Share

Suami Miskinku Ternyata Tuan Muda
Suami Miskinku Ternyata Tuan Muda
Author: Pramesti GC

1. Kuah Kecap

Setelah memastikan semua makanan keluar dengan menu yang komplit untuk kenduri, aku masih harus berjibaku dengan tumpukan dandang, panci dan banyaknya piring kotor bekas memasak. Beberapa tetangga yang ikut membantu siang ini pulang lebih dulu karena azan Duhur sudah berkumandang.

Kugosok pantat panci dengan abu dan sedikit sabun colek untuk membersihkan kerak yang menempel karena terpanggang di atas tungku perapian. Menata kembali wadah bersih ke tempatnya sebelum nanti di pakai lagi untuk memasak nasi dan sayur.

Hari ini tujuh bulanan Sinta, adikku. Suaminya yang seorang pelayaran, meminta diadakan acara besar hingga nanti malam, aku yang mengurus segalanya sejak kemarin, belanja di pasar, mengupas bawang, mencuci ayam dan perabot kotor bekas memasak.

Ya tentu saja harus begitu, jika yang lain datang membawa banyak bingkisan dan sembako, aku hanya mampu mengupayakan tenagaku agar meringankan beban ibu di rumah ini.

"Hey, jangan dibuka-buka! Itu untuk pengajian nanti malam!"

Suara mbak Tri memecah heningku, suara istri kakak tertuaku itu membuatku berdiri dan melihat apa yang terjadi di dalam ruang makan. Nadia, putriku menunduk dengan takut, piring berisi nasi putih di tangannya bergetar.

"Ada apa mbak?" Aku usap tangan basahku di ujung daster, mendekati Nadia yang tak bergerak dari tempatnya.

"Tuh anakmu, diajari sopan santun bisa kan wi, bukan asal comot saja makanan orang, seperti kucing!" Umpatnya dengan mata membelalak.

Astaqfirullah!

Hatiku bagai dipecut mendengar ucapan kakak iparku itu, setelahnya mbak Tri berlalu pergi, namun sempat melirik tajam pada Nadia.

Aku berjongkok, gadis tujuh tahun itu tertunduk takut, kusibakkan rambutnya yang tergerai, lalu mendudukannya di kursi makan.

"Nadia mau ayam ini?" Aku menunjuk ayam kecap di dalam baskom putih, sedikit terkejut saat gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, wajah sendu itu terangkat menatapku.

"Kuahnya saja buk, Nana mau kuahnya saja"

Deg! Jawaban Nadia membuat hatiku teremas, Gadis kecil ini begitu suka makan ayam kecap masakanku, dan sekarang dia hanya meminta kuahnya, hati ibu mana yang tak terlucuti mendengar penuturan lirihnya.

"Gak mau ayamnya?" Aku kembali menawari, ada potongan kecil-kecil kulit ayam yang terlepas dari dagingnya.

"Kuah saja buk, nanti bude Tri marah lagi" Ucapnya polos.

Mendengar kalimatnya, bulir bening lolos juga dari netra, terlebih memandang dua kelopak matanya yang berbinar, gadisku begitu berbesar hati menerima. Kutuangkan dua sendok kuah kecap ke dalam piring, dan dia duduk dipojok dekat tempatku mencuci.

"Ke depan saja makannya, nanti kalau ibu sudah selesai, kita bisa pulang dulu"

Dia menggelengkan kepala. "Di sini saja bu." Ucapnya lalu memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.

Aku berjalan mendekat, duduk kembali ke tempatku dan menyelesaikan pekerjaan yang ku tinggal.

" Buk, burger itu enak nggak ya?" Nadia tiba-tiba saja bertanya.

Deg!

Aku menangkap nada sedih dalam kalimatnya. "Memang siapa yang makan burger?" Tanyaku tak tega menatap netranya yang sendu

"Semua buk. Mbak Lisa, mas Bagas, adek Juan juga makan di piring kecil. Bude bilang ke Tante Ratna, Nana gak boleh makan, lidahnya gak cocok, suruh ibu belikan sendiri makanan lain. tapikan ibu kan belum punya uang ya bu?"

Allah!

Lemas sudah kakiku mendengar kalimatnya, mengapa bocah sekecil ini harus menanggung kebencian semua orang pada kemiskinan kami. Aku mencoba tersenyum,k kini aku mengerti sekarang, kenapa Nadia memilih makan di sini, entah dari mana burger itu berasal, tapi itu sudah membuat hati putriku terluka.

Apa salahmu nak, sehingga begitu berbeda mereka memperlakukanmu, batinku serasa menjerit melihat ini semua.

"Gak apa, nanti kalau Ayah dapat uang lebih, kita beli burger besar ya, yang ada telur mata sapinya." Aku coba membesarkan hatinya yang patah.

Gadis itu tersenyum menganggukkan kepala, memasukkan kembali dengan lahap nasi kecap berbau ayam ke dalam mulutnya yang kecil.

Brak!

Mbak Tri meletakkan kasar tumpukan piring kotor di dalam wastafel dapur. "Memang kapan mau beli burger ? Makan enak saja numpang di rumah ibu, mimpi mau beli burger yang ada telurnya. Jangan percaya Nad, ibumu bohong!"

"Mbak!" Aku segera berdiri dan menutup kedua telinga Nadia.

"Apa? Jangan suka sesumbar tinggi sama anak lah Wi, nanti dia manja. Lagian kita ini bukan gak mau kasih burger yang di bawa Hendra ya, tapi takut saja anakmu gak cocok makan makanan begitu, nanti muntah disini, siapa yang repot?" Dia berkilah sembari berkacak pinggang.

"Sudah cukup mbak! " Aku menarik tangan Nadia menjauh, keluar dari dapur, menghindari mulut pedas mbak Tri.

Sebenarnya, bisa saja aku menjawab, namun bukan di depan Nadia. Dia tak boleh melihat pertengkaran diantara aku dan budenya. Bagaimapaun Nadia tak boleh menaruh rasa benci pada keluarganya sendiri.

"Wi, mau kemana?"

Ibu yang tiba-tiba datang membuatku menghentikan langkah, kuseka air mata di pipi dan tersenyum mendekati ibu.

"Pulang sebentar bu, sepertinya Nadia gerah, mau mengantikan bajunya juga yang basah."

Namun mata ibu justru tertuju pada piring ditangan putriku. "Nadia sudah makan?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya.

"Enak ya ayam buatan ibu? Ibu Nadia kan memang pintar masak ya nak, mau nambah?" Ibu mengusap rambut Nadis.

"Sudah mbah ti, nanti bude marah lagi"

Ucapan gadis ini membuat mbak Tri melirikku tajam.

Sepertinya ibu tak mendengar, ibu hanya diam dan membuka plastik besar di sampingnya.

"ini baju muslim untuk Nadia, nanti dipakai buat ngaji disini ya?"

Ibu memberikan plastik merah kepada Nadia, gadis itu menyambutnya dengan senyum mengembang. Sementara aku semakin tak enak hati dengan sikap ibu, terlebih mbak Tri tak berhenti menatapku tak suka.

***

Malam tiba, mereka semua mengaji dengan tenang, aku bersama beberapa tetangga sibuk di dapur sementara dua menantu ibu yang lain duduk di luar untuk menyambut tamu yang datang, mereka bahkan memakai gamis senada dengan warna biru kehijauan.

Aku adalah anak ke dua di keluarga ini dan menikah dengan Mas Alif yang kini bekerja jadi seles makanan ringan. Kakakku Mas Aziz seorang ASN di kantor kabupaten, mbak Tri istrinya seorang menejer di sebuah pabrik garmen di kota ini. Sedangkan Hendra, Adik lelakiku adalah karyawan Bank swasta, punya usaha toko sepatu dan alat tulis, istrinya Ratna yang membantu mengurus usahanya.

"Lho mbak, kok disini? gamisnya kenapa gak di pakai?" Sinta adik terkecilku ke dapur dan melihat aku masih sibuk dengan makanan yang akan disajikan.

" Gak mau katanya, gak cocok buat dia! Sudah ayo ke depan saja! " Ratna yang melihat langsung menarik Sinta keluar.

"Gamis apa maksudnya? Ah, nanti akan aku tanyakan pada Sinta." Aku bergumam sendiri.

Setelah acara selesai, mereka semua duduk di ruang tengah, aku masih sibuk membersihkan piring kotor di atas tikar.

"Acaranya lancar ya Sin, semoga lahirannya juga lancar, ibu dan bayinya sehat ya." Mas Alif mendoakan adik perempuanku, doanya terdengar tulus.

Sinta tersenyum. "Amin, terimakasih ya mas doanya"

"Ya jelas lancar, sehat, suami sinta punya banyak uang, kalau cuma bayar lahiran tak akan membuatnya berhutang ke sana kemari!" Mas Aziz menimpali.

Mas Alif tersenyum menganggukkan kepala. "Alhamdulillah mas, Sinta dapat suami yang bisa mencukupi kebutuhannya"

"Iya bukan sepertimu yang masih kurang saja memberi istri!" Mbak Tri menyela ucapan mas Alif.

"Maaf mbak, kenapa mbak Tri bilang begitu?" Mas Alif masih dengan lembutnya bertanya.

"Yaa kalau cukup, tak perlulah ibu belikan baju muslim untuk Nadia, Ibu beli karena kasihan sama kamu dan istrimu itu cuma kasih pakaian layak buat anak saja tak bisa!"

Aku terdiam, menatap wajah mbak Tri yang nampak puas menghina mas Alif. Meski hatiku menjerit mendengarnya merendahkan kami, aku masih diam menghargai ibu sebagai pemilik rumah ini.

"Nadia dibelikan baju muslim mbak? Ih, kok ibu pilih kasih! Lisa, Bagas dan Juan juga cucu ibu lho, masak cuma Nadia yang dibelikan!" Ratna berdecak kesal, dia menantu yang banyak maunya.

"Ibu belikan Nadia kan karena kasihan Na, buat apa nunggu ibu belikan Juan! Kita masih bisa beli sendiri, kalau Mas Alif kan beda, dia tak bisa belikan Nadia baju bagus, makanya minta ibu belikan untuk anaknya !" Hendra menambahkan.

"Ibu belikan bukan karena kasihan, ibu beli karena Nadia sudah rajin mengaji, sudah belajar Iqro 4 juga. Lagian apa salahnya ibu memberi Nadia baju muslim? Dia tak meminta kalung baru seperti Lisa, Jaket dan sepatu baru seperti Bagas, Tak juga minta stroller baru, Kasur baru seperti Ratna ibunya Juan. Jangankan meminta ibu, di sini Dewi saja tak mengambil apapun bila tak di beri!"

Kami semua terdiam, ibu yang kami kira masih di belakang ternyata sudah berdiri di ambang pintu, menatap kami satu persatu.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Siti Fatimah
pada julid saudaranya mama nya Nadia sabar ya
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
keren ibu , .........
goodnovel comment avatar
Murni Yanah
cerita yg sangat bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status