Share

Chapter 3

“Ayo kita pulang,” ajak Zavar pada Sarah yang tampaknya shock menerima kenyataan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Zavar mengulurkan tangannya untuk membantu Sarah berdiri dari kursinya.

“Kemana?” tanya Sarah menatap lelaki berkulit kuning langsat di hadapannya. Sarah merasa asing dengan lelaki itu. Ia tidak tahu apa-apa tentang lelaki di hadapannya, selain nama dan pekerjaan Zavar.

“Ke rumah, tepatnya kontrakanku,” jawab Zavar. “Kamu saat ini adalah istriku dan hidupmu saat ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu,” lanjut Zavar menjelaskan kepada Sarah.

Zavar berusaha bersikap ramah dan sabar dengan Sarah. Ia tahu Sarah pasti bingung dan takut, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi suami yang bertanggung jawab.

Sarah menjawab dengan anggukan kepala. Tak ada pilihan lain selain ikut bersama Zavar, sebab Ia telah terusir dari rumahnya. Ayahnya saja tak mau lagi menerima dan telah menganggapnya mati, karena merasa malu dengan apa yang dia lihat tadi pagi, saat tiba dirumah.

Sarah mengambil tas dan jaketnya dari meja dan mengikuti Zavar keluar dari ruangan KUA. Mereka berjalan menuju sepeda motor Zavar yang terparkir di depan gedung. Zavar membantu Sarah naik ke boncengan dan memberikan helm kepadanya. Ia kemudian menyalakan mesin dan melaju meninggalkan tempat itu.

Panasnya terik matahari terasa membakar kulit saat Sarah berboncengan dengan lelaki yang baru saja menjadi suaminya beberapa saat yang lalu. Sarah yang telah biasa menaiki motor sederhana milik Zavar itu pun duduk di belakang sang pemuda, mengikuti kemana arah Zavar melajukan sepeda motornya.

Belasan menit Zavar melaju di jalan raya, akhirnya ia telah tiba di sebuah rumah sederhana. Zavar mengendarai sepeda motornya masuk ke dalam pelataran rumah yang kecil dan terlihat biasa saja.

“Kita sudah sampai, ini kontrakanku. Kita akan menempati rumah ini, semoga kamu betah,” jelas Zavar memberitahu Sarah.

Gadis itu tak banyak bicara, ia hanya mengangguk kemudian menuju ke teras, sementara Zavar memarkirkan sepeda motornya terlebih dahulu, lalu ia pun melangkah masuk ke dalam rumah sederhana itu.

Pintu berderit, pertanda suara pintu yang dibuka oleh Zavar. Rumah tersebut tampak berdebu, sepertinya sudah lama tak pernah dibersihkan oleh yang menghuni. Beberapa partikel debu masuk ke dalam lubang hidung Sarah, membuatnya bersin-bersin.

“Maaf, rumah ini sedikit kotor, aku jarang berada di sini, sebab sepanjang hari aku bekerja, paling kalau pulang untuk tidur saja. Nanti biar aku bersihkan,” jelas Zavar kepada sarah sambil tersenyum.

“Iya, nggak apa. Aku memang sedikit sensitif sama debu,” jelas Sarah, kemudian ia pun ikut masuk ke dalam, meski merasa sedikit geli mau tak mau Sarah pun memilih mengalah dengan keadaan.

“Silahkan duduk, mau aku buatkan minuman untukmu?” tanya Zavar.

“Nggak usah Repot-repot, Zavar,” ucap Sarah memberitahu.

“Baiklah, kalau begitu kamu duduklah dulu. Aku mau mandi, gerah soalnya habis panas-panasan di jalan,” terang Zavar.

“Iya,” jawab Sarah singkat.

Zavar berlalu masuk ke dalam kontrakan sederhana dan sempit itu. Sementara Sarah duduk di kursi meratapi dirinya, membayangkan hari-hari yang akan dilalui kedepannya. Tanpa sadar, mata Sarah berembun, kemudian cairan bening itu menetes membasahi pipinya.

Dada Sarah terasa sesak membayangkan dirinya saat ini. “Tuhan, kenapa engkau berikan aku cobaan seperti ini?” ucap Sarah sedikit terisak kemudian mencekal air matanya yang mulai berlomba lomba menelusuri pipinya yang mulus.

Tiba-tiba ponsel Sarah bergetar. Ia mengambil tasnya dari meja dan segera meraih benda pipih itu dari dalam tas, kemudian membuka kunci, melihat isi chat, dan membuka pesan yang ternyata dari Selena. 

Sarah terkejut dan terpukul melihat isi pesannya. Ia tak percaya bahwa Ayah telah membuang barang-barangnya ke tempat sampah tanpa belas kasihan. Ia juga tak percaya bahwa Selena, saudara tirinya, telah melakukan hal sekeji itu. Ia merasa seperti ditampar berulang-ulang oleh mereka.

“Barangmu, sudah aku suruh pembantu untuk membuangnya ke tempat sampah! Ini atas perintah Ayah, katanya agar kamu tidak kembali lagi ke rumah!” Bunyi chat yang dikirim oleh Selena kepada Sarah.

Saudara tirinya itu juga mengirimkan foto-foto yang menunjukkan barang-barang Sarah yang berserakan di tong sampah belakang rumah yang dulunya tempat ternyaman Sarah tempati. Selena tersenyum puas melihat hasil karyanya. Ia berharap Sarah akan merasa sakit hati dan putus asa.

“Segitu bencikah, Ayah kepadaku? Sehingga ia membuang barang-barang milikku ke tempat sampah?” gumam Sarah mengusap air matanya yang kini telah menganak sungai membanjiri pipi mulusnya.

Hanya gara-gara kesalahan semalam, membuat hidup Sarah hancur dalam sekejap. Bagai mimpi di siang bolong, sang Ayah tega membuang sang putri tanpa mendengarkan penjelasan sepatah kata pun.

Sarah menatap kosong ke arah jendela, menahan rasa sakit yang menyesakkan dada. Berharap, bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, nyatanya semua itu adalah kenyataan.

Zavar yang baru saja keluar dari kamar mandi di belakang rumah itu. Ia melangkahkan kakinya mendekati gadis cantik itu, untuk memastikan apa yang terjadi padanya. Tak sengaja ia mendapati Sarah menangis di ruang tamu.

“Sarah, kamu nangis?” tanya Zavar ingin tahu. “Apa kamu tak suka tinggal ditempat seperti ini? Jika aku punya uang lebih, aku berjanji akan mencarikan rumah kontrakan yang lebih layak untuk kamu tempati,” lanjut Zavar menjelaskan.

Sarah terdiam, ia tak bisa menjawab pertanyaan dan menjelaskan kepada Zavar apa yang membuatnya menangis. Sebab, hatinya kali ini sangat sakit. Semua bercampur aduk menjadi satu, tak dapat Sarah ungkapkan dengan kata-kata terkecuali menangis.

Zavar mendekati Sarah dan duduk di depannya. Ia mengambil ponsel Sarah dari tangannya dan membaca pesan dari Selena. Ia mengernyitkan dahinya dan merasa marah melihat perlakuan Selena dan Ayah Sarah terhadap gadis itu.

“Sarah, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau mereka begitu jahat padamu,” ujar Zavar dengan nada bersalah. “Kamu tidak perlu peduli dengan mereka. Mereka tidak pantas menjadi keluargamu,” tambahnya.

Sarah menatap Zavar dengan mata berkaca-kaca. Ia tak dapat berkata-kata, dadanya bergetar menahan isak tangis, sulit sekali menerima kenyataan hidupnya saat ini. Semua terasa seperti mimpi. Sarah tak mampu menjelaskan apa yang dia rasa saat ini. Dan tak tahu harus menyalahkan siapa atas apa yang telah terjadi.

Zavar menatap Sarah dengan penuh perhatian. Beberapa saat mereka saling diam. Hingga akhinya Zavar berbicara memecah keheningan.

“Oh ya, aku sebentar lagi akan kembali bekerja. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal disini?” tanya Zavar kepada Sarah. Ia khawatir meninggalkan Sarah sendirian di rumah yang asing baginya.

“Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Sarah dengan senyum tipis. Ia tidak peduli kemana Zavar pergi.

“Mungkin aku akan pulang agak larut malam, jika kamu butuh apa-apa, hubungi saja aku,” jelas Zavar memberitahu Sarah. Ia memberikan nomor teleponnya kepada Sarah dan memastikan bahwa Sarah bisa menghubunginya kapan saja.

“Iya,” jawab Sarah singkat.

Zavar pun beranjak dari tempatnya duduk, kemudian bersiap-siap hendak berangkat bekerja. Setelah sudah selesai berkemas, Zavar meninggalkan Sarah sendirian di rumah. Sebelum keluar melewati pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah Sarah dan mengucapkan selamat tinggal. Setelah itu, Zavar melaju dengan menaiki sepeda motornya.

Di rumah Zavar, tinggallah Sarah seorang diri. Setelah Zavar pergi, Sarah masih duduk di kursi tua yang sudah usang sambil menatap sekeliling ruangan sempit itu.

“Ternyata, disini Zavar tinggal,” ucap Sarah mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang ia alami.

Ditengah lamunan, terdengar suara nyaring dari arah dapur, membuat Sarah terkejut.

“Su-suara apa itu?” gumam Sarah yang tampak membulatkan bola matanya.

Mar Shahle

Selamat membaca, semoga suka.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status