“Ayo kita pulang,” ajak Zavar pada Sarah yang tampaknya shock menerima kenyataan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Zavar mengulurkan tangannya untuk membantu Sarah berdiri dari kursinya.
“Kemana?” tanya Sarah menatap lelaki berkulit kuning langsat di hadapannya. Sarah merasa asing dengan lelaki itu. Ia tidak tahu apa-apa tentang lelaki di hadapannya, selain nama dan pekerjaan Zavar.“Ke rumah, tepatnya kontrakanku,” jawab Zavar. “Kamu saat ini adalah istriku dan hidupmu saat ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu,” lanjut Zavar menjelaskan kepada Sarah.Zavar berusaha bersikap ramah dan sabar dengan Sarah. Ia tahu Sarah pasti bingung dan takut, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi suami yang bertanggung jawab.Sarah menjawab dengan anggukan kepala. Tak ada pilihan lain selain ikut bersama Zavar, sebab Ia telah terusir dari rumahnya. Ayahnya saja tak mau lagi menerima dan telah menganggapnya mati, karena merasa malu dengan apa yang dia lihat tadi pagi, saat tiba dirumah.Sarah mengambil tas dan jaketnya dari meja dan mengikuti Zavar keluar dari ruangan KUA. Mereka berjalan menuju sepeda motor Zavar yang terparkir di depan gedung. Zavar membantu Sarah naik ke boncengan dan memberikan helm kepadanya. Ia kemudian menyalakan mesin dan melaju meninggalkan tempat itu.Panasnya terik matahari terasa membakar kulit saat Sarah berboncengan dengan lelaki yang baru saja menjadi suaminya beberapa saat yang lalu. Sarah yang telah biasa menaiki motor sederhana milik Zavar itu pun duduk di belakang sang pemuda, mengikuti kemana arah Zavar melajukan sepeda motornya.Belasan menit Zavar melaju di jalan raya, akhirnya ia telah tiba di sebuah rumah sederhana. Zavar mengendarai sepeda motornya masuk ke dalam pelataran rumah yang kecil dan terlihat biasa saja.“Kita sudah sampai, ini kontrakanku. Kita akan menempati rumah ini, semoga kamu betah,” jelas Zavar memberitahu Sarah.Gadis itu tak banyak bicara, ia hanya mengangguk kemudian menuju ke teras, sementara Zavar memarkirkan sepeda motornya terlebih dahulu, lalu ia pun melangkah masuk ke dalam rumah sederhana itu.Pintu berderit, pertanda suara pintu yang dibuka oleh Zavar. Rumah tersebut tampak berdebu, sepertinya sudah lama tak pernah dibersihkan oleh yang menghuni. Beberapa partikel debu masuk ke dalam lubang hidung Sarah, membuatnya bersin-bersin.“Maaf, rumah ini sedikit kotor, aku jarang berada di sini, sebab sepanjang hari aku bekerja, paling kalau pulang untuk tidur saja. Nanti biar aku bersihkan,” jelas Zavar kepada sarah sambil tersenyum.“Iya, nggak apa. Aku memang sedikit sensitif sama debu,” jelas Sarah, kemudian ia pun ikut masuk ke dalam, meski merasa sedikit geli mau tak mau Sarah pun memilih mengalah dengan keadaan.“Silahkan duduk, mau aku buatkan minuman untukmu?” tanya Zavar.“Nggak usah Repot-repot, Zavar,” ucap Sarah memberitahu.“Baiklah, kalau begitu kamu duduklah dulu. Aku mau mandi, gerah soalnya habis panas-panasan di jalan,” terang Zavar.“Iya,” jawab Sarah singkat.Zavar berlalu masuk ke dalam kontrakan sederhana dan sempit itu. Sementara Sarah duduk di kursi meratapi dirinya, membayangkan hari-hari yang akan dilalui kedepannya. Tanpa sadar, mata Sarah berembun, kemudian cairan bening itu menetes membasahi pipinya.Dada Sarah terasa sesak membayangkan dirinya saat ini. “Tuhan, kenapa engkau berikan aku cobaan seperti ini?” ucap Sarah sedikit terisak kemudian mencekal air matanya yang mulai berlomba lomba menelusuri pipinya yang mulus.Tiba-tiba ponsel Sarah bergetar. Ia mengambil tasnya dari meja dan segera meraih benda pipih itu dari dalam tas, kemudian membuka kunci, melihat isi chat, dan membuka pesan yang ternyata dari Selena.Sarah terkejut dan terpukul melihat isi pesannya. Ia tak percaya bahwa Ayah telah membuang barang-barangnya ke tempat sampah tanpa belas kasihan. Ia juga tak percaya bahwa Selena, saudara tirinya, telah melakukan hal sekeji itu. Ia merasa seperti ditampar berulang-ulang oleh mereka.
“Barangmu, sudah aku suruh pembantu untuk membuangnya ke tempat sampah! Ini atas perintah Ayah, katanya agar kamu tidak kembali lagi ke rumah!” Bunyi chat yang dikirim oleh Selena kepada Sarah.Saudara tirinya itu juga mengirimkan foto-foto yang menunjukkan barang-barang Sarah yang berserakan di tong sampah belakang rumah yang dulunya tempat ternyaman Sarah tempati. Selena tersenyum puas melihat hasil karyanya. Ia berharap Sarah akan merasa sakit hati dan putus asa.“Segitu bencikah, Ayah kepadaku? Sehingga ia membuang barang-barang milikku ke tempat sampah?” gumam Sarah mengusap air matanya yang kini telah menganak sungai membanjiri pipi mulusnya.Hanya gara-gara kesalahan semalam, membuat hidup Sarah hancur dalam sekejap. Bagai mimpi di siang bolong, sang Ayah tega membuang sang putri tanpa mendengarkan penjelasan sepatah kata pun.Sarah menatap kosong ke arah jendela, menahan rasa sakit yang menyesakkan dada. Berharap, bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, nyatanya semua itu adalah kenyataan.Zavar yang baru saja keluar dari kamar mandi di belakang rumah itu. Ia melangkahkan kakinya mendekati gadis cantik itu, untuk memastikan apa yang terjadi padanya. Tak sengaja ia mendapati Sarah menangis di ruang tamu.“Sarah, kamu nangis?” tanya Zavar ingin tahu. “Apa kamu tak suka tinggal ditempat seperti ini? Jika aku punya uang lebih, aku berjanji akan mencarikan rumah kontrakan yang lebih layak untuk kamu tempati,” lanjut Zavar menjelaskan.Sarah terdiam, ia tak bisa menjawab pertanyaan dan menjelaskan kepada Zavar apa yang membuatnya menangis. Sebab, hatinya kali ini sangat sakit. Semua bercampur aduk menjadi satu, tak dapat Sarah ungkapkan dengan kata-kata terkecuali menangis.Zavar mendekati Sarah dan duduk di depannya. Ia mengambil ponsel Sarah dari tangannya dan membaca pesan dari Selena. Ia mengernyitkan dahinya dan merasa marah melihat perlakuan Selena dan Ayah Sarah terhadap gadis itu.“Sarah, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau mereka begitu jahat padamu,” ujar Zavar dengan nada bersalah. “Kamu tidak perlu peduli dengan mereka. Mereka tidak pantas menjadi keluargamu,” tambahnya.Sarah menatap Zavar dengan mata berkaca-kaca. Ia tak dapat berkata-kata, dadanya bergetar menahan isak tangis, sulit sekali menerima kenyataan hidupnya saat ini. Semua terasa seperti mimpi. Sarah tak mampu menjelaskan apa yang dia rasa saat ini. Dan tak tahu harus menyalahkan siapa atas apa yang telah terjadi.Zavar menatap Sarah dengan penuh perhatian. Beberapa saat mereka saling diam. Hingga akhinya Zavar berbicara memecah keheningan.“Oh ya, aku sebentar lagi akan kembali bekerja. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal disini?” tanya Zavar kepada Sarah. Ia khawatir meninggalkan Sarah sendirian di rumah yang asing baginya.
“Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Sarah dengan senyum tipis. Ia tidak peduli kemana Zavar pergi.“Mungkin aku akan pulang agak larut malam, jika kamu butuh apa-apa, hubungi saja aku,” jelas Zavar memberitahu Sarah. Ia memberikan nomor teleponnya kepada Sarah dan memastikan bahwa Sarah bisa menghubunginya kapan saja.“Iya,” jawab Sarah singkat.Zavar pun beranjak dari tempatnya duduk, kemudian bersiap-siap hendak berangkat bekerja. Setelah sudah selesai berkemas, Zavar meninggalkan Sarah sendirian di rumah. Sebelum keluar melewati pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah Sarah dan mengucapkan selamat tinggal. Setelah itu, Zavar melaju dengan menaiki sepeda motornya.Di rumah Zavar, tinggallah Sarah seorang diri. Setelah Zavar pergi, Sarah masih duduk di kursi tua yang sudah usang sambil menatap sekeliling ruangan sempit itu.“Ternyata, disini Zavar tinggal,” ucap Sarah mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang ia alami.Ditengah lamunan, terdengar suara nyaring dari arah dapur, membuat Sarah terkejut.“Su-suara apa itu?” gumam Sarah yang tampak membulatkan bola matanya.Selamat membaca, semoga suka.
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka