Share

02. Penyelamat

"Shanna, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ibu saat aku kembali membuka mata. Wanita yang melahirkanku itu tampak cemas.

"Nggak apa-apa, Bu, tadi belum makan saja. Hehe," jawabku sembari tersenyum. Rupanya saat pingsan tadi aku dibawa ke ruang tamu dan dibaringkan di sofa.

"Kenapa belum makan, Nak? Tadi pagi kamu juga tidak sempat sarapan. Dan tumben jam segini kamu sudah pulang?" Sekali lagi Ibu bertanya penuh keprihatinan.

"Nggak sempat, Bu. Aku sudah pulang karena sudah tidak ada kerjaan di kantor."

Aku belum siap mengatakan bahwa aku dipecat dari pekerjaanku, jadi kujawab saja sekenanya. Memang aku sudah tidak ada kerjaan di kantor ... seterusnya.

"Bu, kenapa Ibu malah mengkhawatirkan aku? Bukannya Ibu sendiri sakit? Tadi Ibu nggak dipukul sama preman-preman itu, 'kan?" Aku balik bertanya kepadanya.

"Ibu nggak apa-apa, kok, Nak. Nggak ada yang mukul Ibu," jawabnya sembari tersenyum menenangkan aku.

 

Sudah beberapa tahun ini ada benjolan kecil di payudara Ibu. Kami sangat khawatir, kalau-kalau itu kanker yang berbahaya. Namun, alih-alih pergi ke dokter, Ibu memilih untuk meminum obat-obatan herbal saja, serta menjaga pola makan.

Katanya ia takut kalau harus dioperasi dan menjalani kemoterapi yang menyakitkan. Susah sekali kami meyakinkan Ibu untuk sekadar memeriksakan kondisinya ke dokter. "Nggak apa-apa, kok, benjolannya juga sudah lunak," begitu ia beralasan.

Wanita satu itu memang cukup keras kepala. Kami terpaksa menuruti kemauannya, seraya tetap menjaga Ibu, takut kalau dia kenapa-napa.

Aku melayangkan mata ke sekeliling. Ayah dan ketiga adikku juga berdiri tak jauh dari kami. Ah, Bapak ... ialah sumber masalah yang kami hadapi saat ini, dan aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Aku ingin membencinya, tapi aku juga belum tahu bagaimana permasalahannya, kok bisa Bapak punya hutang sebanyak itu.

Ah, pokoknya Bapak menyebalkan, titik.

Kembali pandanganku beralih, kini menuju ujung sofa tempat kakiku berada, dan ....

"Astaga!" pekikku sembari menutupi mulutku karena tidak memercayai apa yang kulihat. Tanpa diminta, aku yang sedari tadi berbaring langsung bangun dan duduk.

"Sudah sadar?" tanya sosok yang kulihat di kursi tunggal dekat sofa. Yudistira ternyata masih di sini.

"Kamu kenapa masih di sini?" aku balik bertanya, pertanyaan yang bodoh. Ya iyalah, Ashanna, Yudistira sudah membayar utang Bapak yang jumlahnya bukan main, nggak mungkin dia bilang, "Oke, utang kalian sudah dilunasi, hiduplah dengan damai. Goodbye," lalu pergi begitu saja tanpa meminta apapun sebagai imbalan.

"Ternyata kamu berat juga, ya," ujarnya mengejek.

"Ih, apaan sih?" Aku memelototinya sebal, ia terkekeh santai. Rupanya waktu aku pingsan Yudistira-lah yang menggendongku. Duh, aku jadi semakin malu.

"Makan, yuk," ajaknya tiba-tiba.

"Hah? Makan?"

"Iya, bukannya tadi kamu bilang kamu belum sempat makan? Mumpung kita ketemu lagi, kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol."

Aku curiga dengan usulan terakhirnya ini, pasti yang dimaksud adalah ngomongin soal pelunasan utang tadi, pasti dia mau minta ganti rugi, atau jangan-jangan dia mau bermain drama Juragan Suseno jilid kedua?

Duh, aku malah jadi negative thinking sendiri. Kalaupun Yudistira ingin begitu, itu haknya, dan aku ... mungkin bisa menolaknya, atau setidaknya bernegosiasi. Pria ini secara tidak langsung telah menebus kehidupan kami, atau lebih spesifik lagi kehidupanku yang nyaris menjadi istri muda si juragan tua.

"Oke, kita pergi sekarang?" tanyaku.

"Bukan, tahun depan."

"Ih, tengil!" seruku sebal.

"Hahaha. Yuk, cepetan, aku juga belum makan tadi." Dengan gesit Yudistira berdiri, dan menarikku agar mengikutinya.

"Tunggu sebentar, bos! Aku rapiin rambutku dulu," protesku. Kubebaskan lenganku yang masih dipegang Yudistira, lalu berjalan menuju kamarku.

"Malahan bagus, gitu, cocok jadi Mak Lampir," ledeknya sambil tertawa nggak jelas.

"Apa katamu? Kalau aku jadi Mak Lampir, sudah kulempar kau ke kawah Merapi, biar kamu keluar dari situ jadi wedhus gembel," cibirku dengan mata melotot. Yudis malah kesenangan, dan tertawa semakin keras.

Begitulah dirinya. Yudistira, teman masa kecilku, rumahnya dulu hanya berjarak dua rumah dari rumahku, di sebelah timur. Ia teman bermainku, bocah lelaki yang sering mengekoriku dari zaman TK hingga remaja.

Saking seringnya kami bersama, teman-teman sering menjodoh-jodohkan kami. "Ciee, yang pacaran, ni, ye, kalau udah gedhe nikah, ni, ye," goda mereka. Yudistira cengengesan, tapi aku tidak. Aku kesal dan malu.

"Ih, siapa juga yang pacaran?" ucapku sewot dengan muka merah padam. Seberapa banyak pun aku memarahi teman-temanku, mereka terus meledekku. Begitulah anak-anak.

Setiap kali Yudistira mendekat, aku selalu mengusirnya dengan kasar, "Pergi, kamu, jangan dekat-dekat!" tapi itu tak membuatnya gentar. Aku menjauhi Yudistira, tapi bocah itu tahu-tahu, "Cling!" seperti sulap, bisa muncul di manapun aku berada. Ajaib memang!

Pernah sekali aku kentutin dia, berharap bocah itu berhenti mengikutiku karena merasa jijik. Kulihat dia berlari pulang, senang dong aku, kukira ia benar-benar kapok, eh, nggak tahunya Yudis cuma mengambil masker. Lebih tepatnya sih dia ngambil selendang milik emaknya dan dipakainya untuk menutupi mulut dan hidung.

"Kentutmu bau juga, Sha. Mau kubalas, tapi aku tak tega. Aku 'kan anak laki-laki," komentarnya jumawa. Yudistira memang berhenti mengekoriku; ia memilih berada di sampingku sambil pringas-pringis nggak jelas. Gubrak, deh!

Dia setahun lebih tua dariku, tapi kami selalu sekelas, karena Bapak memasukkanku ke sekolah lebih cepat. Saat kami kelas dua SMP dan suara anak-anaknya mulai berubah karena puber, ayahnya meninggal. Beberapa bulan kemudian ibunya menikah lagi dan mereka pindah, dan rumah mereka ditinggali oleh budhenya. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu.

Sejauh itu saja pertemanan masa kecil kami, cuma yang aku ingat Yudistira yang dulu adalah anak lelaki tengil. Kulitnya gelap karena terkena sinar matahari, maklum dia paling suka main layangan ataupun berpanas-panasan di bawah terik mentari.

Namun, aku tidak tahu bagaimana ia melewati masa remajanya hingga dewasa, bagaimana ia bisa sesukses ini. Apa pekerjaannya pun aku tak tahu.

Yudistira yang kulihat hari ini sama sekali berbeda. Ia telah menjadi seorang pria dewasa, eksekutif muda, bajunya rapi, badannya tinggi, tegap, dan ... wangi, tak lagi bau matahari. Kulitnya tak segelap dulu, dan yang pasti Yudis sekarang ganteng, bro.

"Kamu sekarang kaya, ya, Yud? Sampai penampilanmu bikin aku pangling," ujarku berbasa-basi, sebenarnya agak kepo sedikit.

"Aku ganteng dari lahir, Ashanna, kamu saja yang tak pernah melihatku sebagai seorang lelaki," jawabnya sok keren.

"Iih!" cibirku yang kebingungan harus menanggapi bagaimana lagi. Sebenarnya kata-kata Yudistira tidak sepenuhnya salah, saat kecil dia termasuk salah satu cowok primadona di SD.

"Yudistira itu ganteng, ya!"

"Iya, manis banget. Aku suka jadinya. Hihi."

Begitu kira-kira para bocah cewek bergosip, ngomongin cowok. Aku tak termasuk, lho, karena aku keseringan melihat dan bersama dia sampai bosan rasanya.

Akan tetapi, penampilan seorang bocah lelaki tukang dolan tentu saja berbeda dengan pemuda gagah yang bergaya eksekutif muda. Aku harus mengakui bahwa ia memang tampan.

Namun, sekarang aku penasaran, apakah hanya penampilan luarnya saja yang berubah. Bagaimana kepribadiannya setelah ia menjadi pria dewasa? Yudistira memang masih baik seperti dulu, sampai-sampai ia rela membayar utang bapakku, tapi aku tidak tahu apa motifnya, apakah ia memang tulus, atau ada maksud tersembunyi.

Tapi pertanyaan yang paling penting sekarang, bagaimana aku bisa membayar kembali uang yang sudah dikeluarkan Yudistira? Aku tak yakin aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Berapa lama waktu yang akan ia berikan? Lalu, kalau aku tidak sanggup melunasinya, kira-kira apa yang dia inginkan dariku? Duh, hatiku kacau jadinya.

Nah, daripada mati penasaran, segera aku bertanya to the point kepadanya. "Yud, soal utang ayahku itu ..., aku sangat berterima kasih. Terus, kira-kira bagaimana aku harus membayarnya? Berapa lama waktu yang kamu berikan untuk melunasi? Kalau setelah sekian tahun sampai aku tua aku belum bisa melunasi, kamu nggak akan melaporkan aku ke polisi 'kan?"

Aku gelagapan setelah memberondongnya dengan serentetan pertanyaan. Soalnya aku takut ada yang kelupaan, mumpung ingat, aku tanyakan semua, deh.

Yudistira terkekeh. "Pelan-pelan saja, Sha. Satu-satu nanyanya. Kalau napasmu sampai putus, aku juga yang harus kerepotan ngasih napas buatan untukmu."

"Ih, enak saja!" potongku cepat-cepat. Bocah ini dari dulu suka bercanda, tapi candaannya yang satu ini bikin jantungku berdetak lebih cepat.

Duh, ruangan yang semula sejuk jadi panas tiba-tiba. Aku terpaksa mengipasi wajahku. Pemuda itu terus menatapku dengan senyuman yang mampu membuat hatiku terkena gempa 6,7 SR.

"Buruan dijawab, jangan cengengesan saja. Memangnya aku badut?" desakku sewot.

"Hahahaha. Aku jadi ngebayangin kamu pakai hidung merah, Sha, pasti lucu. Hahaha."

Pria itu tertawa lepas, membuatku semakin malu. Kayaknya yang merah bukan cuma hidungku, deh, wajahku sampai telinga juga merah padam, panas sekali rasanya.

Ah, sudahlah! Kubiarkan dia tertawa sepuasnya.

Setelah puas tertawa dengan lembut Yudistira menatapku, lalu akhirnya ia mengucapkan satu kata ajaib, "Gratis, Sha!"

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayunina Sharlyn
gemesss .........
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status