Share

6. Wanita itu datang lagi

Pagi-pagi sekali keluarga kecil itu kedatangan seorang tamu di depan pintu mereka. Tamu yang membuat keributan kemarin dan hampir memecah ketentraman keluarga Litha.

Paras wanita itu menampilkan senyum anggun seolah-olah apa yang dilakukannya kemarin bukanlah hal yang besar.

Dia berdiri di depan pintu dengan melambaikan tangan kanannya. Sorot matanya bergantian memperhatikan Kalandra dan Gemini.

“Buat apa kamu datang sepagi ini? Bukannya urusan kita sudah selesai kemarin?” tanya Kalandra yang bingung akan kehadiran Indira. Dia lalu menoleh pada Gemini di sebelahnya yang juga memasang raut bingung. “Sayang, kamu naik ke mobil duluan, ya.”

“Oke, Papa. Karena aku sudah nurut, sebagai gantinya Papa harus traktir aku sepulang sekolah,” kata Gemini yang memiliki senyum manis. Gadis kecil itu berjalan perlahan menuju mobil setelah mendapatkan anggukan dari sang ayah.

Senyum Indira perlahan memudar mendengar pertanyaan Kalandra. Apalagi melihat kedekatan ayah dan anak itu. Tentu saja dia merasa kehadirannya dianggap mengganggu sekarang. Namun, Indira masih tak melangkah pergi, yang artinya dia sudah mengubah pikiran lagi.

“Kamu tahu aku orangnya emosional. Aku ke sini buat minta maaf sama kamu dan Gemini. Ya, aku memang salah kemarin, dan Litha sudah memperingatkan aku.”

“Memperingatkan kamu?” ulang Kalandra.

“Bukan apa-apa, kok. Alan, aku minta maaf. Sekarang boleh aku minta maaf sama Gemini?” Indira dengan sopan meminta izin pada Kalandra. Perangainya memang nampak berbeda dengan kemarin. Kini, wanita itu terlihat bersikap dewasa.

Kalandra mengangguk pelan. “Kalau memang tujuan kamu tulus ingin minta maaf. Tapi, apa kamu tidak punya keinginan minta maaf pada istriku?”

“Istri ... ‘istriku’. Seharusnya sebutan itu untuk aku,” gumam Indira seraya menunduk pelan lantaran tak berani melihat mata Kalandra. “Aku pasti bakal temuin Litha, kok, sebentar lagi,” katanya dengan senyum datar.

Wanita itu membalik punggungnya, berjalan cepat menuju mobil hitam milik Kalandra. Jarinya mengetuk jendela mobil, mengisyaratkan agar Gemini menurunkan kaca mobil tersebut.

“Ada apa, Tante?”

Mata gadis kecil itu memiliki tatapan datar, tapi nampak jernih. Semakin diperhatikan wajahnya mirip memang mirip dengan Kalandra.

“Tante menyesal sekali atas apa yang terjadi kemarin. Apa Gemini mau memaafkan Tante? Hm, gimana kalau nanti siang Tante yang traktir kamu?”

“Gemini cuma mau ditraktir sama Papa. Sekarang Gemini mau berangkat ke sekolah dulu.”

“Kami akan berangkat sekarang,” kata Kalandra, lalu memutari bagian belakang mobil.

“Aku boleh ikut? Tadi aku naik taksi ke sini.”

Di dalam mobil, Gemini menatap kesal pada Kalandra yang sudah membuka pintu. “Tante itu tidak boleh satu mobil sama kita. Jangan bikin Mama cemburu, Pa.”

“Kamu bisa pulang naik taksi,” katanya bernada dingin. Tak mau berlama-lama, Kalandra memasuki mobil dan benar-benar mengabaikan Indira.

“Kenapa begitu—” Indira belum selesai berbicara tapi mobil yang dikendarai sekretaris Kalandra sudah melaju. Perempuan itu berdecak kesal sambil berjalan keluar dari gerbang rumah Kalandra.

****

Di tanah seluas 5000m² ini Litha telah membangun sembilan greenhouse. Sisa lahan kosong dibangun sebuah gudang dan rumah istirahat untuk para petani bunga yang bekerja untuknya. Totalnya ada lima belas orang yang mengurus greenhouse ini.

“Selamat pagi, Bu Litha.” Ketika Litha sampai, ia disambut oleh Pak Kerta, orang yang dipercaya mengurus greenhouse sekaligus atasan para karyawan.

“Pagi, Pak Kerta. Kenapa Bapak ada di sini? Harusnya Bapak istirahat dulu,” balas Litha. Ia menyerahkan dua kotak keik pada Pak Kerta.

Lima hari lalu Pak Kerta muntah-muntah karena gerd- nya kambuh. Dan Litha memberikan libur selama satu pekan. Ia nampak khawatir karena wajah Pak Kerta masih terlihat pucat.

“Saya tidak betah lama-lama berbaring di kasur, Bu. Dan saya sudah merasa sudah lebih sehat. Anak dan istri saya bekerja di sini, jadi saya lebih suka di sini. Lagi pula, kan, ada tempat istirahat,” balas Pak Kerta meyakinkan Litha agar tidak mencemaskannya.

“Ya sudah, saya percaya sama Pak Kerta. Tapi jangan terlalu banyak kerja dulu.” Litha menoleh pada dua kotak keik di yang ditenteng Pak Kerta. “Keiknya tolong dibagiin, ya, Pak.”

“Siap, Bu.” Pak Kerta kemudian berlalu menuju rumah istirahat.

Litha dan memantau greenhouse hampir setiap hari lantaran hampir setiap hari pula mereka panen.

Hamparan mawar merah di depan Litha selalu berhasil membuatnya mengembangkan senyum cerah. Ia melangkah di tengah-tengah dua bedengan yang berjarak satu meter. Melewati setiap batang mawar yang menghasilkan bunga.

Kemudian Litha teringat akan pesan suara dari Gemini yang belum ia dengar. Ia membuka smartphone-nya dan mendengar pesan suara tersebut. “Ma, Tante Indira datang lagi ke rumah. Sepertinya, Tante ini benar-benar bermasalah, Ma.” Litha terkekeh setelah membacanya, padahal dia sudah mengetahui kedatangan wanita itu pagi tadi dan memperhatikan interaksi mereka. Bisa dikatakan dia sedikit puas karena Kalandra mengabaikan wanita itu.

****

Gemini bersama Anggita dan Kirana duduk di kursi santai tengah menunggu jemputan. Beberapa anak sudah dijemput dan pulang, yang lainnya masih menunggu di area bermain. Hari ini mereka pulang lebih awal, dan Kepala Sekolah sudah menghubungi para orang tua.

“Gaun ulang tahun yang dipakai kakakku waktu ulang tahun sangat indah. Aku minta gaun yang sama, tapi kakakku tidak membolehkan,” tutur Anggita, gadis kecil itu mengerucutkan bibir.

“Kenapa minta yang sama? Kamu bisa minta gaun yang lebih cantik. Memangnya kapan ulang tahun kamu?” Gemini bertanya sambil menggoyangkan kakinya.

“Dua bulan lagi. Aku mau mempersiapkannya dari sekarang.”

“Ulang tahun kamu masih lama,” timpal Kirana. Gadis kecil dengan rambut di kuncir dua itu merupakan sepupu Gemini. Mereka berdua menjadi akrab setelah masuk ke sekolah yang sama.

“Kata Mamaku, kalau mengadakan pesta memang harus direncanakan jauh-jauh hari,” sahut Anggita lagi.

“Aku setuju sama Anggita. Tapi, kamu jangan setiap hari mikirin pesta ulang tahun, kamu harus belajar.” Kali ini Gemini yang menimpali.

“Memangnya kamu belajar setiap hari?”

Gemini mengangguk. “Iya, dong. Ditemani Mama.”

“Mama tidak pernah menemani aku belajar. Cuma Mbak asisten rumah yang bantuin aku,” kata Kirana, menundukkan kepala.

Gemini dan Anggita menoleh pada Kirana tanpa berkata-kata. Melihat sepupunya bersedih, Gemini melingkarkan lengan di leher Kirana. “Kapan-kapan mau belajar bareng?”

Kirana mendongak. “Kamu jarang datang ke rumah.”

“Kirana.” Suara Soprano seorang wanita membuat ketiganya menoleh bersamaan. Wanita yang mengenakan celana jeans ketat mengembangkan senyum saat berjalan melewati anak-anak menuju ke arah ketiganya.

“Sayang, ayo, kita pulang,” ujar Kinasih.

“Ma, kita ajak Gemini, ya? Soalnya Tante Litha belum datang.”

Sorot mata Kinasih saat mengalihkan tatapan pada Gemini, tidak begitu senang. Kinasih ikut-ikutan membenci Litha hanya demi menyenangkan Rosella.

“Kirana dengarkan Mama. Kalau dia pulang sama kita, Tante Litha akan khawatir karena tidak menemukan Gemini.”

“Tante bisa kirim pesan ke Mama. Biar nanti Mama jemput aku di rumah Nenek.” Gemini menyahut dengan semangat dan penuh harap bahwa Kinasih akan mengabulkan ucapannya.

“Iya, Ma. Kirim pesan ke Tante Litha,” paksa Kirana sambil menggoyang-goyangkan tangan Kinasih.

Kinasih sejenak tersenyum miring. “Oke,” sahutnya, mengambil ponsel, tetapi Kinasih tidak melakukan apa-apa ataupun mengirim pesan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status