Share

Kemarahan bapak

Selesai shalat, ibu mengajakku dan Nova makan. Walaupun masakan kampung tapi masakan ibu tak kalah dengan masakan restoran. Keahlian ibu memasak juga menurun kepadaku, karena itu Mama dan Mbak Rina menyukainya. 

Ah, ngapain juga aku memikirkan mereka. Aku disini juga untuk menenangkan diri, jenuh memang selalu melihat tampang dan sandiwara dua wanita resek itu. Setidaknya sekarang aku tak bisa mendengar ocehan mereka lagi. 

Ibu yang memperhatikan aku diam, segera menegur. "Ratih, kenapa nggak dimakan nasinya? Apa nggak enak?" 

Aku tersentak dan menoleh ke arah ibu. Apa ibu tau aku melamun, jadi tak ingin beliau kecewa aku tersenyum. 

"Enak, Bu. Malah rasanya nggak kalah dengan restoran, ya kan Nova!" kataku sambil melirik Nova. 

"Ehm, iya Bu. Enak banget!" puji Nova yang buat ibu tersenyum. 

"Biasa aja kok dibilang seperti restoran, tapi ngomong-ngomong kamu kenapa Nak, dari pulang tadi kok melamun terus? Apa kamu ada masalah?" tanya ibu menelisik wajahku. 

Aku menunduk, apakah aku harus cerita pada ibu masalah tentang rumah tanggaku. Tentang gaji yang dipangkas Mas Andre, tentang mertua yang selalu fitnah aku. 

Perasaan ini bimbang, takut ibu marah dan menyalahkan aku. Kalo ibu dan bapak tau lalu melabrak Mas Andre, bukankah masalah ini semakin runyam. Walaupun aku masih ingin Mas Andre berubah tapi mengingat tamparannya tadi, hatiku sudah tak bisa memaafkannya. 

"Ya udah, habiskan dulu makannya. Nanti kamu bisa cerita pada ibu," titah ibu setelah melihatku hanya tertunduk. 

"Iya, Bu. Maaf!" kataku sambil melanjutkan makan. 

Saat makan terdengar salam dari luar rumah. "Assalamualaikum ...!" 

"Wa'alaikumussalam," jawab kami bertiga. 

"Wah, ada tamu ya, Bu. Bapak lihat diluar ada mobil!" seru bapak seraya masuk dalam rumah, bapak belum mengetahui kalo tamu itu adalah aku. 

"Iya, Pak! Ratih yang pulang," jawab ibu melirikku. 

"Ratih, ya Allah kamu yang pulang Nak! Bapak kangen banget sama kamu," ujar bapak sumringah. 

"Bapak, Ratih juga kangen!" seruku senang. 

Aku pun mencium tangan bapak takzim dan memeluknya. Ah, terasa damai kurasakan dipelukan bapak, cinta pertamaku. Seorang kepala rumah tangga yang sangat mengayomi dan menyayangi keluarga. 

"Bagaimana kabarmu, Nak? Kok sekarang semakin kurus? Lalu dimana Andre?" tanya bapak seperti ibu tadi celingukan mencari suamiku. 

"Andre nggak ikut, Pak. Ratih datang sendiri sama asistennya ini," kali ini ibu yang menjawab. 

Nova berdiri kemudian meraih tangan bapak dan menciumnya takzim. "Nova, Pak!" 

"Iya, Nak. Jadi mobil diluar itu punya sapa?" tanya bapak heran. 

"Mobil Ratih, Pak!" jawabku tak bersemangat. 

Usai makan, ibu membersihkan meja dibantu Nova. "Nggak usah, Nak Nova biar ibu aja!" 

"Nggak apa-apa, Bu. Saya bekerja dengan Bu Ratih, jadi udah terbiasa melakukan apapun," jawab Nova dengan senyum manis. 

Ibu terkesiap, terlihat dari wajahnya lalu menatapku. Aku paham, ibu pasti kagum. Pulang-pulang aku bawa mobil dan asisten. Pasti ibu mengira sekarang aku hidup makmur dan bahagia. 

"Nova, selesai bantu ibuku temui aku di depan ya!" pintaku pada Nova. 

"Iya, Bu. Nova bereskan ini dulu!" 

Aku berlalu dan menuju ruang tamu, bapak yang mengganti baju keluar dari kamar lalu berjalan ke arahku dan ikut duduk di sampingku. Disusul ibu yang membuat kopi untuk bapak. 

"Ratih, sekarang hidup kamu makmur ya. Bisa beli mobil dan punya asisten lagi, Nak Andre memang suami yang sayang sama istrinya," kata ibu sumringah. 

Aku terdiam, seketika mataku mengembun. Bapak dan ibu heran kok aku malah tidak senang. 

"Kenapa, Ibu lihat dari tadi kamu sedih? Kalo ada masalah cerita lah, Nak," pinta ibu. 

"Loh, memangnya Ratih kenapa, Bu?" tanya bapak yang tak mengerti pembicaraan kami. 

Sebelum aku menjawab, Nova sudah menyelesaikan pekerjaannya. Nova berjalan ke arahku. "Bu, udah selesai." 

"Baiklah, terima kasih ya udah bantu ibuku," ucapku terharu. 

"Kalo gitu, kamu kembali aja dulu ke restoran. Tolong handle selama beberapa hari ini, saya masih ingin disini menenangkan diri. Kalo ada apa-apa kamu hubungi saya." Aku memberi perintah pada Nova. 

"Baik, Bu. Kalo begitu Nova permisi dulu, assalamualaikum!" ucap Nova sembari pamit dan mencium tangan orangtuaku. 

Bapak dan ibu yang masih diliputi penuh tanda tanya, hanya diam dan mengangguk. Kemudian kami mengantar Nova sampai depan rumah, setelah Nova menaiki mobil dan menghilang dari pandangan, aku mengajak keduanya masuk. 

"Tadi itu kami nggak salah dengar, Nak? Restoran, kamu punya restoran juga?" tanya bapak kagum. 

"Iya, itu restoran Ratih, Bu, Pak. Maaf kalo selama ini nggak pernah bilang pada kalian, Ratih membangun restoran dari hasil jual tanah yang ibu dan bapak simpan pada Ratih." 

"Kalian nggak marah kan, uangnya Ratih buat bangun restoran?" tanyaku ragu takut mereka marah. 

Bapak dan ibu mengeriyitkan dahinya, aku jadi cemas. Jangan-jangan mereka tak setuju denganku. 

"Hahahaha ... Kenapa kami harus marah, Nak! Justru kami senang, memang daripada terus disimpan sebaiknya uangnya digunakan untuk usaha bisa bertambah banyak. Bukankah begitu, Pak?" ujar ibu meminta pendapat bapak. 

"Tentu saja, benar yang dikatakan ibumu. Kami malah bangga, kamu bisa menggunakan simpanan itu dengan baik. Kelak kamu bisa hidup mandiri tanpa menyusahkan orang lain," kata bapak memberi nasehat. 

Aku lega mendengarnya, ternyata orang tuaku mendukung. Kini masalah tinggal Mas Andre, tapi bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka. Aku harus mulai dari mana, agar mereka tidak marah. 

"Tapi, ngomong-ngomong kok Andre nggak ikut pulang bareng kamu?" tanya bapak heran. 

"Aku pergi dari rumah, Pak," jawabku gugup. 

"Apa? Kok bisanya kamu pergi, bagaimana kalo Andre mencari dan menemukan kamu disini? Pasti dia akan menyalahkan kami, Nak," kata ibu terkejut. 

"Nggak, Bu. Bahkan Mas Andre tau kok, Mama mertua juga," jawabku jujur. 

"Tapi kenapa? Apa ada masalah yang buat kamu mesti pergi dan pulang kesini?" Bapak mulai menginterogasi. 

"Karena Ratih ingin cerai, Bu, Pak. Ratih udah nggak sanggup lagi menjalani pernikahan ini. Mas Andre dan Mamanya sudah berubah, Ratih menderita selama ini tanpa kalian ketahui. Huhuhuhu ...," tangisku akhirnya pecah. 

Mengeluarkan semua beban di hatiku, kalo selama ini aku tidak pernah menangis dihadapan Mas Andre dan Mamanya tapi aku tidak bisa menahan di depan orang tuaku. 

Ibu segera merangkul dan menenangkanku. "Sabar, Nak. Cerita kan pada kami yang sebenarnya," pinta ibu lembut. 

Aku pun menceritakan mulai dari awal bagaimana culasnya mertua dan ipar merongrong dengan membuat rencana menghasut Mas Andre hingga Mas Andre tega memberi jatah belanja sedikit. Dan restoran itu dibangun pun karena alasan itu. Tak ketinggalan kejadian Mas Andre menamparku. 

"Kurang ajar, ternyata begitu kelakuan busuk mereka terhadapmu," kata bapak murka sambil menggebrak meja. 

Aku dan ibu terkejut melihat amarah bapak, belum pernah aku lihat bapak se marah ini. Wajah yang biasanya teduh dan sayang itu berubah ganas dan siap menerkam. 

Andaikan Mas Andre ada dihadapan bapak sekarang, pasti sudah jadi bulanan. Secara bapak adalah mantan pesilat, mudah untuk menghajar Mas Andre. Untunglah, Mas Andre tidak ikut pulang. 

"Tenang, Pak! Ibu juga nggak terima, ibu nggak menyangka Andre dan Mamanya seperti itu. Awalnya ibu mengira hidup anak kita bahagia, tanpa kita ketahui dia harus lalui banyak cobaan yang berliku. Apalagi kita nggak ada di sampingnya saat itu." 

"Ya, Allah Nak. Maafkan kami yang nggak tau penderitaan mu," Isak ibu menangis sesenggukan. 

Aku menggeleng dan memeluk ibu. "Nggak apa-apa, Bu. Ratih nggak menyalahkan kalian, walaupun Ratih diperlakukan buruk tapi Ratih masih sehat." 

"Ratih, bapak harus buat perhitungan sama Andre. Dia harus bertanggungjawab atas semua yang dia lakukan untukmu," ucap bapak tegas. 

"Nggak usah, Pak. Ratih nggak mau balik lagi kerumah itu, buat apa. Ratih sudah bersabar selama setahun ini, namun itu sudah cukup memberi kesempatan buat Mas Andre. Yang Ratih inginkan sekarang adalah secepatnya berpisah," sahutku mantap. 

Ya buat apa lagi aku pertahankan rumah tangga ini. Toh pasti Mama dan mbak Rina tidak akan tinggal diam, mereka tidak akan berhenti sebelum melihatku sengsara. Apalagi melihat watak Mas Andre selama ini, cukup buat aku menilai bahwa dia tak mampu menelantarkan keluarganya. 

Biarlah ku pilih mundur saja, sekarang aku hanya ingin fokus mengurus restoran. Tanpa suami aku tetap bisa mengandalkan tanganku mencari nafkah. 

"Apa udah kamu pikirkan dengan matang keputusanmu? Itu nggak mudah, semua harus ada bukti. Orang nggak akan percaya kalo masalah uang belanja, apalagi nama baik kamu udah tercemar disana pasti banyak saksi yang memberatkan mu," sahut ibu menggenggam tanganku erat. 

"Ratih ada bukti, Bu. Tamparan yang membekas di wajah udah Ratih laporkan ke polisi. Pak polisi memberi surat rekomendasi untuk visum, jadi tadi sebelum kesini Ratih mampir ke rumah sakit. Besok Ratih ambil surat keterangan dari dokter," jawabku sambil menerawang perjalanan tadi. 

"Nova, antar saya ke kantor polisi dulu," pintaku yang membuat Nova tiba-tiba mengerem mobil.  

"Kenapa, Bu? Apa ada yang bermaksud jahat sama ibu?" tanya Nova kaget. 

"Nggak, saya mau melapor. Tadi Mas Andre sudah menampar saya, jadi ingin jadikan bukti," kataku menjelaskan. 

"Baik, Bu. Tuh, sebentar lagi kita lewati kantor polisinya!" ujar Nova yang cemas terlihat dari wajahnya. 

Setelah tiba di kantor polisi dan melapor, polisi mengamati pipiku yang masih membiru, bahkan jejak tangan Mas Andre masih jelas nampak. Polisi kemudian memberi surat rekomendasi untuk visum. 

Tidak menunggu lama, aku menyuruh Nova mengantar ke rumah sakit. Nova segera membelokkan mobil memasuki area parkir rumah sakit. Kemudian aku masuk diapit Nova, menuju ke resepsionis. 

"Permisi, Suster! Ruangan tindakan untuk pemeriksaan kdrt di mana ya?" tanyaku begitu melihat seorang suster di meja kerja. 

"Oh, lurus aja ke sana. Nanti belok kiri, nah nanti terlihat papan namanya," jawab suster ramah. 

"Baiklah, Sus. Terima kasih," kataku yang di anggukan susternya. 

Aku melangkah pelan menuju ruang tersebut, sesuai arahan suster tadi. Cukup mudah mencari ruangannya, untung saja terletak di lantai bawah jadi tak perlu naik tangga ke atas. 

Setelah menemukan ruangannya, aku mengantri untuk mengisi formulir pendaftaran, jadi sambil menunggu panggilan aku duduk di kursi. 

"Dengan Bu Mutiara rezeki, silahkan masuk!" panggil suster. 

Ya nama asliku memang Mutiara rezeki, sesuai nama restoran. Jadi Mas Andre dan keluarganya tidak mengetahuinya. Aku beranjak berdiri di ikuti Nova. 

"Kamu tunggu saja di luar ya! Biar aku masuk sendiri," kataku pada Nova. 

"Ibu nggak apa-apa sendiri didalam?" tanyanya sedikit ragu. 

"Insya Allah, nggak apa-apa." 

"Baiklah, kalo gitu saya tunggu diluar." 

Aku mengetuk pintu, tok ... tok ...

"Masuk!" terdengar seruan dari dalam. 

"Permisi dok, saya ingin melakukan visum," ucapku sambil berjalan mendekat meja dokter. 

"Baik, silahkan duduk!" pintanya sambil mendongakkan wajahnya ke arahku. 

"Bagas?" 

"Ratih?" 

*Nah, kenapa mereka berdua terkejut? Apa mereka saling kenal? Siapa Bagas sebenarnya? Ikuti terus ya! 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dyah Bunda Rashka
nama resto sesuai nama aslinya tp kok suami n mertua gak ngerti.. kie piyeee
goodnovel comment avatar
Marlita Ochie
terlalu bertele2 pake ada pov ini pov itu pdhl alur cerita udah jls jd mls baca krn udah tau tp hrs d ulang lg dgn ada nya pov ibu nya pov swami nya .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status