Pagi-pagi sekali keluarga kecil itu kedatangan seorang tamu di depan pintu mereka. Tamu yang membuat keributan kemarin dan hampir memecah ketentraman keluarga Litha.
Paras wanita itu menampilkan senyum anggun seolah-olah apa yang dilakukannya kemarin bukanlah hal yang besar.Dia berdiri di depan pintu dengan melambaikan tangan kanannya. Sorot matanya bergantian memperhatikan Kalandra dan Gemini.“Buat apa kamu datang sepagi ini? Bukannya urusan kita sudah selesai kemarin?” tanya Kalandra yang bingung akan kehadiran Indira. Dia lalu menoleh pada Gemini di sebelahnya yang juga memasang raut bingung. “Sayang, kamu naik ke mobil duluan, ya.”“Oke, Papa. Karena aku sudah nurut, sebagai gantinya Papa harus traktir aku sepulang sekolah,” kata Gemini yang memiliki senyum manis. Gadis kecil itu berjalan perlahan menuju mobil setelah mendapatkan anggukan dari sang ayah.Senyum Indira perlahan memudar mendengar pertanyaan Kalandra. Apalagi melihat kedekatan ayah dan anak itu. Tentu saja dia merasa kehadirannya dianggap mengganggu sekarang. Namun, Indira masih tak melangkah pergi, yang artinya dia sudah mengubah pikiran lagi.“Kamu tahu aku orangnya emosional. Aku ke sini buat minta maaf sama kamu dan Gemini. Ya, aku memang salah kemarin, dan Litha sudah memperingatkan aku.”“Memperingatkan kamu?” ulang Kalandra.“Bukan apa-apa, kok. Alan, aku minta maaf. Sekarang boleh aku minta maaf sama Gemini?” Indira dengan sopan meminta izin pada Kalandra. Perangainya memang nampak berbeda dengan kemarin. Kini, wanita itu terlihat bersikap dewasa.Kalandra mengangguk pelan. “Kalau memang tujuan kamu tulus ingin minta maaf. Tapi, apa kamu tidak punya keinginan minta maaf pada istriku?”“Istri ... ‘istriku’. Seharusnya sebutan itu untuk aku,” gumam Indira seraya menunduk pelan lantaran tak berani melihat mata Kalandra. “Aku pasti bakal temuin Litha, kok, sebentar lagi,” katanya dengan senyum datar.Wanita itu membalik punggungnya, berjalan cepat menuju mobil hitam milik Kalandra. Jarinya mengetuk jendela mobil, mengisyaratkan agar Gemini menurunkan kaca mobil tersebut.“Ada apa, Tante?”Mata gadis kecil itu memiliki tatapan datar, tapi nampak jernih. Semakin diperhatikan wajahnya mirip memang mirip dengan Kalandra.“Tante menyesal sekali atas apa yang terjadi kemarin. Apa Gemini mau memaafkan Tante? Hm, gimana kalau nanti siang Tante yang traktir kamu?”“Gemini cuma mau ditraktir sama Papa. Sekarang Gemini mau berangkat ke sekolah dulu.”“Kami akan berangkat sekarang,” kata Kalandra, lalu memutari bagian belakang mobil.“Aku boleh ikut? Tadi aku naik taksi ke sini.”Di dalam mobil, Gemini menatap kesal pada Kalandra yang sudah membuka pintu. “Tante itu tidak boleh satu mobil sama kita. Jangan bikin Mama cemburu, Pa.”“Kamu bisa pulang naik taksi,” katanya bernada dingin. Tak mau berlama-lama, Kalandra memasuki mobil dan benar-benar mengabaikan Indira.“Kenapa begitu—” Indira belum selesai berbicara tapi mobil yang dikendarai sekretaris Kalandra sudah melaju. Perempuan itu berdecak kesal sambil berjalan keluar dari gerbang rumah Kalandra.****Di tanah seluas 5000m² ini Litha telah membangun sembilan greenhouse. Sisa lahan kosong dibangun sebuah gudang dan rumah istirahat untuk para petani bunga yang bekerja untuknya. Totalnya ada lima belas orang yang mengurus greenhouse ini.“Selamat pagi, Bu Litha.” Ketika Litha sampai, ia disambut oleh Pak Kerta, orang yang dipercaya mengurus greenhouse sekaligus atasan para karyawan.“Pagi, Pak Kerta. Kenapa Bapak ada di sini? Harusnya Bapak istirahat dulu,” balas Litha. Ia menyerahkan dua kotak keik pada Pak Kerta.Lima hari lalu Pak Kerta muntah-muntah karena gerd- nya kambuh. Dan Litha memberikan libur selama satu pekan. Ia nampak khawatir karena wajah Pak Kerta masih terlihat pucat.“Saya tidak betah lama-lama berbaring di kasur, Bu. Dan saya sudah merasa sudah lebih sehat. Anak dan istri saya bekerja di sini, jadi saya lebih suka di sini. Lagi pula, kan, ada tempat istirahat,” balas Pak Kerta meyakinkan Litha agar tidak mencemaskannya.“Ya sudah, saya percaya sama Pak Kerta. Tapi jangan terlalu banyak kerja dulu.” Litha menoleh pada dua kotak keik di yang ditenteng Pak Kerta. “Keiknya tolong dibagiin, ya, Pak.”“Siap, Bu.” Pak Kerta kemudian berlalu menuju rumah istirahat.Litha dan memantau greenhouse hampir setiap hari lantaran hampir setiap hari pula mereka panen.Hamparan mawar merah di depan Litha selalu berhasil membuatnya mengembangkan senyum cerah. Ia melangkah di tengah-tengah dua bedengan yang berjarak satu meter. Melewati setiap batang mawar yang menghasilkan bunga.Kemudian Litha teringat akan pesan suara dari Gemini yang belum ia dengar. Ia membuka smartphone-nya dan mendengar pesan suara tersebut. “Ma, Tante Indira datang lagi ke rumah. Sepertinya, Tante ini benar-benar bermasalah, Ma.” Litha terkekeh setelah membacanya, padahal dia sudah mengetahui kedatangan wanita itu pagi tadi dan memperhatikan interaksi mereka. Bisa dikatakan dia sedikit puas karena Kalandra mengabaikan wanita itu.****Gemini bersama Anggita dan Kirana duduk di kursi santai tengah menunggu jemputan. Beberapa anak sudah dijemput dan pulang, yang lainnya masih menunggu di area bermain. Hari ini mereka pulang lebih awal, dan Kepala Sekolah sudah menghubungi para orang tua.“Gaun ulang tahun yang dipakai kakakku waktu ulang tahun sangat indah. Aku minta gaun yang sama, tapi kakakku tidak membolehkan,” tutur Anggita, gadis kecil itu mengerucutkan bibir.“Kenapa minta yang sama? Kamu bisa minta gaun yang lebih cantik. Memangnya kapan ulang tahun kamu?” Gemini bertanya sambil menggoyangkan kakinya.“Dua bulan lagi. Aku mau mempersiapkannya dari sekarang.”“Ulang tahun kamu masih lama,” timpal Kirana. Gadis kecil dengan rambut di kuncir dua itu merupakan sepupu Gemini. Mereka berdua menjadi akrab setelah masuk ke sekolah yang sama.“Kata Mamaku, kalau mengadakan pesta memang harus direncanakan jauh-jauh hari,” sahut Anggita lagi.“Aku setuju sama Anggita. Tapi, kamu jangan setiap hari mikirin pesta ulang tahun, kamu harus belajar.” Kali ini Gemini yang menimpali.“Memangnya kamu belajar setiap hari?”Gemini mengangguk. “Iya, dong. Ditemani Mama.”“Mama tidak pernah menemani aku belajar. Cuma Mbak asisten rumah yang bantuin aku,” kata Kirana, menundukkan kepala.Gemini dan Anggita menoleh pada Kirana tanpa berkata-kata. Melihat sepupunya bersedih, Gemini melingkarkan lengan di leher Kirana. “Kapan-kapan mau belajar bareng?”Kirana mendongak. “Kamu jarang datang ke rumah.”“Kirana.” Suara Soprano seorang wanita membuat ketiganya menoleh bersamaan. Wanita yang mengenakan celana jeans ketat mengembangkan senyum saat berjalan melewati anak-anak menuju ke arah ketiganya.“Sayang, ayo, kita pulang,” ujar Kinasih.“Ma, kita ajak Gemini, ya? Soalnya Tante Litha belum datang.”Sorot mata Kinasih saat mengalihkan tatapan pada Gemini, tidak begitu senang. Kinasih ikut-ikutan membenci Litha hanya demi menyenangkan Rosella.“Kirana dengarkan Mama. Kalau dia pulang sama kita, Tante Litha akan khawatir karena tidak menemukan Gemini.”“Tante bisa kirim pesan ke Mama. Biar nanti Mama jemput aku di rumah Nenek.” Gemini menyahut dengan semangat dan penuh harap bahwa Kinasih akan mengabulkan ucapannya.“Iya, Ma. Kirim pesan ke Tante Litha,” paksa Kirana sambil menggoyang-goyangkan tangan Kinasih.Kinasih sejenak tersenyum miring. “Oke,” sahutnya, mengambil ponsel, tetapi Kinasih tidak melakukan apa-apa ataupun mengirim pesan.Begitu sampai di depan sekolah, Litha segera turun dari taksi. Langkahnya begitu terburu-buru lantaran anak-anak TK sudah keluar bersama orang tua mereka. Salahkan jalanan yang macet sampai membuat Litha terlambat menjemput Gemini. “Ya, ampun! Gemini pasti ngambek, deh.” Ya, biasanya anak itu akan merajuk jika Litha telat menjemputnya. Gemini tidak suka menunggu sendirian, jadi kalau Litha telat, biasanya dia akan menunggu di ruang guru. “Gemini di mana?” Litha sudah masuk ke dalam sekolah, tetapi sekolah sudah mulai sepi saat ini menyebabkan ia merasa gelisah. “Ah, iya, ruang guru!” Ia berjalan cepat ke ruang guru. Untungnya Litha mendapati wali kelas Gemini masih di dalam ruangan. Pandangannya menyapu ke dalam ruang guru, tetapi tak menemukan putrinya di sana. “Selamat siang, Bu Vita. Apa Ibu tahu di mana Gemini?” tanya Litha. “Gemini tidak ada meminta saya menemaninya, Bu Litha. Saya pikir Ibu sudah menjemputnya tadi,” balas Vita sembari menghampiri Litha. “Hari ini saya te
Mata Litha tak percaya mendapati seluruh bunga dalam greenhouse-nya mati, tenggorokannya ikut terasa kering, sehingga ia tak mampu berkata-kata. Pak Kerta segera menyodorkan sebotol air mineral pada Litha. Tangannya gemetar kala ia membawa botol tersebut ke bibirnya. Ia bahkan merasa kesulitan untuk meneguk air tersebut. Mengapa? Pertanyaan itu ada dalam benaknya. Litha menggeleng beberapa kali lantaran tak percaya bisnisnya hancur dalam sekejap. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Bunga-bunga tersebut masih terlihat segar dan siap dipanen. “Tolong jelasin sama saya, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini?” Litha melirik para karyawannya satu per satu, tetapi mereka semua menunduk cemas. Hanya Pak Kerta yang berani melihat wajah kecewa Litha. “Kami merawat tanamannya seperti biasa, Bu. Tapi, sempat mencium bau obat pembasmi rumput, Bu. Saya tanya sama semua karyawan, mereka juga bilang tidak tahu siapa pelakunya,” jelas Pak Kerta. Seketika tatapan semua orang beralih pa
“Apa bisnis Litha benar-benar hancur?” Pertanyaan itu terlepas dari mulut Rosella yang terdengar bernada datar. Dia yang tidak pernah peduli akan Litha, sekarang untuk pertama kalinya tertarik untuk membahas menantunya. Mungkin saja karena kegagalan bisnis juga akan berimbas pada Kalandra.“Bener, Ma,” sahut Kinasih terdengar antusias. Kemudian wanita berusia tiga puluh tahun itu menjelaskan dengan mata berbinar seakan-akan hancurnya bisnis Litha adalah berita baik untuk mereka. “Entah siapa orang baik yang menggunakan tangannya untuk menghancurkan Litha. Sekarang wanita itu tidak akan berani menyombong lagi.”Di meja makan itu hanya Kinasih yang terlihat bersemangat. Sedangkan suami dan adik iparnya tak berkomentar apa pun. Namun, adik iparnya memiliki ekspresi tak setuju dengan perkataan Kinasih. Seingat Devita, Litha tidak pernah menyombongkan bisnisnya selama ini. Devita memutar bola mata setiap kali mendengar ucapan Kinasih yang menjelekkan Litha.“Hati-hati dengan perkataan kamu,
“Mama. Lihat aku bawa apa,” celetuk gadis kecil berwajah bulat tersebut yang agaknya berhasil mengagetkan ibunya. Kedua tangan Gemini saat ini memegang baki yang berisi bolu gulung.Litha bergegas mengambil alih baki tersebut lantas menaruhnya di atas meja. “Kenapa kamu bawa sendiri kuenya?”“Biar spesial dong, Ma,” sahutnya terdengar menggemaskan.Sejak satu jam lalu mereka berada di ruang keluarga. Tepatnya mereka menonton sebuah film kartun. Namun, beberapa saat yang lalu, tanpa Litha ketahui, Gemini keluar untuk mengambil bolu gulung tersebut.“Tadi aku minta Bi Rina buatin bolu gulung ini pakai resep buatan Mama.” Tangan mungilnya perlahan mengambil bolu gulung dan disodorkan pada Litha. “Buat Mama,” imbuhnya dengan lengkungan senyum terpasang di wajahnya.Litha terkesima mengetahui betapa perhatian putrinya. Beberapa hari ini dia memang agak murung dan sudah membuat Gemini khawatir.Hati Litha dipenuhi kehangatan dan segera memeluk putrinya. “Makasih, Sayang. Maaf, ya, Mama kuran
Jemari ramping wanita itu sibuk memijat pelipisnya. Sesekali alis indahnya akan berkerut kala menahan rasa sakit. Seorang wanita dengan busana gaun putih polos tergesa-gesa menghampiri Indira sembari membawa sebutir obat dan segelas air putih pada kedua tangannya.“Kamu tidak mau ke rumah sakit, Sayang?” Salma menyodorkan kedua benda di tangannya pada Indira, lalu diambil satu per satu oleh wanita itu.Usai minum obat, Indira menggeleng kecil sembari masih memijat pelipisnya. “Cuma sakit kepala biasa, Ma. Ini gara-gara Kalandra dan Litha.”Setelah berdebat dengan Kalandra kemarin, dan pagi ini dia mendapat pemberitahuan bahwa dia dan timnya dikeluarkan dari proyek film. Dia langsung sakit kepala. Sekarang Indira tidak akan bisa lagi berpura-pura menjadi wanita lemah lembut—yang tersakiti—di depan Kalandra. Karena dia sudah memperlihatkan wajah aslinya. Begitu juga bagus, karena terkadang Indira merasa muak jika harus memelas di hadapan Kalandra.“Kalandra jahat banget Ma. Hanya karena
Dukungan dari Kalandra, ternyata mampu membuat hati Litha tergerak untuk kembali membangkitkan bisnisnya. Meski, bayang-bayang kegagalan sebelumnya tak lepas dari benaknya, dia sudah berjanji untuk menjadi pribadi yang dapat mengubah kegagalan ini menjadi peluang.Hari ini ia datang ke perkebunan seorang teman lama. Bisa dibilang juga berkat orang itu, Litha bisa menjalankan bisnisnya.Ia membawa langkah memasuki perkebunan tersebut. Di mana semua bibit mawar yang Litha beli dulu, tentunya berasal dari tempat ini. Kemudian Litha menghentikan langkah kaki rampingnya tepat di depan kantor resepsionis perkebunan tersebut.Seseorang di balik kaca menyapa Litha dengan ramah. “Mbak Litha?”“Hai, Dianti.”“Mau ketemu Bu Wilda?”“Iya, nih.”“Mbak Litha sudah buat janji?”“Maaf, Dianti. Saya belum bikin janji sama Bu Wilda. Apa Bu Wilda sibuk?”“Bu Wilda susah datang, sih dari tadi. Sebentar, saya akan beritahu Bu Wilda dulu. Mbak Litha duduk saja dulu.”Litha mengangguk sembari berterima kasih
“Aku dengar dari Bi Rina, katanya Kak Kinasih nganter Gemini terus mampir. Apa dia mengusik kamu?” tanya Kalandra saat mereka tengah berdua di kamar. Kalandra tahu persis sifat kakak iparnya itu. Salah satu pengikut ibunya yang selalu siap untuk berdebat dengan Litha. Saat mendengar pertanyaan tersebut, tangan Litha masih sibuk mengendurkan dasi pria itu. Gerakan tangannya sempat berhenti sesaat, sebelum ia kembali melakukan aksinya mencopot benda itu dari kerah Kalandra. Wajahnya terangkat, menempatkan pandangan terpaku pada wajah tampan sang suami. Litha dengan sengaja menarik lembut kerah Kalandra agar lelaki itu memfokuskan perhatian padanya. Sontak aksinya tersebut membuat mata Kalandra membola lalu menurunkan tatapannya. “Dia memang datang mau menyusahkan aku, tapi dia kalah sebelum bertarung. Jika dipikir-pikir dia sangat menggemaskan.” “Dia? Menggemaskan kamu bilang?” “Iya, dia menggemaskan. Contohnya, saat dia mulai iri. Dia bakal menekuk alisnya, tapi tidak sampai dua
Momen berdua di dalam kamar, merupakan hal yang Kalandra tunggu. Kalandra merangkul tubuh istrinya, bersiap melabuhkan kecupan. Namun, sayang waktu seperti mempermainkannya karena suara teriakan Gemini.“Papa, Mama.”Keduanya kemudian berlari keluar kamar menuju kamar Gemini. Wajah mereka diliputi kepanikan karena gambaran-gambaran negatif menyerbu pikiran mereka.“Ada apa, Sayang?” Litha bergegas menghampiri putrinya usai Kalandra membuka pintu kamar gadis kecil itu.Mereka mendapati putri mereka menahan air mata yang pada pelupuk matanya. Tak kuasa melihat putrinya bersedih, Litha segera memeluknya.“Gambar yang Gemini buat rusak, Ma,” jawabnya bernada sendu.“Rusak?” Litha menoleh ke arah buku gambar yang sedang dipegang Gemini, sedangkan Kalandra berjongkok di sebelah putrinya sembari meraih buku gambar tersebut.“Ini masih bisa diperbaiki, Sayang,” tutur Kalandra menenangkan anaknya yang siap menyemburkan tangis.Gambar berupa kupu-kupu berwarna biru dengan corak hitam pada tepi s