“Benar. Mereka memang tidak menyukaiku. Tidak mengapa asalkan Kalandra berada di sisiku dan mendukung aku. Itu sudah cukup untuk membuatku merasa bahagia,” ucap Litha.
Ia berucap demikian karena ingin membungkam Indira dan meruntuhkan keangkuhan perempuan itu. Benar saja satu kata pun tak mampu dilontarkan oleh Indira, yang membuat Litha puas.Namun, tak lama karena wanita itu mengeluarkan tawa mengejek.“Terus kamu pikir Kalandra akan selamanya ada di sisi kamu? Seperti dia yang pernah mengkhianati aku, dia juga bisa melakukan hal yang sama. Dia bakal mengkhianati kamu.” Kata-kata Indira seperti memberikan kutukan supaya Kalandra mengkhianati Litha.Litha menyunggingkan senyum miring. “Itu tidak akan pernah terjadi karena aku tidak akan membiarkan Kalandra berakhir di pelukan wanita lain.” Ia berbalik untuk masuk ke rumah, mengunci pintu rapat-rapat agar wanita itu tidak bisa masuk lagi.Ketenangan yang dipertahankan Litha menipis. Bahunya bergetar karena perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia bersecepat melangkah untuk mencapai kamar utama. Setelah sampai ia pergi ke kamar mandi untuk mengisi bak mandi dengan air dingin.Diawali dari kaki kanannya menyentuh air dingin dalam bak mandi diikuti oleh kaki kirinya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya, merasakan air dingin tersebut memadamkan kecemasannya secara perlahan.Sembari memejam ia mengutuk Kalandra berulang kali dalam hatinya. Bersumpah tidak akan membiarkan pria itu memiliki wanita lain lagi, sebagai pembalasan atas tindakannya di masa lalu.“Dia tidak akan melakukan itu. Memang apa salahku? Sudah sepantasnya pria itu menikah denganku.”“Kamu belum selesai mandi? Kamu berada di dalam selama dua jam. Aku juga mau mandi.”Suara Kalandra terdengar di balik pintu kamar mandi. Pria itu juga mengetuk pintu beberapa kali lantaran tidak sabar. Litha menghela napas sesekali sebelum membuka mulutnya.“Pakai kamar mandi di ruang tamu dulu.”“Tidak mau. Buka pintunya, kita mandi bersama saja. Kita bisa mengobrol karena kebetulan ada yang ingin aku diskusikan.”Litha menyapu air mata yang sempat jatuh ketika ia membuka kedua kelopak matanya. Ia tidak mungkin membiarkan Kalandra masuk ke kamar mandi dan melihat dirinya habis menangis.“Biarin aku sendirian. Aku ingin berendam sebentar.”“Sebentar? Dua jam kamu bilang sebentar....” Perasaan cemas menghampiri Kalandra. Ia menjauh dari kamar mandi, berniat mencari kunci cadangan.Ketika menemukan kunci cadangan dalam laci almari. Ia lantas membuka pintu kamar mandi membuat maniknya terbelalak mendapati Litha berendam di bak mandi—masih mengenakan busana.“Sejak kapan orang berendam mengenakan pakaian? Kamu lupa menanggalkan pakaian.” Sudut mulut Kalandra melengkung kecil, tapi menghilang begitu pandangannya terfokus pada kedua sudut mata Litha yang nampak basah. “Kamu ... habis menangis.”Litha tiba-tiba bangkit menyebabkan Kalandra terkesiap. Gaun yang ia kenakan sepenuhnya basah, membuat lantai kamar mandi dipenuhi oleh air yang menetes dari gaunnya.“Ya! Aku barusan menangis. Kamu mau mengejek aku? Kalau bukan karena kesalahan kamu di masa lalu, aku tidak akan dirundung penghinaan dan makian semua orang.”“Kamu tidak bisa menyalahkan aku sepenuhnya. Malam itu kita sama-sama—”Litha mendorong dada bidang Kalandra membuat pria itu tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Lantas mencabut kunci cadangan dan ia kembali menutup kamar mandi. Kali ini ia harus benar-benar mandi karena tubuhnya sudah menggigil kedinginan.“Aku menyesal bilang dia polos. Dia itu bajingan kecil.”“Nanti aku ingin bicara sama kamu,” kata Kalandra di balik pintu yang tertutup, tapi masih bisa didengar oleh Litha.“Sehabis makan malam saja,” teriaknya. Ia kesal sekali karena kamar mandi itu belum ada sound proof.“Hm, kamu bisa mencariku di ruang belajar.”Pria itu kemudian mengalah, membawa handuk dan mantel mandi miliknya ke luar dari kamar. Mau tidak mau ia memakai kamar mandi ruang tamu daripada harus menunggu.Kalandra berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak menangis karena cemburu, ‘kan?”****“Sayang mau tambah dessert-nya?” Litha bertanya seraya menatap lembut pada Gemini yang sudah menghabiskan makan malam dan sepotong kue blueberry kesukaannya.“Aku udah kenyang, Ma,” sahut Gemini. Tatapannya beralih pada ayahnya. “Papa jujur, deh, kenapa Tante Indira nangis. Dan kenapa Tante itu marah sama aku? Padahal aku tidak kenal sama Tante itu.”Kalandra dan Litha bersitatap seolah tengah berkomunikasi melalui tatapan. Mereka Seharusnya tidak lupa dan membicarakan hal ini terlebih dahulu mengingat Gemini akan terus bertanya kalau jawaban yang mereka berikan tidak memuaskan.“Sayang, bukannya Papa kamu sudah jelaskan tadi,” kata Litha membantu Kalandra.“Aku masih belum percaya. Penjelasan Papa sore tadi kedengaran canggung,” timpal Gemini.Nah, kalau sudah begini Litha tak bisa membantu. Ia membiarkan Kalandra menjelaskan pada Gemini dan berharap laki-laki itu tidak memberikan penjelasan canggung lainnya.“Tante Indira sedang sedih, makanya dia menangis. Papa jelaskan pun penyebabnya kamu tidak akan mengerti, karena itu urusan orang dewasa. Tapi, yang jelas Tante Indira tidak marah sama kamu,” tutur Kalandra setenang mungkin, padahal punggungnya terasa tegang saat ini.“Iya, deh, iya urusan orang dewasa terus,” oceh Gemini yang berhenti menanyakan tentang Indira. Kemudian gadis kecil itu turun dari kursinya. “Gemini mau ke kamar bikin tugas mewarnai.”“Mama temenin bikin tugas.”“Makasih, Mama. Papa temenin Gemini, yuk!”“Maaf, Gem, Papa harus periksa beberapa berkas nanti,” jawab Kalandra.Gemini mengerucutkan mulut dan wajahnya memperlihatkan kekesalan. Namun, Gemini tidak memaksa ayahnya. Ia segera berbalik sambil menarik jemari Litha. “Ayo, Ma. Seperti biasa cuma Mama yang menemani aku bikin PR.”Sekilas Litha melirik suaminya sambil melangkah. Pria itu memiliki tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Litha. Entah pria itu menyesal sudah membuat Gemini kecewa atau mungkin tidak menyesal sama sekali.“Kamu marah sama Papa?” Litha bertanya ketika sampai di lantai atas.Gemini menggeleng kecil, tapi raut wajahnya mengatakan ia kecewa. “Aku tahu Papa selalu sibuk.”Litha berjongkok di depan Gemini, menyamakan tinggi mereka. Ia menampilkan senyum hangat yang hanya dapat dilihat oleh Gemini seorang. “Gemini makin pengertian, ya. Padahal usia kamu baru lima tahun.”“Gemini tidak mau Papa pergi lagi. Aku mau kita tinggal sama Papa selamanya, Ma,” katanya yang membuat pelupuk Litha menjadi hangat.“Kalau itu keinginan Gemini, pasti terwujud.” Karena ia akan memastikan harapan Gemini terwujud.****Kalandra beberapa kali menoleh ke arah pintu di ruang belajarnya. Sambil membaca berkas di mejanya, ia mengharapkan kedatangan Litha.Tepat pukul setengah sepuluh malam, terdengar ketukan di pintu. Kalandra menoleh ketika Litha membuka pintu ruang belajar memperlihatkan dirinya yang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan satu piring kecil camilan.Litha meletakkan nampan itu di meja sofa beberapa langkah dari meja belajar Kalandra. Ia meletakkan satu cangkir teh di seberang cangkir teh miliknya.“Gemini sudah tidur?” Kalandra bertanya ketika bangkit dari kursinya untuk melangkah ke sofa. Ia duduk di sofa seberang Litha.“Sudah,” jawabnya. “Kalau aku ... minta kamu untuk lebih sering menemani Gemini, apa itu berlebihan?” tanyanya sembari mengamati air muka Kalandra.“Kalau ada waktu senggang pasti aku temani. Sudah seharian ini, ‘kan, aku temani dia di rumah Mama,” sahut Kalandra.“Hm. Dia cuma pengen menghabiskan waktu lebih banyak sama kamu.” Nada bicara Litha terdengar lembut dan tenang ketika membicarakan Gemini. “Apa yang mau kamu bicarakan sama aku?”Litha mengangkat cangkir teh, menyeruputnya dengan hati-hati karena masih panas. Kalandra pun ikut menyesap tehnya untuk membasahi tenggorokan.“Kedatangan Indira tadi pasti bikin kamu terkejut. Aku mau menjelaskan hal ini sama kamu,” Kalandra memulai.“Dia minta balikan sama kamu, ‘kan. Apa jawaban kamu?” Litha menyela kala Kalandra ingin melanjutkan ucapannya.Litha masih tak menemukan perubahan eskpresi di wajah tampan suaminya, tetap datar dan tenang.Kalandra menjawab desakan pertanyaan Litha dengan nada tenang seperti biasa, “Aku menolaknya. Kami tidak mungkin bisa kembali seperti dulu. Tapi memang dia ingin berbaikan denganku.”Jawaban Kalandra cukup membuat Litha puas. Untuk saat ini hatinya masih bisa tenang, tapi ia tak tahu sampai kapan pria itu akan tetap pada keputusannya saat ini.“Aku harap kamu tidak salah paham,” kata Kalandra. “Tapi, aku tidak bisa memastikan kalau dia tidak akan berkunjung lagi ke rumah. Dia adalah orang yang keras kepala,” Kalandra menambahkan.Itu artinya Kalandra tidak memiliki niat untuk melarang Indira bertamu ke rumah mereka.Mendengar ucapan Kalandra membuat Litha mengerutkan kening. Ia sempat berharap pria itu berinisiatif melarang Indira datang lagi. Rupanya tidak.“Jadi kamu tidak berniat melarang dia datang ke rumah? Apa kamu bermaksud untuk memperbaiki kembali hubungan kalian?” Litha bertanya te
Pagi-pagi sekali keluarga kecil itu kedatangan seorang tamu di depan pintu mereka. Tamu yang membuat keributan kemarin dan hampir memecah ketentraman keluarga Litha.Paras wanita itu menampilkan senyum anggun seolah-olah apa yang dilakukannya kemarin bukanlah hal yang besar.Dia berdiri di depan pintu dengan melambaikan tangan kanannya. Sorot matanya bergantian memperhatikan Kalandra dan Gemini.“Buat apa kamu datang sepagi ini? Bukannya urusan kita sudah selesai kemarin?” tanya Kalandra yang bingung akan kehadiran Indira. Dia lalu menoleh pada Gemini di sebelahnya yang juga memasang raut bingung. “Sayang, kamu naik ke mobil duluan, ya.”“Oke, Papa. Karena aku sudah nurut, sebagai gantinya Papa harus traktir aku sepulang sekolah,” kata Gemini yang memiliki senyum manis. Gadis kecil itu berjalan perlahan menuju mobil setelah mendapatkan anggukan dari sang ayah.Senyum Indira perlahan memudar mendengar pertanyaan Kalandra. Apalagi melihat kedekatan ayah dan anak itu. Tentu saja dia mera
Begitu sampai di depan sekolah, Litha segera turun dari taksi. Langkahnya begitu terburu-buru lantaran anak-anak TK sudah keluar bersama orang tua mereka. Salahkan jalanan yang macet sampai membuat Litha terlambat menjemput Gemini. “Ya, ampun! Gemini pasti ngambek, deh.” Ya, biasanya anak itu akan merajuk jika Litha telat menjemputnya. Gemini tidak suka menunggu sendirian, jadi kalau Litha telat, biasanya dia akan menunggu di ruang guru. “Gemini di mana?” Litha sudah masuk ke dalam sekolah, tetapi sekolah sudah mulai sepi saat ini menyebabkan ia merasa gelisah. “Ah, iya, ruang guru!” Ia berjalan cepat ke ruang guru. Untungnya Litha mendapati wali kelas Gemini masih di dalam ruangan. Pandangannya menyapu ke dalam ruang guru, tetapi tak menemukan putrinya di sana. “Selamat siang, Bu Vita. Apa Ibu tahu di mana Gemini?” tanya Litha. “Gemini tidak ada meminta saya menemaninya, Bu Litha. Saya pikir Ibu sudah menjemputnya tadi,” balas Vita sembari menghampiri Litha. “Hari ini saya te
Mata Litha tak percaya mendapati seluruh bunga dalam greenhouse-nya mati, tenggorokannya ikut terasa kering, sehingga ia tak mampu berkata-kata. Pak Kerta segera menyodorkan sebotol air mineral pada Litha. Tangannya gemetar kala ia membawa botol tersebut ke bibirnya. Ia bahkan merasa kesulitan untuk meneguk air tersebut. Mengapa? Pertanyaan itu ada dalam benaknya. Litha menggeleng beberapa kali lantaran tak percaya bisnisnya hancur dalam sekejap. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Bunga-bunga tersebut masih terlihat segar dan siap dipanen. “Tolong jelasin sama saya, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini?” Litha melirik para karyawannya satu per satu, tetapi mereka semua menunduk cemas. Hanya Pak Kerta yang berani melihat wajah kecewa Litha. “Kami merawat tanamannya seperti biasa, Bu. Tapi, sempat mencium bau obat pembasmi rumput, Bu. Saya tanya sama semua karyawan, mereka juga bilang tidak tahu siapa pelakunya,” jelas Pak Kerta. Seketika tatapan semua orang beralih pa
“Apa bisnis Litha benar-benar hancur?” Pertanyaan itu terlepas dari mulut Rosella yang terdengar bernada datar. Dia yang tidak pernah peduli akan Litha, sekarang untuk pertama kalinya tertarik untuk membahas menantunya. Mungkin saja karena kegagalan bisnis juga akan berimbas pada Kalandra.“Bener, Ma,” sahut Kinasih terdengar antusias. Kemudian wanita berusia tiga puluh tahun itu menjelaskan dengan mata berbinar seakan-akan hancurnya bisnis Litha adalah berita baik untuk mereka. “Entah siapa orang baik yang menggunakan tangannya untuk menghancurkan Litha. Sekarang wanita itu tidak akan berani menyombong lagi.”Di meja makan itu hanya Kinasih yang terlihat bersemangat. Sedangkan suami dan adik iparnya tak berkomentar apa pun. Namun, adik iparnya memiliki ekspresi tak setuju dengan perkataan Kinasih. Seingat Devita, Litha tidak pernah menyombongkan bisnisnya selama ini. Devita memutar bola mata setiap kali mendengar ucapan Kinasih yang menjelekkan Litha.“Hati-hati dengan perkataan kamu,
“Mama. Lihat aku bawa apa,” celetuk gadis kecil berwajah bulat tersebut yang agaknya berhasil mengagetkan ibunya. Kedua tangan Gemini saat ini memegang baki yang berisi bolu gulung.Litha bergegas mengambil alih baki tersebut lantas menaruhnya di atas meja. “Kenapa kamu bawa sendiri kuenya?”“Biar spesial dong, Ma,” sahutnya terdengar menggemaskan.Sejak satu jam lalu mereka berada di ruang keluarga. Tepatnya mereka menonton sebuah film kartun. Namun, beberapa saat yang lalu, tanpa Litha ketahui, Gemini keluar untuk mengambil bolu gulung tersebut.“Tadi aku minta Bi Rina buatin bolu gulung ini pakai resep buatan Mama.” Tangan mungilnya perlahan mengambil bolu gulung dan disodorkan pada Litha. “Buat Mama,” imbuhnya dengan lengkungan senyum terpasang di wajahnya.Litha terkesima mengetahui betapa perhatian putrinya. Beberapa hari ini dia memang agak murung dan sudah membuat Gemini khawatir.Hati Litha dipenuhi kehangatan dan segera memeluk putrinya. “Makasih, Sayang. Maaf, ya, Mama kuran
Jemari ramping wanita itu sibuk memijat pelipisnya. Sesekali alis indahnya akan berkerut kala menahan rasa sakit. Seorang wanita dengan busana gaun putih polos tergesa-gesa menghampiri Indira sembari membawa sebutir obat dan segelas air putih pada kedua tangannya.“Kamu tidak mau ke rumah sakit, Sayang?” Salma menyodorkan kedua benda di tangannya pada Indira, lalu diambil satu per satu oleh wanita itu.Usai minum obat, Indira menggeleng kecil sembari masih memijat pelipisnya. “Cuma sakit kepala biasa, Ma. Ini gara-gara Kalandra dan Litha.”Setelah berdebat dengan Kalandra kemarin, dan pagi ini dia mendapat pemberitahuan bahwa dia dan timnya dikeluarkan dari proyek film. Dia langsung sakit kepala. Sekarang Indira tidak akan bisa lagi berpura-pura menjadi wanita lemah lembut—yang tersakiti—di depan Kalandra. Karena dia sudah memperlihatkan wajah aslinya. Begitu juga bagus, karena terkadang Indira merasa muak jika harus memelas di hadapan Kalandra.“Kalandra jahat banget Ma. Hanya karena
Dukungan dari Kalandra, ternyata mampu membuat hati Litha tergerak untuk kembali membangkitkan bisnisnya. Meski, bayang-bayang kegagalan sebelumnya tak lepas dari benaknya, dia sudah berjanji untuk menjadi pribadi yang dapat mengubah kegagalan ini menjadi peluang.Hari ini ia datang ke perkebunan seorang teman lama. Bisa dibilang juga berkat orang itu, Litha bisa menjalankan bisnisnya.Ia membawa langkah memasuki perkebunan tersebut. Di mana semua bibit mawar yang Litha beli dulu, tentunya berasal dari tempat ini. Kemudian Litha menghentikan langkah kaki rampingnya tepat di depan kantor resepsionis perkebunan tersebut.Seseorang di balik kaca menyapa Litha dengan ramah. “Mbak Litha?”“Hai, Dianti.”“Mau ketemu Bu Wilda?”“Iya, nih.”“Mbak Litha sudah buat janji?”“Maaf, Dianti. Saya belum bikin janji sama Bu Wilda. Apa Bu Wilda sibuk?”“Bu Wilda susah datang, sih dari tadi. Sebentar, saya akan beritahu Bu Wilda dulu. Mbak Litha duduk saja dulu.”Litha mengangguk sembari berterima kasih