

Degup jantungnya berdebar kencang dan tawa canggung perlahan memudar. Sedari awal Litha tak pernah berharap Kalandra akan jatuh cinta padanya, mengingat ia memisahkan pria itu dengan kekasihnya.

“Bagaimana mungkin...,” gumamnya yang masih tak percaya. Mungkinkah Kalandra tengah mempermainkannya?

“Aku pun tidak tahu sejak kapan. Melihatmu yang habis menangis tadi membuat perasaanku bercampur aduk,” tutur Kalandra dengan suara pelan. Pria itu menertawakan diri sendiri karena mengungkapkan perasaannya tanpa persiapan.

Malam ini ia melihat sisi lain Kalandra yang mengekspresikan isi hatinya. Raut Kalandra yang biasanya tenang tak tergoyahkan kini digantikan oleh kekhawatiran. Mungkin Kalandra khawatir Litha akan mengejeknya dan tertawa seperti sebelumnya. Atau mungkin dia khawatir kalau sebenarnya Litha membencinya. Kalandra tak pernah benar-benar tahu akan perasaan Litha padanya.

Setelah menikah jarang-jarang mereka bisa mengobrol seperti ini. Salah Kalandra sendiri karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.

“Sungguh ... aku tidak mengharapkan ini darimu,” ucapnya. Ia membuka mulutnya lagi untuk menambahkan, “mereka bilang aku adalah wanita jahat yang merebut kekasih orang lain. Apa kamu sedang mengerjaiku sekarang?”

“Kamu tidak mempercayaiku?”

“Aku ingin percaya. Tapi, saat aku ingin percaya ... selalu dipatahkan oleh ucapanmu dulu. Aku hampir membencimu.”

Kalandra tertawa kecil mendengar ucapan Litha. “Kalau kamu membenciku, mana mungkin kamu menerimaku sebagai suamimu.”

Seketika wajah Litha memerah. Ia sembunyikan dengan memalingkan wajah. Dasar pria ini! Dia sudah mulai menggoda Litha.

“Karena aku tidak mau kamu merebut Gemini dariku. Aku tahu pria licik sepertimu akan melakukan banyak cara untuk memikat Gemini.”

“Bilang saja karena kamu menyukaiku,” goda Kalandra.

“Tidak,” jawabnya tanpa ragu.

“Maaf, kamu pasti terluka karena sikapku dulu,” ujar Kalandra seperti bergumam.

“Kamu memang keterlaluan,” kata Litha setelah mengingat kenangan itu kembali. Tentu saja ia merasa marah pada Kalandra saat itu. Tapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga satu tahun ini, perasaan yang ia tekan semakin besar. Mungkin inilah waktunya ia berdamai dengan masa lalu dan menyempurnakan rumah tangga mereka dengan cinta.

Litha kembali menambahkan ucapannya, “Tapi selama satu tahun ini, kamu bersikap baik sama aku dan Gemini. Jadi, kamu bisa dimaafkan. Kamu juga membelaku dari keluarga kamu yang tidak menyukaiku. Itu sangat berarti dan menyentuh.”

Kalandra sudah bisa tersenyum. Ia menggenggam kedua tangan Litha sembari menatap lembut wajahnya. “Kamu dan Gemini adalah segalanya buat aku. Makasih, Litha.”

Tanpa aba-aba Kalandra mendekatkan wajah, mendaratkan bibirnya ke bibir penuh Litha. Perasaan mereka sudah jelas sekarang dan tidak ada lagi yang mengganjal dalam hati.

Jadi ini rasanya ketika cinta dibalas, Litha merasakan seperti bunga-bunga bermekaran di dadanya dan setiap kelopak bunga yang bermekaran menggelitiknya untuk senantiasa merindukan Kalandra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status