“….”
Sebelum Gemi sempat meresapi maksudnya, gadis itu merasakan kepala Nakula merunduk, tanpa aba-aba mencium bibirnya.Seketika, seisi ruangan bersorak. Akan tetapi, Gemi tidak mendengar apa pun selain jantungnya yang berdebar dan darahnya yang berdesir di kepala. Dalam keterpakuannya, dia bisa merasakan bibir Nakula bergerak perlahan, mengecup dan memagut bibir Gemi bagai permen kapas, lembut dan manis.Sikap Nakula begitu tenang dan lembut, sungguh berbeda dengan perangainya yang selama ini tampak bagaikan anjing penjaga galak. Gemi dibuat kewalahan atas aksi tiba-tiba ini. Rasanya gadis itu hendak merosot jatuh lantaran kedua kakinya melemas, tetapi Nakula dengan sigap menahan kedua lengannya.Pria itu melepas ciumannya, lalu berkata pada Gemi dengan suara bergetar, “Maafkan saya.”Gemi tidak bisa berkata apa-apa, entah masih syok atau hanyut dalam sensasi-entah-apa yang begitu mendebarkan. Sentuhan Nakula di bibirnya masih terasa panas dan menggelitik. Tercium aroma musk dan rasa manis rempah yang tertinggal di bibirnya.Aroma Nakula, batin Gemi. Karena ‘serangan mendadak’ itu, fokusnya pada acara ini menghilang total. Akhirnya, Gemi membiarkan Nakula menguasai sisa acara siang ini.Pada pukul tiga sore, acara pernikahan usai. Mereka kembali ke rumah Gemi dan orangtuanya. Gadis itu langsung masuk ke dalam kamar dan mengepak barang lantaran besok dia akan pindah ke rumah Nakula. Perasaannya masih tidak bersahabat, bahkan ketika Nakula mengetuk pintu kamarnya, lalu masuk dengan suara langkah tipis.“Nona,” kata Nakula yang berdiri di belakang Gemi. “Anda belum bicara sepatah kata pun sejak tadi. Apa Anda merasa tidak nyaman dengan sikap saya?”Gemi tiba-tiba berbalik dan menampar pipi Nakula dengan keras.Plak!Dia berharap Nakula akan memasang tampang terkejut sambil mengusap pipinya yang merah, atau barangkali menyemprot tidak terima lantaran ditampar tanpa ragu. Akan tetapi, pemuda itu hanya bergeming seolah tenaga tamparan Gemi tidak berefek apa-apa.“Saya minta maaf.” Hanya itu yang Nakula sampaikan. Sepasang mata cokelatnya memandang Gemi begitu dalam dan lembut.“Memberi tontonan menarik, katamu?” Gemi memprotes, mengulang kata yang pria itu ucapkan tadi. “Menurutku, yang kamu lakuin itu justru bikin aku malu!”“Itu adalah hal yang seharusnya dilakukan pasangan suami-istri.”Gemi berdecak, marah. “Aku sama sekali nggak sudi menganggapmu suami, dasar pengawal kurang ajar!”“Saya tidak pernah memaksa Nona untuk menganggap saya suami.” Nakula melangkah mendekat pada Gemi, membuat gadis itu bersikap defensif dengan menatapnya secara menantang. “Sampai kapanpun saya hanyalah pengawal yang berdiri di belakang Anda. Silakan benci, pukul dan tampar saya semau Nona. Saya tidak akan berpaling atau melawan.”Gemi tidak tahan untuk mendengus. “Kamu segitu penginnya jadi keset kakiku, hm?”“Kalau itu yang Nona mau.”Gemi seketika merinding mendengar kata-kata itu, dan sedetik kemudian dia sadar bahwa sikap Nakula barusan hanya bertujuan untuk meredam kemarahan dalam hatinya.Gemi tidak akan tega memperlakukan pengawalnya seperti sampah, dan dia tahu Nakula mengetahui hal tersebut. Pria ini sudah bersama Gemi sejak usianya empat belas tahun. Dia tahu bagaimana watak Gemi, dan selalu bisa mencari tombol yang tepat untuk menjinakkan hyena liar dalam dirinya.“Nakula,” kata Gemi, berusaha melupakan amarahnya. “Aku ingin kamu berjanji padaku satu hal.”“Apa itu, Nona?”“Saat kita berdua sudah pindah ke rumahmu nanti, lupakan fakta bahwa kita adalah sepasang suami istri. Aku nggak mau tinggal di kamar yang sama denganmu, dan aku nggak mau melihatmu berkeliaran di sekitarku, atau menanyakan keadaanku,” ujar Gemi secara bertubi. “Kita berdua hanyalah dua orang asing yang tinggal bersama dalam satu rumah. Kamu ngerti?”Nakula menatap Gemi lurus-lurus. “Tentu.”“Dan, jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu!”“Tatapan seperti apa maksud Nona?”“Tatapan itu….”Gemi memikirkan susunan kalimat di kepala. Dia ingin berkata bahwa tatapan Nakula seperti tatapan seekor anjing pada majikannya. Penuh akan ekspresi memuja dan mendamba.Namun, Gemi tidak tega berkata demikian. Apalagi melihat raut polos Nakula yang terlihat bingung menunggu kalimatnya selesai.Gemi menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosi.“Sudahlah, pokoknya aku akan menjalani hidupku sebagai Gemilau Maharani Seta yang baru,” tegasnya. “Anggap rumah tempat kita berdua tinggal hanya simbolisme pernikahan saja. Kalau waktunya sudah tepat nanti, aku yang akan pergi sendiri dari rumahmu.”“Sudah menjadi tugas saya untuk memastikan Anda aman, Nona,” kata Nakula.“Persetan dengan itu. Akulah yang menjaga diriku sendiri mulai saat ini.”“Saya pengawal Anda.” Nakula bersikukuh.“Kamu cuma pengawal yang dibayar Ayah untuk menjagaku supaya aku enggak berbuat macam-macam di rumah. Setelah aku keluar dari sini, hidupku bebas. Kamu bukan pengawalku lagi.”Nakula terdiam lama. Gemi pikir dia berhasil membuat pria ini terkejut, atau yang lebih hebat lagi, tersinggung. Akan tetapi, Nakula tiba-tiba saja memegang lengan Gemi dan menariknya agak kasar—menyentak tubuh gadis itu hingga punggungnya merapat ke dinding di kamar.Lagi-lagi, aksi mendadak Nakula mengejutkannya. Gadis itu memprotes panik, “Ngapain kamu?”“Dengarkan saya, Nona.” Nakula berkata lirih, tiba-tiba ekspresinya menggelap dan menjadi lebih serius. “Nona boleh memperlakukan saya semau Anda, tetapi hanya ada satu hal yang tidak boleh Anda lakukan.”Gemi menelan ludah gugup. “A-apa? Kamu mau mengancam aku?”“Katakanlah begitu, tetapi tentu itu datang dari orang yang membenci Anda.”Kening Gemi mengerut dalam. “Maksudmu?”“Tetaplah di dekat saya, atau Anda akan mati.”Gemi membelalakkan mata. “Dasar sialan—” Gadis itu memberontak dan hendak menampar Nakula karena berkata tidak sopan, tetapi pria itu mencekal pergelangan tangan Gemi lebih gesit.Pandangan pria itu pun semakin dalam, keseriusannya semakin terlihat. “Percayalah, jebakan berikutnya akan lebih parah kalau Anda melanggarnya.”“Jebakan berikutnya? Apa kamu sedang membahas insiden di kamar hotel itu?”Nakula mengangguk yakin. “Orang itu pasti memiliki rencana lain yang lebih besar. Untuk itu, tetaplah berada di sisi saya bila tidak mau mendapat jebakan berikutnya.”“Kamu—” Gemi merapatkan rahang, terbelah di antara syok dan terkejut mendengar seolah sang pengawal tengah memerintahnya.Namun, belum sampai Gemi memberontak, Nakula meremas pergelangan tangan Gemi lebih kuat, dan bertanya lagi, “Anda paham?”Sial! umpat Gemi dalam hati. Dia tidak punya alasan untuk menolak. Untuk itu, dia mengangguk kecil sambil menahan amarah yang bergumul di dadanya. “Paham, dan lepaskan tanganku.”"Bagus." Nakula melepaskan tangan Gemi dan sikapnya berubah kalem seperti semula dengan pembawaan yang lebih tenang."Siapa kamu sebenarnya?" Mendadak Gemi bertanya. "Kenapa kamu seolah tahu insiden yang akan terjadi di masa depan, hah? Kamu ini kan hanya pengawal!" "Hanya pengawal?" Nakula mengulangi kata-kata itu, lalu menyeringai tipis. "Suatu saat, Anda akan tahu siapa saya sebenarnya."“Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat
Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk
Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc
“Gemi, kamu serius mau melakukan ini?” Di dalam mobil yang sedang berjalan, Nakula bertanya resah kepada istrinya. “Sudah ratusan kali kamu bertanya hal yang sama padaku. Kamu mau kupukul kali ini, ya?”Nakula mendesau napas, kemudian membelokkan mobilnya di jalanan lenggang perkotaan. Mereka memasuki kawasan elite perumahan Gemi, lalu berhenti di depan sebuah gerbang rumah tinggi yang tertutup. Seorang satpam datang dari bilik jaga dan langsung membuka gerbangnya. “Halo, Pak,” Gemi menyapa Pak Emir dengan ramah. Namun anehnya yang disapa tampak gelisah dan pucat. “No-nona Gemi… ternyata Anda datang kemari.”Gemi mengerutkan kening karena menangkap keanehan ini. “Loh, kenapa? Ini kan masih rumah saya. Saya mau ketemu Ayah di dalam. Beliau ada, kan?”“Uh, itu… Tuan sedang ada proyek sosial mengunjungi desa-desa di kawasan barat. Di rumah hanya ada Nyonya dan Nona Tiara.”Raut Gemi berubah masam. Dia benci untuk bertemu dua tikus selokan itu. Namun, tujuannya datang kemari memiliki m
“Gemi, apa yang kamu lakukan di sini?”Pertanyaan Nakula membuat Gemi yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit menoleh. Gadis itu membuang napas dan membiarkan Nakula duduk di sampingnya. Dia berkata lembut, “Maaf karena aku lari tiba-tiba.”“Bukan salahmu. Pria itu memang pantas dihajar,” kata Nakula, lalu mengetatkan rahang menahan rasa jengkel. Tidak menunggu lama setelah Gemi berlari keluar dari ruang rawat tadi, Nakula langsung meninju rahang Rajendra tanpa ampun. Untung saja Pak Wiraya segera melerainya. Kalau tidak, mungkin Rajendra akan koma lagi dan tidak bisa dimintai keterangan. “Aku takut waktu dia mengatakan hal itu,” kata Gemi lirih. “Aku mengingat bagaimana sorot matanya ketika dia hendak meraihku di dalam mobil saat itu. Mengerikan sekali… Aku takut membayangkan apa yang terjadi bila dia sempat menyentuhku.”Nakula meremas tangan Gemi dengan lembut. “Gemi,” katanya sambil menatap mata Gemi lurus-lurus. “Pegang janjiku. Aku enggak akan membiarkanmu disentuh laki-l
Setelah mendengar orang di baliknya berkata sesuatu, Nakula mematikan sambungan telepon. Dia terpaku sebentar dan menatap meja dengan tatapan kosong, tidak memedulikan Gemi yang berseru-seru memanggilnya. “Nakula!” Gemi akhirnya mengguncang pundak Nakula hingga pria itu sadar. “Ah, maaf, Gemi,” kata Nakula, lalu memasukkan ponsel kembali ke sakunya. “Itu tadi telepon dari pihak rumah sakit. Orang yang waktu itu kupukuli sudah sadar dari koma. Dokter memanggilku untuk memastikan apakah aku bersedia menemuinya bersama polisi.”“Benarkah? Kalau begitu kita harus ke sana sekarang!” Gemi langsung bangkit dari meja makan sambil membelalak terkejut. Nakula mengangguk. “Aku akan kirim pesan ke Pak Wira untuk datang ke sana juga.” Pak Wira adalah kepala salah satu divisi di Polda yang bertugas menyelidiki kasus Nakula. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumnya mereka memastikan telah mengantar Clara kembali ke Pelita Kasih. Anak perempuan itu melambaik