"Shanna, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ibu saat aku kembali membuka mata. Wanita yang melahirkanku itu tampak cemas.
"Nggak apa-apa, Bu, tadi belum makan saja. Hehe," jawabku sembari tersenyum. Rupanya saat pingsan tadi aku dibawa ke ruang tamu dan dibaringkan di sofa.
"Kenapa belum makan, Nak? Tadi pagi kamu juga tidak sempat sarapan. Dan tumben jam segini kamu sudah pulang?" Sekali lagi Ibu bertanya penuh keprihatinan.
"Nggak sempat, Bu. Aku sudah pulang karena sudah tidak ada kerjaan di kantor."
Aku belum siap mengatakan bahwa aku dipecat dari pekerjaanku, jadi kujawab saja sekenanya. Memang aku sudah tidak ada kerjaan di kantor ... seterusnya.
"Bu, kenapa Ibu malah mengkhawatirkan aku? Bukannya Ibu sendiri sakit? Tadi Ibu nggak dipukul sama preman-preman itu, 'kan?" Aku balik bertanya kepadanya.
"Ibu nggak apa-apa, kok, Nak. Nggak ada yang mukul Ibu," jawabnya sembari tersenyum menenangkan aku.
Sudah beberapa tahun ini ada benjolan kecil di payudara Ibu. Kami sangat khawatir, kalau-kalau itu kanker yang berbahaya. Namun, alih-alih pergi ke dokter, Ibu memilih untuk meminum obat-obatan herbal saja, serta menjaga pola makan.Katanya ia takut kalau harus dioperasi dan menjalani kemoterapi yang menyakitkan. Susah sekali kami meyakinkan Ibu untuk sekadar memeriksakan kondisinya ke dokter. "Nggak apa-apa, kok, benjolannya juga sudah lunak," begitu ia beralasan.
Wanita satu itu memang cukup keras kepala. Kami terpaksa menuruti kemauannya, seraya tetap menjaga Ibu, takut kalau dia kenapa-napa.
Aku melayangkan mata ke sekeliling. Ayah dan ketiga adikku juga berdiri tak jauh dari kami. Ah, Bapak ... ialah sumber masalah yang kami hadapi saat ini, dan aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Aku ingin membencinya, tapi aku juga belum tahu bagaimana permasalahannya, kok bisa Bapak punya hutang sebanyak itu.
Ah, pokoknya Bapak menyebalkan, titik.
Kembali pandanganku beralih, kini menuju ujung sofa tempat kakiku berada, dan ....
"Astaga!" pekikku sembari menutupi mulutku karena tidak memercayai apa yang kulihat. Tanpa diminta, aku yang sedari tadi berbaring langsung bangun dan duduk.
"Sudah sadar?" tanya sosok yang kulihat di kursi tunggal dekat sofa. Yudistira ternyata masih di sini.
"Kamu kenapa masih di sini?" aku balik bertanya, pertanyaan yang bodoh. Ya iyalah, Ashanna, Yudistira sudah membayar utang Bapak yang jumlahnya bukan main, nggak mungkin dia bilang, "Oke, utang kalian sudah dilunasi, hiduplah dengan damai. Goodbye," lalu pergi begitu saja tanpa meminta apapun sebagai imbalan.
"Ternyata kamu berat juga, ya," ujarnya mengejek.
"Ih, apaan sih?" Aku memelototinya sebal, ia terkekeh santai. Rupanya waktu aku pingsan Yudistira-lah yang menggendongku. Duh, aku jadi semakin malu.
"Makan, yuk," ajaknya tiba-tiba.
"Hah? Makan?"
"Iya, bukannya tadi kamu bilang kamu belum sempat makan? Mumpung kita ketemu lagi, kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol."
Aku curiga dengan usulan terakhirnya ini, pasti yang dimaksud adalah ngomongin soal pelunasan utang tadi, pasti dia mau minta ganti rugi, atau jangan-jangan dia mau bermain drama Juragan Suseno jilid kedua?
Duh, aku malah jadi negative thinking sendiri. Kalaupun Yudistira ingin begitu, itu haknya, dan aku ... mungkin bisa menolaknya, atau setidaknya bernegosiasi. Pria ini secara tidak langsung telah menebus kehidupan kami, atau lebih spesifik lagi kehidupanku yang nyaris menjadi istri muda si juragan tua.
"Oke, kita pergi sekarang?" tanyaku.
"Bukan, tahun depan."
"Ih, tengil!" seruku sebal.
"Hahaha. Yuk, cepetan, aku juga belum makan tadi." Dengan gesit Yudistira berdiri, dan menarikku agar mengikutinya.
"Tunggu sebentar, bos! Aku rapiin rambutku dulu," protesku. Kubebaskan lenganku yang masih dipegang Yudistira, lalu berjalan menuju kamarku.
"Malahan bagus, gitu, cocok jadi Mak Lampir," ledeknya sambil tertawa nggak jelas.
"Apa katamu? Kalau aku jadi Mak Lampir, sudah kulempar kau ke kawah Merapi, biar kamu keluar dari situ jadi wedhus gembel," cibirku dengan mata melotot. Yudis malah kesenangan, dan tertawa semakin keras.
Begitulah dirinya. Yudistira, teman masa kecilku, rumahnya dulu hanya berjarak dua rumah dari rumahku, di sebelah timur. Ia teman bermainku, bocah lelaki yang sering mengekoriku dari zaman TK hingga remaja.
Saking seringnya kami bersama, teman-teman sering menjodoh-jodohkan kami. "Ciee, yang pacaran, ni, ye, kalau udah gedhe nikah, ni, ye," goda mereka. Yudistira cengengesan, tapi aku tidak. Aku kesal dan malu.
"Ih, siapa juga yang pacaran?" ucapku sewot dengan muka merah padam. Seberapa banyak pun aku memarahi teman-temanku, mereka terus meledekku. Begitulah anak-anak.
Setiap kali Yudistira mendekat, aku selalu mengusirnya dengan kasar, "Pergi, kamu, jangan dekat-dekat!" tapi itu tak membuatnya gentar. Aku menjauhi Yudistira, tapi bocah itu tahu-tahu, "Cling!" seperti sulap, bisa muncul di manapun aku berada. Ajaib memang!
Pernah sekali aku kentutin dia, berharap bocah itu berhenti mengikutiku karena merasa jijik. Kulihat dia berlari pulang, senang dong aku, kukira ia benar-benar kapok, eh, nggak tahunya Yudis cuma mengambil masker. Lebih tepatnya sih dia ngambil selendang milik emaknya dan dipakainya untuk menutupi mulut dan hidung.
"Kentutmu bau juga, Sha. Mau kubalas, tapi aku tak tega. Aku 'kan anak laki-laki," komentarnya jumawa. Yudistira memang berhenti mengekoriku; ia memilih berada di sampingku sambil pringas-pringis nggak jelas. Gubrak, deh!
Dia setahun lebih tua dariku, tapi kami selalu sekelas, karena Bapak memasukkanku ke sekolah lebih cepat. Saat kami kelas dua SMP dan suara anak-anaknya mulai berubah karena puber, ayahnya meninggal. Beberapa bulan kemudian ibunya menikah lagi dan mereka pindah, dan rumah mereka ditinggali oleh budhenya. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu.
Sejauh itu saja pertemanan masa kecil kami, cuma yang aku ingat Yudistira yang dulu adalah anak lelaki tengil. Kulitnya gelap karena terkena sinar matahari, maklum dia paling suka main layangan ataupun berpanas-panasan di bawah terik mentari.
Namun, aku tidak tahu bagaimana ia melewati masa remajanya hingga dewasa, bagaimana ia bisa sesukses ini. Apa pekerjaannya pun aku tak tahu.
Yudistira yang kulihat hari ini sama sekali berbeda. Ia telah menjadi seorang pria dewasa, eksekutif muda, bajunya rapi, badannya tinggi, tegap, dan ... wangi, tak lagi bau matahari. Kulitnya tak segelap dulu, dan yang pasti Yudis sekarang ganteng, bro.
"Kamu sekarang kaya, ya, Yud? Sampai penampilanmu bikin aku pangling," ujarku berbasa-basi, sebenarnya agak kepo sedikit.
"Aku ganteng dari lahir, Ashanna, kamu saja yang tak pernah melihatku sebagai seorang lelaki," jawabnya sok keren.
"Iih!" cibirku yang kebingungan harus menanggapi bagaimana lagi. Sebenarnya kata-kata Yudistira tidak sepenuhnya salah, saat kecil dia termasuk salah satu cowok primadona di SD.
"Yudistira itu ganteng, ya!"
"Iya, manis banget. Aku suka jadinya. Hihi."
Begitu kira-kira para bocah cewek bergosip, ngomongin cowok. Aku tak termasuk, lho, karena aku keseringan melihat dan bersama dia sampai bosan rasanya.
Akan tetapi, penampilan seorang bocah lelaki tukang dolan tentu saja berbeda dengan pemuda gagah yang bergaya eksekutif muda. Aku harus mengakui bahwa ia memang tampan.
Namun, sekarang aku penasaran, apakah hanya penampilan luarnya saja yang berubah. Bagaimana kepribadiannya setelah ia menjadi pria dewasa? Yudistira memang masih baik seperti dulu, sampai-sampai ia rela membayar utang bapakku, tapi aku tidak tahu apa motifnya, apakah ia memang tulus, atau ada maksud tersembunyi.
Tapi pertanyaan yang paling penting sekarang, bagaimana aku bisa membayar kembali uang yang sudah dikeluarkan Yudistira? Aku tak yakin aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
Berapa lama waktu yang akan ia berikan? Lalu, kalau aku tidak sanggup melunasinya, kira-kira apa yang dia inginkan dariku? Duh, hatiku kacau jadinya.
Nah, daripada mati penasaran, segera aku bertanya to the point kepadanya. "Yud, soal utang ayahku itu ..., aku sangat berterima kasih. Terus, kira-kira bagaimana aku harus membayarnya? Berapa lama waktu yang kamu berikan untuk melunasi? Kalau setelah sekian tahun sampai aku tua aku belum bisa melunasi, kamu nggak akan melaporkan aku ke polisi 'kan?"
Aku gelagapan setelah memberondongnya dengan serentetan pertanyaan. Soalnya aku takut ada yang kelupaan, mumpung ingat, aku tanyakan semua, deh.
Yudistira terkekeh. "Pelan-pelan saja, Sha. Satu-satu nanyanya. Kalau napasmu sampai putus, aku juga yang harus kerepotan ngasih napas buatan untukmu."
"Ih, enak saja!" potongku cepat-cepat. Bocah ini dari dulu suka bercanda, tapi candaannya yang satu ini bikin jantungku berdetak lebih cepat.
Duh, ruangan yang semula sejuk jadi panas tiba-tiba. Aku terpaksa mengipasi wajahku. Pemuda itu terus menatapku dengan senyuman yang mampu membuat hatiku terkena gempa 6,7 SR.
"Buruan dijawab, jangan cengengesan saja. Memangnya aku badut?" desakku sewot.
"Hahahaha. Aku jadi ngebayangin kamu pakai hidung merah, Sha, pasti lucu. Hahaha."
Pria itu tertawa lepas, membuatku semakin malu. Kayaknya yang merah bukan cuma hidungku, deh, wajahku sampai telinga juga merah padam, panas sekali rasanya.
Ah, sudahlah! Kubiarkan dia tertawa sepuasnya.
Setelah puas tertawa dengan lembut Yudistira menatapku, lalu akhirnya ia mengucapkan satu kata ajaib, "Gratis, Sha!"
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak