PART 12
Mamah tergeletak pingsan di lantai. Penyakit jantung yang dideritanya, sepertinya kumat. Aku segera menelepon Toni yang menunggu di bawah untuk segera naik ke tempatku berada, guna membantu untuk meng-evakuasi Mamah.
Kedua orang " penghianat" itu terlihat sibuk mencari-cari bajunya yang berserakan di lantai, dan terlihat terburu-buru saat memakainya.
Si wanita, Maharani, yang terlihat dan berkelakuan seperti wanita lugu, baik, perduli, hanya menangis ketakutan. Sementara si pria yang setiap bertemu kupanggil Papah, sok-sokan terlihat panik. Aku benci dengan kedua manusia bejat tersebut.Sang pria selesai memakai baju secara asal lantas berniat ingin membantu, kucegah langkahnya.
"Jangan coba-coba kau berani sentuh mamahku!" sentakku geram, sembari menunjuk ke wajah Papah. Pria paruh baya itu terdiam, tidak berani mendekat.
"Ta-tapi, Ris," sanggahnya terbata, sembari mencoba lagi untuk mendekat.
"Aku bilang jangan sentuh mamahku!
PART 18Selepas dari pemakaman Mamah. Aku meminta Toni ke rumah dahulu guna mengambil beberapa barang berharga, lalu meminta Toni kembali mengantarkan aku ke sebuah bank pemerintah ternama untuk menyimpan surat-surat dan benda-benda berharga kedalam safety deposit box yang banyak tersedia di bank-bank besar.Mengajak Toni sebentar menikmati kopi di sebuah kedai kedai kopi lokal yang tidak jauh dari lokasi bank."Ton, aku minta kunci mobilnya," pintaku, sembari menyeruput kopi hitam hangat."Baik, Pak." Toni lalu memberikan kunci tersebut tepat di meja depanku."Mulai hari ini, kamu kembali kerja di kantor, Ton. Saya sudah hubungi Dipta agar menyiapkan satu tempat buat kamu di Sudirman," jelasku, lalu menyenderkan tubuh di kursi."Bapak sudah tidak butuh saya lagi?" tanyanya hati-hati. Yah, Toni ini sudah dari pertama mengikutiku, sejak saat almarhum Kakek mulai memintaku membantu untuk membesarkan bisnis keluarga Kusumateja. Selalu ikut kema
"Lebih cantik dari Maharani," ucapku sedikit bergumam."Apa, Bang?" tanyanya lagi, mungkin suara gumamku sedikit terdengar di telinganya."Tidak, tidak apa-apa," jawabku, aku dibuatnya menjadi serba salah. "Itu yang kamu pegang buku apa?" Paras wanita itu terlihat heran. Matanya memperhatikan aku."Abang bukan orang Islam?" tanyanya. Setahuku keluargaku Islam. Kami ikut berlebaran, tetapi memang tidak ada nilai-nilai keagamaan dalam rumah besar kami.Sedari TK hingga kuliah, aku sekolah di yayasan Katholik yang terbilang ternama di Jakarta. Walaupun SMA, tetapi murid-muridnya hanya khusus lelaki semua.Di rumah besar kami pun penghuninya tidak ada yang ibadah, karena lingkungan perumahan elit tempat aku tinggal dikelilingi mayoritas etnis Tionghoa. Dan kakekku sepertinya penganut kepercayaan, begitupun Mamah. Kolom agama kupikir hanya supaya terisi saja."Sebentar," jawabku, sembari mengambil kartu pengenal dan melihat kolo
Ini beneran, Wan?" tanyanya, seperti ragu-ragu.Aku mengangguk, dan memang aku sudah yakin ingin membeli rumah itu."Yang 15 juta, hitung-hitung saya ingin bersedekah buat ikut membantu pembangunan kobong, juga untuk di-sedekahkan atas nama almarhumah Mamah," ucapku lirih, ada rasa nyeri di hati jika menyebut ataupun mengingat almarhumah."Subhanallah," ucap Ustaz Arief. "Nanti soal surat-surat jual belinya biar saya yang urus, dan kita akan adakan tahlilan untuk mendoakan secara khusus buat almarhumah," lanjutnya lagi."Terima kasih, Ustaz," jawabku, sembari mengambil teh hangat yang sudah disediakan istri Ustaz Arief."Ngomong-ngomong, uang kamu banyak juga, Wan?" tanya Ustaz Arief, berseloroh."Ngumpulin sedikit-sedikit, Ustaz, saat kerja di luar kemaren," jawabku, menyembunyikan jati diri. Hening sejenak, lalu aku mulai memberanikan diri untuk kembali bertanya hal yang belakangan ini membuatku risau."Taz, saya mau tan
Part 15Pegunungan, perbukitan, dan hamparan kebun-kebun teh mengelilingi Desa Cibungah ini. Udara sejuk dan angin semilir menentramkan hatiku yang gelisah, tetapi tetap tidak mengurangi debaran dada yang mengiringi derap langkahku menuju ke rumah orang tua Risma.Kekhawatiran akan adanya penolakan dari orang tua gadis yang kusuka, terutama tentang sikap bapaknya yang banyak tuntutan setiap kali ada pria yang berniat ingin meminang putrinya Risma. Akan tetapi itu semua tidak menyurutkan niatku untuk mempersuntingnya. Langkah kami bertiga sudah sampai di depan teras rumah keluarga besar Risma, dan jantungku semakin berdebar keras."Assalamualaikum." Salam kedatangan terlontar dari mulut Ustaz Arief."Waalaikum salam." Emak datang menyambut dengan ditemani Risma, dan ... gadis lugu itu berdandan, cantik sekali. Dandanan yang sederhana tanpa warna-warna yang berkesan berani, paras wajahnya semakin terlihat lembut, senyuman termanis dia lemparkan untukku, lal
Rasa sesak merasuki rongga dada, bercampur dengan kesedihan dan pengharapan.Kecewa atas sikap dan penolakan yang ditunjukkan Juragan Hasyim. Sedih melihat Risma dengan sebegitu kuatnya berupaya melawan keputusan bapaknya, hingga harus berakhir dengan tamparan untuknya. Berharap, aku dan Eneng dapat dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.Langkah kakiku seperti mengambang, pikiranku hanya dipenuhi tentang Eneng. Seorang gadis desa yang belum lama mengenalku, tetapi yakin terhadapku. Berani mempertahankan keinginannya untuk tetap menikah denganku, walaupun harus melawan keputusan bapaknya. Hanya wanita yang benar-benar jatuh cinta yang berani seperti itu. Meyakini rasa yang ada di hati, jika aku memang pilihan yang tepat untuknya."Kamu tidak apa-apa, Wan?" tegur Ustaz Arief, saat kami berjalan bersisian, sementara Umi Hasanah sudah berjalan lebih dulu."Tidak apa-apa, Ustaz," jawabku pelan. Ustaz Arief terus menoleh ke arahku."Wan ... jika takdir
Emak langsung pergi, tidak lagi memberikan kesempatan aku untuk kembali bicara atau pun bertanya. Aku terus memandangi tubuh Emak yang perlahan menghilang di kejauhan. Tidak beberapa lama."Assalamualaikum, Ris,""Waalaikum salam." Salam dan kedatangan Ustaz Arief sedikit mengejutkan."Tadinya saya ingin menemani kemari, tetapi saat melihat ada emaknya Neng Risma, jadi saya urungkan," ucap Ustaz Arief."Itu bungkusan apa, Ris?" tanya Ustaz Arief."Ini sebagian dari baju-baju Risma, Ustaz, disuruh Emak agar disimpan di rumah saya," jawabku, lalu aku mulai menceritakan apa saja yang aku bicarakan dengan Emak kepada Ustaz Arief, termasuk tentang rencana menikah besok pagi, juga tentang wali nikah, termasuk meminta pendapat beliau tentang rencana menikah siri terlebih dahulu dengan kondisi Risma seperti sekarang ini."Sepertinya usia Risma sudah lebih dari 21 tahun, jadi ijin dari orang tua sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Setuju at
"Saudara Riswan bin Muchtar. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Risma Wulandari binti Hasyim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas seberat tiga gram. TUNAI!""SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA RISMA WULANDARI BINTI HASYIM DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SALAT DAN PERHIASAN EMAS SEBERAT TIGA GRAM DIBAYAR TUNAI.""Bagaimana para saksi?" tanya si penghulu.."Sah ... sah!" Suara dari saksi-saksi yang mendengar dan ikut menyaksikan Ijab Qabul."Baraqallah." Wajah-wajah kelegaan terlihat. Hidupku sekarang tidak lagi sama. Aku mungkin belum menjadi imam yang baik dalam ilmu agama, tetapi aku akan berusaha untuk itu, dan mulai pagi menjelang siang ini, Eneng sudah resmi menjadi istriku.Selepas penutup doa yang dibacakan Ustaz Arief, Eneng dengan didampingi Umi Hasanah mendatangiku, sembari mencium tanganku dan berucap pelan penuh keharuan."Jika eneng nanti berbuat kesalahan, tegur dan ingatkan Neng, ya, Bang." Air m
Menjelang senja, saat Matahari hanya tinggal menyisakan sinar orange ke-emasan yang membias indah di ufuk barat tepi bumi.Rumah megah ini masih sama seperti saat terakhirku tinggal di sini enam tahun yang lalu, tidak ada yang berubah dari bentuk dan juga penempatan furniture-furniture yang ada di dalamnya.Sunyi, lengang, tanpa kebersamaan yang saling mengikat antara saudara yang satu dengan yang lainnya. Hanya para pekerja pengurus rumah yang terlihat ada, bahkan mungkin rumah ini seperti milik mereka sendiri, karena lebih banyak waktu yang mereka habiskan di rumah ini dibandingkan dengan pemilik rumah itu sendiri.Aku memang merasa dibebani oleh tanggung jawab yang sangat besar. Saat ini bukan waktunya aku memikirkan diri sendiri. Ada ratusan ribu orang yang bergantung pekerjaan di Niskala Group, itu dahulu yang akan aku prioritas-kan, keberlangsungan bisnis usaha group Niskala.Tidak banyak waktuku hari ini, selesai mandi langsung berencana menjenguk Pa