Share

4. Penjelasan

“Benar. Mereka memang tidak menyukaiku. Tidak mengapa asalkan Kalandra berada di sisiku dan mendukung aku. Itu sudah cukup untuk membuatku merasa bahagia,” ucap Litha.

Ia berucap demikian karena ingin membungkam Indira dan meruntuhkan keangkuhan perempuan itu. Benar saja satu kata pun tak mampu dilontarkan oleh Indira, yang membuat Litha puas.

Namun, tak lama karena wanita itu mengeluarkan tawa mengejek.

“Terus kamu pikir Kalandra akan selamanya ada di sisi kamu? Seperti dia yang pernah mengkhianati aku, dia juga bisa melakukan hal yang sama. Dia bakal mengkhianati kamu.” Kata-kata Indira seperti memberikan kutukan supaya Kalandra mengkhianati Litha.

Litha menyunggingkan senyum miring. “Itu tidak akan pernah terjadi karena aku tidak akan membiarkan Kalandra berakhir di pelukan wanita lain.” Ia berbalik untuk masuk ke rumah, mengunci pintu rapat-rapat agar wanita itu tidak bisa masuk lagi.

Ketenangan yang dipertahankan Litha menipis. Bahunya bergetar karena perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia bersecepat melangkah untuk mencapai kamar utama. Setelah sampai ia pergi ke kamar mandi untuk mengisi bak mandi dengan air dingin.

Diawali dari kaki kanannya menyentuh air dingin dalam bak mandi diikuti oleh kaki kirinya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya, merasakan air dingin tersebut memadamkan kecemasannya secara perlahan.

Sembari memejam ia mengutuk Kalandra berulang kali dalam hatinya. Bersumpah tidak akan membiarkan pria itu memiliki wanita lain lagi, sebagai pembalasan atas tindakannya di masa lalu.

“Dia tidak akan melakukan itu. Memang apa salahku? Sudah sepantasnya pria itu menikah denganku.”

“Kamu belum selesai mandi? Kamu berada di dalam selama dua jam. Aku juga mau mandi.”

Suara Kalandra terdengar di balik pintu kamar mandi. Pria itu juga mengetuk pintu beberapa kali lantaran tidak sabar. Litha menghela napas sesekali sebelum membuka mulutnya.

“Pakai kamar mandi di ruang tamu dulu.”

“Tidak mau. Buka pintunya, kita mandi bersama saja. Kita bisa mengobrol karena kebetulan ada yang ingin aku diskusikan.”

Litha menyapu air mata yang sempat jatuh ketika ia membuka kedua kelopak matanya. Ia tidak mungkin membiarkan Kalandra masuk ke kamar mandi dan melihat dirinya habis menangis.

“Biarin aku sendirian. Aku ingin berendam sebentar.”

“Sebentar? Dua jam kamu bilang sebentar....” Perasaan cemas menghampiri Kalandra. Ia menjauh dari kamar mandi, berniat mencari kunci cadangan.

Ketika menemukan kunci cadangan dalam laci almari. Ia lantas membuka pintu kamar mandi membuat maniknya terbelalak mendapati Litha berendam di bak mandi—masih mengenakan busana.

“Sejak kapan orang berendam mengenakan pakaian? Kamu lupa menanggalkan pakaian.” Sudut mulut Kalandra melengkung kecil, tapi menghilang begitu pandangannya terfokus pada kedua sudut mata Litha yang nampak basah. “Kamu ... habis menangis.”

Litha tiba-tiba bangkit menyebabkan Kalandra terkesiap. Gaun yang ia kenakan sepenuhnya basah, membuat lantai kamar mandi dipenuhi oleh air yang menetes dari gaunnya.

“Ya! Aku barusan menangis. Kamu mau mengejek aku? Kalau bukan karena kesalahan kamu di masa lalu, aku tidak akan dirundung penghinaan dan makian semua orang.”

“Kamu tidak bisa menyalahkan aku sepenuhnya. Malam itu kita sama-sama—”

Litha mendorong dada bidang Kalandra membuat pria itu tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Lantas mencabut kunci cadangan dan ia kembali menutup kamar mandi. Kali ini ia harus benar-benar mandi karena tubuhnya sudah menggigil kedinginan.

“Aku menyesal bilang dia polos. Dia itu bajingan kecil.”

“Nanti aku ingin bicara sama kamu,” kata Kalandra di balik pintu yang tertutup, tapi masih bisa didengar oleh Litha.

“Sehabis makan malam saja,” teriaknya. Ia kesal sekali karena kamar mandi itu belum ada sound proof.

“Hm, kamu bisa mencariku di ruang belajar.”

Pria itu kemudian mengalah, membawa handuk dan mantel mandi miliknya ke luar dari kamar. Mau tidak mau ia memakai kamar mandi ruang tamu daripada harus menunggu.

Kalandra berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak menangis karena cemburu, ‘kan?”

****

“Sayang mau tambah dessert-nya?” Litha bertanya seraya menatap lembut pada Gemini yang sudah menghabiskan makan malam dan sepotong kue blueberry kesukaannya.

“Aku udah kenyang, Ma,” sahut Gemini. Tatapannya beralih pada ayahnya. “Papa jujur, deh, kenapa Tante Indira nangis. Dan kenapa Tante itu marah sama aku? Padahal aku tidak kenal sama Tante itu.”

Kalandra dan Litha bersitatap seolah tengah berkomunikasi melalui tatapan. Mereka Seharusnya tidak lupa dan membicarakan hal ini terlebih dahulu mengingat Gemini akan terus bertanya kalau jawaban yang mereka berikan tidak memuaskan.

“Sayang, bukannya Papa kamu sudah jelaskan tadi,” kata Litha membantu Kalandra.

“Aku masih belum percaya. Penjelasan Papa sore tadi kedengaran canggung,” timpal Gemini.

Nah, kalau sudah begini Litha tak bisa membantu. Ia membiarkan Kalandra menjelaskan pada Gemini dan berharap laki-laki itu tidak memberikan penjelasan canggung lainnya.

“Tante Indira sedang sedih, makanya dia menangis. Papa jelaskan pun penyebabnya kamu tidak akan mengerti, karena itu urusan orang dewasa. Tapi, yang jelas Tante Indira tidak marah sama kamu,” tutur Kalandra setenang mungkin, padahal punggungnya terasa tegang saat ini.

“Iya, deh, iya urusan orang dewasa terus,” oceh Gemini yang berhenti menanyakan tentang Indira. Kemudian gadis kecil itu turun dari kursinya. “Gemini mau ke kamar bikin tugas mewarnai.”

“Mama temenin bikin tugas.”

“Makasih, Mama. Papa temenin Gemini, yuk!”

“Maaf, Gem, Papa harus periksa beberapa berkas nanti,” jawab Kalandra.

Gemini mengerucutkan mulut dan wajahnya memperlihatkan kekesalan. Namun, Gemini tidak memaksa ayahnya. Ia segera berbalik sambil menarik jemari Litha. “Ayo, Ma. Seperti biasa cuma Mama yang menemani aku bikin PR.”

Sekilas Litha melirik suaminya sambil melangkah. Pria itu memiliki tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Litha. Entah pria itu menyesal sudah membuat Gemini kecewa atau mungkin tidak menyesal sama sekali.

“Kamu marah sama Papa?” Litha bertanya ketika sampai di lantai atas.

Gemini menggeleng kecil, tapi raut wajahnya mengatakan ia kecewa. “Aku tahu Papa selalu sibuk.”

Litha berjongkok di depan Gemini, menyamakan tinggi mereka. Ia menampilkan senyum hangat yang hanya dapat dilihat oleh Gemini seorang. “Gemini makin pengertian, ya. Padahal usia kamu baru lima tahun.”

“Gemini tidak mau Papa pergi lagi. Aku mau kita tinggal sama Papa selamanya, Ma,” katanya yang membuat pelupuk Litha menjadi hangat.

“Kalau itu keinginan Gemini, pasti terwujud.” Karena ia akan memastikan harapan Gemini terwujud.

****

Kalandra beberapa kali menoleh ke arah pintu di ruang belajarnya. Sambil membaca berkas di mejanya, ia mengharapkan kedatangan Litha.

Tepat pukul setengah sepuluh malam, terdengar ketukan di pintu. Kalandra menoleh ketika Litha membuka pintu ruang belajar memperlihatkan dirinya yang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan satu piring kecil camilan.

Litha meletakkan nampan itu di meja sofa beberapa langkah dari meja belajar Kalandra. Ia meletakkan satu cangkir teh di seberang cangkir teh miliknya.

“Gemini sudah tidur?” Kalandra bertanya ketika bangkit dari kursinya untuk melangkah ke sofa. Ia duduk di sofa seberang Litha.

“Sudah,” jawabnya. “Kalau aku ... minta kamu untuk lebih sering menemani Gemini, apa itu berlebihan?” tanyanya sembari mengamati air muka Kalandra.

“Kalau ada waktu senggang pasti aku temani. Sudah seharian ini, ‘kan, aku temani dia di rumah Mama,” sahut Kalandra.

“Hm. Dia cuma pengen menghabiskan waktu lebih banyak sama kamu.” Nada bicara Litha terdengar lembut dan tenang ketika membicarakan Gemini. “Apa yang mau kamu bicarakan sama aku?”

Litha mengangkat cangkir teh, menyeruputnya dengan hati-hati karena masih panas. Kalandra pun ikut menyesap tehnya untuk membasahi tenggorokan.

“Kedatangan Indira tadi pasti bikin kamu terkejut. Aku mau menjelaskan hal ini sama kamu,” Kalandra memulai.

“Dia minta balikan sama kamu, ‘kan. Apa jawaban kamu?” Litha menyela kala Kalandra ingin melanjutkan ucapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status