Home / Romansa / Suami Pelarian / 07. Perdebatan

Share

07. Perdebatan

Author: Teha
last update Huling Na-update: 2022-12-29 18:04:02

"Sha, mulai besok kamu jangan ngajar si Kim Jong Un lagi," ucap Yudistira tiba-tiba. Aku meletakkan buku yang tengah kubaca seraya menatap pria itu tak percaya. Yudistira mendadak aneh.

"Kenapa, Yud? Ada masalah? Namanya Kim Jong In, ya, bukan Kim Jong Un."

Kan ... nama orangnya saja sampai diganti sama dia.

"Kim itu nggak baik, Sha. Berbahaya," alasannya terlalu dibuat-buat. Mulai provokatif nih orang.

"Berbahaya bagaimana? Kalau Jong In memang membahayakan, laporkan ke polisi, keluarkan dari tempat kursus." Sedikit kesal aku menanggapi Yudistira yang mengeluh manja.

"Ya, nggak bisa gitu juga ...," Yudis ngedumel tidak jelas. Aku tak paham apa maunya, apalagi terkesan ia egois dan memaksakan kehendaknya yang tidak masuk akal.

Aku memutuskan untuk kembali membaca novelku, walau mood-ku sudah mulai terganggu. Kupikir Yudis sudah melupakan permintaannya yang kekanakan, sampai akhirnya ia mengucapkan kalimat yang membuatku sangat sebal.

"Sha, kamu jadi ibu rumah tangga saja, ya, di rumah, nggak usah kerja lagi."

"What???"

***

Yudistira mendirikan YAIC empat tahun lalu. Kala itu ia masih berumur dua puluh dua tahun. Pria itu tidak pernah kuliah, ia mengambil pendidikan SMK jurusan perhotelan karena ayahnya memiliki resort. Selebihnya ia hanya mengikuti kursus, dan belajar langsung dari ahlinya atau autodidak.

Dengan meningkatnya jumlah wisatawan asing di Jogja, Yudistira melihat kebutuhan edukasi bahasa bagi para wisatawan itu untuk keperluan komunikasi. Memang kebanyakan turis yang datang ke Jogja hanya untuk berwisata, tapi tak sedikit pula yang tertarik dengan budaya lokal, serta mulai menyukai Indonesia.

Yudis yang sudah cas cis cus berbahasa Inggris, dari kursus dan ngobrol langsung dengan tamu-tamu resort, mendapatkan ide untuk mendirikan tempat kursus bahasa Indonesia untuk para wisatawan asing.

"Pa, kalau kubuat tempat kursus bahasa Indonesia di sini kayaknya potensial, ya, Pa," ujarnya kepada sang ayah kala itu.

"Boleh juga itu," sahut Pak Pandu mendukung sepenuhnya keinginan sang anak yang sama-sama berjiwa bisnis.

Ada dua orang teman yang diajak Yudistira untuk menjadi pengajar, dan sekarang sudah ada sepuluh orang pengajar, termasuk aku. Pak Pandu sangat mendukung, bahkan menyediakan tempat di area resort untuk mendirikan tempat kursus. Ia juga berpikir YAIC akan menambah daya tarik tersendiri bagi Pandawa Resort.

Yudistira sendiri mengiklankan tempat kursusnya secara online. Tak heran jika banyak wisatawan atau pelajar dari luar negeri tertarik untuk belajar bahasa Indonesia di sini, sekalian liburan.

Dan sekarang adalah masa puncak liburan, murid yang mendaftar bertambah banyak, hingga kami kewalahan.

"Kita buka lowongan untuk pengajar part time dan seasonal saja, Yud. Jadi saat murid kita banyak, kita bisa panggil mereka untuk membantu mengajar di sini," usul Neo yang adalah salah satu teman yang bersama Yudistira merintis  bisnis ini.

"Good idea, bro!" Yudistira menyetujuinya, dan segera membuka lowongan kerja paruh waktu dan musiman di sini.

Nah, di masa yang lagi seru dan ramai ini, Mas CEO justru membuat sedikit keributan.

Saat kami kembali ke YAIC setelah menikah, Yudistira masih kalem-kalem saja. Kami sibuk melatih pengajar baru, sekaligus mengurus murid yang semakin banyak.

Jika biasanya kami bisa private, satu guru satu murid, kadang seorang guru harus mengajar dua atau tiga murid sekaligus.

Yudistira mulai sering 'patroli' ... patroli ke mejaku. Pertama-tama ia wira-wiri saja berjalan di sekitar kami, sesekali melihat kami. Selanjutnya ia selalu mencari meja yang berdekatan denganku. Meskipun ia bos, Yudistira masih mau mengajar saat dibutuhkan, ketika tidak ada pekerjaan penting di resort.

Setelah memberi pelajaran teori, ia akan menyuruh murid yang ditanganinya untuk mengobrol berdua atau bertiga, dan Yudistira mendengarkan, serta memberi masukan jika ada yang perlu diperbaiki.

"Baiklah, sekarang kalian coba praktikkan apa yang sudah dipelajari tadi, ya. Saya akan melihat. Silakan tanya bila ada yang membingungkan kalian," katanya kepada Ben dan Irene, pasangan suami istri yang berasal dari Irlandia.

Katanya sih dia mau melihat kedua murid tadi praktik percakapan bahasa Indonesia, tetapi matanya malah mengawasiku dan murid-muridku. Mulanya aku GR, 'Wah, suamiku ngeliatin aku terus nih,' pikirku. Namun, aku keliru, yang lebih sering diawasi adalah murid-muridku. Mereka merasa tidak nyaman, tapi aku lebih tidak nyaman lagi, nggak enak hati lebih tepatnya.

Kim Jong In adalah salah satu murid yang menjadi korban mata tajam Yudistira, pemuda Korea itu yang paling sering diberi tatapan mengancam.

"Ashanna, what's wrong with Yudistira?" Suatu kali Jong In bertanya kepadaku. Ia memang murid baru, dan bahasa Indonesianya belum lancar, jadi komunikasi kami masih banyak dengan bahasa Inggris, karena aku tidak mengerti bahasa Korea. Mungkin Jong In segan melihat kelakuan pemilik tempat kursus yang bertingkah seperti bocah.

"Mungkin Yudistira lapar, jangan dipikirkan, Jong In ssi, take it easy," jawabku sembari tersenyum lebar.

"Lapar? You mean hungry?" tanyanya lagi setelah mengingat makna kata tersebut.

"Ya, begitu kira-kira."

"Oh, I see. Yudistira lapar for your attention," pungkasnya dengan senyuman meledek di bibirnya.

"Hehehe." Aku tertawa nyengir sebagai tanggapan. Sepertinya apa yang Jong In pikirkan benar. Suamiku punya sifat posesif, aku baru tahu itu. Atau bisa jadi dia cemburu.

Entah mengapa memikirkan bahwa Yudistira cemburu bisa membuat perasaanku tergelitik. Jangan-jangan ia memang mencintaiku, katanya 'kan cemburu tanda cinta. Hihi.

Sialnya sikap menyebalkan Yudistira terus berlanjut, dan puncaknya adalah suatu sore, saat ia mendadak memanggilku ke kantornya. Para guru yang lain, serta murid-murid telah meninggalkan kelas, jadi hanya ada kami berdua.

"Ada apa, Yud?" tanyaku seraya mengambil tempat duduk di depan mejanya.

"Sha, mulai besok kamu mengajar murid wanita saja, ya," titahnya tiba-tiba.

"Ha?" Aku terperangah, berusaha mencerna maksud dan keseriusan ucapan Yudistira.

"Ya ... sekarang kamu 'kan sudah jadi istriku ...."

"Terus?"

"Aku lihat murid-murid cowok banyak yang suka sama kamu."

"Apa? Yang benar saja, Yud, aku tidak pernah digoda oleh siapapun di YAIC, terutama setelah aku menikah. Murid yang kutangani semuanya baik," debatku menangkis pendapatnya yang tak berdasar.

"Tetap saja aku khawatir."

"Khawatir kenapa?" desakku tidak sabaran.

Lantas muncullah argumen Yudistira yang kekanakan. Katanya ia khawatir aku tergoda lah, takut mereka melecehkanku lah, hingga ketakutan lain yang terlalu berlebihan.

Iiih, rasanya ingin kutarik hidungnya sampai sepanjang hidung Pinokio, kalau aku tak bisa mengendalikan emosi. Sebegitu tidak percayanya kah ia padaku?

"Kamu cemburu, Yud?" tuduhku langsung. Raut mukanya sedikit berubah, tapi ia masih bisa mengelak.

"Bukan masalah cemburu, Ashanna. Aku bosmu di sini, dan aku suamimu, jadi aku berhak untuk ngasih aturan, atau pendapat untuk istriku sendiri," kelitnya, masih dengan sikap sok nggak punya perasaan apa-apa padaku.

"Tapi kalau pendapat atau aturannya tidak masuk akal, aku juga nggak bisa terima, Yud. Kamu tahu sendiri murid kita lagi banyak, dan jumlah pengajar cuma sedikit. Sedangkan murid perempuannya jumlahnya cuma tiga orang. Mereka sudah lumayan lancar berbahasa Indonesia, makanya Claudia yang masih guru baru yang ditugaskan untuk menangani mereka. Aku nggak bisa begitu saja meninggalkan murid-muridku," sanggahku, berharap pria satu ini bisa bersikap lebih masuk akal.

Sayangnya, sifat keras kepala Yudistira sering nggak ada obatnya. Mungkin harus dikasih obat dosis tinggi baru sembuh itu penyakit. Dia masih mengajukan lagi argumen-argumen kekanakannya, hingga membuatku semakin lelah.

"Yud, kamu bosnya, kamu pengajar sekaligus pengawas. Kamu pasti tahu, hal yang kamu minta itu nggak masuk akal, kecuali kamu mau aku jadi pengangguran lagi. Aku capek, Yud. Nggak selesai juga kita ngomongin hal yang nggak penting ini. Aku pulang duluan saja," putusku.

"Sha, jangan pulang dulu!" cegahnya sambil bangkit dari kursinya.

"Besok saja, Yud, please, aku mau pulang, mandi, makan. Oke? Bye!"

Aku bergegas meninggalkan Yudistira yang masih berdiri berkacak pinggang memandangku. Kebetulan aku membawa motor sendiri hari ini, jadi aku tidak perlu menanti suamiku yang kemungkinan masih harus menengok resort.

Untungnya ia tidak menahanku lagi. Debat kusir yang melelahkan. Ibu memang berpesan padaku untuk bersabar, dan mengalah pada suamiku, jikalau terjadi beda pendapat dalam rumah tangga kami, tapi kalau pendapatnya nggak masuk akal begini, tentu saja aku nggak bisa menurut begitu saja.

Mandi dan beristirahat di rumah sangat kuharapkan bisa menjadi obat lelah fisik dan emosiku. Namun, aku tak menyangka, Yudistira menyusul pulang lebih cepat daripada perkiraanku.

Perdebatan di tempat kursus berlanjut lagi, dan terungkaplah bahwa murid yang secara khusus tidak disukainya adalah Kim Jong In. Hah!

"Yud, kamu sebenarnya tidak percaya kepada Jong In atau kepada istrimu sendiri?" tanyaku menantang.

Pria Korea satu itu lumayan ganteng, walau tidak setampan artis. Badannya tinggi, kulitnya putih; wajar dong namanya juga oriental. Orangnya baik, tapi, ya, sudah, itu saja. Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Mau berharap apa lagi, aku sudah terikat ikrar perkawinan dengan Yudistira. Dan Jong In memang tak pernah menggodaku. Kalau kami bicara dan saling bertatapan, itu hal yang wajar 'kan? Masa mau buang muka? Terus masalahnya di mana?

Yang paling membuatku kehabisan kesabaran adalah saat ia tiba-tiba memintaku untuk berhenti bekerja. Aku tak sanggup menahan emosiku lagi.

"Maumu apa sih, Yud? Aku kurang nurut gimana sama kamu? Aku tuh, ya ...." Aku mengomel pada Yudis yang hanya menanggapi dengan muka datar.

"Ah, capek aku, Yud, ngomong sama kamu, masalahnya nggak selesai juga. Mendingan aku tidur." Aku menghentakkan kakiku kesal, beranjak memasuk kamar, dan menutup pintunya sedikit keras.

"Brak!"

Suara keras itu sedikit membuatku merasa bersalah, harusnya aku bisa lebih menahan emosi. Habisnya Yudistira nyebelin sih!

"Sha," Yudistira memanggil dari balik pintu. Aku tak menyahut, aku masih kesal. Sejenak kudengar suara langkah kakinya menjauh. Suasana hening, lalu aku kembali mendengar suara, kali ini suara mesin sepeda motor Yudistira.

"Jangan-jangan ...," ucapku mulai berpikiran negatif.

Benar saja, aku mendengar suara gerbang rumah kami dibuka. Kubuka pintu kamar tidurku cepat-cepat, dan aku berlari menuju depan rumah.

"Yudistira!!!" panggilku. Sayangnya, aku hanya sempat melihat punggungnya, sebelum pria itu menghilang dari pandanganku, hingga tak tahan aku berseru geram, "Arrkh, menyebalkan!"

Teha

Aduh, belum apa-apa sudah bertengkar?? Sedihnya... tapi Yudistira pergi ke mana, ya? Kok nggak pamitan dulu? Jangan-jangan....

| Like
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suami Pelarian   88. Suami Pelarian (Bab Terakhir)

    (Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc

  • Suami Pelarian   87. Orang Tua Terbaik

    "Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi

  • Suami Pelarian   86. Cendol

    "Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan

  • Suami Pelarian   85. Anak Perempuan yang Mirip Ayahnya

    "Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K

  • Suami Pelarian   84. Anniversary

    "Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah

  • Suami Pelarian   83. Lagi-lagi Kuaci!

    "Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status