#Sdms
Bab 2 Mendapat DukunganTiba-tiba netra bulik Erni menoleh kearahku. "Kamu ke rumahku!" tandasnya lalu berjalan meninggalkanku tanpa membantuku membawa barang-barangku.
Langkah kakiku pun mengikuti kemana bulik Erni pergi. Yakni ke rumahnya yang bertepatkan di seberang rumah bu Watik. Entah wejangan apa yang akan ku dapat. Atau mungkin beliau juga akan membenarkan perkataan kakak ipar dan para keponakannya itu. Tak tahulah aku.
"Kamu tinggal di sini dulu," kata bulik Erni yang membuatku agak terkejut.
"Ma-maksud Bulik?" tanyaku yang tak mengerti maksud dari perkataan bulik Erni barusan.
"Sudah mau malam, kamu tinggal di sini dulu aja. Bulik percaya kamu bukan wanita seperti apa yang dituduhkan ibu mertuamu itu," ujar bulik Erni.
Mendengar hal demikian membuatku bisa bernafas lega. Ternyata masih ada orang yang percaya dan mau menolongku. Jelas hal tersebut membuatku bersyukur lantaran sebenarnya aku sendiri juga bingung jika harus betul-betul pergi dari desa ini.
Mengingat tempat tinggalku sebelumnya berjarak sangat jauh dari desa ini. Dimana jika ditempuh menggunakan kendaraan umum saja bisa memakan waktu lebih dari tiga jam.
***
Keesokan harinya aku berniat untuk pergi sebelum matahari benar-benar terlihat. Dengan maksud agar diriku tak lagi mendapat cemoohan dari keluarga mas Aryo maupun para tetangga. Mengingat namaku sudah terlanjur buruk dimata mereka.
"Yakin mau pergi?" bulik Erni tiba-tiba muncul. Lalu mendekatiku yang sedang merapikan barang-barang milikku.
"Kalau kamu pergi itu artinya tuduhan mereka itu benar. Kan katanya mau ngebuktiin kalau kamu gak salah? Apa jangan-jangan .... "
Mendengar perkataan bulik Erni barusan membuatku terdiam sejenak. Memikirkan kembali keputusan yang hendak pergi meninggalkan desa ini. Tetapi jika aku bertahan dimana aku akan tinggal?
Belum sempat menjawab bulik Erni kembali berucap jika dirinya mempersilakan diriku untuk tinggal sementara di rumahnya. Selain bisa sebagai teman, kebetulan beliau sendiri juga hanya tinggal berdua dengan anak gadisnya yang bernama Rahma.
Bulik Erni sendiri mempunyai dua anak. Anak pertama namanya Hilman yang katanya sedang melakukan pengabdian di sebuah pondok pesantren di luar kota. Aku sendiri juga belum pernah melihatnya meskipun dalam foto sekalipun. Keluarga bu Watik atau bulik Erni sendiri juga tak pernah bercerita sampai detail bagaimana sosoknya dan kehidupannya selama di pondok.
Sedangkan Rahma sendiri masih duduk di bangku SMP yang mana sebentar lagi akan lulus. Kalau gadis satu ini aku sering melihatnya malah sekedar mengobrol ringan pun juga pernah.
"Gimana? Kalau Bulik sendiri percaya kamu bukan wanita seperti itu. Tapi ya kan Bulik gak tau kebenarannya gimana."
Ku toleh bulik Erni sebentar usai berkata demikian. Aku tahu maksud dari perkataan beliau bukan untuk menyudutkanku, melainkan beliau menginginkanku untuk mengubah keputusanku dan benar-benar membuktikan jika aku tak bersalah. Apalagi usia pernikahanku baru seujung kuku.
Ah, sebetulnya aku sudah tak terlalu memikirkan tentang pernikahanku. Tapi disisi lain entah mengapa rasanya juga berat jika harus berpisah dengan mas Aryo. Duh, apa mungkin aku sudah benar-benar jatuh cinta pada laki-laki bod*h itu?
"Astagfirullah!" tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku.
"Kenapa, Nduk?" bulik Erni tampak agak terkejut ketika aku berucap istighfar barusan.
"Boleh aku tinggal di sini Bulik?" dengan semangat aku meminta izin untuk menetap.
Sebab tiba-tiba saja muncul rasa keinginan untuk membuktikan jika merekalah yang sudah memfitnahku dengan keji. Sehingga jika nantinya aku harus pergi dari desa ini aku juga tidak meninggalkan nama buruk.
Dengan senyum yang merekah bulik Erni pun mengiyakan permintaanku. "Tentu saja. Selama anak bujang Bulik masih di pondok, tinggallah kamu di sini. Gunakan kesempatan ini untuk membuktikan kalau kamu gak salah," kata bulik Erni. "Lagipula dari awal Bulik kan sudah mempersilakan."
Aku tersenyum nyengir. Sepertinya aku tak begitu konsentrasi menyimak perkataan bulik Erni tadi. "Matur suwun, Bulik," kataku lalu mencium takzim tangan kanan beliau.
Bulik Erni juga menambahkan jika beliau akan mendukungku untuk membalikkan nama baikku lagi. Sebab, dengan begitu beliau berharap akan ada perubahan yang lebih baik terhadap keluarga kakaknya tersebut. Karena bagaimana pun mereka adalah satu-satunya keluarga dari kakak kandungnya sendiri.
Beliau juga memintaku untuk terus bersemangat dan tak boleh lemah. Apalagi jika diriku masih menginginkan keutuhan pada rumah tanggaku sebab bisa jadi mas Aryo sendiri mungkin saat ini masih dibawah kendali ibunya. Karena setahu bulik Erni, mas Aryo itu termasuk anak yang amat berbakti kepada kedua orang tuanya.
Walaupun kalau dipikir-pikir jika berbaktinya dalam hal fitnah memfitnah seperti ini seharusnya mas Aryo bisa menolaknya. Tetapi karena aku sendiri juga tak tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya mungkin saja mas Aryo memang terpaksa mengikuti kemuan ibunya. Toh, selama menikah denganku sikapnya baik-baik saja.
Merasa mendapat dukungan demikian lantas membuatku semakin bersemangat. Dan mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh bulik Erni tentang mas Aryo, kalau aku bisa saja menjadi jalan untuk merubah keluarga bu Watik.
***
Hari terus berlalu. Hingga tak terasa sudah lebih dari satu pekan aku tinggal di rumah bulik Erni. Dan selama sepekan ini cibiran demi cibiran masih ku terima dari beberapa tetangga yang sepertinya sudah termakan oleh fitnahan dari bu Watik.
Bahkan bu Watik atau mbak Susi sendiri setiap kali melihatku pasti tak pernah lewat untuk melontarkan kata-kata buruk. Menghina sampai mengolok-olok diriku yang dikata tak tahu diri karena masih berani tinggal di desa ini.
Meski demikian, hal itu lantas tak membuat nyaliku ciut untuk tetap bertahan. Sebab selain aku masih menyandang status sebagai istri dari mas Aryo, aku juga belum mendapatkan petunjuk yang bisa ku gunakan untuk membuktikan kebenarannya. Lagipula ada bulik Erni yang selalu setia membelaku setiap kali ada orang yang mencibirku.
"Sudahlah, Bu. Lagian ibu-ibu juga gak tau gimana kebenarannya," kata bulik Erni setiap kali ada orang yang merundungku.
Meski harus mendapat resiko ikut dijauhi dari beberapa tetangga, namun hal tersebut tak lantas membuat bulik Erni ikut mengucilkanku atau mengusirku. Bahkan beliau semakin memberiku semangat untuk tetap bertahan. Setidaknya sampai benar-benar mas Aryo membenarkan talakannya. Sebab sampai detik ini, ku ketahui suamiku itu belum juga menggajukan gugatannya.
Hingga pada suatu malam menjelang isya, aku tak sengaja melihat mas Aryo yang baru pulang kerja diantar oleh seorang wanita. Awalnya aku berpikir wanita itu adalah teman kantornya, tetapi setelah melihat keduanya yang masuk ke dalam rumah bersamaan dengan bergandengan tangan tentu saja pikiranku pun berubah seketika.
Dan entah mengapa melihat mas Aryo dengan wanita berambut panjang tersebut membuat hatiku jadi panas. Antara ingin marah tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Apakah ini definisi istri yang dikhianati tapi bucin? Ah, semoga aku bukan termasuk didalamnya. Dan semoga saja wanita itu memang hanya sebatas teman kanotrnya saja.
***
Bab 124 EndingTak lama setelah kabar gembira itu mencuat, tiba-tiba kami semua yang berada di teras rumah Bu Watik itu pun seketika dibuat terkejut lantaran terdengar teriakan dari arah dalam rumah. Dan sudah bisa ditebak teriakan yang cukup kencang itu pasti berasal dari Bu Watik.Di waktu yang bersamaan itu pula lah Mas Aryo lantas berlari dengan cepat menuju dalam rumah. Pastilah ia merasa khawatir jikalau terjadi sesuatu pada ibunya itu. Bulik Erni, Sarah, Rahma, serta aku yang menggendong Abrisam pun dengan panik menyusul Mas Aryo ke dalam. Dan disaat kami semua berada tepat di depan kamar Bu Watik, kedua mata kami dibuat tercengang dengan pemandangan di depan sana.Dimana Bu Watik ternyata ... Terjatuh dari tempat tidurnya.Entahlah apa yang sebelumnya wanita paruh baya itu perbuat hingga membuatnya terjatuh dari kasurnya. Namun yang jelas hal tersebut membuat Mas Aryo begitu terkejut. Begitu juga dengan diriku dan yang lainnya.Mendapati ibunya dalam kondisi demikian, tanpa b
Bab 123 Kondisi Mantan Mertua Setelah memberikan jawabanku tersebut, aku tidak lagi mendengar suara dari Mas Hilman. Dan entah mengapa di momen itu aku merasa kalau suami mudaku itu sedang memikirkan sesuatu yang ujung-ujungnya aku diminta untuk mengembalikan satu set perhiasan itu.Astagfirullah ... Aku terus berucap istighfar dalam hati sembari terus berharap kalau Mas Hilman tidak memintaku untuk mengembalikan satu set perhiasan itu. Karena bagaimanapun aku berusaha menghargai hadiah yang dikirim Siska itu. Walaupun perihal permintaan maaf dari Siska belum juga diketahui secara pasti. Namun yang jelas jika memang benar Siska ingin meminta maaf dan sudah menyesali perbuatannya, hal itu lah yang membuatku senang dan bukan semata-mata karena perhiasan saja.Namun ternyata dugaanku salah. Ketika aku meminta untuk menyudahi aktivitas memijat ini, Mas Hilman masih sama seperti sebelumnya. Tetap tak bersuara. Tentu saja hal ini sudah bisa dipastikan kalau suami mudaku itu pasti tertidur.
Bab 122 Satu Set Perhiasan "O ya, udah hubungi nomor di paket mu itu belum?" tanya Mas Hilman yang membuatku teringat sesuatu."Astaghfirullah, belum, Mas," balasku.Benar, setelah menerima paket beberapa hari yang lalu, dimana paket yang berisikan satu set perhiasan emas itu membuatku dan Mas Hilman terkejut saat mengetahuinya. Alhasil karena tidak ada nama pengirim dan hanya ada nomor telepon yang sepertinya dari toko perhiasan itu dibeli, aku berencana untuk menghubungi toko tersebut. Dengan tujuan untuk mengkonfirmasi apakah satu set perhiasan yang aku terima benar-benar ditujukan untukku.***"Mas, Mas, Mas!!" dengan terburu-buru aku mendekati Mas Hilman yang baru saja pulang dari sekolah."Kenapa?" tanyanya heran."Lihat, deh," ucapku seraya meminta Mas Hilman melihat ke arah layar hp yang berada di tanganku.Setelah membaca isi pesan yang aku tunjukkan lantas saat itu juga Mas Hilman menatapku dengan raut wajah kebingungan. Sontak hal itu membuatku yang tadinya ceria seketika
Bab 121 Kepergian Mbak SusiSayangnya, ketika Mbak Susi belum sempat memulai ceritanya disaat yang bersamaan tiba-tiba muncul Rahma, adik iparku. Ia datang dengan nafas terengah-engah sambil membawa Abrisam."Maaf semuanya," kata Rahma sembari menurunkan keponakannya.Abrisam pun berjalan dengan wajah riangnya ke arahku. Sedangkan Rahma diminta untuk duduk terlebih dahulu dan menenangkan diri sebelum bercerita. Sampai akhirnya Rahma diminta untuk menceritakan apa yang menjadi sebab ia menyusul ke rumah ini dengan kondisi seperti itu tadi. Dimana ternyata ... Ada seseorang yang mencariku.Mendengar hal itu Mas Hilman lantas bergegas keluar rumah dan berjalan pulang ke rumahnya. Sedangkan aku menitipkan Abrisam ke ibu mertuaku dan segera menyusul suami mudaku itu. Begitu juga dengan Rahma yang mengikutiku dari belakangku. Sementara yang lainnya lebih memilih untuk tetap berada di tempatnya sembari memantau dari kejauhan.***Bersamaan dengan kehadiranku, saat itu pula lah Mas Hilman me
Bab 120 Pesan Untukku"Gak pa-pa, kok, Bulik," jawab Mbak Susi dengan suara pelan seraya tersenyum ke arah Bulik Erni.Melihat kondisi Mbak Susi yang berjalan seperti itu, ditambah adanya luka lebam dibeberapa titik wajahnya membuatku merasa kasihan padanya. Aku betul-betul tak menyangka jika pernikahan yang awalnya dulu penuh drama kini harus berakhir seperti ini. Sungguh menyedihkan dan sungguh malang nasib mantan kakak iparku itu.Di momen ini pula lah yang membuatku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Dan adakah kesalahan yang diperbuat Mbak Susi hingga Pak Tejo dan ketiga istrinya yang lain sampai tega meninggalkan bekas luka-luka di tubuh Mbak Susi seperti itu.Sampai akhirnya setelah melihat Mbak Susi lebih tenang dan lebih rileks, Bu Watik yang memang sejak tadi malam mengkhawatirkan anaknya sampai-sampai dia pingsan pun mulai mengajukan pertanyaan terkait apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu aku sendiri juga teramat penasaran dengan apa yang membuat Mbak S
Bab 119 Menjemputnya pulang ke rumahMelihat nama dari orang yang meneleponku malam-malam itu seketika aku dibuat mendelik. Mendadak pula jantungku berdebar-debar karena aku merasa yakin kalau ada hal yang penting untuk disampaikan malam itu juga. Ku angkat lah panggilan telepon tersebut dan mendapati kabar yang sangat-sangat membuatku terkejut seketika. Bahkan saking terkejutnya aku sampai tidak bisa menggerakkan badanku untuk beberapa detik. Sampai akhirnya tiba-tiba Mas Hilman terbangun dan melanjutkan obrolan dari orang yang cukup kami kenal itu lewat telepon.Setelah beberapa saat kemudian panggilan telepon berakhir. Dan saat itu juga Mas Hilman memintaku untuk bersiap karena kami akan segera pergi ke tempat sesuai yang disampaikan orang yang belum lama menelepon kami tadi. Dengan perasaan yang masih syok, aku tetap berusaha tenang. Karena bagaimanapun nanti setelah sampai di tempat tujuan, aku lah yang akan berperan penting di sana.***"Ada apa, Sar?" tanyaku panik ketika aku