Setelah memastikan semua makanan keluar dengan menu yang komplit untuk kenduri, aku masih harus berjibaku dengan tumpukan dandang, panci dan banyaknya piring kotor bekas memasak. Beberapa tetangga yang ikut membantu siang ini pulang lebih dulu karena azan Duhur sudah berkumandang.
Kugosok pantat panci dengan abu dan sedikit sabun colek untuk membersihkan kerak yang menempel karena terpanggang di atas tungku perapian. Menata kembali wadah bersih ke tempatnya sebelum nanti di pakai lagi untuk memasak nasi dan sayur.Hari ini tujuh bulanan Sinta, adikku. Suaminya yang seorang pelayaran, meminta diadakan acara besar hingga nanti malam, aku yang mengurus segalanya sejak kemarin, belanja di pasar, mengupas bawang, mencuci ayam dan perabot kotor bekas memasak.Ya tentu saja harus begitu, jika yang lain datang membawa banyak bingkisan dan sembako, aku hanya mampu mengupayakan tenagaku agar meringankan beban ibu di rumah ini."Hey, jangan dibuka-buka! Itu untuk pengajian nanti malam!"Suara mbak Tri memecah heningku, suara istri kakak tertuaku itu membuatku berdiri dan melihat apa yang terjadi di dalam ruang makan. Nadia, putriku menunduk dengan takut, piring berisi nasi putih di tangannya bergetar."Ada apa mbak?" Aku usap tangan basahku di ujung daster, mendekati Nadia yang tak bergerak dari tempatnya."Tuh anakmu, diajari sopan santun bisa kan wi, bukan asal comot saja makanan orang, seperti kucing!" Umpatnya dengan mata membelalak.Astaqfirullah!Hatiku bagai dipecut mendengar ucapan kakak iparku itu, setelahnya mbak Tri berlalu pergi, namun sempat melirik tajam pada Nadia.Aku berjongkok, gadis tujuh tahun itu tertunduk takut, kusibakkan rambutnya yang tergerai, lalu mendudukannya di kursi makan."Nadia mau ayam ini?" Aku menunjuk ayam kecap di dalam baskom putih, sedikit terkejut saat gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, wajah sendu itu terangkat menatapku."Kuahnya saja buk, Nana mau kuahnya saja"Deg! Jawaban Nadia membuat hatiku teremas, Gadis kecil ini begitu suka makan ayam kecap masakanku, dan sekarang dia hanya meminta kuahnya, hati ibu mana yang tak terlucuti mendengar penuturan lirihnya."Gak mau ayamnya?" Aku kembali menawari, ada potongan kecil-kecil kulit ayam yang terlepas dari dagingnya."Kuah saja buk, nanti bude Tri marah lagi" Ucapnya polos.Mendengar kalimatnya, bulir bening lolos juga dari netra, terlebih memandang dua kelopak matanya yang berbinar, gadisku begitu berbesar hati menerima. Kutuangkan dua sendok kuah kecap ke dalam piring, dan dia duduk dipojok dekat tempatku mencuci."Ke depan saja makannya, nanti kalau ibu sudah selesai, kita bisa pulang dulu"Dia menggelengkan kepala. "Di sini saja bu." Ucapnya lalu memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.Aku berjalan mendekat, duduk kembali ke tempatku dan menyelesaikan pekerjaan yang ku tinggal. " Buk, burger itu enak nggak ya?" Nadia tiba-tiba saja bertanya.Deg!Aku menangkap nada sedih dalam kalimatnya. "Memang siapa yang makan burger?" Tanyaku tak tega menatap netranya yang sendu"Semua buk. Mbak Lisa, mas Bagas, adek Juan juga makan di piring kecil. Bude bilang ke Tante Ratna, Nana gak boleh makan, lidahnya gak cocok, suruh ibu belikan sendiri makanan lain. tapikan ibu kan belum punya uang ya bu?"Allah!Lemas sudah kakiku mendengar kalimatnya, mengapa bocah sekecil ini harus menanggung kebencian semua orang pada kemiskinan kami. Aku mencoba tersenyum,k kini aku mengerti sekarang, kenapa Nadia memilih makan di sini, entah dari mana burger itu berasal, tapi itu sudah membuat hati putriku terluka.Apa salahmu nak, sehingga begitu berbeda mereka memperlakukanmu, batinku serasa menjerit melihat ini semua."Gak apa, nanti kalau Ayah dapat uang lebih, kita beli burger besar ya, yang ada telur mata sapinya." Aku coba membesarkan hatinya yang patah.Gadis itu tersenyum menganggukkan kepala, memasukkan kembali dengan lahap nasi kecap berbau ayam ke dalam mulutnya yang kecil.Brak!Mbak Tri meletakkan kasar tumpukan piring kotor di dalam wastafel dapur. "Memang kapan mau beli burger ? Makan enak saja numpang di rumah ibu, mimpi mau beli burger yang ada telurnya. Jangan percaya Nad, ibumu bohong!""Mbak!" Aku segera berdiri dan menutup kedua telinga Nadia."Apa? Jangan suka sesumbar tinggi sama anak lah Wi, nanti dia manja. Lagian kita ini bukan gak mau kasih burger yang di bawa Hendra ya, tapi takut saja anakmu gak cocok makan makanan begitu, nanti muntah disini, siapa yang repot?" Dia berkilah sembari berkacak pinggang."Sudah cukup mbak! " Aku menarik tangan Nadia menjauh, keluar dari dapur, menghindari mulut pedas mbak Tri.Sebenarnya, bisa saja aku menjawab, namun bukan di depan Nadia. Dia tak boleh melihat pertengkaran diantara aku dan budenya. Bagaimapaun Nadia tak boleh menaruh rasa benci pada keluarganya sendiri."Wi, mau kemana?"Ibu yang tiba-tiba datang membuatku menghentikan langkah, kuseka air mata di pipi dan tersenyum mendekati ibu."Pulang sebentar bu, sepertinya Nadia gerah, mau mengantikan bajunya juga yang basah."Namun mata ibu justru tertuju pada piring ditangan putriku. "Nadia sudah makan?"Gadis itu menganggukkan kepalanya."Enak ya ayam buatan ibu? Ibu Nadia kan memang pintar masak ya nak, mau nambah?" Ibu mengusap rambut Nadis."Sudah mbah ti, nanti bude marah lagi"Ucapan gadis ini membuat mbak Tri melirikku tajam.Sepertinya ibu tak mendengar, ibu hanya diam dan membuka plastik besar di sampingnya."ini baju muslim untuk Nadia, nanti dipakai buat ngaji disini ya?"Ibu memberikan plastik merah kepada Nadia, gadis itu menyambutnya dengan senyum mengembang. Sementara aku semakin tak enak hati dengan sikap ibu, terlebih mbak Tri tak berhenti menatapku tak suka.***Malam tiba, mereka semua mengaji dengan tenang, aku bersama beberapa tetangga sibuk di dapur sementara dua menantu ibu yang lain duduk di luar untuk menyambut tamu yang datang, mereka bahkan memakai gamis senada dengan warna biru kehijauan.Aku adalah anak ke dua di keluarga ini dan menikah dengan Mas Alif yang kini bekerja jadi seles makanan ringan. Kakakku Mas Aziz seorang ASN di kantor kabupaten, mbak Tri istrinya seorang menejer di sebuah pabrik garmen di kota ini. Sedangkan Hendra, Adik lelakiku adalah karyawan Bank swasta, punya usaha toko sepatu dan alat tulis, istrinya Ratna yang membantu mengurus usahanya."Lho mbak, kok disini? gamisnya kenapa gak di pakai?" Sinta adik terkecilku ke dapur dan melihat aku masih sibuk dengan makanan yang akan disajikan." Gak mau katanya, gak cocok buat dia! Sudah ayo ke depan saja! " Ratna yang melihat langsung menarik Sinta keluar."Gamis apa maksudnya? Ah, nanti akan aku tanyakan pada Sinta." Aku bergumam sendiri.Setelah acara selesai, mereka semua duduk di ruang tengah, aku masih sibuk membersihkan piring kotor di atas tikar."Acaranya lancar ya Sin, semoga lahirannya juga lancar, ibu dan bayinya sehat ya." Mas Alif mendoakan adik perempuanku, doanya terdengar tulus.Sinta tersenyum. "Amin, terimakasih ya mas doanya""Ya jelas lancar, sehat, suami sinta punya banyak uang, kalau cuma bayar lahiran tak akan membuatnya berhutang ke sana kemari!" Mas Aziz menimpali.Mas Alif tersenyum menganggukkan kepala. "Alhamdulillah mas, Sinta dapat suami yang bisa mencukupi kebutuhannya""Iya bukan sepertimu yang masih kurang saja memberi istri!" Mbak Tri menyela ucapan mas Alif."Maaf mbak, kenapa mbak Tri bilang begitu?" Mas Alif masih dengan lembutnya bertanya."Yaa kalau cukup, tak perlulah ibu belikan baju muslim untuk Nadia, Ibu beli karena kasihan sama kamu dan istrimu itu cuma kasih pakaian layak buat anak saja tak bisa!"Aku terdiam, menatap wajah mbak Tri yang nampak puas menghina mas Alif. Meski hatiku menjerit mendengarnya merendahkan kami, aku masih diam menghargai ibu sebagai pemilik rumah ini."Nadia dibelikan baju muslim mbak? Ih, kok ibu pilih kasih! Lisa, Bagas dan Juan juga cucu ibu lho, masak cuma Nadia yang dibelikan!" Ratna berdecak kesal, dia menantu yang banyak maunya."Ibu belikan Nadia kan karena kasihan Na, buat apa nunggu ibu belikan Juan! Kita masih bisa beli sendiri, kalau Mas Alif kan beda, dia tak bisa belikan Nadia baju bagus, makanya minta ibu belikan untuk anaknya !" Hendra menambahkan."Ibu belikan bukan karena kasihan, ibu beli karena Nadia sudah rajin mengaji, sudah belajar Iqro 4 juga. Lagian apa salahnya ibu memberi Nadia baju muslim? Dia tak meminta kalung baru seperti Lisa, Jaket dan sepatu baru seperti Bagas, Tak juga minta stroller baru, Kasur baru seperti Ratna ibunya Juan. Jangankan meminta ibu, di sini Dewi saja tak mengambil apapun bila tak di beri!"Kami semua terdiam, ibu yang kami kira masih di belakang ternyata sudah berdiri di ambang pintu, menatap kami satu persatu.Part 2(Nasi berkat tanpa ayam)Mas Alif berdiri, menuntun ibu duduk di antara kami, aku yang sedang memegang piring kotor memilih ke belakang. "Wi, taruh saja piringnya di meja makan, setelah itu kemari lah duduk di sini."Ucapan ibu tak dapat aku bantah, ku letakkan tumpukan piring itu di atas meja makan dan kembali keluar. Aku duduk di ujung tikar, sedikit menjauh dari mbak Tri dan Ratna."Wi, mendekat kemari, duduk dengan adik dan iparmu." Ibu kembali memerintah.Aku mengeser duduk di dekat Ratna, entah kenapa, baru saja pantat ini menempel tikar, dia sudah menjauh, memberi batasan.Terdengar ibu menghembuskan nafas berat, mengusap wajahnya dengan sapu tangan dari saku gamisnya. "Apa yang sudah terjadi dengan anak-anakku?" Ibu bertanya, masih menatap ke arah tikar.Mas Alif mendekat, mengusap pelan punggung ibu. Aku tahu bagaimana rasanya menahan lara, melihat anak-anak ibu saling tak bisa menahan lisannya."Usia ibu mungkin tak akan lama lagi, mau sampai kapan ibu melihat saudar
Aku hanya terdiam, melihat nasi tanpa lauk yang ada di depanku, sementara wajah berbinar Nadia menghilang begitu saja, dia hanya terduduk diam menahan tangis."Mungkin tante Ratna lupa kasih masuk ayamnya nduk. Besok kita beli saja ya? Kalau ibuk punya rezeki, kita buat ayam yang sama enaknya"Gadis itu mengelengkan kepala." Nadia gak mau lagi makan ayam buk, Nadia gak suka ayam. Kenapa tante jahat sama Nadia, Nadia gak nakal, gak minta jajan juga. Semua jajan Es, Nadia gak minta, kenapa ayam juga gak dikasih sama tante buk? " Ucapan lirihnya membuat hatiku memanas."Tante ngak jahat, kita do'akan saja tante biar tambah sayang sama Nadia ya?""Gak mau, Nadia do'a saja untuk ibu dan Ayah, Nadia cuma mau Ibuk dan Ayah saja, nggak mau tante, bude atau siapapun!" Ucapnya pelan.Ya Allah, remuk hatiku, anak kecil ini pandai sekali menyembunyikan rasanya. Nadia, ada apa denganmu?Aku mencoba tersenyum, lalu berdiri dan mengusap wajahku sendiri. "Yasudah, Ayo kita beli telur saja di warung m
POV AlifAku meninggalkan Dewi dan Nadia sendiri, hatiku terasa sakit saat orang yang aku sayang di hina terus menerus karena miskin. Memang apa salahnya hidup sederhana? kami tak pernah meminta belas kasih mereka selama ini, aku bahkan masih bisa memenuhi kehidupan kami sehari-hari, walau dengan sederhana.Mereka boleh saja menghinaku sendiri, namun melihat Dewi di pojok kan hanya karena aku memilih hidup sederhana, hatiku serasa begitu terluka. Terlebih Nadia putriku, apa salah gadis itu pada mereka, bahkan sepotong ayam_pun kini jadi lara bagi hatinya.Sebuah mobil berhenti setelah lama aku menunggu di jalan masuk desa dan saat aku masuk ke dalam mobil tak sengaja aku melihat mobil mas Aziz juga keluar dari gang rumah ibu mertuaku. Aku tak perduli pada kaca mobil nya yang turun memperhatikan aku sekarang."Jalan saja!" Ucapku singkat dan mobil mewah milikku berjalan meninggalkan kampung tempat Dewi tinggal.Satu jam perjalanan membawa aku sampai di rumah megah yang sepuluh tahun la
Apa yang akan aku katakan pada Nadia, mas Alif bahkan pergi tanpa berpamitan padanya, gadis itu pasti sedih bila tau apa yang terjadi.Kutatap rumah tempat kami tinggal, rumah yang mas Alif kontrak di awal pernikahan kami. Dia pendatang di kampung ini kala itu, membantu pengerjaan proyek jembatan besar dan mas Alif adalah salah satu buruh yang datang dari kota.Dia menikahiku setelah dua tahun kami saling kenal, bapak adalah rekan kerjanya di proyek dan kami berkenalan karena aku sering di minta mengantarkan makan siang bapak. Di mataku mas Alif orang yang baik, sabar dan rajin, bapak mungkin juga berpikir begitu, karena itulah beliau menjodohkan aku dengannya."Ibuk sudah pulang?" Aku terkejut, Nadia sudah berdiri di ambang pintu depan, menatapku yang masih terdiam di pelataran."Sudah, Nadia sudah selesai makan?"Gadisku menganggukkan kepala, namun matanya tak berhenti menelisik ke balik punggungku."Ayah mana buk?"Deg!Tubuhku gemetar rasanya, aku bahkan belum tau apa yang sedang
"Tunggu Wi, aku melihat suamimu pergi dengan mobil mewah, kamu tau itu siapa?" Kalimat mas Aziz menghentikan langkahku."Apa yang mas katakan?"" Mas Aziz lihat mas Alif pergi semalam, naik mobil mewah mbak, di jemput orang berjas hitam." Ratna bicara dengan nada meremehkan, matanya melirik seolah sedang menertawakan situasiku sekarang."Mobil mewah?" Aku terkejut mendengar ucapan Ratna, mas Alif bahkan tak pamit dengan jelas akan pergi kemana, bagaimana bisa ada mobil mewah menjemputnya semalam."Kamu nggak tau?" mas Aziz bertanya lagi"Aku ngak tau mas, mas yakin itu mas Alif?""Kamu kira aku bohong? mataku juga masih sehat Wi!" Mas Aziz nampak tersinggung.."Bukan begitu mas, hanya mas Alif memang belum bilang ke mana, tapi kok aneh kalau dia naik mobil mewah.""Iyakan aneh, aku juga berpikir begitu mas, lagi pula mana mungkin seles makanan saja kok bisa punya teman atau kenalan orang kaya!" Mbak Tri melipat tangan di dada."Jangan merendahkan suamiku begitu mbak!"Tatapan mbak Tr
"Kenapa kamu tak kesal?" Deren bertanya dengan heran."Buat apa aku kesal, mereka hanya meminjam tapi tak benar-benar memiliki, toh jika bukan karena satu hal aku mungkin tak akan kembali Ren, aku sudah bahagia dengan keluargaku sendiri?""Keluarga? kamu sudah menikah? ini gila!" "Hahahaaa, apanya yang gila, aku lelaki normal Deren, wajar saja bila aku menikah dan punya anak.""Kamu sudah punya anak juga? apa yang sudah merasukimu sepuluh tahun ini Lif?" Deren masih terheran-heran mendengar jawaban sahabatnya itu, mereka berteman telah lebih dari dua puluh tahun dan sekarang seorang tuan muda kembali dengan jatidiri yang jauh berbeda."Aku akan ceritakan semuanya nanti, sekarang Ceritakanlah padaku apa yang sudah terjadi selama aku pergi?"Alif bicara dengan serius pada sahabatnya itu, selama dia pergi bahkan Alif tak pernah ingin melihat dan membaca berita apapun tentang keluargnya sendiri. Terlalu sakit dan pedih mengingat kembali mamanya yang menderita karena penghianatan sang pap
"Aku ingin meminta bantuan Deren, tolong minta orang datang ke rumah istriku dan pastikan kebutuhan mereka terpenuhi dulu." Alif tiba-tiba saja meminta pada Deren."Sekarang?" Deren menaikkan alisnya terkejut"Ya, sejak semalam aku tak tau harus berbuat apa untuk memastikan mereka aman, tolong kirim orang ke sana selama aku tak ada.""Baiklah,tapi kamu yakin akan baik-baik saja? Kenapa kita tak menjemputnya saja sekarang?" Deren mengamati wajah sahabatnya, ada gurat ragu dan takut di sana."Aku nggak apa-apa Deren, tolong saja urus keperluan istri dan anakku. Menjemput mereka itu perkara mudah, yang sulit adalah memastikan mereka aman lebih dulu.""Ya aku mengerti, jika begitu akan aku urus mereka sekarang juga." Deren berjalan mendahului Alif, membuka pintu aula dan terdiam saat melihat Lukas sudah berdiei dengan wajah tak suka padanya."Pak Deren, apakah rapat mendadak ini perintahmu?" Lelaki dua puluh lima tahun itu menatap Deren dengan marah."Iya bisa di bilang begitu, tapi tidak
pov penulisDewi masih terus memikirkan apa yang terjadi pada suaminya, setelah selesai setrika baju dia bahkan tak bisa duduk dengan tenang, tangannya masih terus berusaha mencari kegiatan untuk mengalihkan pikirannya yang entah sedang berada di mana."Bagaimana jika mas Aziz benar?"Tiba-tiba saja kalimat itu terlintas di dalam kepalanya, segala prasangka buruk seolah terus mencoba mengusai."Tidak, itu tidak mungkin benar! Bagaimana bisa mas Alif melakukaan itu pada kami" Dewi berpikir Alif terlalu baik untuk berbuat jahat pada dirinya dan Nadia."Tapi bagaimana jika itu benar?""Ark! apasih isi kepalaku ini!" Dewi menolak sendiri pikiran buruknya itu."Ah, aku bahkan lupa menjemput Nadia!" Ucapnya panik saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Bergegas dia mengambil motor untuk menjemput Nadia, namun baru saja motornya keluar halaman sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Seorang wanita dengan pakaian formal turun dan mendekati Dewi."Permisi, ibu saya mau tanya rum