Pagi ini Gemi resmi meninggalkan rumah orang tuanya. Namun tidak satu pun dari ibu atau ayahnya menunjukkan raut kesedihan.
“Saya akan sering-sering mengabari Ayah untuk memberitahu keadaan di sana.” Gemi memaksa diri untuk tersenyum, meski hatinya hancur.Ayah membalas dengan anggukan singkat, lalu meremas tangan Gemi seolah memberinya kekuatan. Lewat reaksi tersebut, gadis itu tahu bahwa Ayah sebetulnya peduli, akan tetapi sifat tegas dan kerasnya selalu menang.Saat Gemi berpaling pada ibu tirinya, dia malah mendapat tatapan sinis.“Bu,” Gemi berkata hati-hati. “Sampai nanti. Saya akan—”“Ibu ingin kamu menjalani tugas seorang istri dengan baik. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaan rumah, karena kami pasti akan baik-baik saja tanpamu.”Kalimat itu membuat Gemi tersinggung. Dia tahu Ibu sengaja mengatakan hal tersebut—makna lain jika kehadirannya tidak dirindukan di rumah ini.Jengkel dengan sikap ibunya yang angkuh, Gemi pun membalas dengan usil, “Tentu. Saya akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Omong-omong di mana Tiara? Seharusnya adik satu itu mengantar kepergian kakaknya, bukan?”“Tiara sedang belajar untuk mempersiapkan dirinya menjadi pewaris bisnis keluarga. Sejak pagi tadi dia pergi meninjau beberapa lokasi restoran cabang bersama asistennya.”“Oh…” Gemi merasakan dadanya bergejolak dengki, tetapi dia tetap tersenyum kecil. “Mengingat sifatnya yang sembrono dan ceroboh dalam menyelesaikan perkara, saya harap kali ini dia tidak membuat kacau bisnis kita.”Ibu merapatkan rahang, memandang Gemi seolah-olah gadis itu adalah serangga kecil di bawah sepatunya. “Tiara adalah anak yang cerdas dan bermoral. Dia tidak akan melakukan hal menjijikkan yang membuatnya harus dinikahkan paksa dengan pengawalnya sendiri.”Sialan. Kalimat itu membuat Gemi bungkam. Dia menatap sang ibu dengan level kemarahan yang bisa membuatnya meledak sewaktu-waktu. Karena tidak mau membuat perkara besar, akhirnya Gemi memutuskan mengalah dan mundur dari serambi rumah.Sekali lagi dia menunduk kepada kedua orang tuanya sambil tersenyum."Terima kasih karena sudah membesarkan saya dengan baik,” kata Gemi dengan sopan, lalu atensinya mendarat pada ibu tirinya. “Kepergian saya pasti menjadi lompatan kemenangan bagi para tikus selokan yang ingin menguasai harta dan bisnis keluarga.”“Gemi!” Ibu tiba-tiba mendelik sambil mendesis. “Bicara apa kamu?”“Oh, maaf. Apa saya menyinggung seseorang?”Gemi menatap sang ibu dengan raut pura-pura lugu, sementara wanita itu hanya mengepalkan tangan sambil mengambil napas dalam-dalam. Kentara tidak ingin terlihat mencurigakan.Sementara Ayah terbatuk kecil, entah itu batuk palsu untuk menyembunyikan keberpihakannya atau hanya untuk meredam suasana.Yakin tidak ada lagi yang perlu dibahas, Gemi pun tersenyum lebar, lalu berputar pergi. Dia membiarkan Nakula berpamitan sendiri kepada orangtuanya, sementara dirinya masuk mobil dan duduk manis di sebelah sopir.***Perjalanan menuju rumah Nakula memakan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan, Gemi membeku diam. Gadis itu bahkan tidak bereaksi sedikit pun ketika Nakula menawarinya snack atau minuman.Nakula mulanya menuruti kemauan Gemi yang tidak ingin bicara, tetapi akhirnya dia tidak tahan lagi. “Kesal berlarut-larut hanya akan membuat Anda stress.”Gemi menatap wajah pria itu dengan sengit. “Kata-katamu mengingatkanku dengan orang yang kubenci.”Akhirnya gadis ini mau merespons. “Siapa?”“Adikku yang sok,” kata Gemi. “Makhluk picik yang melakukan segala cara demi bisa melihatku keluar dari rumah ini. Si tikus selokan.”Nakula mendengkus kemudian tertawa, dan Gemi menjadi sebal. “Kenapa tertawa?”"Tikus selokan. Julukan yang lucu.”“Ibu tiriku dan anaknya memang pantas disebut seperti itu. Mereka diam-diam selalu membuat kekacauan. Dan omong-omong….” Gemi menatap Nakula seolah ingin meminta pembelaan. “Aku yakin dalang di balik jebakan hotel itu ada sangkut pautnya dengan ibuku dan Tiara. Kita harus melakukan segala cara untuk membuat mereka berdua mengaku!.”"Anda boleh berasumsi seperti itu, tapi jangan terlalu termakan dengan ego. Sebab bila tuduhan itu tidak terbukti, Anda hanya akan mempermalukan diri sendiri,” kata Nakula.Gemi menyipitkan mata. “Sepertinya kamu membela adik dan ibuku.”“Saya tidak membela, saya hanya ingin Anda tidak buru-buru. Kebencian yang terlalu dalam pada salah satu pihak hanya akan mengaburkan penyelidikan yang seharusnya bisa diperiksa secara objektif,” ujarnya dengan tenang. Pria itu kemudian menatap Gemi yang berada di sisinya. “Kalau Anda mau mencari pelaku sebenarnya, Anda tidak boleh begitu saja menyalahkan orang dan menyingkirkan kemungkinan serta bukti mencurigakan lain yang muncul.”“Kalau begitu kamu mau aku membuka mata lebar-lebar untuk menyelidiki bukti satu per satu?”“Benar.”“Memang buktinya sudah ada?” tanya Gemi lagi.“Saya sedang mengumpulkannya,” kata Nakula, lalu menatap Gemi dengan sorot mata khasnya. “Saya sudah berjanji untuk mengungkap semua fitnah ini.”Gemi melipat tangannya di depan dada dan menatap Nakula dengan pandangan menilai.Pria ini tidak sebodoh dugaannya. Nakula terlalu lihai dan kalem dalam melihat sebuah ancaman. Padahal dirinya baru saja dipecat jadi pengawal dan menjadi pengangguran, belum lagi sekarang dia menjadi suami sah Gemi dan harus menampung gadis itu di dalam rumahnya.Bagaimana mungkin Nakula bisa setenang ini menghadapi desakan ekonomi dan status yang tiba-tiba anjlok?“Rupanya kamu cukup bisa diandalkan,” lirih Gemi sambil melengos dari wajah Nakula, merasa malu dengan kata-katanya. Sejak kapan seorang Gemi Maharani Seta terus terang dalam mengekspresikan kekagumannya?“Ya, Nona? Anda bilang apa?” Nakula menatap Gemi.“Kamu cerewet, dasar pengawal sialan!” Gemi menggerutu kesal. Tiba-tiba saja pipinya panas dan dia ingin segera sampai rumah barunya. “Cepat bawa mobilnya lebih kencang! Aku sudah capek duduk di dalam sini terus!” keluhnya pada Nakula yang tengah mengemudi.“Baik, Nona.”Beberapa saat, suasana mobil kembali tenang. Namun, tidak berlangsung lama sebab Gemi kembali menegaskan sesuatu pada Nakula.“Nakula… pokoknya jangan lepas tangan dari kasus ini!” peringatnya tegas pada sang pengawal. “Masa depan kasus ini adalah masa depanku juga. Kalau sampai pelakunya tidak tertangkap, aku benar-benar akan kehilangan seluruh harta dan juga keluargaku.”“Saya janji,” kata Nakula."Aku akan memukulmu sampai babak belur kalau kamu nggak bisa menepatinya."Nakula memandangi Gemi sebentar, lalu tersenyum tipis. Namun saat Gemi menoleh kepadanya, senyum itu langsung hilang, tergantikan dengan perangai datarnya yang biasa.Mobil mereka berbelok di sebuah kawasan elite yang tidak pernah Gemi masuki sebelumnya. Terdapat hamparan taman hijau yang luas di kanan dan kirinya, serta jalan setapak yang mulus dan begitu sepi."Hei, Nakula," Gemi menatap pengawalnya dengan curiga. "Kenapa kamu membawaku ke sini? Kamu mau mengajakku bekerja di tempat majikanmu yang baru, hah?"Nakula masih sibuk menyetir, dan Gemi semakin dongkol. "Kamu dengar aku atau enggak? Aku enggak akan sudi menurunkan derajatku menjadi pembantu! Lebih baik kita cari apartemen sederhana dan—"Kata-kata Gemi terpotong karena Nakula menghentikan mobilnya. Pria itu berpaling kepada Gemi dan tersenyum tipis."Selamat datang di rumah saya, Nona."“Ru-rumah? Apa maksudmu?” Gemi menatap Nakula dengan sorot bingung.Namun pertanyaan terakhir Gemi tidak dijawab, sebab Nakula lekas keluar dari mobil dan berputar ke sisi pintu yang lain untuk mempersilakan Gemi turun. Gadis itu menurut, dia turun dari mobil dan berdiri tegap. Wajahnya mendongak menatap sebuah rumah mewah bergaya Georgia, yang nyaris sempurna dikatakan versi mini dari sebuah istana Eropa.Rahang Gemi jatuh. Dia menatap pemandangan itu dengan ekspresi syok.“Ayo masuk, Nona.” Nakula tiba-tiba saja memimpin jalan ke depan, sementara Gemi yang baru saja sadar dari keterkejutannya langsung mengejar pria itu.“Tunggu! Nakula, apa maksudmu? Rumah ini milikmu? Kamu mau membohongiku, ya?”Langkah kaki Gemi yang lebih pendek nyaris kesusahan mengejar Nakula. Lantas dia terpaksa berlari lebih cepat, tidak memedulikan fakta bahwa dirinya sedang mengenakan sepatu hak tinggi. Karena diliputi syok dan bingung, Gemi jadi tidak hati-hati sehingga ujung sepatunya terantuk kerikil k
‘“Kamu sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”Nakula menatap Gemi dengan raut penuh teka-teki. Rahang pria itu mengeras, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di ujung lidah. Akan tetapi tatapannya terlihat redup dan sayu, bukan raut penuh ancaman seperti yang diwaspadai Gemi. Sebenarnya apa niat pria ini? Emosinya sama sekali tidak terbaca, dan itu membuat Gemi kesal. “Hei,” Gemi menggerutu kali. “Kalau sampai kamu punya niat buruk pada keluargaku, aku enggak akan diam saja. Kamu pikir karena aku perempuan, aku enggak bisa melakukan pembalasan pada pengawal rendahan sepertimu?”Rendahan? Kata itu terdengar salah. Gemi sekejap merasa malu, tetapi berusaha tidak mengoreksi ucapannya dan tetap bersikap angkuh. Pokoknya dia tidak boleh terlihat lemah di depan Nakula. “Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk.” Nakula membalas singkat. “Bohong!” Gemi menyulut protes. “Kalau kamu lahir dari keluarga yang begini kaya, untuk apa kamu melamar menjadi pengawal di keluarga
Makan malam di rumah Nakula menjadi momen pertama yang menggelisahkan. Gemi harus memaksa dirinya tenang ketika melihat para pelayan tiada habisnya datang sambil membawa piring-piring makanan. Salah seorang di antara mereka bahkan bertugas mengisi gelas Gemi yang kosong. “Aku akan melayani diriku sendiri,” kata Gemi yang sudah tidak tahan lagi melihat pelayan itu mondar-mandir di sekitarnya. Nakula yang menangkap kejengkelan di mata Gemi berkata, “Anda tidak suka dengan pelayan saya? Ingin menggantinya?”Saat mengatakan kalimat terakhir, raut wajah sang pelayan yang dimaksud Gemi langsung merengus panik. Dia menunduk sopan sambil perlahan melangkah mundur. “Bukan gitu. Aku hanya enggak biasa dilayani sampai seperti ini.” Gemi berkata terus terang lalu secara halus mengusir pelayan di sampingnya dengan lirikan mata. Dia kembali menatap Nakula yang memberinya pandangan datar, kemudian terbit kejengkelan yang lebih besar. “Nakula, aku penasaran dengan sesuatu.”“Silakan tanyakan apa pu
Situasi sungguh tidak terkendali. Setelah seorang pelayan mengadukan penemuan mayat kepada Nakula, pria itu mendesak maju ke dapur untuk membuktikan kesaksian itu. Nakula menyalip beberapa pelayan yang berdiri di dekat konter dapur, lalu menatap lantai di bawah wastafel cuci, tempat seorang pelayan perempuan muda terbujur lemas di antara kepingan piring yang pecah dan makanan yang tumpah. Kulit pelayan itu telah berubah menjadi kebiruan, dan muncul busa dari sudut mulutnya. Matanya membelalak ngeri seolah dia meregang nyawa dalam keadaan tersiksa luar biasa. Gemi menjerit syok. Tubuhnya gemetar sementara dia melihat Nakula berlutut di samping sang pelayan untuk memeriksa laju napas dan denyut nadinya. “Dia sudah tewas,” kata Nakula, seketika mengundang sentakan kehebohan dan jerit mendalam dari semua orang yang berdiri di sekitarnya. Diselingi rasa takut dan bingung, Gemi menghadap para pelayan lain dan berkata, “Gimana ceritanya dia bisa meninggal?”“Saya yang pertama menemukanny
Setelah menyaksikan insiden mengerikan di dapur tadi, dan mendengarkan betapa ricuhnya pihak yayasan rumah sakit yang datang untuk mengautopsi mayat tersebut, Gemi diserang rasa gelisah sampai tidak bisa tidur. Nakula masih keluar karena sedang berbicara bersama pihak forensik, tetapi Gemi di sini sudah kepalang rindu—bukan, maksudnya menunggu-nungu kedatangan Nakula lantaran dia takut sendirian. Dan setelah berlama-lama merenung, Gemi mendengar pintu kamarnya dibuka. “Nona. Kenapa Anda belum tidur?”“Enggak papa. Gimana tadi tentang obrolanmu? Kamu dapat informasi dari para petugas forensik?”“Racun arsenik,” kata Nakula selagi dia duduk di sebelah Gemi. “Ada di dalam kue kering yang disediakan untuk Anda. Pelayan itu memakannya dan efeknya langsung muncul dalam beberapa detik. Racun itu menyumbat pernapasan dan melumpuhkan otak—salah satu dari jenis racun terampuh untuk membunuh korbannya sebelum dia bisa dilarikan ke rumah sakit.”Gemi mengusap wajah dengan frustrasi terkejut d
Suara alarm dari jam digital Nakula berbunyi. Bukan bunyi melengking tajam yang merusak telinga, melainkan alunan musik klasik yang mengalun lembut. Gemi menguap lebar, menguburkan wajahnya lebih dalam, lalu menghirup aroma manis yang hangat.Gemi mengusakkan hidungnya pada sebuah permukaan yang tidak asing. Bukan seprai maupun bantal. Namun aromanya enak dan suhunya hangat. Gadis itu menempelkan pipinya dan berpikir lama. Bau ini… dia mengenalnya. Rempah manis yang harum. Perpaduan antara kayu dan cendana yang lembut sekaligus tajam. Mengapa Gemi bersandar di sini? Di … mana? Di mana dia bersandar? Gadis itu membuka mata perlahan, lalu terkejut setengah mati saat mengetahui kepalanya mendarat di dada Nakula yang masih tertidur. “Si-sial!” Gemi buru-buru menjauhkan wajah dari tubuh Nakula, berusaha menormalkan gejolak jantungnya yang bergemuruh kencang. Mengapa dia tidur bersama pria ini? Bukankah semalam Gemi berbaring di atas kasur? Gemi segera mendongak dan mendapati kasur yang t
Suara keletuk sepatu Gemi menggema di seantero lorong rumah Nakula yang megah. Gadis itu berhenti di depan sebuah dinding ruang tengah yang memajang potret foto keluarga Nakula yang lengkap. “Jadi ini keluarga Nakula?” Gemi mendongak menelusuri setiap wajah yang terpampang di potret tersebut. Pak Janu, yang sejak tadi berdiri di samping Gemi, mengangguk. “Betul, Nona.”Gemi diam-diam menyumpah serapah dalam hati lantaran potret keluarga ini berhasil membuat sekujur tubuhnya merinding. Bukan karena wajah-wajah di dalam potret ini mengerikan, melainkan sebaliknya—mereka semua amat mempesona. Gemi bisa menebak bahwa darah yang mengalir dari tubuh mereka bukan hanya darah asli Indonesia, melainkan campuran. Ibu Nakula, barangkali adalah salah satu wanita tercantik yang pernah Gemi tahu. Wajahnya amat kecil, tubuhnya ramping, seperti penari yang anggun. Senyumnya memberi ketenangan yang entah bagaimana berbenturan dengan atmosfir keangkuhan para ningrat yang tercetak dari potretnya. “Na
Wajah Nakula semakin mendekat. Sedikit dorongan saja maka bibir mereka bisa bergesekan. “Ka-kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mabuk, ya? PERGI DARIKU, SIALAN!” Pekat dengan kemarahan, Gemi langsung menampar Nakula sehingga wajah pria itu tersentak ke kanan. “Maafkan saya,” Nakula tiba-tiba saja berubah lagi menjadi anjing penurut. Kesadarannya kembali bagai sapuan gelombang laut. “Aku sudah bilang padamu, Nakula. Sedikit saja kamu mendekatiku, aku enggak akan segan-segan buat melukaimu!” protes Gemi terengah-engah. “Maksudmu apa melakukan hal itu tadi, hah? Kamu mau melecehkanku?”“Kadang kala saya merasa bahwa keberanian Nona Gemi patut untuk dibuktikan. Nona begitu tangguh, jadi saya barusan melakukan hal itu untuk mengecek apakah Nona mampu berbuat sesuatu bila dipepet bahaya,” Nakula menjelaskan dengan lancar. Tidak ada kebohongan di mata redupnya yang memikat. Gemi goyah di antara keputusan untuk percaya atau menolak. “Jangan mempermainkanku,” kata Gemi antara gigi-giginya yang t