Sebagai seorang ibu, pasti sangat senang melihat anaknya bahagia. Begitu juga saat anakku Andre menikahi pujaan hatinya. Selama pacaran Andre tidak banyak bicara padaku tentang calon istrinya. Andre hanya mengatakan wanita yang akan dipersunting memiliki paras cantik.
Tentu saja aku senang, karena hal itu suatu kebanggaan. Apalagi dengan pekerjaan anakku yang seorang asisten pribadi di kantornya, tidak mungkin dia memiliki seorang istri yang jelek. Namun, setelah Andre menikah aku merasa kecewa. Tanpa ku ketahui ternyata istrinya adalah orang desa, tentu saja itu bertolak belakang dengan keinginanku. Walaupun cantik buat apa kalo dia datang dari desa, bisa jatuh harga diriku di mata tetangga dan temanku. Entah apa yang Andre harapkan dari istri kampungan itu. Setiap kutanya Andre hanya menjawab karena cinta, aku yang mendengarnya hanya bergidik dan tak mengerti jalan pikiran anak lelakiku satu-satunya itu. Andre juga yang merayu agar mereka menempati rumah kontrakan disebelah rumahku. Awalnya aku tak setuju, karena rumah kontrakan adalah hasil pemasukan ku selama ini. Memang selama ini Andre juga memberi aku uang dari gajinya, tapi aku juga ingin punya penghasilan sendiri. Suamiku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Mulanya tanah yang kosong itu aku bangun rumah untuk dikontrak. Lumayan untuk menambah penghasilan karena saat itu Andre belum mendapatkan pekerjaan tetap. Berbekal tabungan almarhum suamiku, rumah kontrak itupun dibangun. Barulah jalan tahun kelima Andre mendapatkan pekerjaan sebagai asisten pribadi. Jadi saat itu aku sudah tenang, dari gaji Andre juga rumah lama di renovasi menjadi besar dan cantik. Setelah Andre menikah menempati rumah kontrakan itu, alhasil tidak ada pemasukan ku lagi. Aku juga iri Andre begitu sayang dan royal pada istrinya. Bagian ku yang semula banyak kini menjadi sedikit, aku pun semakin kesal. Sejujurnya aku ingin Andre tinggal bersamaku saja, tapi dengan alasan mandiri Andre ingin rumah sendiri. Aku menduga pasti istrinya yang menghasut Andre, sejak itulah aku mulai tidak menyukai menantuku itu. Sering melihat Andre memberikan uang yang banyak untuk istrinya membuatku cemburu. Aku ini ibunya kenapa tidak mendapat bagian yang sama. Mengapa Andre lebih mendahulukan istrinya daripada ibunya, perasaan itu terus berkecamuk dalam hatiku. Hingga karena sudah tak tahan pernah aku protes pada anak lelaki ku saat dia ada di rumahku. "Andre, apa kamu tidak terlalu banyak memberi uang pada istrimu?" kataku mulai melancarkan aksi. "Nggak Ma, kan memang sudah segitu jatah untuk Ratih," jawab Andre kaget kenapa Mamanya tanya seperti itu. "Ya, kan tapi kalian cuma berdua aja. Lima ratus itu udah banyak loh, Mama takut Ratih hanya bisa ngabisi uang kamu," ucapku sengaja kasihan. "Nggak apalah, Ma. Namanya udah hak istri Andre, terserah dia mau buat apa. Andre mencintainya dan kalo cara itu bisa buat Ratih bahagia, kenapa nggak Andre lakukan?" sahut Andre dengan mantap. Aku yang mendengar penuturan Andre menjadi geram, tidak berhasil untuk meyakinkannya. Ah, sudahlah aku pikirkan cara lain saja agar Andre tidak terlalu memanjakan istrinya. Saat terus uring-uringan, Rina anak perempuan yang tinggal satu rumah denganku memberiku ide yang bagus. "Ma, kenapa kok wajahnya sering cemberut?" tanya Rina kepo. "Mama sedang memikirkan cara tapi belum ketemu," jawabku manyun. "Emang untuk apa sih?" tanyanya belum mengerti. "Itu adikmu Andre, sejak menikah Mama dilupakan. Sebelum menikah Andre royal sama Mama, tapi sekarang Andre lebih memilih royal pada istrinya dibanding Mama. Apalagi semenjak rumah kontrakan mereka tempati, pemasukan Mama nggak ada lagi. Andre malah memberi istrinya uang yang banyak," sungut ku kesal. "Oh, ternyata masalah itu. Jadi rencana Mama bagaimana?" "Mama ingin Andre memberikan kita uang yang banyak daripada istrinya. Kemarin Mama sudah coba bilang pada Andre tapi adikmu itu keras kepala." "Gampang itu, Ma!" seru Rina. "Apa, coba kamu jelaskan pada Mama." "Ya bilang aja sama Andre, kita suka masakan istrinya dan biar Ratih aja yang masak untuk kita. Kasih alasan juga kalo kita nggak ada uang untuk belanja," bisik Ratih ditelinga ku. Seketika aku tersenyum kemudian tertawa, ternyata anak perempuan ku ini pintar. "Hahahaha ... Bagus juga idemu, Rin. Tapi kalo nanti Ratih protes sama Andre gimana?" tetiba aku menjadi khawatir lagi. "Ya kita lihat aja, Ma. Kalo Ratih tetap protes kita bisa jalankan rencana kedua," kata Rina bangga. "Apa rencana kedua itu?" Rina melongok kesana kemari untuk memastikan keadaan aman, takut bila Andre atau Ratih mendengar. Rina kemudian mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik. "Kita bisa gosipi Ratih sama tetangga sini, Mama bilang aja kalo Ratih itu suka ngabisi dan menghamburkan uang Andre dengan banyak belanja barang yang nggak penting dan dia nggak mau masak buat kita," bisik Rina lirih. Aku mengangguk puas mendengar rencana itu, aku dan Rina tertawa senang. Semoga saja rencana itu berhasil, dengan begitu Andre akan lebih memihak Mamanya daripada istrinya. Esoknya ku mulai aksiku dengan bantuan Rina, saat Andre pamit kerja. "Ma, Andre berangkat kerja dulu ya!" kata Andre menyalami tanganku. "Nak, tunggu Mama mau bicara sebentar," ucapku mencegah langkah Andre. "Ada apa, Ma? Nanti Andre terlambat kerja," sahutnya. "Sebentar aja, nggak lama kok!" Aku membujuk Andre agar mau duduk. "Ya udah. Mama mau bicara apa?" "Kamu tau kan, rumah kontrakan itu pemasukan buat Mama. Tapi semenjak kalian tempati Mama udah nggak ada uang lagi. Jadi sebagai gantinya Mama ingin istri kamu yang masak buat Mama dan kakakmu," ujarku beralasan. "Iya Dre, apa kamu nggak kasihan sama Mama? Mama cuma minta masakin buat makan sehari-hari aja, lagian masakan Ratih enak jadi kami ketagihan," timpal Rina tiba-tiba keluar dari kamar. "Kalo soal itu Andre nggak masalah, Ratih pasti nggak keberatan juga. Masak banyak sekalian untuk makan kalian, oke aja," ucap Andre setuju. "Ya udah kalo gitu, cuma itu aja Nak. Makasih ya!" Aku pura-pura bersyukur "Ya, Ma. Kalo gitu Andre kerja dulu, assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam," jawabku dan Rina serentak. "Yes, Ma. Rencana pertama kita berhasil, kita tunggu aja," kata Rina bersorak. Aku yang melihat Rina hanya tersenyum. Sorenya setelah Andre pulang kerja, aku dan Rina mencoba mengintip dan menguping di balik dinding. Awalnya terdengar nada protes dari Ratih, tapi Andre mencoba meyakinkan. Tatkala Ratih menyebut nama Rina, kulihat Rina merah padam wajahnya. Rina pasti kesal diperhitungkan oleh adik iparnya. Ya kuakui Rina memang jarang masak, selain malas Rina juga merasa sayang uangnya. Suami Rina jarang pulang, seminggu sekali disebabkan jarak yang jauh mesti bolak balik. Rina kasihan pada suaminya jadi menyuruh agar tidak usah sering pulang. Setiap pulang suami Rina membawa banyak oleh-oleh dan uang. Uang belanja lebih Rina belikan perhiasan, alasannya untuk simpanan kalo sewaktu-waktu diperlukan bisa dijual. Aku maklumi aja niatnya, yang penting Andre masih memberi kami makan. Kami berjingkrak senang saat mendengar akhirnya Ratih mau masak buat kami. Segera aku dan Rina kembali ke rumah sebelum ketahuan menguping. Rencana pertama berjalan lancar, Ratih mau masak buat kami. Selesai masak Ratih selalu memanggil kami. "Ma, Ratih udah siap masak. Apa mau Ratih anter lauknya?" katanya mendatangiku. "Nggak usah, Mama dan Rina makan di rumahmu aja. Nggak apa-apa kan?" tanyaku dengan merayu. Kami lebih senang makan di rumah Andre saja, karena tak perlu repot-repot cuci piring. Jadi rumahku selalu dalam keadaan bersih, ini juga rencana Rina. Anakku itu memang pintar, pantas saja Rina dapat membujuk suaminya agar memberi uang yang banyak dan memiliki perhiasan. "Baiklah, kalo gitu. Nanti kalo mau makan, Mama datang aja. Lauk sama nasi Ratih taruh di meja dapur," ujar Ratih sambil berlalu dan balik ke rumahnya. Selama beberapa bulan, Ratih tidak mengeluh lagi memasak buat kami. Namun, aku belum puas karena Andre masih royal. Hingga rencana kedua kulakukan, saat sedang duduk ngumpul bareng ibu-ibu tetangga mulailah aku membicarakan yang buruk tentang Ratih. Awalnya mereka tidak percaya, tapi aku coba meyakinkan mereka dengan pura-pura sedih dan menitikkan air mata. Mereka pun merasa kasihan dan mengatakan agar aku bersabar. Tidak menunggu waktu lama, kabar itu akhirnya mulai tersebar. Andre juga sudah tau dan selalu mengeluh padaku, mendapat kesempatan aku coba menghasut Andre hingga akhirnya Andre melakukan seperti yang ku minta. 'Hahahaha ... Aku tertawa puas saat rencana ini berhasil, apalagi saat Andre sudah lebih royal padaku. Rasakan kamu Ratih!Selesai shalat, ibu mengajakku dan Nova makan. Walaupun masakan kampung tapi masakan ibu tak kalah dengan masakan restoran. Keahlian ibu memasak juga menurun kepadaku, karena itu Mama dan Mbak Rina menyukainya. Ah, ngapain juga aku memikirkan mereka. Aku disini juga untuk menenangkan diri, jenuh memang selalu melihat tampang dan sandiwara dua wanita resek itu. Setidaknya sekarang aku tak bisa mendengar ocehan mereka lagi. Ibu yang memperhatikan aku diam, segera menegur. "Ratih, kenapa nggak dimakan nasinya? Apa nggak enak?" Aku tersentak dan menoleh ke arah ibu. Apa ibu tau aku melamun, jadi tak ingin beliau kecewa aku tersenyum. "Enak, Bu. Malah rasanya nggak kalah dengan restoran, ya kan Nova!" kataku sambil melirik Nova. "Ehm, iya Bu. Enak banget!" puji Nova yang buat ibu tersenyum. "Biasa aja kok dibilang seperti restoran, tapi ngomong-ngomong kamu kenapa Nak, dari pulang tadi kok melamun terus? Apa kamu ada masalah?" tanya ibu menelisik wajahku. Aku menunduk, apakah aku ha
Aku mengetuk pintu, tok ... tok ..."Masuk!" terdengar seruan dari dalam. "Permisi dok, saya ingin melakukan visum," ucapku sambil berjalan mendekat meja dokter. "Baik, silahkan duduk!" pintanya sambil mendongakkan wajahnya ke arahku. "Bagas?" "Ratih?" Kami berdua sama melongo, aku juga tak percaya bisa ketemu Bagas disini. Apalagi setelah mengetahui dia menjadi dokter forensik. Setelah lima tahun tak bertemu dirinya, kini Bagas muncul di depanku dengan gelar seorang dokter. "Ratih, ayo duduk!" Suara Bagas menyentak lamunanku. Setelah menguasai diri aku pun duduk, agak kikuk. Bagas yang dulu berbeda sekali dengan yang sekarang. Kalo dulu dia begitu akrab, jahil, tapi baik. Sekarang sikapnya formal dan berwibawa. Melihat aku diam dan menatapnya tak berkedip, segera Bagas mengulurkan tangannya. "Apa kabarmu, Ratih?" tanyanya dengan tersenyum. Senyumnya itu begitu menawan, sangat berbeda dengan dulu. Apa karena dia sudah menjadi dokter jadi auranya seakan bersinar. "Alhamdulil
Aku menulis no hp di kertas yang disediakan, setelah selesai aku serahkan kembali pada Bagas. Dia tersenyum melihat rentetan angka di kertas tersebut lalu melipat dan menyimpannya di saku bajunya. "Baiklah, pemeriksaan selesai. Kamu tunggu hasilnya besok, sekalian ambil surat visumnya. Ada pasien lain diluar, maaf aku nggak bisa mengantarkan kamu," ucap Bagas meminta pengertian. "Oke, nggak apa-apa. Aku bersama asisten ku diluar, dia yang akan mengantarku," jawabku sambil berjalan keluar. Saat sebelum membuka pintu, kucoba menatap Bagas kembali. Wajahnya terlihat senang dengan senyum yang menawan. Ah, kenapa aku jadi terpana lagi. Sekarang ini aku harus fokus menyelesaikan masalahku dengan Mas Andre. "Gimana, Bu? Sudah selesai?" tanya Nova begitu aku keluar dari ruangan Bagas. "Ya, sekarang kita pulang. Besok kita kemari lagi mengambil hasil pemeriksaan," jawabku melangkah pelan menuju pintu luar. ***"Syukurlah, ternyata anak ibu pinter juga. Semoga aja nanti Andre nggak menyul
Hari ini, saat di rumah sakit aku tidak menyangka bertemu Ratih. Setelah sekian tahun tepatnya lima tahun, kami tidak bertemu. Awal bertemu kulihat Ratih canggung, aku pun tidak ingin membuatnya tambah grogi jadi bersikap biasa. "Apa kabarmu, Ratih?" tanyaku memulai percakapan. Namun, wanita yang kucintai di depanku hanya melamun. Ratih terus menatap diriku, apa yang salah. Kenapa matanya berembun? Apakah sesuatu terjadi padanya? Aku perhatikan tubuh Ratih sedikit kurus, apa Ratih tidak bahagia dengan pernikahannya? Ah, tidak mungkin baru setahun dia menikah dan itu sudah sukses membuat hatiku hancur. Bagaimana tidak hancur, hatiku sudah memendam cinta padanya. Walaupun ditolak, tapi aku tak bisa membencinya. Awal perkenalan dengannya saat itu dia adalah pendatang baru di kampung. Usia kami masih kanak-kanak kala itu, rumah kami hanya berjarak lima rumah. Aku dan Ratih sering bermain bersama juga dengan anak-anak yang lain. Namun, Ratih lebih dekat padaku dibanding yang lain. Sa
"Ya sudah, kalo itu mau kamu Le. Tapi kamu janji harus rajin belajar, Abah dan Mak ingin kamu bisa sukses dan membuat kami bangga," ucap Abah setuju. Alasan yang tidak terpikirkan sebelumnya, sebab kuliah di luar negeri sangat jauh dari keluarga juga jauh dari Ratih. Wanita yang sukses mengambil hatiku itu ternyata menolak cintaku. "Ratih, selama ini kita udah bersama. Menjalani hari-hari selalu berdua, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Namun, saat ini perasaanku berbeda. Ya diam-diam aku mencintaimu Ratih," kataku saat mengantar Ratih pulang. Ratih terkejut mendengarnya, terlihat jelas dari wajahnya yang kelabu. Mungkin dia tak menduga perasaan itu akhirnya muncul dan aku ucapkan padanya. "Maaf, Gas. Aku berterimakasih atas cintamu tapi aku hanya menganggap mu sebagai sahabat tidak lebih," jawab Ratih dengan mata berembun. "Aku akan menunggu, Ratih. Sampai kamu juga punya perasaan yang sama denganku," ucapku berharap. Ratih menggeleng keras. "Itu nggak mungkin, Gas. Perasaan
Sudah seminggu aku di kampung, di rumah bapak dan ibu. Sesuai rencana aku akan balik ke rumah Mas Andre, tujuannya bukan karena aku mau memaafkannya. Akan tetapi, ingin mencari bukti kekerasan yang Mas Andre lakukan. Bapak memberikan sebuah ide yang bagus, semua itu demi memuluskan perceraianku. Apalagi aku punya sebuah restoran mewah, bila diketahui Mas Andre dan keluarganya bisa gawat. Mereka pasti akan mempersulit rencana yang sudah kususun. "Ratih, bagaimana? Apa hari ini kamu mau pulang atau Andre yang akan menjemput?" tanya Ibu menepuk pundakku. Tepukan ibu menyentak lamunanku, masih berfikir apakah harus aku yang pulang. Tapi kalo aku yang pulang Mama dan mbak Rina pasti mengira aku mengemis minta balik. Padahal niatku bukan seperti itu, ah bagus suruh Mas Andre saja yang menjemput. "Bagaimana, udah kamu pikirkan, Nak?" tanya bapak yang ikut duduk di sampingku. "Menurut Ratih, Mas Andre aja yang jemput Pak, Bu. Tapi kalian harus berpura-pura nggak tau kejadian dalam rumah t
"Ibu dan bapak udah siap makan, kalian lanjutkan makannya. Ambil lagi kalo kurang ya, Nak Andre," kata ibu sambil berdiri dan berjalan ke depan. Sepertinya bapak dan ibu memberi kesempatan pada kami untuk berdua. Agar Mas Andre tidak canggung, kulihat dia makan dengan lahap. Rasa kasihan terbesit melihatnya, apakah seminggu ini dia tak terurus. Aku tiba-tiba merasa bersalah sebagai istri. Seandainya Mas Andre sedikit saja mau mendengarkanku pasti aku lebih menurut padanya. Akan tetapi, semua karena kelakuannya sendiri hingga dia harus kena akibatnya. "Dek?" panggil Mas Andre, ya dia dulu selalu memanggilku begitu sebelum berubah. "Hem." "Bapak dan ibu ___" "Nggak marah? itukan yang ingin Mas tanya?" potongku cepat. Mas Andre mengangguk. "Mas pikir mereka akan marah dan menghajar, Mas. Makanya tadi Mas sedikit ragu dan takut." "Mereka nggak marah, karena aku nggak cerita," ucapku berbohong. Mas Andre menghela nafasnya, sepertinya dia lega aku tidak cerita. Asal kamu tau Mas da
"Ini mobil siapa, Mas? tanyaku heran setelah mobil berjalan meninggalkan rumah orang tuaku. "Mobil kita, gimana kamu suka?" tanyanya sambil melirik ke arahku. "Darimana Mas punya uang membeli mobil ini?" tanyaku kaget. Ya harga mobil ratusan juta, dengan gaji Mas Andre tidak mungkin dia bisa membeli mobil. "Mas mengambil pinjaman di Bank, ini juga atas permintaan Mama," ucapnya tersenyum. "Apa?" kataku kaget, tiba-tiba saja mendadak kepalaku pening. Baru saja Mas Andre setuju tentang pembagian jatah belanja, sekarang malah menambah masalah lagi. Sepertinya selama masih tinggal berdekatan dengan mertua, masalah akan terus timbul. Aku menghembuskan nafas kasar, bodohnya aku kenapa tidak kutanyakan dulu tentang mobil ini. Kupikir hanya jatah belanja saja yang perlu diperbaiki tapi kini ... Bagaimana nanti Mas Andre membayar angsuran perbulannya. "Mas, kamu kok nggak bilang-bilang aku sih kalo mau beli mobil?" tanyaku protes. "Abisnya kamu kan di rumah orang tuamu. Aku nggak enak