#Sdms
Bab 3 Surat CeraiDan entah mengapa melihat mas Aryo dengan wanita berambut panjang tersebut membuat hatiku jadi panas. Antara ingin marah tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Apakah ini definisi istri yang dikhianati tapi bucin? Ah, semoga aku bukan termasuk didalamnya. Dan semoga saja wanita itu memang hanya sebatas teman kanotrnya saja.
***
"Tokk!! Tokk!! Tokk!!"
"Imah! Keluar kamu!"
"Imaaaaaahh!!!!"
Terdengar teriakan bu Watik yang sangat memekik telinga disertai ketukan pintu yang juga kerasnya. Aku yang sedang membantu bulik Erni memasak pun lantas segera membuka pintu.
"Astaghfirullah, kenapa lagi mbak Watik itu?" Terdengar bulik Erni mengeluhkan sikap kakak iparnya saat aku hendak meninggalkan beliau.
"Nih, dari Aryo!" baru saja membuka pintu bu Watik malah melemparkan sebuah surat yang dibalut amplop coklat.
"Astaghfirullah," gumamku. Melihat tulisan pada amplopnya saja sudah bisa ku tebak apa isi surat di dalamnya.
"Ada apa, sih, Mbak?" bulik Erni tampak kebingungan ketika sampai di hadapan bu Watik. Namun mulutnya juga mendadak terdiam saat melihat isi amplop tersebut yang sedang ku baca.
"Aryo, kok, tega sekali, sih, Mbak? Lagian belum ada bukti yang jelas kalau Imah bersalah," sungut bulik Erni.
Tanpa banyak berkata lagi aku pun berlari ke dalam kamarku. Tak perduli dengan bu Watik atau bulik Erni yang masih berdebat. Bahkan ibu-ibu tetangga yang ada sejak kedatangan bu Watik pun ku hiraukan begitu saja.
"Bulik gak usah ikut campur urusan rumah tangga Aryo ya!" tandas bu Watik. Saking kerasnya suara ibu mertuaku itu sampai terdengar ke kamarku.
"Lagian ya, Imah itu udah jelas-jelas selingkuh. Jadi Aryo itu sudah mengambil keputusan yang tepat!" kata bu Watik lagi.
"Lagian ya Bu Erni kalau pun Imah gak selingkuh, saya malah curiga kalau dia ada main dukun ke keluarga bu Watik. Masa iya, ujug-ujug aja pak Wanto ---suami bu Watik, kakak kandung bulik Erni--- minta Aryo nikahin Imah gitu aja. Mereka kan gak kenal sebelumnya," ujar seseibu yang aku sangat kenal suaranya. Bu Beni, teman segosipannya bu Watik.
Mendengar ucapan bu Beni tersebut membuat suasana pagi itu semakin ricuh. Ibu-ibu yang lain saling berbisik dan lagi-lagi ada juga yang secara terang-terangan mengiyakan ucapan tersebut.
Merasa tak terima dan sudah sangat kelewat batas aku pun memberanikan diri untuk kembali ke teras.
"Jaga mulut Anda, ya, Bu!" dengan tatapan nanar ku tunjuk wajah bu Beni yang seakan tak punya dosa itu. Ibu-ibu yang lain pun spontan ikut terdiam melihatku yang seperti sudah kerasukan.
"Cih! Gak usah sok membela diri. Nyatanya kamu pasti main dukun kan ke suamiku!" lagi-lagi bu Watik pun menuduhku tanpa bukti yang nyata.
"Main dukun?" ku tatap wanita paruh baya yang memang tak sepantasnya menjadi mertuaku itu.
Dengan tatapan tajam yang siap menerkam aku berucap pada bu Watik dengan sangat tegas. "Lebih baik Ibu gembok mulut Ibu biar gak nambahin dosa! Dan bilang ke anak Ibu yang tadi malam pulang sama wanita cantik berrok mini kalau aku menerima gugatan cerainya!"
Mendengar ucapanku barusan bu Watik tanpa banyak berkata langsung pergi meninggalkan tempat. Dan aku dengan langkah kesal kembali masuk ke kamarku.
"Lihat tuh! Kalau ibu-ibu coba fitnah Imah tanpa bukti, bisa-bisa ibu-ibu gak keluar rumah tujuh hari tujuh malam," kata bulik Erni sesaat setelah aku melangkahkan kaki.
"Yang sabar ya, Nduk. Semua ini ujian, dan Bulik yakin kamu kuat ngadepinnya," kata bulik Erni yang terdengar amat lembut.
Beruntung aku bisa bertemu dengan bulik Erni yang sangat keibuan. Sikap beliau juga mengingatkanku pada sosok ibuku yang penyayang yang telah lama tiada.
"Udah, gak usah nangis lagi. Laki-laki macam Aryo itu gak pantes kamu tangisin," ucap bulik Erni lagi dengan nada medoknya.
Aku tersenyum mendengar perkataan demi perkataan dari bulik Erni yang sama sekali tak menyudutkanku. Beliau malah semakin memberiku semangat untuk bertahan dan terus menguatkan hati.
Aku memang menangis setelah mendapati surat cerai dari mas Aryo dan tuduhan-tuduhan yang diberikan bu Watik kepadaku. Namun, aku sendiri juga tak memahami tangisanku ini apakah karena hal tersebut atau memang aku yang terlalu lemah.
Bulik Erni pun meninggalkanku sendiri di kamar. Beliau memintaku untuk beristirahat agar bisa kembali menenangkan pikiran. Dan soal memasak katanya beliau sudah terbiasa sendiri jadi aku tak perlu mengkhawatirkannya.
***
"Assalamualaikum! Mbak Imah?! Mbaaak?!"
Dengan buru-buru aku melihat Rahma masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa lari-lari gitu?" tanyaku pada Rahma, anak bungsu bulik Erni yang baru saja pulang sekolah.
Rahma pun bercerita jika sewaktu dirinya berjalan melewati rumah salah satu tetangga, ia mendapati beberapa ibu-ibu sedang berkumpul. Tentu saja itu bukanlah kumpulan acara melainkan pasti ibu-ibu tersebut sedang menggosip.
Dan benar kalau Rahma sempat mendengar salah satu dari ibu-ibu yang ada membicarakan kejadian di rumahnya tadi pagi. Mendengar hal itu malah membuatku sedikit kehilangan suasana hati untuk mendengarkannya. Karena aku yakin pasti ibu-ibu itu sedang membicarakan diriku.
"Bukan soal Mbak aja, tapi aku juga denger kalo si ibu tadi ngomongin soal Mbak Imah yang katanya lihat mas Aryo sama wanita lain tadi malam. Emang bener, ya, Mbak? Kok aku gak tau, sih?" ujar Rahma.
Mendengar omongan Rahma barusan mood ku yang tadinya hampir hilang mendadak kembali muncul. Aku seperti mendapat petunjuk untuk bisa membuktikan siapa yang bersalah sebenarnya.
"Ibuuu!! Buuu!!?" tiba-tiba Rahma berteriak memanggil ibunya. Aku sendiri malah kebingungan melihat Rahma demikian.
"Kenapa cari-cari ibu?" tanyaku.
"Bentar, Mbak." Rahma yang masih mengenakan seragam sekolahnya pun melengos kearah teras belakang.
Karena penasaran dengan sikap Rahma tersebut aku pun menyusulnya ke belakang. Menemui bulik Erni yang sedang mengakati jemurannya.
"Setau Bulik, Aryo itu bukan tipikal orang yang suka gonta ganti pacar. Tapi kalau temen cewek ya ada. Kan dia kerja dimana banyak cewek cowok itu jadi satu," kata bulik Erni padaku.
Mendengar bulik Erni berkata demikian mendadak aku jadi punya ide untuk menyelidiki lebih lanjut siapa wanita yang pulang bersama mas Aryo tadi malam. Jika memang mereka ada hubungan lebih, hal itu bisa ku gunakan untuk menjatuhkan keluarga bu Watik.
"Paham kan maksud Bulik?" bulik Erni pun berjalan ke dalam meninggalkanku yang masih terdiam.
"Aku dukung kamu, Mbak," ucap Rahma lalu menyusul ibunya.
Aku tersenyum sembari menatap punggung bulik Erni dan Rahma yang mulai menghilang. Dalam hati aku berucap syukur karena masih dipertemukan dengan orang baik diantara orang-orang yang julid kepadaku. Alhamdulillah.
Bab 124 EndingTak lama setelah kabar gembira itu mencuat, tiba-tiba kami semua yang berada di teras rumah Bu Watik itu pun seketika dibuat terkejut lantaran terdengar teriakan dari arah dalam rumah. Dan sudah bisa ditebak teriakan yang cukup kencang itu pasti berasal dari Bu Watik.Di waktu yang bersamaan itu pula lah Mas Aryo lantas berlari dengan cepat menuju dalam rumah. Pastilah ia merasa khawatir jikalau terjadi sesuatu pada ibunya itu. Bulik Erni, Sarah, Rahma, serta aku yang menggendong Abrisam pun dengan panik menyusul Mas Aryo ke dalam. Dan disaat kami semua berada tepat di depan kamar Bu Watik, kedua mata kami dibuat tercengang dengan pemandangan di depan sana.Dimana Bu Watik ternyata ... Terjatuh dari tempat tidurnya.Entahlah apa yang sebelumnya wanita paruh baya itu perbuat hingga membuatnya terjatuh dari kasurnya. Namun yang jelas hal tersebut membuat Mas Aryo begitu terkejut. Begitu juga dengan diriku dan yang lainnya.Mendapati ibunya dalam kondisi demikian, tanpa b
Bab 123 Kondisi Mantan Mertua Setelah memberikan jawabanku tersebut, aku tidak lagi mendengar suara dari Mas Hilman. Dan entah mengapa di momen itu aku merasa kalau suami mudaku itu sedang memikirkan sesuatu yang ujung-ujungnya aku diminta untuk mengembalikan satu set perhiasan itu.Astagfirullah ... Aku terus berucap istighfar dalam hati sembari terus berharap kalau Mas Hilman tidak memintaku untuk mengembalikan satu set perhiasan itu. Karena bagaimanapun aku berusaha menghargai hadiah yang dikirim Siska itu. Walaupun perihal permintaan maaf dari Siska belum juga diketahui secara pasti. Namun yang jelas jika memang benar Siska ingin meminta maaf dan sudah menyesali perbuatannya, hal itu lah yang membuatku senang dan bukan semata-mata karena perhiasan saja.Namun ternyata dugaanku salah. Ketika aku meminta untuk menyudahi aktivitas memijat ini, Mas Hilman masih sama seperti sebelumnya. Tetap tak bersuara. Tentu saja hal ini sudah bisa dipastikan kalau suami mudaku itu pasti tertidur.
Bab 122 Satu Set Perhiasan "O ya, udah hubungi nomor di paket mu itu belum?" tanya Mas Hilman yang membuatku teringat sesuatu."Astaghfirullah, belum, Mas," balasku.Benar, setelah menerima paket beberapa hari yang lalu, dimana paket yang berisikan satu set perhiasan emas itu membuatku dan Mas Hilman terkejut saat mengetahuinya. Alhasil karena tidak ada nama pengirim dan hanya ada nomor telepon yang sepertinya dari toko perhiasan itu dibeli, aku berencana untuk menghubungi toko tersebut. Dengan tujuan untuk mengkonfirmasi apakah satu set perhiasan yang aku terima benar-benar ditujukan untukku.***"Mas, Mas, Mas!!" dengan terburu-buru aku mendekati Mas Hilman yang baru saja pulang dari sekolah."Kenapa?" tanyanya heran."Lihat, deh," ucapku seraya meminta Mas Hilman melihat ke arah layar hp yang berada di tanganku.Setelah membaca isi pesan yang aku tunjukkan lantas saat itu juga Mas Hilman menatapku dengan raut wajah kebingungan. Sontak hal itu membuatku yang tadinya ceria seketika
Bab 121 Kepergian Mbak SusiSayangnya, ketika Mbak Susi belum sempat memulai ceritanya disaat yang bersamaan tiba-tiba muncul Rahma, adik iparku. Ia datang dengan nafas terengah-engah sambil membawa Abrisam."Maaf semuanya," kata Rahma sembari menurunkan keponakannya.Abrisam pun berjalan dengan wajah riangnya ke arahku. Sedangkan Rahma diminta untuk duduk terlebih dahulu dan menenangkan diri sebelum bercerita. Sampai akhirnya Rahma diminta untuk menceritakan apa yang menjadi sebab ia menyusul ke rumah ini dengan kondisi seperti itu tadi. Dimana ternyata ... Ada seseorang yang mencariku.Mendengar hal itu Mas Hilman lantas bergegas keluar rumah dan berjalan pulang ke rumahnya. Sedangkan aku menitipkan Abrisam ke ibu mertuaku dan segera menyusul suami mudaku itu. Begitu juga dengan Rahma yang mengikutiku dari belakangku. Sementara yang lainnya lebih memilih untuk tetap berada di tempatnya sembari memantau dari kejauhan.***Bersamaan dengan kehadiranku, saat itu pula lah Mas Hilman me
Bab 120 Pesan Untukku"Gak pa-pa, kok, Bulik," jawab Mbak Susi dengan suara pelan seraya tersenyum ke arah Bulik Erni.Melihat kondisi Mbak Susi yang berjalan seperti itu, ditambah adanya luka lebam dibeberapa titik wajahnya membuatku merasa kasihan padanya. Aku betul-betul tak menyangka jika pernikahan yang awalnya dulu penuh drama kini harus berakhir seperti ini. Sungguh menyedihkan dan sungguh malang nasib mantan kakak iparku itu.Di momen ini pula lah yang membuatku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Dan adakah kesalahan yang diperbuat Mbak Susi hingga Pak Tejo dan ketiga istrinya yang lain sampai tega meninggalkan bekas luka-luka di tubuh Mbak Susi seperti itu.Sampai akhirnya setelah melihat Mbak Susi lebih tenang dan lebih rileks, Bu Watik yang memang sejak tadi malam mengkhawatirkan anaknya sampai-sampai dia pingsan pun mulai mengajukan pertanyaan terkait apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu aku sendiri juga teramat penasaran dengan apa yang membuat Mbak S
Bab 119 Menjemputnya pulang ke rumahMelihat nama dari orang yang meneleponku malam-malam itu seketika aku dibuat mendelik. Mendadak pula jantungku berdebar-debar karena aku merasa yakin kalau ada hal yang penting untuk disampaikan malam itu juga. Ku angkat lah panggilan telepon tersebut dan mendapati kabar yang sangat-sangat membuatku terkejut seketika. Bahkan saking terkejutnya aku sampai tidak bisa menggerakkan badanku untuk beberapa detik. Sampai akhirnya tiba-tiba Mas Hilman terbangun dan melanjutkan obrolan dari orang yang cukup kami kenal itu lewat telepon.Setelah beberapa saat kemudian panggilan telepon berakhir. Dan saat itu juga Mas Hilman memintaku untuk bersiap karena kami akan segera pergi ke tempat sesuai yang disampaikan orang yang belum lama menelepon kami tadi. Dengan perasaan yang masih syok, aku tetap berusaha tenang. Karena bagaimanapun nanti setelah sampai di tempat tujuan, aku lah yang akan berperan penting di sana.***"Ada apa, Sar?" tanyaku panik ketika aku