Share

Chapter 4

“Su-suara apa itu? Apakah ada orang lain dirumah ini?” sarah bermonolog didalam hati. Dengan langkah hati-hati ia melangkahkan kaki dengan pelan menuju ke asal suara, yaitu di dapur.

Pelan-pelan, Sarah mengintip. Ternyata tidak ada apa-apa di sana. Ia hanya mendapati ruangan kosong. Namun beberapa saat kemudian, Sarah berteriak kencang. Ia sangat terkejut mendapati seekor tikus yang besar mengintip di dekat tong sampah. Sarah berlari menjauh dari arah dapur.

“Oh tuhan, sepertinya aku tidak akan kuat hidup di rumah ini,” ucap Sarah. Ia duduk diatas kursi memeluk kedua kaki untuk meredam rasa di hatinya yang bercampur aduk, pikiran Sarah sangat kacau menerima kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan.

Sarah terisak menundukkan kepalanya hingga tanpa sadar Sarah terlelap di kursi yang telah usang itu. Sejenak melupakan masalah yang bertubi-tubu menimpanya hari ini.

Beberapa jam kemudian, Sarah terbangun dari tidur. Perlahan ia melirik jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul 09.15 malam. Ia terkejut dan mengusap matanya, tak percaya ia tidur begitu lama.

“Lama sekali aku tertidur,” ucap Sarah. Ia pun perlahan membangunkan tubuhnya dari atas kursi. Karena tadi ia menangis, kini mata Sarah bengkak disertai rasa pusing. Ia merasa haus dan ingin minum air.

Dengan langkah sempoyongan, serta hati-hati takut ada tikus lagi, Sarah beranjak dari tempatnya duduk, menuju ke arah dapur hendak mencari minuman. Ia berharap bisa menyegarkan dirinya dengan air dingin. Sarah melangkahkan kakinya menuju ke arah dapur.

Sarah meneguk beberapa gelas Air karena haus.

Selesai dengan itu Sarah mencari ruangan kamar mandi sebab merasakan gerah di tubuh nya. Namun sayangnya Sarah tak menemukan ruangan yang dia cari.

“Dimana sih kamar mandinya?” gumam Sarah yang belum hafal lokasi rumah sederhana itu. Matanya tertuju pada satu-satunya pintu yang ada di dapur. Ia mendekati pintu kemudian mencoba membukanya dengan rasa takut dan jijik, teringat tikus besar yang mengejutkannya tadi siang.

Pintu pun terbuka. Akhirnya Sarah menemukan kamar mandi di rumah itu, ternyata kamar mandinya berada di luar rumah. Ia melihat bak mandi yang kecil dan sederhana.

Dengan segera, Sarah pun langsung masuk ke dalam kemudian membersihkan tubuhnya. Ia memutar kran dan merasakan air dingin menyiram tubuhnya. Seketika membuat Sarah merasa segar dan lega, seolah semua beban di hatinya terangkat, seperti terangkat nya daki-dari dari kulitnya. Selesai membersihkan tubuh, ia pun kembali mengenakan pakaian yang ia pakai sebelumnya.

“Terpaksa, aku harus memakai pakaian ini lagi,” gumam Sarah sambil mengenakan ke tubuhnya. Terpaksa, sebab ia tak memiliki sehelai baju selain yang di pakaiannya.

Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu dan salam dari arah depan.

“Sepertinya Zavar sudah pulang,” gumam Sarah kemudian menuju ke depan untuk membukakan pintu.

Saat membukakan pintu, Sarah melihat Zavar membawa banyak sekali belanjaan di tangannya. Lalu lelaki itu pun masuk ke dalam sambil menenteng kantong kresek berwarna hitam.

“Kamu habis belanja?” tanya Sarah, menatap kearah bungkusan plastik yang di tenteng oleh Zavar.

“Ia, ini aku belikan kamu pakaian ganti beserta makanan, ” ucap Zavar sambil meletakkan belanjaannya di atas meja.

Mendengar perkataan Zavar, Sarah merasakan hatinya yang membeku sedikit mencair. Ternyata Zavar tak seburuk yang dia sangka, tetapi tetap saja Sarah membeci pria itu. Karena dia masa depan Sarah menjadi hancur berantakan.

“Kamu nggak usah repot-repot,” ucap Sarah kepada Zavar sedikit ketus, memperlihatkan rasa tak sukanya.

“Nggak kok, aku tak merasa direpotkan,” jawab Zavar dengan tenang. Setelah itu, Zavar berlalu ke dapur. Tak menunggu lama, ia pun kembali dan terlihat menenteng dua piring kosong beserta sendok.

“Makan dulu, nanti kamu sakit,” ucap Zavar sambil memberikan makanan yang sudah dituangkan Zavar ke dalam piring yang dia ambil dari dapur tadi, kemudian memberikan kepada Sarah.

Sarah hanya diam membisu menantap piring dan makanan yang diletakkan Zavar di hadapannya.

“Mata kamu masih bengkak dan sembab, apakah selama aku pergi kamu menghabiskan waktumu dengan menangis?” tanya Zavar pada Sarah yang melamun menantap piringnya.

“Sok tau kamu! Nggak kok,” jawab Sarah sambil mencoba untuk menyuap makanan di dalam mulutnya.

Zavar tak berkata-kata lagi. Zavar pun juga menyantap makanan yang dia beli. Hening seketika, hanya suara piring dan sendok yang saling beradu.

Sesekali Zavar menatap Sarah yang memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

“Kenapa? Tak terbiasa makan makanan seperti ini?” tanya Zavar memecah keheningan.

Sarah diam tak menjawab, bicara pun percuma pikir Sarah.

Belasan menit berlalu, Sarah telah selesai dengan makannya. Zavar menyunggingkan senyuman melihat piring Sarah yang kosong tanpa tersisa. Sarah beranjak dari kursi membawa piring kotor sisanya mereka makan ke belakang.

“Mau kemana?” tanya Zavar pada Sarah sehingga membuat langkah kakinya terhenti.

“Mau mencuri piring kotor ini,” jawab Sarah.

“Tak usah, biar aku saja yang mencucinya. Ini, pakailah," ucap Zavar menunjukkan baju ganti yang dibelinya untuk Sarah.

Zabar meraih piring itu dari tangan Sarah, kemudian berlalu kedapur, meninggalkan Sarah yang masih mematung menatap punggung pria di hadapannya.

“Oh ya, kamu istirahatlah di kamar, sebab dikontrakan ini tidak ada ruangan lagi, hanya kamar itu. Biar aku yang tidur di kursi,” jelas Zavar dari arah dapur.

Sementara Zavar di dapur, Sarah pun menuju ke kamar untuk mengganti pakaiannya di ruangan yang hanya berukuran 3x3. Tanpa Ac, sambil menenteng kantong kresek pemberian Zavar.

Sarah menghela nafas berat, mau tak mau, ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. Setelah mengganti pakaiannya, Sarah merebahkan tubuh di ranjang yang keras.

“Aku tidak boleh diam dan pasrah seperti ini. Aku harus mencari tahu siapa penyebab kekacauan yang menghancurkan hidupku!” ucap Sarah bermonolog di dalam hati.

Sarah berada di kamar memikirkan rencana, sementara Zavar telah kembali ke ruang tamu setelah mencuci piring kotor sisa mereka makan.

Baru saja Zavar merebahkan tubuhnya di kursi, terdengar ketukan di pintu, membuat Zavar bangkit dari tempatnya, melihat siapa tamu yang berkunjung malam-malam ke kontrakannya.

Zavar pun segera berjalan menuju ke arah pintu utama. Setelah pintu dibuka, mata Zavar membulat sempurna melihat pemandangan di depan rumahnya.

“A-ada apa ini?” tanya Zavar dengan ekspresi kaget. Kejutan besar menanti Zavar.

Bukan pelanggan yang berdiri di depannya, tapi warga sekitar. Ekspresi marah dan curiga memenuhi wajah mereka.

“Apa yang kamu lakukan dengan gadis yang kau bawa masuk di rumahmu?” teriak seorang warga dengan raut muka penuh kemarahan.

Pertanyaan itu sontak membuat Zavar merasa heran, dari mana mereka tahu kalau Zavar membawa masuk wanita ke dalam rumahnya?

Mereka memandang Zavar dengan pandangan sinis. Beberapa di antara mereka bahkan mulai menuduh Zavar telah melakukan perbuatan tercela dengan Sarah.

Zavar pun memandang mereka dengan ekspresi terkejut, “Saya tidak mengerti maksud kalian, apa yang terjadi?” tanyanya. Namun, pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Malah, suara-suara menuduh semakin keras. Beberapa warga mulai berteriak, menuduh Zavar telah berbuat tak senonoh di kontrakannya.

“Tidak ada yang terjadi seperti yang kalian pikirkan. Wanita yang di dalam adalah istri saya. Kami sudah resmi menikah.” ujarnya sambil berusaha menenangkan suasana.

Namun, warga tidak percaya. Seorang pria paruh baya bahkan berteriak keras, “Buktikan! Tunjukkan bukti jika kalian sudah menikah!” Zavar menelan ludah, ia tahu ini bukan situasi yang mudah. Tetapi, ia harus menjelaskan dan membuktikan kebenaran jika tidak ingin Sarah terluka.

“Baiklah, saya akan tunjukkan buktinya.” kata Zavar dengan nada tegas.

Sementara itu, di kamar Sarah terbangun. Suara-suara berisik dan keras dari luar membuatnya menyangka ada keributan. Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan perlahan menuju pintu kamar, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

“Zavar? Apa yang terjadi?” teriak Sarah sambil memegang pintu kamar yang terbuka sedikit. Namun, tak ada jawaban. Yang ada hanyalah suara-suara marah dan tuduhan-tuduhan yang terdengar semakin keras.

Sarah merasa ketakutan. Ia tahu suara-suara itu bukanlah hal yang baik. Sarah mencoba untuk tetap tenang, mengambil nafas dalam-dalam dan melangkah keluar dari kamar. Ketika ia melihat kerumunan warga yang marah, jantungnya berdebar kencang. Mereka menunjuk ke arahnya dengan pandangan yang penuh kemarahan dan tuduhan.

“Nah, ini dia perempuannya, berani juga dia menampakkan wajah!” ucap seorang ibu-ibu paruh baya dengan suara yang keras.

Sarah menelan ludah, merasa terpojok. Sarah teringat kembali dengan kejadian tadi pagi di rumahnya.

“Rajam mereka!” Teriak warga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status