Part 2
(Nasi berkat tanpa ayam)Mas Alif berdiri, menuntun ibu duduk di antara kami, aku yang sedang memegang piring kotor memilih ke belakang."Wi, taruh saja piringnya di meja makan, setelah itu kemari lah duduk di sini."Ucapan ibu tak dapat aku bantah, ku letakkan tumpukan piring itu di atas meja makan dan kembali keluar. Aku duduk di ujung tikar, sedikit menjauh dari mbak Tri dan Ratna."Wi, mendekat kemari, duduk dengan adik dan iparmu." Ibu kembali memerintah.Aku mengeser duduk di dekat Ratna, entah kenapa, baru saja pantat ini menempel tikar, dia sudah menjauh, memberi batasan.Terdengar ibu menghembuskan nafas berat, mengusap wajahnya dengan sapu tangan dari saku gamisnya. "Apa yang sudah terjadi dengan anak-anakku?" Ibu bertanya, masih menatap ke arah tikar.Mas Alif mendekat, mengusap pelan punggung ibu. Aku tahu bagaimana rasanya menahan lara, melihat anak-anak ibu saling tak bisa menahan lisannya."Usia ibu mungkin tak akan lama lagi, mau sampai kapan ibu melihat saudara saling menggores luka? Kamu Aziz, apa begitu menyenangkan menyindir adik kandungmu sendiri?" Ibu menatap wajah mas Aziz, namun lelaki itu seperti tak perduli, ia sibuk menghisap rokoknya lebih dalam, untungnya jarak kami sedikit jauh, jadi aku tak mencium asapnya yang mengepul diterpa angin." Hendra, apa tidak ada rasa hormat sedikit saja pada mbakmu dan suaminya? Sampai teganya kamu merendahkan harga diri saudara sedarahmu! Apa yang akan ibu katakan pada Bapak nanti? Ibu sudah gagal mendidik anak-anak yang beliau banggakan.""Sudah bu, sudah, Alif nggak apa-apa bu." Mas Alif berusaha menenangkan ibu, memang begitulah suamiku, dia tak tega melihat ibu menangis, sebab mas Alif tak lagi memiliki orang tua, jadi baginya ibu adalah orang tuanya."Ibu gak buta lif, ibu bisa melihat bagaimana kamu diperlakukan, ibu bisa mendengar bagaimana kamu direndahkan, apa berat hidup rukun dan saling sayang? Begitu beratkah untuk kalian?"Kami masih terdiam, namun perlahan ibu bangkit dari tikar dan berjalan tanpa sepatah katapun keluar lagi dari bibirnya. Hatiku merasa sakit, harusnya malam ini jadi malam yang indah untuk Sinta, namun justru berakhir seperti ini."Puas kamu lif sudah membuat ibuku marah!" Mas Aziz menatap tajam pada mas Alif, tak ada lagi jawaban dari lisan suamiku, aku tau dia memilih diam, tak ingin menambah luka pada hati ibu."Dasar tukang adu! Acara bagus jadi rusak karena kalian berdua, penjilat memang kalian! Di depan ibu sok baik, sok suci, kayak paling benar saja hidupnya!" Mbak Tri menambahkan, setali tiga uang, pasangan ini memang sangat kompak bila mencela dan menghina."Lha ya, mereka yang miskin kok kita yang suruh memaklumi, menghargai. Ibu itu terlalu membela mbak Dewi dan mas Alif, makanya mereka jadi besar kepala!" Ratna menambahkan bumbu pedas pada suasana yang sudah memanas.Ratna lalu berjalan ke belakang setelah ia bicara, tangis Juan anaknya terdengar dari kamar.Hatiku terbakar mendengar ucapan mereka semua." kami tak meminta di bela kalian semua, tak perlu juga memaklumi keadaan kami, kami tak perlu rasa iba kalian semua!" Aku berdiri menunjuk wajah mereka satu persatu."Ya bagus, seharusnya memang tak meminta dikasihani ! Orang kalau mau kaya itu kerja, bukan ngemis kasihan orang!" Hendra menambahkan."Cukup Hendra! Jangan membuat aku lupa darah siapa yang mengalir di tubuh kita!" Kali ini aku tak bisa menahan emosi."Halah, aku juga tak mimpi sedarah denganmu mbak! Kita hanya kebetulan lahir dari rahim yang sama, tapi maaf, nasibmu dan nasibku berbeda!" Ucapnya sembari menunjuk wajahku tanpa rasa hormat, dasar adik tak tau diri!"Sudah mas cukup! Kenapa jadi bertengkar begini! Harusnya ini acara untuk mendoakan anakku, bukan malah saling merendahkan saudara sendiri!" Santi ikut berdiri, meninggalkan ruang tamu yang kian memanas, dia tak ingin lagi berada diantara kami.Aku berjalan menarik mas Alif menjauh. "Kita pulang saja mas, aku panggil Nadia dulu di dalam, kasihan ibu jika mendengar kita terus bertengkar."Segera aku berjalan ke ruang tengah, kulihat Ratna sedang membagi nasi kenduri dalam kardus.Kuhampiri Nadia di depan TV, gadis itu duduk sendiri, sementara sepupunya yang lain asik bermain ponsel."Nad, kita pulang yuk, besok Nadia sekolah kan?"Gadis yang masih kelas 1 sekolah dasar itu menatapku dan mengangguk, dia berdiri dan melihat Ratna masih sibuk di meja."Bu, boleh tidak Nadia minta itu satu? Di dalam ada ayam kan bu?" Putriku menunjuk nasi kotak di meja."Boleh, Nadia kan belum makan ayam, tante Sinta pasti tidak keberatan. Nadia tunggu di depan sama Ayah saja ya?" Aku meminta Nadia ke depan.Setelahnya aku mengambil plastik dan membawa satu kardus untuk Nadia. Sejak tadi dia tak mendapat ayam, satu potong ayam saja, sudah cukup membuat gadis itu tersenyum nantinya."Sudah makan kenyang, masih mau bawa pulang kardus kenduri? memang ya begitu kalau muka tembok!" Ratna menyindir dengan sinisnya, sementara dia sendiri sibuk memasukkan kardus-kardus kedalam tas plastik besar.Ya Allah, aku bahkan tak menyentuh makanan apapun sejak datang setelah magrib.Kuhela nafas berat. "Aku hanya bawa satu Rat, untuk Nadia. Kamu sendiri sudah memasukkan banyak kardus makanan ke dalam plastik, buat apa?" Kukirim kantong plastik merah di dekatnya.Dia nampak tergagap, lalu dengan jumawanya tersenyum. "Oh, saudaraku kan banyak. Kalau aku beda, kesini saja aku bawa sembako paling banyak, lain dengan mbak Dewi, yang hanya bawa beban hidup untuk ibu mertua!"Astaqfirullah"Aku di sini anak kandung, kamu siapa ikut menggaturku, lagi pula aku yang masak juga.""Masak nggak enak saja bangga!" Cibirnya.Aku hampir tertawa. " Nggak enak kok di bawa semua, tu lihat plastimu hampir sobek! Jika di pikir lagi mungkin ungkapan muka tembok itu lebih tepat untuk dirimu sendiri!" Ucapku kesal."Jaga mulutmu itu Wi, ku adukan nanti kamu pada mas Aziz!" Mbak Tri tiba-tiba saja menyela."Adukan saja mbak , sana bilang suamimu itu! Aku tak makan minta dia, jadi tolol kalau sampai dia berani memarahi aku!"Aku letakkan kembali kardus itu di meja lagi, malas rasanya menangapi mulut Ratna dan mbak Tri yang beracun.Mungkin lebih baik memang aku tak membawa apapun pulang, tak tertelan juga jika makanan yang di bawa membuat mulut-mulut jahat mereka mengumpat kami tiada henti, biarlah nanti aku beri putriku pengertian.Aku berjalan ingin berpamitan pada ibu, namun pintunya sudah terkunci rapat. Mungkinkah ibu sudah tertidur? Baiklah, besok pagi aku kemari lagi saja.Aku keluar ingin menghampiri mas Alif dan Nadia, saat tiba-tiba Ratna menarik tanganku Kasar. "Nih di bawa sana, nanti orang kira aku jahat, gak kasih jatah saudara suamiku" Ucapnya seraya menjejalkan ujung plastik hitam ketanganku.Aku melirik ke arah mas Alif, dan suamiku menganggukkan kepala, kubawa pulang juga, nasi kenduri dari Ratna. Mas Alif mengeluarkan motornya kejalan, lalu memboncengkan kami pulang kerumah.Nadia begitu sumringah memegang kardus nasi dari rumah ibu, berulang kali dia bilang tak sabar ingin segera makan nasi dan ayamnya, membuat kami hanya tersenyum melihat kepolosan gadis tujuh tahun itu.Sampai di rumah, gadis itu berlari mengambil piring, sedang aku membuka plastik kardus dan mengeluarkannya dari dalam plastik. Namun saat kubuka kardusnya, tak ada ayam, hanya sambal, lalap dan sedikit sayur buncis.Ya Allah Ratna, kenapa kamu tega sekali pada kami!"Buk, mana ayam kecapnya? Kok hanya nasi sama sambal?" Nadia bertanya lirih.201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in