Litha masih tak menemukan perubahan eskpresi di wajah tampan suaminya, tetap datar dan tenang.
Kalandra menjawab desakan pertanyaan Litha dengan nada tenang seperti biasa, “Aku menolaknya. Kami tidak mungkin bisa kembali seperti dulu. Tapi memang dia ingin berbaikan denganku.”Jawaban Kalandra cukup membuat Litha puas. Untuk saat ini hatinya masih bisa tenang, tapi ia tak tahu sampai kapan pria itu akan tetap pada keputusannya saat ini.“Aku harap kamu tidak salah paham,” kata Kalandra. “Tapi, aku tidak bisa memastikan kalau dia tidak akan berkunjung lagi ke rumah. Dia adalah orang yang keras kepala,” Kalandra menambahkan.Itu artinya Kalandra tidak memiliki niat untuk melarang Indira bertamu ke rumah mereka.Mendengar ucapan Kalandra membuat Litha mengerutkan kening. Ia sempat berharap pria itu berinisiatif melarang Indira datang lagi. Rupanya tidak.“Jadi kamu tidak berniat melarang dia datang ke rumah? Apa kamu bermaksud untuk memperbaiki kembali hubungan kalian?” Litha bertanya terus terang.Kalandra menyesap tehnya sembari melirik pada Litha. Ia beranggapan kalau Litha saat ini tengah cemburu.“Aku bertanya begitu, bukan karena aku cemburu, oke. Lagi pula kamu tahu tidak ada perasaan romantis itu antara kita.” Litha menegaskan. “Aku ingin tahu bagaimana perasaan kamu terhadap dia sekarang. Keputusan kamu saat ini bisa saja berubah dikemudian hari dan itu bisa berpengaruh pada Gemini.”“Itu sudah tidak penting lagi. Kurasa walau kami sudah putus, kami masih bisa menjadi teman.” Ia memberi jeda untuk menarik napas dan kembali melanjutkan, “Apa yang sudah menjadi keputusanku tidak akan berubah, Litha.”Apa katanya, mereka bisa menjadi teman? Sungguh membuat Litha ingin tertawa.“Kamu ini kelewat polos, ya! Kamu pikir dia mau berteman sama kamu. Kalau dia datang terus ke rumah, artinya dia mau menarik perhatian kamu. Dia mau bikin aku kesal. Atau yang paling parah, dia mungkin bakal balas dendam sama aku.”“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Balas dendam sama kamu adalah suatu hal yang mustahil. Karena dia ... tidak pernah berniat menyakiti siapa pun.” Kalandra menatap dalam pada Litha. Ia seperti bisa merasakan kecemasan Litha saat ini, tetapi ia tidak merasa perlu untuk menghiburnya.Jadi, menurut Kalandra, Indira adalah orang dengan hati yang baik?Namun, mengapa wanita itu mengejek, berteriak di depan wajah Litha, bahkan mengutuk agar Kalandra mengkhianati Litha. Litha tidak mau membahas hal ini karena Kalandra pasti akan memuji habis-habisan mantan tunangannya. Tidak heran sih, karena Indira adalah wanita yang paling lama berada di sisi Kalandra. Jelas pria itu merasa sangat mengenalnya.“Aku cuma menebak saja. Sebelumnya, makasih karena kamu sudah memberikan aku penjelasan.” Litha memaksa dirinya agar menyunggingkan senyum.Kalandra mengangguk sebagai balasan. Ia melirik pada arloji yang masih melekat di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul sebelas malam. “Mengenai ucapan kamu yang tadi itu... sangat menggangguku,” Kalandra memotong ucapannya sendiri sembari menoleh pada Litha yang menaikkan sebelah alis. Pria itu kemudian melanjutkan, “Tidak ada perasaan romantis di antara kita? Kalimat itu sungguh mengganggu.”“Ya, ‘kan, memang tidak ada,” timpal Litha.“Kamu yakin tidak memiliki perasaan apa pun padaku? Kita sudah tinggal serumah selama satu tahun, apa aku belum bisa mengisi hati kamu?”Mulut Litha ternganga. Apa sekarang Kalandra ingin membalas pertanyaannya tadi dengan bertanya balik.Litha merasa canggung dan dengan terbata-bata ia menjawab, “Ti-tidak.” Ia mengibaskan tangan kirinya lantaran merasa suhu ruangan menjadi pengap. “Ka-kamu belum bisa menyentuh hatiku,” imbuhnya.Kalandra mengangguk pelan sembari bangkit dari sofa. Pria itu beralih duduk di sebelah Litha, memiringkan kepalanya lebih dekat pada telinga Litha. Kemudian dia berbisik, “Lalu bagaimana caranya membuatmu jatuh hati padaku?”Ia menjerit dalam hatinya yang tak bisa didengar siapa pun. Pertanyaan tiba-tiba itu membuatnya panik sampai salah tingkah.“Kamu kenapa, sih? Bikin kesal saja! Aku tidak mengerti kenapa kamu bertanya begitu,” kata Litha dengan suara yang hampir seperti berteriak.Litha bisa mendengar suara tarikan napas kasar dari pria di sebelahnya yang saat ini menyandarkan punggung ke belakang. Pria itu hanya melirik sekilas, tanpa ada keinginan menjelaskan lebih jauh.“Sudahlah. Lupakan saja,” ujar Kalandra.“Hei,” Jemari Litha mengetuk lengan Kalandra beberapa kali. “Ini cuma tebakanku saja, kamu tidak jatuh cinta padaku, ‘kan? Heh, yang benar saja.” Ia terpingkal canggung sembari memindai wajah tampan Kalandra yang nampak agak merona seperti warna bunga sakura.“Tidak salah, ‘kan? Itu hal yang benar dan wajar,” sahut Kalandra.Degup jantungnya berdebar kencang dan tawa canggung perlahan memudar. Sedari awal Litha tak pernah berharap Kalandra akan jatuh cinta padanya, mengingat ia memisahkan pria itu dengan kekasihnya.“Bagaimana mungkin...,” gumamnya yang masih tak percaya. Mungkinkah Kalandra tengah mempermainkannya?“Aku pun tidak tahu sejak kapan. Melihatmu yang habis menangis tadi membuat perasaanku bercampur aduk,” tutur Kalandra dengan suara pelan. Pria itu menertawakan diri sendiri karena mengungkapkan perasaannya tanpa persiapan.Malam ini ia melihat sisi lain Kalandra yang mengekspresikan isi hatinya. Raut Kalandra yang biasanya tenang tak tergoyahkan kini digantikan oleh kekhawatiran. Mungkin Kalandra khawatir Litha akan mengejeknya dan tertawa seperti sebelumnya. Atau mungkin dia khawatir kalau sebenarnya Litha membencinya. Kalandra tak pernah benar-benar tahu akan perasaan Litha padanya.Setelah menikah jarang-jarang mereka bisa mengobrol seperti ini. Salah Kalandra sendiri karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.“Sungguh ... aku tidak mengharapkan ini darimu,” ucapnya. Ia membuka mulutnya lagi untuk menambahkan, “mereka bilang aku adalah wanita jahat yang merebut kekasih orang lain. Apa kamu sedang mengerjaiku sekarang?”“Kamu tidak mempercayaiku?”“Aku ingin percaya. Tapi, saat aku ingin percaya ... selalu dipatahkan oleh ucapanmu dulu. Aku hampir membencimu.”Kalandra tertawa kecil mendengar ucapan Litha. “Kalau kamu membenciku, mana mungkin kamu menerimaku sebagai suamimu.”Seketika wajah Litha memerah. Ia sembunyikan dengan memalingkan wajah. Dasar pria ini! Dia sudah mulai menggoda Litha.“Karena aku tidak mau kamu merebut Gemini dariku. Aku tahu pria licik sepertimu akan melakukan banyak cara untuk memikat Gemini.”“Bilang saja karena kamu menyukaiku,” goda Kalandra.“Tidak,” jawabnya tanpa ragu.“Maaf, kamu pasti terluka karena sikapku dulu,” ujar Kalandra seperti bergumam.“Kamu memang keterlaluan,” kata Litha setelah mengingat kenangan itu kembali. Tentu saja ia merasa marah pada Kalandra saat itu. Tapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga satu tahun ini, perasaan yang ia tekan semakin besar. Mungkin inilah waktunya ia berdamai dengan masa lalu dan menyempurnakan rumah tangga mereka dengan cinta.Litha kembali menambahkan ucapannya, “Tapi selama satu tahun ini, kamu bersikap baik sama aku dan Gemini. Jadi, kamu bisa dimaafkan. Kamu juga membelaku dari keluarga kamu yang tidak menyukaiku. Itu sangat berarti dan menyentuh.”Kalandra sudah bisa tersenyum. Ia menggenggam kedua tangan Litha sembari menatap lembut wajahnya. “Kamu dan Gemini adalah segalanya buat aku. Makasih, Litha.”Tanpa aba-aba Kalandra mendekatkan wajah, mendaratkan bibirnya ke bibir penuh Litha. Perasaan mereka sudah jelas sekarang dan tidak ada lagi yang mengganjal dalam hati.Jadi ini rasanya ketika cinta dibalas, Litha merasakan seperti bunga-bunga bermekaran di dadanya dan setiap kelopak bunga yang bermekaran menggelitiknya untuk senantiasa merindukan Kalandra.Seusai makan siang, Arvin dan Devita memilih pergi ke aquarium sebagai destinasi libur akhir pekan. Tak terasa sudah beberapa bulan ini mereka berkirim pesan singkat, dan kadang-kadang makan malam dan pergi ke tempat-tempat romantis. Layaknya pasangan kekasih pada umumnya.Namun, yang berbeda adalah status mereka masih tetap teman. Devita selalu menganggap jalan-jalan bersama Arvin adalah hal yang istimewa. Hal tersebut mengusik pikiran Devita sepanjang waktu.Apa yang telah dia lakukan selama beberapa bulan ini?Apakah Arvin memang hanya menganggapnya sebagai teman?Pria itu tak pernah mengutarakan perasaannya.“Pak Arvin, aku agak lelah. Aku mau pulang duluan.” Devita menarik langkah meninggalkan Arvin, yang saat itu sedang mengambil foto sebuah karang.Arvin segera menyusul dan mengikuti Devita. Perempuan itu berkata sedang lelah, tetapi masih kuat jalan kaki. Arvin pun mengira bahwa ia mungkin melakukan sesuatu yang tak disukai Devita.“Dev, mau saya pesankan taksi?”Sejak tadi Dev
Seharian penuh Rosella tinggal di rumah Kalandra. Dan sekarang dia ditemani oleh Kinasih. Sementara Gemini dan Kirana dijaga oleh Mbak Tina di kediaman utama. Sepulang kerja, Genta yang akan mengantar Gemini pulang nanti.Sebenarnya Kinasih agak enggan menemani Rosella, mengingat dia melontarkan kekesalan pada ibu mertuanya itu.“Semalam aku sangat emosional, Ma. Jangan menaruh kebencian Mama sama aku, ya?” Kinasih menggigit bibirnya ke dalam seraya memindai raut muka Rosella. Meskipun Kinasih kerap mencebik Litha, sebetulnya hati Kinasih cukup rapuh bila ditekan amarah Rosella.“Hm, jangan ulangi lagi.” Rosella seperti tak mempermasalahkan karena sebetulnya, dia belum ada tenaga berurusan dengan Kinasih.Kinasih mengembuskan napas lega. “Apa Litha beneran bakal pulang, Ma? Kenapa sampai sekarang dia belum pulang juga?”“Jangan cerewet. Mending kamu pijat kepala Mama.”“Oke, Ma.” Kinasih dengan segera mengambil posisi berdiri di belakang Rosella. Jari-jarinya menari di pelipis Rosella
Pagi-pagi sekali Kalandra bersiap berangkat ke rumah orang tua Litha. Dia bahkan melewatkan sarapan agar segera bisa bertemu istri dan anaknya. Padahal mereka hanya berpisah satu malam.“Aku berangkat, Ma.”“Mama tunggu kalian pulang.”Kalandra tiba-tiba saja menghentikan langkah karena menebak isi pikiran sang ibu. “Ma, aku sarankan Mama pulang saja kalau Mama menunggu Litha hanya untuk memarahi dia. Aku tak akan membiarkan Mama berkata kasar lagi di depan Litha.”Rosella berdecak serta mendelik tajam. Apa hanya itu yang mampu Kalandra pikirkan tentang dirinya. “Pokoknya kamu bawa saja dia pulang.”Kalandra tak berucap lagi dan segera melangkah menuju mobil. Dewa menunggu dengan mobil yang sudah siap berangkat.“Tunggu aku. Aku dalam perjalanan.” Begitulah isi pesan obrolan yang dikirim Kalandra pada Litha. Lelaki itu berlama-lama menatap layar ponsel—menunggu balasan dari Litha—yang tak kunjung muncul di layarnya.“Berapa menit lagi kita sampai?”“Sekitar 50 menit lagi, Pak.”“Lama
“Jer, tolong temani Gemini sebentar. Aku mau bicara sama Papa,” ucap Litha pada Jeremy. Mata dalam Litha menunjukkan kilatan keseriusan.Wajah Jeremy biasanya dihiasi keceriaan melihat sang kakak dan keponakan kecil yang lucu. Namun, melihat wajah serius dan guratan kegelisahan di wajah Litha, Hati Jeremy merasa ditusuk. Pria itu tahu kedatangan Litha pasti karena perusahaan Kalandra yang sedang dalam masalah.“Kakak ke atas aja. Gemini aman sama aku.” Jeremy dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya kala menoleh pada Gemini. “Gemini suka main apa? Kasih tahu Om, dong.”“Gemini suka main puzzle sama bersepeda.”“Kebetulan Om punya puzzle.”“Oh ya? Gemini mau main puzzle, Om.”“Om suruh Bibi bawain ke ruang keluarga.”Sementara itu, Litha membawa langkahnya menapaki anak tangga ke lantai dua. Ia sudah menyangka kalau sang ibu pasti sudah menunggu dan ingin mendahului berbicara dengannya.Elvira menarik Litha ke suatu sudut. “Apa yang ingin kamu katakan pada Papamu? Kamu bisa bicarakan du
“Bukannya Pak Kalandra adalah menantu beliau?”“Iya, itu memang benar.”“Tapi, kenapa mereka bertindak begini?”“Belum ada kepastian apakah Mahardhika Cita Multiusaha Group yang ada di belakang semua ini.”“Pagi ini mereka datang mengusulkan akusisi. Masih bilang tidak ada hubungannya dengan mereka? Hmph!”Setelah berdebat sejak siang hari, mereka menunggu Kalandra membuat keputusan. Setelah berdiskusi dan berpikir matang-matang Kalandra berkata, “Perusahaan ini akan berjalan dengan semestinya. Kita akan mendapatkan investor baru. Dan saya menyerahkan tugas ini pada Arvin.”“Saya tidak akan mengecewakan Bapak.”“Kita harus secepatnya mendapatkan investor Pak. Kalau tidak, produksi film kita akan terhenti.”Semua orang di ruang rapat tampak cemas memikirkan nasib perusahaan. Diskusi kembali berlanjut soal bagaimana mereka akan mendapatkan calon investor bagi perusahaan.Rapat itu usai mendekati waktu makan malam. Kalandra langsung pergi ke ruangannya, bahkan melewatkan makan malam. Ia
“Kamu sudah selesai bekerja? Aku sengaja ingin mengantarmu pulang.”Wanita itu seolah merasakan getaran yang membuat tubuhnya terpaku. Namun, perlahan dia memutar wajahnya untuk melihat pria tak asing itu begitu dekat. Dia bahkan bisa merasakan embusan napas pria itu seakan meraba wajahnya.“Kamu demam? Wajahmu kelihatan agak merah.” Tanpa diduga Hedy menggenggam wajah Indira dengan kedua telapak tangan besarnya. “Sedikit hangat.”“Lepaskan,” perintah Indira lalu buru-buru menjauhkan diri. Hati Indira belum siap untuk menerima seseorang. Dia takut akan dikecewakan lagi. Dan lagi pula, Hedy memiliki penggemar wanita yang lebih banyak dari Kalandra. Ada berapa banyak perempuan yang ingin menjadi kekasih Hedy?Indira tak mau berharap meski untuk sedetik saja. Meski begitu Indira tak bisa menghindari pria itu karena Hedy akan selalu datang ke lokasi syuting atau menyuruh Indira datang ke apartemen—mencicipi masakan Hedy.Ini membuatnya seakan bisa gila.“Bereskan barangmu. Aku antar pulang