Home / Romansa / Suami Mudaku / Perpisahan

Share

Perpisahan

Author: Wening
last update Last Updated: 2021-09-15 12:14:39

 Dulu Mas Marwan seorang yang gila kerja. Tidak bisa menghargai istri apa lagi berterima kasih saat dibantu banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Pantang minta maaf dan mengaku salah. Terlebih kikir hingga akhirnya bahtera kandas meski telah dibangun selama lebih dari 15 tahun. Tiga anak tak membuatnya mau menurunkan ego dan menyayangi seorang istri yang mendampinginya sejak susah.

Aku mundur setelah  mencoba bersabar, tapi justru mendapatkan tekanan berat saat diri berada di titik sangat lemah. Mengandung anaknya.

“Tak perlu periksa kandungan segala buang duit!”

“Mas! Ini anak ke tiga lho. Apa masih belum tahu cara merawat ibu hamil?” Sakit rasanya mendengar kalimat itu. Airmata sudah banjir di pipi.

“Yang penting, kan tak ada keluhan,” katanya ngeyel.

“Jadi tak mau mengurusku? Kembalikan aku ke orang tua saat bayi ini sudah lahir,” kataku sambil menyusut air mata. Rasanya  tak ada gunanya bicara dengan suami seperti itu. Hanya melukai hati.

“Ya kalau sudah ada bayi masa tidak diurus?” Ya Allah … aku mengurut dada sesak.

Karena sifat kikirnya, aku menjadi kreatif. Apapun kulakukan asal bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan. Tanpa sadar rezeki tak putus hingga tabungan pun kumiliki. Mas Marwan tahu karena sengaja kuberi tahu agar sadar istrinya menafkahi diri dan anaknya. Namun bukannya sadar malah keenakan lalu mengandalkan.

Mas Marwan juga picik dalam berpikir. Ketika aku mulai berani melawan sikap menindasnya, dia menyuruhku hamil lagi. Beralasan ingin anak perempuan. Kehamilanku ternyata tak sekuat dulu saat mengandung kedua kakaknya. Dalam keadaan lemah dia pun tetap tega menekanku. Karena itulah rasa sabarku seperti habis tak tersisa.

Kalau dulu aku selalu bisa menghasilkan rupiah, selama kehamilan ketiga aku justru menguras tabungan. Ditambah ayah bayi ini tak mau keluar uang control kehamilan ke Dr, dompetku makin terpuruk. Besar syukurku masih bisa lulus hingga melahirkan meski harus lewat jalan operasi.

“Alhamdulillah … akhirnya dapat yang cantik.” Binar di mata Mas Marwan tak bisa disembunyikan. Dia tampak sungguh bahagia. Mata teduh itu muncul setelah aku lupa kapan terakhir menemukannya. Sepertinya saat dirinya melamarku untuk jadi istrinya belasan tahun lalu. Aku terharu.

“Mau kubelikan sesuatu?

Kepingin makan apa?” tanya Mas Marwan saat aku sudah pindah ke kamar rawatan. Sesuatu yang langka kudapatkan. Hanya saja aku tidak ingin apa pun untuk saat ini. Aku hanya ingin tidur.

Drama kekikiran Mas Marwan kembali muncul saat berada di depan loket pembayaran rumah sakit. Komplin tentang jumlah tagihan yang berbeda dengan pasien lain dengan tindakan sama membuatku sangat malu dan sakit hati. Sepanjang jalan menuju rumah aku menangis sambil mendekap erat bayiku.

“Memangnya kenapa?

Aku kan Cuma tanya takut salah total.

Ternyata  kerena beda keluhan beda obat.

Obatmu lebih mahal dari yang lain itu,” celotehnya tanpa rasa bersalah.

Pingin rasanya kutimpuk kepalanya kalau tak ingat dia tengah menyetir. Bukan minta maaf masih saja bicara nyelekit. Sampai rumah aku masih diam. Bicaranya tak sekalipun kutanggapi. Mungkin rasa bersalah atau saking senangnya kuberi anak perempuan membuatnya sangat baik. Pekerjaan rumah, anak, juga hidangan tersaji oleh tangannya. Aku bersyukur untuk itu, hanya saja luka yang dia berikan belum sembuh di hatiku.

“Lihat, Bu anakku cantik banget,” kata Mas Marwan memamerkan Syifa, putri kami yang habis dimandikan. Aku tertegun menatapnya. Anak perempuan ini, benarkah telah merubahnya begitu banyak?

“Kenapa?” Aku berpaling saat dia bertanya bingung oleh sikap diamku. Aku memang lebih banyak diam untuk menimbang. Apakah aku benar akan pergi? Sementara Syifa begitu nyaman bersama ayahnya meski masih merah. Ikatan anak perempuan dengan cinta pertamanya tumbuh melalui ikatan batin sejak dini. Aku sedih memikirkannya.

“Bu … ada apa? Kau tak bahagia punya Syifa?”

“Bapak dan ibuku akan kesini besok, Mas.”

“Ya bagus, kan? Pasti tak sabar mau lihat putri kita. Lagian cutiku sudah mau habis. Aku akan tenang ninggalin kalian buat mulai kerja Senin nanti.”

“Bapak akan menjemputku, Mas …,”kataku  ragu.

Mas Marwan nenatapku lama. Sinyal waspada tampak di kepalanya. Seperti saat aku mulai mendebatnya. Hanya untuk kali ini berbeda. Kecemasan mendominasi.

“Kenapa?”

Emosiku beranjak naik hingga menantang tatapannya dan mendesis, “Kenapa?” Aku mengulang pertanyaannya.

“Saat mulai hamil aku perlu dana banyak untuk mengurus diri.

Karena Mas tidak mau memberi anggaran ongkos dokter, vitamin dan lainnya uang tabunganku habis.

Terpaksa aku minta pada mereka.” Menekan emosi aku merendahkan suara saat bercerita tapi menekan setiap kata agar dia tahu aku marah.

“Kenapa tak bilang?”

“Bilang apa? Uang dokter jelas, Mas gak mau kan? Ngapain ngemis klo tahu tak bakal ada hasil?”

Mas Marwan luruh terduduk, lalu bergumam, ”Bapak ibu tahu soal kita?”

“Soal apa?”

“Itu, anu ….” Dia bingung dengan perkataannya sendiri.

“Bapak tanya saat aku minta kiriman uang sementara suamiku bukan seorang yang miskin. Terpaksa kuceritakan yang kualami. Bapak ibuku marah.”

Kupasang mimik seolah takut, tapi tidak. Aku hanya ingin tahu ekspresinya. Ternyata bukan puas yang kudapat, tapi kasihan. Ayah anakku kini berwajah sangat keruh. Matanya berkaca menatap bayi mungil dalam dekapannya.

Ayahku seorang yang tegas dan disiplin tapi bijak. Mas Marwan selalu segan sejak awal menjadi menantunya. Aku tahu ini tak akan mudah. Banyak hati akan tersakiti. Namun … apakah boleh aku juga mencari bahagia? Atau tetap bertahan demi anak? Bahagiakah mereka jika tahu ibunya tertekan? Bagaimana aku mengurus mereka dengan hati patah ? Ya Allah beri aku jalan terbaik.

Hari kemudian hubunganku dan Mas Marwan jadi dingin. Tak ada tegur sapa apa lagi canda bahkan senyum Syifa tak sanggup mencairkan suasana. Hingga malam itu, ….

‘Entahlah, Dian … Mas juga bingung.’ 

Mas Marwan tengah menelphon.  Dian? Siapa dia kok telphon larut malam?

‘Iya. Sampai ketemu.’

Kepalaku penuh prasangka. Jika benar dugaanku maka semua tak perlu dipikirkan lagi. Dua hari lagi bapak, ibu datang menjemput. Aku akan bersiap untuk berbagai kemungkinan. Mungkin ini adalah jawaban setiap doa dan istiqarahku selama ini. Allah menyingkap sebuah rahasia sebagai jawaban. Bismillah ya Allah … ampuni hamba.

Tak ingin kubahas apapun di depan lelaki yang menghalalkanku dengan sederhana dulu. Aku ikhlas dan sedikitpun tak ingin kusesali. Dua lelaki hebat dan seorang bidadari cantik darinya untukku sangat kusyukuri, tapi kedepan jika aku tak sanggup lagi, mereka yang kusayang tak akan kujadikan alasan untuk bertahan jika tidak bahagia.

Kebahagiaan ini bukan tentang kepuasan batin lelaki dan perempuan dalam ikatan pernikahan tapi ketenangan batin menjalani hiduplah yang kucari. Pernikahan sebagai ibadah, hingga tercipta sakinah, mawaddah, waramah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Mudaku   Bab 128. Musibah atau Berkah?

    Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu

  • Suami Mudaku   Bab 127. Sah sebagai Janda

    Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su

  • Suami Mudaku   Bab 126. Mengalah untuk Menang

    Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka

  • Suami Mudaku   Bab 125. Keluargaku yang Berharga

    “Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a

  • Suami Mudaku   Bab 124. Perjuangan Rindi

    Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel

  • Suami Mudaku   Bab 123

    Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status