LOGIN“Berbahagialah, Kak. Ini kan hari pernikahanmu.”
Gemilau Maharani yang sedang mematut diri di hadapan cermin terkejut kala mendengar suara lembut dari adiknya, Tiara Maharani.“Hari bahagia, katamu?” Gemi melirik sinis ke arah sang adik. “Ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku!”Pada akhirnya, pernikahan antara dia dan Nakula tetap digelar. Alih-alih bahagia, dia justru merasa marah dan sedih atas paksaan orangtuanya yang mendesaknya untuk menikahi Nakula.“Aku mengerti, Kakak mungkin malu mengakui kalau Kakak jatuh cinta pada pengawal sendiri.” Tiara menjulurkan jemarinya ke arah Gemi dan mencengkeram bahu kakaknya yang sedang mematut diri di hadapan cermin rias. “Tapi, Kakak harus tetap bersyukur, karena pria yang Kakak nikahi adalah Nakula. Dia tampan dan pandai bertarung.”Senyum palsu, Gemi tahu adiknya tersenyum karena merasa senang dengan kejatuhannya. Siapa yang tidak senang melihat saingan satu-satunya didepak keluar dari rumah? Tidak lama lagi bisnis keluarganya akan jatuh ke tangan Tiara alih-alih Gemi, dan itu merupakan kekalahan terbesarnya!Adik tirinya dari pihak ibu, yang tidak ada hubungan darah setetes pun dengan Gemi, harus mewarisi salah satu bisnis terbesar keluarga Maharani? Gemi rasanya ingin menghancurkan seisi dunia ini untuk menggagalkan rencana itu.Gemi bisa merasakan adiknya menyalurkan rasa puas atas kemenangannya. Sontak saja, amarahnya kembali merangkak naik, membuat dia menepis tangan Tiara.Adiknya terlihat terkejut, tetapi beruntung seorang staf yang mengurus pernikahan membuka kamar rias dan berkata, “Nona Gemi, silakan keluar sekarang. Acara resepsi sudah dimulai.”***Acara resepsi pernikahan dilaksanakan dengan amat sederhana di sebuah hotel megah nomor satu di Surabaya. Hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja. Tidak ada media atau jurnalis haus berita yang datang untuk mengulas momen ini, lantaran orangtua Gemi ingin menghindari adanya berita simpang-siur yang berpotensi menimbulkan sensasi publik.Gemi menatap panggung tempatnya duduk bersama Nakula. Dari kejauhan, dia dapat melihat pria itu menunggunya, didampingi oleh seorang wanita.Nakula begitu tampan dan mempesona, bagaikan prajurit langit yang turun ke bumi untuk menjemput kekasihnya. Saat Gemi melangkah maju, semua mata memandangnya, seolah tersihir dengan kecantikan Gemi.Mereka bergandengan tangan di tengah panggung. Nakula tersenyum lebar, sementara Gemi tetap memasang wajah datar.“Tersenyumlah, Nona.” Suara Nakula terdengar begitu dalam dan berat, membuat Gemi merinding sebab ini pertama kalinya dia berhadapan sedekat ini dengan pengawalnya sendiri. Terlebih ini Nakula Yudistira, pengawal paling muda yang ketampanannya selalu menjadi buah gosip di kalangan para pelayan perempuan.“Cukup kamu yang tersenyum. Nggak usah pedulikan aku,” balas Gemi, enggan menatap wajah suaminya.“Nona adalah istri saya sekarang, jadi sudah seharusnya saya peduli dengan Nona.”Gemi menatap Nakula, dan tanpa sadar pipinya memerah karena melihat betapa dekat dirinya dengan wajah pria ini. Mata Nakula serupa gurun di padang pasir—cokelat terang yang mengagumkan. Gemi harus mengingatkan dirinya untuk tidak terhisap di pasir itu.“Selamanya, aku enggak akan menerimamu sebagai suami.” Gemi berkata tegas, berusaha meredam jauh-jauh gejolak liar yang tumbuh di perutnya. Dia tidak akan mudah terpesona dengan orang ini.“Benarkah?” Nakula menggenggam tangan Gemi, lalu menarik gadis itu agar merapat padanya. Tindakan itu secara otomatis membuat seluruh tamu di ruangan bersorak kecil.“A-apa yang kamu lakukan?” Gemi mencicit panik.“Kalau Nona terus menerus berwajah masam dan menjaga jarak dengan saya, orang-orang di tempat ini akan mencium kecurigaan dari pernikahan kita.” Bibir Nakula bergerak samar. Orang lain mungkin melihat dia hanya tersenyum. “Mereka bisa tahu bahwa Nona sengaja menikah dengan saya untuk menghindari gosip yang lebih parah. Memang Nona mau menciptakan skandal yang lebih besar?”“Lalu—apa maksud—”Namun Gemi tidak sempat menyuarakan pertanyaannya sebab Nakula tahu-tahu menunduk, mendekatkan wajahnya pada Gemi.Pria itu berbisik selirih embusan angin, “Mari beri mereka tontonan yang menarik.”“Nakula, kamu sudah bangun?” Gemi baru saja masuk ke ruang rawat dan terkejut saat melihat Nakula tengah menggeledah laci nakas. Pria itu terlihat gelisah. Gemi mendekap tasnya dengan baik di pundak. “Ya, saya bangun dan kamu tidak ada di mana pun,” kata Nakula, kemudian dia menatap Gemi lebih lama daripada biasanya. “Gemi, kamu mengambil amplop cokelat yang dikirim oleh Dirga untukku?” “Itu….” Gemi tidak punya alasan untuk mengelak. Jadi, dia mengakuinya. “Betul, aku yang mengambilnya.” “Kamu membacanya?” Gemi mengangguk. Nakula menarik napas dalam-dalam seolah menahan frustrasi. “Kenapa, Gemi? Kamu berjanji pada saya tidak akan menyentuh amplop itu. Sekarang kamu melanggar kesepakatannya? Apa yang mau coba kamu temukan?” “Nakula, dengar, aku sudah tahu siapa yang menjebak kita di kamar hotel saat itu.” Gemi mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Nakula mengernyitkan kening. “Hah, siapa menurutmu?” “Ayahku sudah mengakui perbuatannya.” Kemudian Gemi menceritaka
Pagi pukul 09.39. Setelah memastikan Nakula meminum obatnya dan tidur, Gemi menyelinap keluar dari kamar rawat diam-diam, menuju kantin rumah sakit yang masih sepi. Kemarin, mulanya Gemi meminta sang ayah untuk bertemu di yayasan tempatnya bekerja, tetapi Gemi sadar tempat itu kurang baik. Ada banyak mata-mata Nakula di sana, dan Gemi tidak mau mereka memberitahu kepada Nakula tentang pertemuan rahasia ini. Jadi, Gemi mengganti tempat pertemuannya di kantin rumah sakit. Dia menengok jam di layar ponsel, terpikir akan menelepon saja ayahnya, ketika mendadak terdengar bunyi langkah mendekat. Saat Gemi mendongak, wajah sang ayah menyambutnya. “Ayah?”“Gemi, rindu sekali Ayah padamu, Nak.” Ayahnya langsung memeluk Gemi erat. Gemi merasa kikuk dan kaku. Sudah bertahun-tahun dia tidak merasakan dekapan dari sang ayah. Wanita itu tentu rindu, tetapi di saat bersamaan juga sedih dan bingung. Mengapa sang ayah tiba-tiba berubah menjadi baik? Apa yang dia sembunyikan? “Langsung saja, Ayah
Sudah berlalu bertahun-tahun sejak Gemi terakhir mendengar ayahnya meminta maaf. Malam itu, pengakuan tulus sang ayah membuat Gemi diserang rasa rindu bertubi. Sebenarnya apa yang terjadi selama ini? Pada waktu Gemi terperangkap tidur di hotel bersama Nakula, ayahnya marah besar sehingga mengusir Gemi dari rumah. Gemi pikir sejak saat itu ayahnya tidak memedulikannya lagi. Tapi sekarang? Mengapa sang ayah kembali baik kepadanya? Ah, sudahkah. Jangan berpikir berat dulu, Gemi meyakinkan diri. Kemudian dia beralih pada sesuatu yang hendak diselidikinya. Di hadapan Gemi, terpampang sebuah layar komputer yang sedang menyala. Beberapa menit lalu Gemi akhirnya kembali ke rumah Nakula untuk memeriksa sendiri laporan barang bukti dari Dirga. Setelah segalanya siap, Gemi memasukkan kepala USB pada port yang kosong, kemudian mendapati jendela baru berkedip di layar. Ketika dibuka, isinya adalah folder-folder berisi foto. Jantung Gemi berdegup kencang. Sekarang sudah tidak ada jalan kembali.
Pukul 20.12. Gemi duduk di sofa kamar rawat Nakula sambil menatap suaminya yang sudah tertidur setelah meminum obat. Dengan gerakan pelan, Gemi merogoh sesuatu di tasnya untuk mengeluarkan amplop berisi foto-foto pemberian pria dengan luka di wajah kemarin. Wanita itu kembali menatap selembar foto yang menunjukkan interaksi antara Dirga dan Rajendra. Sejak kemarin, benaknya gatal untuk memberitahu Nakula, tetapi dia selalu menahan diri, setidaknya sampai suaminya itu sembuh. Dilingkupi penasaran yang semakin meradang, Gemi teringat dengan amplop cokelat berisi laporan penyelidikan Dirga, yang tadi pagi dia berikan kepada Nakula. Gemi sudah bilang pada Nakula bahwa dia tidak akan menyentuh amplop itu, tetapi… hatinya tetap tidak tenang. Bagaimana bila di amplop itu, Dirga menyembunyikan sesuatu yang penting? Menelan ludah gugup, Gemi berdiri dari sofa dan perlahan-lahan menghampiri nakas di dekat ranjang. Nakula masih tertidur pulas, jadi Gemi menarik lacinya hingga terbuka, mengore
“Nakula, gimana perasaaanmu?” Gemi bertanya pelan ketika Nakula akhirnya terbangun pagi itu. Masih tampak pucat, dan linglung. Sang abang berdiri di belakangnya tanpa mengatakan apa-apa. “Gemi,” Nakula menyentuh tangan Gemi yang tertangkup di pipinya. “Kamu nggak luka, kan?”“Harusnya kamu tanya itu ke dirimu sendiri.” Gemi tersenyum lemah. “Aku baik-baik aja. Kamu menyelamatkanku lagi kemarin.”“Apa pria itu sudah tertangkap?” Mendadak Nakula mendorong tubuhnya bangkit. Rasa sakit menusuk di perutnya, membuatnya buta sejenak. Gemi membujuk agar Nakula tetap berbaring, sehingga pria itu menurutinya. “Belum,” Gemi menggeleng. “Tapi kamu nggak usah memikirkan hal itu untuk sementara waktu ini. Fokus dulu untuk kesembuhanmu.”“Mas Dirga?” Nakula menatap abangnya yang berdiri dengan wajah datar. “Mas juga di sini?”“Mana mungkin aku nggak menjenguk adikku yang sedang terluka?” “Ayah tahu?” Dirga terdiam sebentar. “Belum. Beliau juga masih dalam perawatan. Kalau tahu kamu terluka juga
Hawa rumah sakit terasa padat oleh kesedihan. Gemi sedang menangis di ruang tunggu pasien ketika tiba-tiba suara isakannya tersela oleh bunyi langkah kaki buru-buru dari ujung lorong. Bu Uswita datang bersama salah satu utusan dari yayasan, dengan raut berduka. Begitu melihat Gemi yang sedang meringkuk di petak kursi, dia segera berlutut lalu memeluk wanita itu dengan erat, sambil menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan. Gemi bercerita kepada Bu Uswita kejadian yang dia alami barusan. Tidak semua, hanya sebagian yang terasa penting untuk diberitahu. Gemi tidak bercerita mengenai rahasia apa yang selama ini digenggam oleh keluarganya sendiri dan juga Nakula, sebab dia takut kejujurannya akan membuat seluruh situasi kacau balau. “Mas Nakula masih ada di ruang operasi? Dokter bilang apa tadi?” Bu Uswita bertanya pelan-pelan. Gemi memberitahu secara singkat bahwa perut Nakula robek cukup dalam sehingga harus menjalani operasi penjahitan organ. Belum ada laporan lebih lanjut mengena







