"Jadi ini kejutannya, Yud?" tanyaku serius.
Yudistira menggaruk kepalanya. Wajahnya mencerminkan kepasrahan ... pasrah kalau aku meledeknya.
"Bukan begini maksudku, Sha. Ini di luar kemampuanku, bukan kejutan buatmu. Kalau kejutan 'kan memang sengaja dibuat untuk memberi euforia lebih," paparnya mengakui keterbatasannya.
Aku mengulum senyum. "Oh, gitu," komentarku singkat. Yudistira melebarkan senyuman di bibirnya, satu jurus untuk mendapatkan permakluman dariku. Aduh, lucunya suamiku!
Pasangan yang baru menikah idealnya langsung tinggal di rumah mereka sendiri, entah itu milik pribadi ataupun kontrak. Sebagai sesama penganut prinsip anti ribut dengan mertua, aku dan Yudistira sepakat untuk tinggal terpisah dari orang tua kami masing-masing.
Sayangnya tingkat kepercayaan diri seorang Yudistira kadang sedikit over. Karena fokus dengan urusan pernikahan, hunting rumah belum membuahkan hasil.
"Nyari yang cocok nggak gampang, Sha. Sebisa mungkin aku mencari yang lokasinya dekat resort biar kita nggak jauh dari tempat kerja, dan yang nyaman untuk dihuni," begitu Yudistira beralasan.
"Nggak apa-apa, Yud. Sabar aja, semoga cepat ketemu, ya." Aku berupaya memberi semangat dan dukungan kepada suamiku.
Untuk sementara waktu kami menjadi warga nomaden; kadang tidur di resort, atau di rumah mertuaku. Sesekali kami menginap juga di rumah orangtuaku, agar mereka tak merasa diabaikan.
Pencarian kami berakhir sekitar sebulan setelah kami menikah. Secara tidak sengaja kami melihatnya. Entah sejak kapan tulisan "Dijual Tanpa Perantara" tertera di sana, tapi kami sangat beruntung bisa menemukannya sebelum ada orang lain yang membeli rumah itu.
Lokasinya di perumahan tak jauh dari resort, bukan di pinggir jalan besar, masih agak masuk gang, tapi justru lebih nyaman karena tidak akan terlalu bising. Dan yang pasti harganya bisa lebih murah. Lebih beruntung lagi saat kami menyambangi rumah itu, pemiliknya sedang ada di sana.
"Permisi, Pak. Rumah ini dijual, ya?" sapa Yudistira pada seorang bapak yang kami temui di depan rumah.
"Betul, Mas. Masnya minat mau beli?" Bapak itu bertanya balik. Senyuman dan sorot matanya mengesankan keramahannya.
"Kalau cocok, Pak. Boleh kami lihat-lihat?"
"Monggo, Mas, saya antar."
Bapak itu membuka pintu gerbang untuk kami. "Taruh sini saja motornya," katanya seraya menunjuk sudut halaman.
Dari perkenalan singkat kami mengetahui bahwa bapak itu bernama Hadi Riyanto. Usianya mungkin sekitar lima puluhan, seumuran dengan Pak Pandu. Bedanya kalau ayah mertuaku masih secara rutin menyemir hitam rambutnya, Pak Hadi ini membiarkan rambutnya memutih secara alami.
Ia bercerita bahwa rumah ini belum terlalu lama dibangun, baru sekitar lima tahun. Anak-anak Pak Hadi sudah besar, dan memiliki pekerjaan yang mapan di luar Jogja.
Beberapa bulan lalu, ibu Pak Hadi yang tinggal di Gunung Kidul jatuh sakit. Bisa dihitung lah, kalau Pak Hadi saja sudah berumur lima puluhan, ibunya pasti sudah lansia.
"Makanya ketimbang rumah ini dibiarkan terbengkalai, kami jual saja, biar kami bisa nemani Ibu di desa. Sekalian juga saya sama istri bisa menikmati masa tua nanti di sana. Kalau disewakan mungkin kami masih harus repot berurusan sama penyewa, tapi dijual sekali urus langsung selesai," paparnya.
Di bagian luar rumah ini sudah tampak asri dengan taman sederhana tapi cantik. Rumah berukuran sedang dengan dua lantai. Saat kami masuk, rasanya lebih menakjubkan lagi. Rumah ini seperti rumah impianku, rumah dengan banyak jendela kaca, sehingga sinar matahari bisa masuk dan menjadi penerang alami di siang hari. Lantainya dipasangi keramik warna putih yang klasik.
Berbeda dengan lantainya yang seragam, setiap ruangan dipasangi wallpaper yang berbeda-beda, membuat suasana semakin menyenangkan. Ada tiga kamar tidur di bawah, dan dua di atas. Katanya ini karena Pak Hadi punya keluarga besar. Iya sih, anaknya ada empat, sama seperti keluargaku, dan keluarga Yudistira. Kebetulan banget, ya.
Di lantai bawah dan atas ada dapur, meskipun yang di atas dapurnya lebih sederhana. Siapa tahu malam-malam penghuni di lantai dua ingin membuat mie instan, 'kan nggak perlu turun ke lantai satu. Tempat mencuci baju ada di atas, tempat menjemurnya bajunya cukup luas, dengan banyak pot berisi tanaman menghiasi. Sepertinya cocok juga bersantai di situ di malam hari saat tidak hujan. Penghuni rumah bisa duduk santai mengobrol sambil memandang langit yang berbintang.
Tur singkat yang begitu seru. Aku tak sanggup menyembunyikan kegembiraanku, rasanya aku benar-benar jatuh cinta pada rumah ini. Yudistira bisa melihatnya dari wajahku.
"Kamu suka, Sha?" tanyanya. Aku mengangguk malu-malu. Pasti senang kalau kami bisa tinggal di rumah ini, tapi aku juga sedikit ragu mengingat ukurannya yang cukup besar. Harganya pasti mahal.
"Dibuka harga berapa, Pak?" Yudistira bertanya tanpa basa-basi. Pak Hadi menyebutkan angka yang membuatku menahan napas. Kalau aku sendiri yang harus membeli, pasti sedari awal aku cuma berani memimpikannya.
Terjadilah negosiasi yang sedikit alot. Pak Hadi tidak berani menurunkan harga terlalu banyak. Yudistira tampak berpikir keras.
"Memang yang mau tinggal di sini nanti siapa, Mas?" Pak Hadi bertanya sambil lalu.
"Kami berdua, Pak," jawab Yudistira. Dari tadi aku memang cuma jadi ekornya, ngikutin saja tanpa berani banyak bicara, kecuali membuat penilaian singkat tentang ruangan-ruangan di rumah ini.
"Oh, sudah punya anak berapa?" selidik Pak Hadi lagi.
"Masih baru, Pak."
"Loh! Saya pikir sudah lama, lho." Raut muka pria paruh baya itu terlihat sedikit heran.
"Masa sih, Pak?"
"Biasanya, 'kan, pengantin baru tuh masih anget, lengket. Mas Yudistira sama Mbak Shanna tampak biasa saja, saya kira kakak-adik malahan," terangnya. Waduh! Kena deh ini!
Aku sih cuma bisa pringas-pringis mati gaya, tapi yang namanya Yudistira selalu punya banyak gaya. "Istri saya ini memang pemalu, Pak," timpal Yudistira seraya menaruh lengannya di pundakku, dan menarikku agar lebih mendekat padanya.
Duh, malu beneran kalau kayak gini! Jantungku berdebar tak karuan, mukaku pasti merah padam. Untungnya si bapak orangnya pengertian.
Pak Hadi nggak tahu sih, kami memang pasangan yang jarang menunjukkan kemesraan di depan umum, apalagi saat cuma berdua, benar-benar hanya seperti teman.
Pembicaraan berlanjut membahas urusan pekerjaan. Saat Yudi menyebutkan tentang resort, Pak Hadi kaget saat mengetahui bahwa Pak Pandu adalah ayah tiri Yudistira.
"Saya ini kawan lama Pandu, lho. Sudah berapa lama, ya, kami nggak jumpa? Nggak nyangka saya bisa ketemu anaknya di sini," ucap Pak Hadi bersemangat.
"Bapak mau bicara sama Papa?"
"Wah, boleh, jelas mau banget saya," jawabnya antusias.
Dasar tukang bisnis! Ngerti banget, ya, si Yudis ini cara mendapatkan hati calon partner. Ya, ya, bisa dilihat juga sih, dari cara ia membuatku mati kutu, dan tak bisa menolak lamarannya kala itu.
"Halo, Pandu ... ini aku, Hadi. Wah, sudah lama, ya, kita nggak ketemu," sapa Pak Hadi saat panggilan suara dengan mertuaku tersambung. Secara alami pria itu berjalan meninggalkan kami, dengan ponsel Yudistira di tangannya.
"Gimana, Yud? Kemahalan ini," tanyaku dengan suara yang tak begitu keras.
"Kamu suka 'kan?" Ia balik bertanya.
"Suka, sih, tapi ...."
"Ya sudah, kita lihat saja, apakah pembicaraan dengan Papa bisa mengubah pikiran Pak Hadi," ujarnya enteng.
Yudi mengatakan ayah mertuaku sudah berjanji akan memberi uang untuk kami membeli rumah. Pak Pandu tidak membayar seratus persen, bisa dibilang mereka patungan. Bagaimanapun Yudistira ingin bertanggung jawab atas pilihannya untuk menikah, jadi ia tetap mau mengeluarkan uangnya sendiri.
Tak lama Pak Hadi kembali bergabung dengan kami. Mukanya berseri-seri, seperti kota Solo ... 'kan slogannya Solo Berseri. Hehe.
"Seru juga nih kayaknya Pak Hadi ngobrol dengan Papa," komentar Yudistira kala Pak Hadi menyerahkan kembali ponselnya.
"Hahaha, begitulah, Mas, kawan lama. Saya sudah ngomong sama Pandu tadi, beres lah pokoknya," sahut pria itu ceria. Pak Hadi menyebutkan harga yang telah disepakati dengan ayah mertuaku, bisa turun lumayan banyak daripada penawaran awal. Wajah Yudistira penuh senyum kemenangan.
"Saya senang, rumah ini bisa saya jual ke orang yang sudah saya kenal, apalagi yang membeli anaknya pemilik Pandawa Resort," tambah Pak Hadi. "Saya percaya rumah ini pasti akan kalian rawat dengan baik."
"Pastinya, Pak."
"Karena kita sudah saling kenal, kapan-kapan kalau saya kangen kota Jogja, saya boleh, ya, main ke sini, nginap di sini?" Mata Pak Hadi kembali berkilat-kilat.
"Tentu saja boleh, Pak," jawab Yudistira lugas.
"Hahaha. Terima kasih lho, Mas Yudistira, tapi saya cuma bercanda. Nggak enak saya menganggu pasangan baru." Pak Hadi kembali menggoda kami.
Yudistira berjanji untuk datang lagi besok, sambil membawa surat perjanjian jual beli bersama seorang notaris. Dalam waktu tiga hari kami telah mengurus kepindahan, menaruh barang-barang dan perabotan yang kami butuhkan. Kami tak perlu banyak bersih-bersih, karena Pak Hadi masih merawat rumahnya dengan baik.
Maka selesailah urusan rumah. Kami berdua lega telah menemukan rumah untuk kami tinggali, yang sesuai harapan kami.
Namun, yang namanya hidup, apalagi hidup berumah tangga, pasti ada masalah. Dan masalah yang kami hadapi menyangkut orang-orang di tempat kerja kami.
Kami sepakat aku bisa tetap bekerja setelah menikah, tetapi tak ada angin, tak ada hujan Yudistira mengeluarkan ultimatum. "Sha, mulai besok kamu nggak usah kerja."
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak