Share

Bab 4. Keluar Rumah

Pagi ini Gemi resmi meninggalkan rumah orang tuanya. Namun tidak satu pun dari ibu atau ayahnya menunjukkan raut kesedihan.

“Saya akan sering-sering mengabari Ayah untuk memberitahu keadaan di sana.” Gemi memaksa diri untuk tersenyum, meski hatinya hancur.

Ayah membalas dengan anggukan singkat, lalu meremas tangan Gemi seolah memberinya kekuatan. Lewat reaksi tersebut, gadis itu tahu bahwa Ayah sebetulnya peduli, akan tetapi sifat tegas dan kerasnya selalu menang.

Saat Gemi berpaling pada ibu tirinya, dia malah mendapat tatapan sinis.

“Bu,” Gemi berkata hati-hati. “Sampai nanti. Saya akan—”

“Ibu ingin kamu menjalani tugas seorang istri dengan baik. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaan rumah, karena kami pasti akan baik-baik saja tanpamu.”

Kalimat itu membuat Gemi tersinggung. Dia tahu Ibu sengaja mengatakan hal tersebut—makna lain jika kehadirannya tidak dirindukan di rumah ini.

Jengkel dengan sikap ibunya yang angkuh, Gemi pun membalas dengan usil, “Tentu. Saya akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Omong-omong di mana Tiara? Seharusnya adik satu itu mengantar kepergian kakaknya, bukan?”

“Tiara sedang belajar untuk mempersiapkan dirinya menjadi pewaris bisnis keluarga. Sejak pagi tadi dia pergi meninjau beberapa lokasi restoran cabang bersama asistennya.”

“Oh…” Gemi merasakan dadanya bergejolak dengki, tetapi dia tetap tersenyum kecil. “Mengingat sifatnya yang sembrono dan ceroboh dalam menyelesaikan perkara, saya harap kali ini dia tidak membuat kacau bisnis kita.”

Ibu merapatkan rahang, memandang Gemi seolah-olah gadis itu adalah serangga kecil di bawah sepatunya. “Tiara adalah anak yang cerdas dan bermoral. Dia tidak akan melakukan hal menjijikkan yang membuatnya harus dinikahkan paksa dengan pengawalnya sendiri.”

Sialan. Kalimat itu membuat Gemi bungkam. Dia menatap sang ibu dengan level kemarahan yang bisa membuatnya meledak sewaktu-waktu. Karena tidak mau membuat perkara besar, akhirnya Gemi memutuskan mengalah dan mundur dari serambi rumah.

Sekali lagi dia menunduk kepada kedua orang tuanya sambil tersenyum.

"Terima kasih karena sudah membesarkan saya dengan baik,” kata Gemi dengan sopan, lalu atensinya mendarat pada ibu tirinya. “Kepergian saya pasti menjadi lompatan kemenangan bagi para tikus selokan yang ingin menguasai harta dan bisnis keluarga.”

“Gemi!” Ibu tiba-tiba mendelik sambil mendesis. “Bicara apa kamu?”

“Oh, maaf. Apa saya menyinggung seseorang?”

Gemi menatap sang ibu dengan raut pura-pura lugu, sementara wanita itu hanya mengepalkan tangan sambil mengambil napas dalam-dalam. Kentara tidak ingin terlihat mencurigakan.

Sementara Ayah terbatuk kecil, entah itu batuk palsu untuk menyembunyikan keberpihakannya atau hanya untuk meredam suasana.

Yakin tidak ada lagi yang perlu dibahas, Gemi pun tersenyum lebar, lalu berputar pergi. Dia membiarkan Nakula berpamitan sendiri kepada orangtuanya, sementara dirinya masuk mobil dan duduk manis di sebelah sopir.

***

Perjalanan menuju rumah Nakula memakan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan, Gemi membeku diam. Gadis itu bahkan tidak bereaksi sedikit pun ketika Nakula menawarinya snack atau minuman.

Nakula mulanya menuruti kemauan Gemi yang tidak ingin bicara, tetapi akhirnya dia tidak tahan lagi. “Kesal berlarut-larut hanya akan membuat Anda stress.”

Gemi menatap wajah pria itu dengan sengit. “Kata-katamu mengingatkanku dengan orang yang kubenci.”

Akhirnya gadis ini mau merespons. “Siapa?”

“Adikku yang sok,” kata Gemi. “Makhluk picik yang melakukan segala cara demi bisa melihatku keluar dari rumah ini. Si tikus selokan.”

Nakula mendengkus kemudian tertawa, dan Gemi menjadi sebal. “Kenapa tertawa?”

"Tikus selokan. Julukan yang lucu.”

“Ibu tiriku dan anaknya memang pantas disebut seperti itu. Mereka diam-diam selalu membuat kekacauan. Dan omong-omong….” Gemi menatap Nakula seolah ingin meminta pembelaan. “Aku yakin dalang di balik jebakan hotel itu ada sangkut pautnya dengan ibuku dan Tiara. Kita harus melakukan segala cara untuk membuat mereka berdua mengaku!.”

"Anda boleh berasumsi seperti itu, tapi jangan terlalu termakan dengan ego. Sebab bila tuduhan itu tidak terbukti, Anda hanya akan mempermalukan diri sendiri,” kata Nakula.

Gemi menyipitkan mata. “Sepertinya kamu membela adik dan ibuku.”

“Saya tidak membela, saya hanya ingin Anda tidak buru-buru. Kebencian yang terlalu dalam pada salah satu pihak hanya akan mengaburkan penyelidikan yang seharusnya bisa diperiksa secara objektif,” ujarnya dengan tenang. Pria itu kemudian menatap Gemi yang berada di sisinya. “Kalau Anda mau mencari pelaku sebenarnya, Anda tidak boleh begitu saja menyalahkan orang dan menyingkirkan kemungkinan serta bukti mencurigakan lain yang muncul.”

“Kalau begitu kamu mau aku membuka mata lebar-lebar untuk menyelidiki bukti satu per satu?”

“Benar.”

“Memang buktinya sudah ada?” tanya Gemi lagi.

“Saya sedang mengumpulkannya,” kata Nakula, lalu menatap Gemi dengan sorot mata khasnya. “Saya sudah berjanji untuk mengungkap semua fitnah ini.”

Gemi melipat tangannya di depan dada dan menatap Nakula dengan pandangan menilai.

Pria ini tidak sebodoh dugaannya. Nakula terlalu lihai dan kalem dalam melihat sebuah ancaman. Padahal dirinya baru saja dipecat jadi pengawal dan menjadi pengangguran, belum lagi sekarang dia menjadi suami sah Gemi dan harus menampung gadis itu di dalam rumahnya.

Bagaimana mungkin Nakula bisa setenang ini menghadapi desakan ekonomi dan status yang tiba-tiba anjlok?

“Rupanya kamu cukup bisa diandalkan,” lirih Gemi sambil melengos dari wajah Nakula, merasa malu dengan kata-katanya. Sejak kapan seorang Gemi Maharani Seta terus terang dalam mengekspresikan kekagumannya?

“Ya, Nona? Anda bilang apa?” Nakula menatap Gemi.

“Kamu cerewet, dasar pengawal sialan!” Gemi menggerutu kesal. Tiba-tiba saja pipinya panas dan dia ingin segera sampai rumah barunya. “Cepat bawa mobilnya lebih kencang! Aku sudah capek duduk di dalam sini terus!” keluhnya pada Nakula yang tengah mengemudi.

“Baik, Nona.”

Beberapa saat, suasana mobil kembali tenang. Namun, tidak berlangsung lama sebab Gemi kembali menegaskan sesuatu pada Nakula.

“Nakula… pokoknya jangan lepas tangan dari kasus ini!” peringatnya tegas pada sang pengawal. “Masa depan kasus ini adalah masa depanku juga. Kalau sampai pelakunya tidak tertangkap, aku benar-benar akan kehilangan seluruh harta dan juga keluargaku.”

“Saya janji,” kata Nakula.

"Aku akan memukulmu sampai babak belur kalau kamu nggak bisa menepatinya."

Nakula memandangi Gemi sebentar, lalu tersenyum tipis. Namun saat Gemi menoleh kepadanya, senyum itu langsung hilang, tergantikan dengan perangai datarnya yang biasa.

Mobil mereka berbelok di sebuah kawasan elite yang tidak pernah Gemi masuki sebelumnya. Terdapat hamparan taman hijau yang luas di kanan dan kirinya, serta jalan setapak yang mulus dan begitu sepi.

"Hei, Nakula," Gemi menatap pengawalnya dengan curiga. "Kenapa kamu membawaku ke sini? Kamu mau mengajakku bekerja di tempat majikanmu yang baru, hah?"

Nakula masih sibuk menyetir, dan Gemi semakin dongkol. "Kamu dengar aku atau enggak? Aku enggak akan sudi menurunkan derajatku menjadi pembantu! Lebih baik kita cari apartemen sederhana dan—"

Kata-kata Gemi terpotong karena Nakula menghentikan mobilnya. Pria itu berpaling kepada Gemi dan tersenyum tipis.

"Selamat datang di rumah saya, Nona."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status