Share

Suami Pengangguran Pilihan Bapak
Suami Pengangguran Pilihan Bapak
Penulis: KN_Author

1. Batalnya Lamaran

"Sudah jam segini, kok rombongan mempelai laki-laki tidak datang?"

Sudah lima jam menunggu dari waktu yang telah di sepakati. Hari lamaran Ayra sedang dalam keadaan sangat tegang lantaran terlalu lama menunggu.

"Sudah bisa telpon calon suamimu belum, Ay?" tanya Bu Riri, Ibu dari Ayra.

Ayra menggeleng setelah kesekian kalinya panggilannya tak sampai pada lelaki yang ia tunggu kedatangannya. Reza, lelaki yang punya niat baik ingin melamarnya hari ini tak kunjung ada kabar.

"Gimana sih?! Make up udah luntur gini gak dateng-dateng. Janjinya jam 1 siang mau lamaran. Ini udah sore banget gak dateng-dateng," keluh salah satu keluarga.

Ayra memilih masuk ke kamar untuk menenangkan diri.

Ibunya mengikuti Ayra.

"Kita harus gimana, Ay? Ibu udah mulai malu sama tetangga dan para tamu. Calon suami kamu itu gimana sih!" Bu Riri nampak cemas.

Sungguh Ayra juga tidak tau bagaimana. Ia bahkan tidak tau keadaan Reza, apalagi alasannya kenapa tidak datang juga.

Berbagai macam kemungkinan berputar di kepalanya.

Apakah kini lelaki yang sudah berhubungan dengannya selama 5 tahun itu sedang baik-baik saja? Atau mungkin ada hal buruk yang menimpanya.

Rasa takut semakin membalut hatinya.

"Kayak gak niat banget sih calon suaminya kakak itu!" Alia adik tirinya menghampiri dengan wajah kesal.

Ayra sebisa mungkin tidak mempedulikan mereka. Berfikir sepositif mungkin seperti sejak 5 jam lalu.

"Jangan tekan putriku." Bapak kandungnya tiba-tiba datang.

Bapak Rahman berdiri di ambang pintu. Ia berjalan menghampiri Ayra yang duduk dengan wajah cemasnya.

"Kalian berdua bisa keluar. Suamimu mencarimu sejak tadi."

Dengan dengusan, Ibu dan adik tirinya keluar.

Seperti yang Bapaknya bilang, suami Ibu mencari. Tentu suami ibunya itu tidak suka kalau Bapaknya berada di rumah ini. Padahal hanya sekedar menjadi wali untuk menerima lamaran pria yang akan mempersunting putrinya.

"Perlu Bapak minta Azri ke rumah calon suamimu? Biar kita tau mereka kenapa tidak datang juga."

Azri orang yang selalu menjadi andalan bapaknya. Tentunya dia akan siap sedia melalukan apapun permintaan bapaknya.

Ayra tampak ragu. Ia menatap Bapaknya dengan wajah antara setuju atau tidak.

"Mobil calon suamimu datang tuh."

Alia memberitahu di ambang pintu. Seketika nafas Ayra jadi plong. Ia dapat tersenyum setelah beberapa jam di balut rasa takut.

"Mari ke depan," ajak Bapaknya. Walau tampak di wajah Bapaknya seperti kecewa karena ini sudah sangat terlambat.

Tapi kelihatannya bapaknya akan bersabar mengingat lelaki yang datang itu adalah pilihan putri kesayanganya.

Ayra mengangguk. Ia dan Bapaknya keluar.

Di ruang tamu, seserahan tampak memenuhi sebagian tempat di lantai itu barang-barang bawaan mempelai pria.

Namun, di mana mempelai pria?

"Mohon maaf. Kami ingin bicara baik-baik dulu."

Dua pria yang mengantarkan seserahan itu tampak aneh.

"Silahkan."

Bapak menggenggam tangan Ayra putrinya dengan erat lalu menyuruhnya duduk tepat di sampingnya.

"Ada apa ini?" tanya Bapak dengan tegas.

"Sebelumnya, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dari pihak keluarga besar, kami sudah memutuskan hal yang tidak terduga. Saya sebagai paman dari Reza, hanya bisa menyampaikan ini sebagai amanah dari keluarga mereka."

"Langsung ke intinya saja!" tegas Bapak.

Ayra menatap Bapaknya sekilas dengan perasaan tidak karuan.

'Ya allah. Ada apa ini? Kenapa sepertinya keadaannya tidak normal,' batinnya.

"Keluarga besar kami, memutuskan tidak jadi melamar Ayra."

Setidaknya ada sekitar 10 detik dunia serasa berhenti. Entah kupingnya bermasalah, atau memang orang di ruang tamu tiba-tiba jadi hening.

Ayra bahkan merasa tubuhnya tak lagi duduk di lantai. Serasa mengawang di udara. Sebisa mungkin ia tetap sadar walau rasanya sudah hampir kehilangan pandangan.

Brak!

Riuh teriakan setelah salah satu dari dua orang itu terpental dengan wajah memar.

Ayra baru sadar kalau orang-orang bersusah payah menahan agar bapaknya tidak menyerang yang satunya lagi.

"Sabar, Pak. Kami di sini hanya memberikan amanah seserahan ini. Kami meminta permohonan maaf pada Ayra dengan seserahan ini." Orang yang satunya itu berkata.

"Putriku tidak butuh seserahan hanya untuk permohonan maaf seperti itu! Beraninya kalian bersikap pengecut seperti ini! Aku merasa harga diri putriku di injak-injak!" teriakan Bapak Rahman menggelegar penuh amarah.

"Sabar, Pak."

Ayra dengan air mata berlinang memeluk bapaknya yang seperti orang di rasuki setan saking marahnya.

"Ayo! Aku harus menemui laki-laki pengecut itu!"

****

Sesungguhnya Ayra tidak siap menemui Reza saat ini. Apalagi dalam kesadaran Reza membatalkan lamaran mereka seperti ini.

Tapi paksaan bapaknya memang tidak bisa di bantah. Berisikan beberapa orang di dalam mobil, dirinya dan bapaknya, mereka menuju sebuah rumah seorang keluarga besar.

Rumah ini di tujukan oleh salah satu dari mereka setelah bapak bicara sambil teriak-teriak pada keduanya.

Ayra terpaku melihat halaman rumah yang di hias begitu indah. Sesak di dadanya kala mengingat rumah ini, membuat dirinya makin di landa pikiran buruk.

Rumah ini, bukan rumah asing. Ia kenal betul bahkan pernah pergi berkali-kali ke rumah ini. Tentunya ini bukan kediaman Reza.

"Ayo!" ajak Bapaknya dengan wajah memerah padam.

Orang-orang yang di sana menatap mereka keheranan. Lalu tanpa permisi Bapak berteriak nama Reza.

Susah payah mereka menenangkan Bapak.

Sampai Ayra melihat hal yang tidak pernah di duganya.

Hal yang mencabik-cabik hati Ayra, tatkala dengan matanya, ia melihat Ari yang duduk mengucapkan ijab qabul, dan perempuan yang duduk di sebelahnya, Jesika sahabat sejak di bangku kuliah.

Ayra hanya mampu terpaku. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kenyataan serasa menghantam kesadaran. Calon suaminya membatalkan lamaran mereka, karena melangsungkan ijab qabul dengan sahabatnya.

"Br*ngs*k! Laki-laki kurang ajar! Kau permainkan putriku!"

"Sabar, Pak. Jangan lakukan kekerasan lagi." Azri bersusah payah menenangkan Bapak.

Tubuh Ayra yang limbung, ditahan oleh seseorang. Ia melihat sekilas pada wajah istri bapaknya yang nampak risau.

****

"Maaf, Ay. Aku sudah 6 bulanan ini menjalin hubungan dengan Jesika. Ternyata, mama benar. Jesika jauh lebih baik. Itulah kenapa setelah aku pikir-pikir, lebih baik kita tidak menjalani ini."

Semudah itu Reza mengungkapkannya. Seolah apa yang telah mereka jalani ini hanya sebuah hubungan singkat yang tidak ada artinya. 5 tahun yang mereka jalani hanya sampah semata.

"Lagian, Ayra. Keluarga kami gak bisa nerima kamu. Lulusan S1 tapi cuma jadi guru ngajar. Gajinya berapa sih?! Kalau Jesika dia sekertaris direktur. Saya jadi bangga kalau lagi ngumpul sama keluarga saya," jelas Bu Muthiya.

Tatapan merendahkan bu Muthiya terpancar jelas menilai Ayra.

"Jangan berani anda menghina anak saya! Pendidikan dan pekerjaannya adalah hal mulia!" Bapak Rahman kembali naik pitam.

Harusnya Ayra mengerti bicara baik-baik juga tidak akan membuat masalah ini selesai.

Harusnya Ayra sadar, dirinya di ragukan sejak awal. Tapi ia pikir Reza akan membuktikan pada keluarga besarnya kalau mereka pantas bersanding bersama.

Tapi nyatanya lelaki itu tidak cukup gentle. Mentalnya lebih b*nci dari yang Ayra pikirkan.

"Harusnya kalau memang kamu tidak berniat serius, tidak usah beri harapan," kata Ayra. "Sejak awal harusnya kamu bilang. Kalau kamu memang tidak bisa menerimaku, kenapa kamu malah bilang ingin melamarku?"

"Jangan salahin anakku! Dia gak salah. Kamu yang sejak awal minta di nikahinkan?" sambar Bu Muthiya dengan mata besarnya yang hampir melompat dari kelopak matanya.

"Salah saya minta begitu? Kami sudah berpacaran 5 tahun dan saya menanyakan kapan hubungan kami akan serius? Apa saya salah?!"

Kenapa dalam situasi di mana dirinya di khianati, tapi nyatanya dirinya malah di tempatkan dalam posisi orang yang paling bersalah.

"Udahlah. Jangan banyak ngomong. Kami sudah kasih banyak seserahan. Terima saja. Kami sekeluarga sudah sepakat tidak bisa menerima kamu karena memperhitungkan level kamu yang jauh di bawah kami. Berhenti menyalahkan putraku." Bu Muthiya berbicara ngegas dengan raut wajah yang makin kesal.

"Enggak. Ayra gak salah. Aku dan Jesika yang salah." Reza menyahut tiba-tiba. "Kami tidak berani bicara pada kamu. Kami takut kamu sakit hati."

Reza menggenggam jemari Jesika. Yang menambah remuk hati Ayra.

"Bener, Ay. Tapi untungnya Mama menyadarkan kami kalau kami tidak harus mengorbankan rasa cinta kami berdua hanya untuk menjaga perasaan kamu," sahut Jesika.

Bapak berdiri. Seolah tak bisa lagi mendengarkan alasan-alasan mereka yang sudah mempermainkan putrinya.

"Kalian sudah menyakiti putriku, tapi berlakon seperti kalian berdua yang tersakiti! Sejak awal aku sudah melihat kau memang tidak pantas untuk putriku. Lihat saja, putriku akan mendapatkan suami yang jauh lebih baik darimu."

Beliau menarik Ayra meninggalkan tempat itu.

"Ay, tunggu."

Jesika menghentikan tangan Ayra.

"Aku harap kamu gak benci kami. Ini takdir, Ay. Tuhan menakdirkan kami bersama. Jadi aku harap kamu ikhlas. Jangan marah ya, Ay."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status