Share

Bab 3. Ancaman Jebakan

“….”

Sebelum Gemi sempat meresapi maksudnya, gadis itu merasakan kepala Nakula merunduk, tanpa aba-aba mencium bibirnya.

Seketika, seisi ruangan bersorak. Akan tetapi, Gemi tidak mendengar apa pun selain jantungnya yang berdebar dan darahnya yang berdesir di kepala. Dalam keterpakuannya, dia bisa merasakan bibir Nakula bergerak perlahan, mengecup dan memagut bibir Gemi bagai permen kapas, lembut dan manis.

Sikap Nakula begitu tenang dan lembut, sungguh berbeda dengan perangainya yang selama ini tampak bagaikan anjing penjaga galak. Gemi dibuat kewalahan atas aksi tiba-tiba ini. Rasanya gadis itu hendak merosot jatuh lantaran kedua kakinya melemas, tetapi Nakula dengan sigap menahan kedua lengannya.

Pria itu melepas ciumannya, lalu berkata pada Gemi dengan suara bergetar, “Maafkan saya.”

Gemi tidak bisa berkata apa-apa, entah masih syok atau hanyut dalam sensasi-entah-apa yang begitu mendebarkan. Sentuhan Nakula di bibirnya masih terasa panas dan menggelitik. Tercium aroma musk dan rasa manis rempah yang tertinggal di bibirnya.

Aroma Nakula, batin Gemi. Karena ‘serangan mendadak’ itu, fokusnya pada acara ini menghilang total. Akhirnya, Gemi membiarkan Nakula menguasai sisa acara siang ini.

Pada pukul tiga sore, acara pernikahan usai. Mereka kembali ke rumah Gemi dan orangtuanya. Gadis itu langsung masuk ke dalam kamar dan mengepak barang lantaran besok dia akan pindah ke rumah Nakula. Perasaannya masih tidak bersahabat, bahkan ketika Nakula mengetuk pintu kamarnya, lalu masuk dengan suara langkah tipis.

“Nona,” kata Nakula yang berdiri di belakang Gemi. “Anda belum bicara sepatah kata pun sejak tadi. Apa Anda merasa tidak nyaman dengan sikap saya?”

Gemi tiba-tiba berbalik dan menampar pipi Nakula dengan keras.

Plak!

Dia berharap Nakula akan memasang tampang terkejut sambil mengusap pipinya yang merah, atau barangkali menyemprot tidak terima lantaran ditampar tanpa ragu. Akan tetapi, pemuda itu hanya bergeming seolah tenaga tamparan Gemi tidak berefek apa-apa.

“Saya minta maaf.” Hanya itu yang Nakula sampaikan. Sepasang mata cokelatnya memandang Gemi begitu dalam dan lembut.

“Memberi tontonan menarik, katamu?” Gemi memprotes, mengulang kata yang pria itu ucapkan tadi. “Menurutku, yang kamu lakuin itu justru bikin aku malu!”

“Itu adalah hal yang seharusnya dilakukan pasangan suami-istri.”

Gemi berdecak, marah. “Aku sama sekali nggak sudi menganggapmu suami, dasar pengawal kurang ajar!”

“Saya tidak pernah memaksa Nona untuk menganggap saya suami.” Nakula melangkah mendekat pada Gemi, membuat gadis itu bersikap defensif dengan menatapnya secara menantang. “Sampai kapanpun saya hanyalah pengawal yang berdiri di belakang Anda. Silakan benci, pukul dan tampar saya semau Nona. Saya tidak akan berpaling atau melawan.”

Gemi tidak tahan untuk mendengus. “Kamu segitu penginnya jadi keset kakiku, hm?”

“Kalau itu yang Nona mau.”

Gemi seketika merinding mendengar kata-kata itu, dan sedetik kemudian dia sadar bahwa sikap Nakula barusan hanya bertujuan untuk meredam kemarahan dalam hatinya.

Gemi tidak akan tega memperlakukan pengawalnya seperti sampah, dan dia tahu Nakula mengetahui hal tersebut. Pria ini sudah bersama Gemi sejak usianya empat belas tahun. Dia tahu bagaimana watak Gemi, dan selalu bisa mencari tombol yang tepat untuk menjinakkan hyena liar dalam dirinya.

“Nakula,” kata Gemi, berusaha melupakan amarahnya. “Aku ingin kamu berjanji padaku satu hal.”

“Apa itu, Nona?”

“Saat kita berdua sudah pindah ke rumahmu nanti, lupakan fakta bahwa kita adalah sepasang suami istri. Aku nggak mau tinggal di kamar yang sama denganmu, dan aku nggak mau melihatmu berkeliaran di sekitarku, atau menanyakan keadaanku,” ujar Gemi secara bertubi. “Kita berdua hanyalah dua orang asing yang tinggal bersama dalam satu rumah. Kamu ngerti?”

Nakula menatap Gemi lurus-lurus. “Tentu.”

“Dan, jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu!”

“Tatapan seperti apa maksud Nona?”

“Tatapan itu….”

Gemi memikirkan susunan kalimat di kepala. Dia ingin berkata bahwa tatapan Nakula seperti tatapan seekor anjing pada majikannya. Penuh akan ekspresi memuja dan mendamba.

Namun, Gemi tidak tega berkata demikian. Apalagi melihat raut polos Nakula yang terlihat bingung menunggu kalimatnya selesai.

Gemi menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosi.

“Sudahlah, pokoknya aku akan menjalani hidupku sebagai Gemilau Maharani Seta yang baru,” tegasnya. “Anggap rumah tempat kita berdua tinggal hanya simbolisme pernikahan saja. Kalau waktunya sudah tepat nanti, aku yang akan pergi sendiri dari rumahmu.”

“Sudah menjadi tugas saya untuk memastikan Anda aman, Nona,” kata Nakula.

“Persetan dengan itu. Akulah yang menjaga diriku sendiri mulai saat ini.”

“Saya pengawal Anda.” Nakula bersikukuh.

“Kamu cuma pengawal yang dibayar Ayah untuk menjagaku supaya aku enggak berbuat macam-macam di rumah. Setelah aku keluar dari sini, hidupku bebas. Kamu bukan pengawalku lagi.”

Nakula terdiam lama. Gemi pikir dia berhasil membuat pria ini terkejut, atau yang lebih hebat lagi, tersinggung. Akan tetapi, Nakula tiba-tiba saja memegang lengan Gemi dan menariknya agak kasar—menyentak tubuh gadis itu hingga punggungnya merapat ke dinding di kamar.

Lagi-lagi, aksi mendadak Nakula mengejutkannya. Gadis itu memprotes panik, “Ngapain kamu?”

“Dengarkan saya, Nona.” Nakula berkata lirih, tiba-tiba ekspresinya menggelap dan menjadi lebih serius. “Nona boleh memperlakukan saya semau Anda, tetapi hanya ada satu hal yang tidak boleh Anda lakukan.”

Gemi menelan ludah gugup. “A-apa? Kamu mau mengancam aku?”

“Katakanlah begitu, tetapi tentu itu datang dari orang yang membenci Anda.”

Kening Gemi mengerut dalam. “Maksudmu?”

“Tetaplah di dekat saya, atau Anda akan mati.”

Gemi membelalakkan mata. “Dasar sialan—” Gadis itu memberontak dan hendak menampar Nakula karena berkata tidak sopan, tetapi pria itu mencekal pergelangan tangan Gemi lebih gesit.

Pandangan pria itu pun semakin dalam, keseriusannya semakin terlihat. “Percayalah, jebakan berikutnya akan lebih parah kalau Anda melanggarnya.”

“Jebakan berikutnya? Apa kamu sedang membahas insiden di kamar hotel itu?”

Nakula mengangguk yakin. “Orang itu pasti memiliki rencana lain yang lebih besar. Untuk itu, tetaplah berada di sisi saya bila tidak mau mendapat jebakan berikutnya.”

“Kamu—” Gemi merapatkan rahang, terbelah di antara syok dan terkejut mendengar seolah sang pengawal tengah memerintahnya.

Namun, belum sampai Gemi memberontak, Nakula meremas pergelangan tangan Gemi lebih kuat, dan bertanya lagi, “Anda paham?”

Sial! umpat Gemi dalam hati. Dia tidak punya alasan untuk menolak. Untuk itu, dia mengangguk kecil sambil menahan amarah yang bergumul di dadanya. “Paham, dan lepaskan tanganku.”

"Bagus." Nakula melepaskan tangan Gemi dan sikapnya berubah kalem seperti semula dengan pembawaan yang lebih tenang.

"Siapa kamu sebenarnya?" Mendadak Gemi bertanya. "Kenapa kamu seolah tahu insiden yang akan terjadi di masa depan, hah? Kamu ini kan hanya pengawal!"

"Hanya pengawal?" Nakula mengulangi kata-kata itu, lalu menyeringai tipis. "Suatu saat, Anda akan tahu siapa saya sebenarnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status