Share

Bab 2. Pernikahan Paksa

“Berbahagialah, Kak. Ini kan hari pernikahanmu.”

Gemilau Maharani yang sedang mematut diri di hadapan cermin terkejut kala mendengar suara lembut dari adiknya, Tiara Maharani.

“Hari bahagia, katamu?” Gemi melirik sinis ke arah sang adik. “Ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku!”

Pada akhirnya, pernikahan antara dia dan Nakula tetap digelar. Alih-alih bahagia, dia justru merasa marah dan sedih atas paksaan orangtuanya yang mendesaknya untuk menikahi Nakula.

“Aku mengerti, Kakak mungkin malu mengakui kalau Kakak jatuh cinta pada pengawal sendiri.” Tiara menjulurkan jemarinya ke arah Gemi dan mencengkeram bahu kakaknya yang sedang mematut diri di hadapan cermin rias. “Tapi, Kakak harus tetap bersyukur, karena pria yang Kakak nikahi adalah Nakula. Dia tampan dan pandai bertarung.”

Senyum palsu, Gemi tahu adiknya tersenyum karena merasa senang dengan kejatuhannya. Siapa yang tidak senang melihat saingan satu-satunya didepak keluar dari rumah? Tidak lama lagi bisnis keluarganya akan jatuh ke tangan Tiara alih-alih Gemi, dan itu merupakan kekalahan terbesarnya!

Adik tirinya dari pihak ibu, yang tidak ada hubungan darah setetes pun dengan Gemi, harus mewarisi salah satu bisnis terbesar keluarga Maharani? Gemi rasanya ingin menghancurkan seisi dunia ini untuk menggagalkan rencana itu.

Gemi bisa merasakan adiknya menyalurkan rasa puas atas kemenangannya. Sontak saja, amarahnya kembali merangkak naik, membuat dia menepis tangan Tiara.

Adiknya terlihat terkejut, tetapi beruntung seorang staf yang mengurus pernikahan membuka kamar rias dan berkata, “Nona Gemi, silakan keluar sekarang. Acara resepsi sudah dimulai.”

***

Acara resepsi pernikahan dilaksanakan dengan amat sederhana di sebuah hotel megah nomor satu di Surabaya. Hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja. Tidak ada media atau jurnalis haus berita yang datang untuk mengulas momen ini, lantaran orangtua Gemi ingin menghindari adanya berita simpang-siur yang berpotensi menimbulkan sensasi publik.

Gemi menatap panggung tempatnya duduk bersama Nakula. Dari kejauhan, dia dapat melihat pria itu menunggunya, didampingi oleh seorang wanita.

Nakula begitu tampan dan mempesona, bagaikan prajurit langit yang turun ke bumi untuk menjemput kekasihnya. Saat Gemi melangkah maju, semua mata memandangnya, seolah tersihir dengan kecantikan Gemi.

Mereka bergandengan tangan di tengah panggung. Nakula tersenyum lebar, sementara Gemi tetap memasang wajah datar.

“Tersenyumlah, Nona.” Suara Nakula terdengar begitu dalam dan berat, membuat Gemi merinding sebab ini pertama kalinya dia berhadapan sedekat ini dengan pengawalnya sendiri. Terlebih ini Nakula Yudistira, pengawal paling muda yang ketampanannya selalu menjadi buah gosip di kalangan para pelayan perempuan.

“Cukup kamu yang tersenyum. Nggak usah pedulikan aku,” balas Gemi, enggan menatap wajah suaminya.

“Nona adalah istri saya sekarang, jadi sudah seharusnya saya peduli dengan Nona.”

Gemi menatap Nakula, dan tanpa sadar pipinya memerah karena melihat betapa dekat dirinya dengan wajah pria ini. Mata Nakula serupa gurun di padang pasir—cokelat terang yang mengagumkan. Gemi harus mengingatkan dirinya untuk tidak terhisap di pasir itu.

“Selamanya, aku enggak akan menerimamu sebagai suami.” Gemi berkata tegas, berusaha meredam jauh-jauh gejolak liar yang tumbuh di perutnya. Dia tidak akan mudah terpesona dengan orang ini.

“Benarkah?” Nakula menggenggam tangan Gemi, lalu menarik gadis itu agar merapat padanya. Tindakan itu secara otomatis membuat seluruh tamu di ruangan bersorak kecil.

“A-apa yang kamu lakukan?” Gemi mencicit panik.

“Kalau Nona terus menerus berwajah masam dan menjaga jarak dengan saya, orang-orang di tempat ini akan mencium kecurigaan dari pernikahan kita.” Bibir Nakula bergerak samar. Orang lain mungkin melihat dia hanya tersenyum. “Mereka bisa tahu bahwa Nona sengaja menikah dengan saya untuk menghindari gosip yang lebih parah. Memang Nona mau menciptakan skandal yang lebih besar?”

“Lalu—apa maksud—”

Namun Gemi tidak sempat menyuarakan pertanyaannya sebab Nakula tahu-tahu menunduk, mendekatkan wajahnya pada Gemi.

Pria itu berbisik selirih embusan angin, “Mari beri mereka tontonan yang menarik.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status