Share

Perpisahan 2

"Pakai uangmu dulu ya,”  kataku untuk menghindar dari memberikan uang nafkah.

Bukan tanpa alasan. Sarah istriku itu punya tabungan banyak. Apapun di tangannya bisa jadi uang. Masakannya, barang yang dipakainya, kosmetiknya, semua dijadikan iklan. Bahkan saat dia main ke tetangga tangannya tak pernah kosong. Ada saja bawaan karena Sarah orang yang ringan tangannya untuk membantu siapa saja jika mampu.

“Tapi, Mas ….” Aku sungguh sebal lihat mimik wajah yang selalu terlihat tak berdaya. Merasa terzolimi padahal makanan tak pernah kurang di meja makan. Ya meskipun bukan beli dari uangku kan sama saja sekeluarga tak pernah kekurangan. Itu saja intinya.

Rumah kami cukup besar. Dua lantai dengan banyak kamar. Tak sedikit uang terkuras untuk membangunnya dulu. Seharusnya Sarah banyak bersyukur. Di lingkungan kami banyak orang masih mengontrak.

“Kamu itu harusnya bersyukur, Sarah … jadi istriku tak pernah kan kekurangan? Tinggal juga nyaman.” Sarah malah melengos. Istri kurang akhlak memang.

Perabotan rumah penuh, lemari besar untuk pakaian, kasur berkwalitas baik, perabot dapur komplit juga pajangan. Mainan anak juga bertebaran ada di setiap ruang. Boneka dan segala tetek bengeknya. Jangan lupa meja rias di kamar. Berbagai botol berjejer berisi berbagai cream dan serum kecantikan. Mahal itu harganya, kudengar. Jadi tak heran Sarah selalu kelihatan cantik dan segar.

Istriku selain cantik memang cerdas meski hanya lulusan SMA. Yang namanya jualan dia jagonya. Tak perlu modal pula. Teman jual lemari dia tawarkan ke teman lain. Menjual sekian sudah dapat sekian untuk beli dipajang di rumah. Kasur, perabot dapur juga yang lain sama saja cara mendapatkannya.

Isi lemari bajunya jangan tanya, penuh baju dan tas mahal. Itu semua juga keuntungannya menjualkan produk  toko fhasion sekitar rumah. Entahlah kenapa mereka begitu percaya pada Sarah. Toko kosmetik pun sama.

“Aku beli sendiri semua itu, Mas.” Sarah selalu berdalih setiap aku keberatan karena dia terlalu boros.

Memangnya kenapa kalau beli sendiri ya, kan? Kalau boros tetap saja uang cepat habis. Kan sayang mending ditabung. Suatu saat bisa buat beli sesuatu yang besar misalnya sawah di kampung atau tanah dan rumah untuk  investasi jangka panjang.

Belakangan Sarah mulai berani membantah. Kadang berteriak atau membanting barang. Sebenarnya cukup kaget juga karena saat pertama kunikahi hingga anak pertama lahir dia wanita sholihah yang lembut dan penurut.

“Kurasa karena dia sekarang punya banyak uang sendiri jadi merasa kuat, Mas,” kata Dian teman kantorku saat kucurhati soal perubahan sikap istri.

“Apa bener kalau istri banyak duit jadi berani sama suami?”

“Biasanya begitu.” Aku manggut dengar penjelasan Dian. Jadi kepikir gimana biar Sarah tak terlalu getol cari uang. Mungkin hamil setidaknya mengurangi aktivitas keluarnya. Bahaya juga kan pengaruh dunia luar? Kurasa Sarah terlalu bebas selama ini.

Malam hari aku melancarkan aksi mendekati Sarah. Wanita mungil bermata agak sipit itu gampang banget meleleh kalau kubaiki sedikit saja.

“Sayang … anak sudah pada besar sepi ya?” kataku sambal memeluknya dari belakang. Sarah yang sedang asyik baca novel segera menarik batas menyelipkannya sebelum menutup novel lalu meletakkan di nakas.

Yang sangat kusuka dari wanita berambut lurus sebahu itu selalu penuh memberikan atensinya saat suami menginginkan. Baik ingin bicara maupun ingin pelayanan yang lain.

“Sudah dua, Mas … rasanya udah males ngurus bayi lagi. Kegiatanku sekarang ini banyak.”

“Kegiatan apa? Cari uang? Aku kan kerja, Bu … mumpung kamu masih cukup muda buat hamil. Kita belum punya anak perempuan.” Sarah mendesah dan melapaskan diri dari pelukanku.

“ Laki apa perempuan sama saja, Mas … Lagian banyak anak akan banyak biaya dan ….”

“Aku akan kerja lebih keras,” potongku cepat.

“Sekali lagi ya, Sayang … kalau nanti dapat cowok lagi ya sudah. Rezeki kita berarti jagoan. Kalau sudah sekali ini kita tidak penasaran lagi,” kataku meyakinkan.

Sarah mendesah. “Baiklah.”

Aku bersorak girang dalam hati. Yes berhasil! Hari kemudian adalah saat usaha malamku lebih giat. Menjaga pola makan lebih banyak sayur dan buah juga tentu saja mengusahakan istri lebih bahagia. Aku membantunya mengurus rumah, melarangnya banyak aktivitas luar, begitu juga diriku yang mengurangi kegiatan. Pekerjaan kantor sedang senggang. Banyak waktuku untuk istri.

"Mas, sini … filmnya bagus nih!” teriak Sarah dari ruang keluarga. Baru ingat kalau wanita yang kunikahi dengan mahar seadanya itu memang manja dari dulu. Hanya saja kesibukan kami membuat kemanjaannya tersimpan dalam.

Kami menonton drama romantic berdua sambal berpelukan yang kemudian jadi berlanjut intim. Tak ada sesiapa di rumah  selain kami berdua. Pintu rumah selalu tertutup jika bukan ada tamu atau acara tertentu. Kami bebas bercinta di mana saja kami inginkan. Kali ini bersama suara film yang kami tonton aku menikmati desahan Sarah yang lebih bergairah dari biasanya.

“Jangan terlalu cepet, Mas… Sarah pingin main lamaa….” Suaranya yang serak basah membuatku menggelepar. Mengimbangi permainan Sarah yang luar biasa kali ini membuatku menahannya sekuat tenaga. Tak rela rasanya jika berakhir dan dia kecewa.

“Maas ….” Akhirnya Sarah memelukku sangat erat dengan jepitan keras yang meluruhkan kami berdua.

Memeluknya sambil merapikan anak rambut di dahi yang basah aku sungguh mengagumi istriku. Kecantikan alami tanpa polesan mekup memesona. Sepekan kemudian Sarah mengeluh pusing. Aku memberikan testpak yang lama kusiapkan. Garis dua. Alhamdulillah.

“Positif, Mas … Alhamdulillah." katanya girang. Aku memeluknya.

“Besok kita ke dokter ya, Mas… untuk memastikan sama minta vitamin,” kata Sarah dengan mata berbinar.

“Em tidak perlu, Bu. Kan sudah ditest pakai alat. Kamu tinggal jaga diri sama makan banyak. Tak perlu dokter buang uang kalau kamu sehat.” Tubuh istriku menegang dengan sorot mata aneh. Entah kemana binar tadi pergi.

“Anak mau tiga masih tak tahu cara merawat ibu hamil?” katanya sinis. Hilang sudah kelembutan yang baru saja kukagumi.

Masalah tak sampai di situ saja. Hanya karena aku menolak membawanya ke dokter karena dia sehat saja, bahkan Sarah mengancamku untuk bercerai. Apa salahku coba? Kehamilan pertama dan ke dua  untung tak ada drama seperti ini.

Saat itu kebetulan kantor menugaskanku selalu terjun ke lapangan di awal pernikahanku. Itu bidang yang amat kukuasai dan karena itu karirku terangkat. Untung Sarah wanita mandiri hingga kehamilan pertama dan kedua tak perlu kutunggui. Aku hanya cuti saat istri mau melahirkan dan berangkat lagi setelah syukuran sepekan bayi kami. Uang kebutuhan kusisihkan dari uang makanku di lapangan. Beberapa ratus ribu seminggu sekali kukirim.

Sekarang aku tugas di pusat yang artinya tetap tinggal di rumah. Kupikir tak perlu lagi kuberikan uang kalau kebutuhan sudah tercukupi. Tabunganku juga untuk masa depan kami bukan kupakai berfoya.

Blam!! Suara pintu dibanting membuyarkan lamuanku. Sarah kembali menjadi istri yang acuh dan menyebalkan.

Tak menyangka kekerasan hati Sarah berlanjut hingga melahirkan. Lebih kaget lagi saat dia bilang akan dijemput orang tuanya. Aku kalang kabut. Kebahagiaan mendapatkan anak perempuan tertutup masalah pelik yang kini di depan mata.

“Marwan … Sarah kuserahkan padamu dulu untuk kau tanggung jawabi dengan baik sesuai ajaran Islam kita.

Menafkahi lahirnya yaitu sandang, papan dan pangan.

Menafkahi batin yaitu kebutuhan biologis, ketenangan batin dan kebaikan iman.

Apa sudah kau penuhi?” tanya bapak dengan wajah tenang.

Aku memilin jari gugup. Bapak Mertua yang cukup berada tapi tampil apa adanya dan sederhana membuatku kehilangan kata.

“Sa, Sarah tidak pernah kekurangan, Pak,” kataku lirih.

“Benar. Karena dia mau bergerak mencukupi kebutuhan diri beserta anaknya.

Bapak menyesal menyerahkannya padamu.

Kau bahkan tak tahu apa itu nafkan istri dan keluarga.

Aku akan mengambil tanggung jawab atasnya kembali  jadi tolong lepaskan.” Aku mendongak kaget.

“Bapak ….”

“Kalau panggilan sidang datang  tak usah kau hadiri biar semua jadi mudah, kalau kau tak mau dipermalukan di persidangan.”  Ultimatum mertua membuat mulutku kelu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status