Share

Tolong Rahasiakan Hubungan Kita

Pov : Hana

**Sylviana.M**

Aku adalah wanita yang menjaga aurat, tapi belum sempurna menjaga taat. Dulu, pakai hijab karena ikut teman-teman yang semuanya sudah menutup aurat. Salat masih suka ogah-ogahan. Mungkin, kejadian ini juga jadi salah satu teguran dari Tuhan. Tanpa kusadari, rasa bersalah mengentak-entak di dalam dada. Aku terdiam cukup lama, lalu perlahan membalas tatapan hangat Mas Suhada. Pria yang beberapa waktu lalu sangat menyebalkan, tapi kini berubah menjadi sangat hangat.

Tatapannya mampu meluluhlantakkan egoku. Aku terdiam cukup lama, mencerna kata-katanya yang lembut, tapi membekas dan meninggalkan jejak di lubuk hati yang paling dalam. Apa yang dikatakannya sangat masuk akal. Pasangan yang baik memang yang saling mengingatkan dan saling mendukung dalam kebaikan satu sama lain.

“Makasih nasihatnya,” sahutku kemudian. Aku beranjak dan langsung menuju ke kamar mandi, membuka hijab dan menghidupkan keran. Kubasuh telapak tangan, lalu berkumur-kumur sebagai awal dari wudu. Setelahnya, langsung melangitkan doa. Biasanya jika di rumah, aku hanya salat Magrib, Isya, dan Asar saja. Subuh, bisa dihitung dengan jari. Zuhur kadang masih di kampus, sehingga malas melakukannya. Aku membentang sajadah dan menjalankan salat Isya sendirian, sementara Mas Suhada keluar dari kamar.

***

“Ibu, tadi Hada lupa kasih tahu, kalau kami beli martabak pas pulang. Ibu mau?” tanya pria berhidung mancung itu pada ibunya.

Aku baru saja keluar kamar, dan mendapati Mas Hada sedang mengobrol Ibu dengan hangat. Aku duduk agak jauh dari mereka, tapi baik Ibu ataupun Mas Hada tak ada yang menyadari kehadiranku.

“Nak.”

“Iya, Bu?”

“Bagaimana kuliahmu?”

“Alhamdulillah lancar, Bu.”

“Pekerjaanmu?”

“Alhamdulillah baik-baik saja, kok, Bu.”

“Kamu dulu sering keluar kota. Kenapa sekarang enggak pernah lagi?”

Mas Hada diam. Terlihat dia menarik napas yang panjang, setelahnya menyuapi sang ibu dengan penuh kasih sayang.

“Kata manajernya, Hada disuruh diam saja di rumah. Jaga Ibu.”

Ibu tersenyum, lalu tangannya terangkat hendak menyentuh wajah sang anak. “Kamu bisa saja. Di mana kamu bekerja? Kok, Ibu lupa terus nama perusahaan itu?”

“PT. Alam Sejahtera.”

PT. Alam Sejahtera? Di mana itu? Kenapa Mas Hada berbohong pada Ibu? Aku masih diam, mendengarkan mereka bicara.

“Si Hana mana?”

“Tidur, Bu.”

“Anak itu pasti cantik banget. Bayangan Ibu, matanya besar, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan bibirnya tipis.”

Aku tersenyum kecil mendengarnya.

“Ibu benar. Satu lagi, dia galak,” bisik Mas Hada.

Mataku langsung melotot mendengarnya. Ibu tertawa lepas.

“Wanita memang seperti itu, Nak. Kapan-kapan, Ibu pengin ketemu sama besan. Pernikahan kalian yang mendadak ini pasti bikin kaget semua orang.”

Mas Hada tersenyum. Dia mengambil secangkir teh hangat, dan meminumkannya pada Ibu. Mereka bicara dengan sangat akrab. Ini pertama kalinya aku melihat keluarga yang seperti ini. Di rumah, meski kami saling menyayangi, tapi kami sibuk dengan urusan masing-masing. Mas Irwan yang sibuk dengan usaha ternaknya, Ibu yang sibuk dengan usaha kulinernya, dan aku sibuk dengan urusanku sendiri; kuliah, hang out dengan teman-teman, dan lain sebagainya. Perlahan, aku kembali masuk ke kamar, lalu berbaring miring menghadap ke dinding.

“Belum tidur?” sapa Mas Hada yang tiba-tiba masuk ke kamar.

“Belum.”

Dia mendekat, kemudian membentang ambal di bawah. “Besok ada kuliah, kan? Tidurlah.”

Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan, tapi takut dia tersinggung. Awalnya aku sangat jengkel dan kesal dengan pria satu ini. Hanya saja, melihat sikap dan caranya memperlakukan Ibu, membuatku jadi merasa tidak pantas bersikap asal-asalan. “Mas.”

“Ya?”

“Besok aku akan ke kampus. Ada jam pagi dua mata kuliah, dan malam satu mata kuliah juga.”

“Oh, iya. Enggak apa-apa.”

“Yang ingin aku katakan ....” Aku memejamkan mata, takut Mas Hada tersinggung dengan apa yang akan aku katakan.

“Katakan saja, enggak apa-apa.”

“Dulu, aku sering lihat Mas menyapu kelas, tepat saat kami keluar ruangan. Hanya saja berhubung aku enggak pernah memperhatikan, jadi aku enggak begitu ingat dengan wajah, Mas. Kalau besok, bolehkah Mas membersihkan kelas setelah keadaan kampus sepi?”

Hening. Aku meremas tangan. Sungguh, aku takut menyinggung perasaannya.

“Kamu malu?”

“Bukan. Aku hanya belum siap teman-teman tahu yang sebenarnya.”

Terdengar Mas Hada tertawa kecil. “Iya, aku, kan sudah bilang. Aku berjanji enggak akan ada yang tahu mengenai hubungan kita.”

“Makasih, ya, Mas.”

“Sama-sama.”

Ada jeda setelah pembicaraan terakhir kami, hingga pada akhirnya aku merasa ada yang tiba-tiba menjawil lengan. Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Mas Hada sedang membungkuk ke arahku. Baru saja mau marah dia berkata, “Tukar saja bantalnya. Ini lebih empuk. Insyaallah, lebih nyaman di kepalamu.”

Mataku yang sudah melotot mengendur seketika. “Oh, iya.” Aku duduk dan Mas Hada menukar bantal. Dia menepuk-nepuk bantalku terlebih dahulu, baru memintaku kembali berbaring. Ya Allah, hampir suuzan. Aku pikir dia mau berbuat hal nekat lagi.

“Tidurlah, jangan banyak berpikir. Besok mau kuliah.”

“Iya, Mas.”

***

“Mau aku anter?” tanya Mas Hada saat aku sudah rapi, bersiap akan pergi ke kampus.

“Enggak usah, Mas. Naik taksi OL saja.”

“Bener?”

“Iya.”

Aku segera keluar kamar, dan menemui Ibu yang sedang berjemur di luar. “Nanti Ibu sama siapa?” tanyaku sambil mencium punggung tangannya.

“Nanti ada Bik Rahmi. Dia adik Ibu yang suka bantu-bantu di sini.”

“Oh, begitu. Ya sudah, Hana berangkat kuliah dulu, ya, Bu.”

“Iya, Nak. Hati-hati di jalan.”

“Iya, Bu. Assalamu’alaikum.”

“W*’alaikumsalam.”

Baru saja aku akan melangkah, Mas Hada memanggilku. “Hana!”

Aku menoleh, dan dia berjalan cepat ke arahku. Pria itu membawa sesuatu di tangannya, lalu mengangsurkannya padaku. “Apa ini, Mas?”

“Ini nasi goreng. Tadi pagi kamu enggak sarapan, saking lamanya berdandan.”

Ragu, aku mengambil kotak bekal itu. Bahkan, Ibu pun tidak pernah seperhatian ini padaku, meskipun dia punya usaha kuliner yang cukup besar. “Oh. Makasih, ya.”

“Jangan lupa, sampai kampus di makan. Nanti bisa kena mag, kalau telat makan.”

“Iya. Ya sudah, assalamu’alaikum.” Aku mengambil punggung tangannya dan mencium dengan takzim.

“W*’alaikumsalam. Hati-hati di jalan.”

Aku hanya mengangguk. Menit berikutnya, aku sudah ada di dalam taksi OL. Gawai bergetar dan ada pemberitahuan di sana. Ternyata pemberitahuan dari mobile banking bahwa Mas Irwan sudah mentransferku sejumlah uang bulanan, seperti biasa. Aku memandangi kotak bekal di pangkuan, kemudian memikirkan pertemuanku yang tak masuk akal dengan Mas Suhada.

Aku tidak pernah berpikir, kalau di dunia ini masih ada pria sebaik dia.

***

“Cie, cie, cie yang pengantin baru.” Ketiga temanku menggoda.

“Apaan, sih?” Aku tak mengacuhkan mereka. Tetap kalem menyeruput es susu di kantin siang itu sambil memakan nasi goreng masakannya Mas Hada.

“Bagaimana sama suami baru kamu?” tanya K**i.

“Ya, begitu. Namanya suami istri, mau bagaimana lagi?”

“Ah, enggak seru. Kok, lempeng saja, sih?” sahut Maria.

“Biasanya nih ya, pengantin baru itu ceritanya penuh dengan bunga-bunga dan madu. Lah, kamu? Penuh dengan serabut.” Kini si Isna yang bersuara.

“Loh, kok, serabut, sih?” tanyaku sewot sambil menyedot habis es susu yang tersisa.

“Ya, apa lagi coba? Muka kusut, sikapnya lempeng kayak enggak ada semangatnya.”

“Bukan begitu. Apa yang mau aku ceritain?”

“Ceritain pekerjaan suamimu kek, kebiasaannya kek, keluarganya kek, atau apa sajalah.”

Tiba-tiba tenggorokanku kembali kering. “Mbak! Es susunya satu gelas lagi, ya!”

“Ye, bukannya jawab, dia lanjut penuhi perut.”

“Sudahlah, berisik!”

Suara azan berkumandang dari musala kampus. Beberapa orang datang ke sana. Aku jadi ingat pesan Mas Hada, kalau tidak salat, siapa tahu ajal sudah dekat. Segera aku mendekati penjual dan meng-cancel pesanan barusan, dan segera membayar tagihan kami semua. Setelahnya berjalan cepat ke arah musala, membuat ketiga sahabatku bengong sampai mulutnya mengaga lebar.

“Han, mau ke mana?”

“Musala!” teriakku tanpa menoleh ke arah mereka.

“Ngapain?”

“Enggak mungkinlah makan. Ya salat, lah!”

Satu per satu mereka mengekori. Bisik-bisik dan berbagai pertanyaan terlontar. Aku hanya diam, enggan menjawab. Ada yang bilang mimpi apa aku semalam? Ada yang tanya, sejak kapan tobatnya? Satu lagi, ada yang mengucap alhamdulillah karena aku sudah mendapat hidayah. Bersyukurnya, mereka mengikutiku menjalankan salat. Aku melepas kaus kaki dan masuk ke toilet khusus wanita, lalu melepas hijab dan segera mengambil wudu. K**i, Maria, dan Isna masih saja meragukan pertobatanku. Kata mereka, pasti aku menjadi seperti ini karena ingin sesuatu. Ah, dasar mereka suuzan terus. Biarkan saja, toh nyatanya dulu aku memang seperti itu. Kadang malu, lebih taat hanya karena sedang ‘butuh’ kepada Allah. Hiks, maafkan hamba, ya Allah.

Sampai di dalam musala, aku tertegun. Tampak Mas Hada dan beberapa temannya sedang membentang ambal di dalam. Sesaat, pandangan kami bertemu ketika berpapasan, lalu sama-sama mengalihkan wajah dan berjalan ke arah yang berlawanan saat sadar sedang ada di tengah keramaian. Aku berjalan ke arah sudut ruangan, menuju lemari penyimpanan mukena, lalu mengambil satu dan memakainya. Setelahnya berbaris di saf perempuan beserta ketiga temanku. Sambil menunggu salah satu dosen yang biasa menjadi imam di musala, kami bersila sambil mengobrol dengan suara kecil. Hanya aku yang diam, memperhatikan Mas Hada yang sedang khusyuk menjalankan salat sunah. Aku belum sempat menjadi makmumnya. Mengingat, dia sangat rajin pergi ke musala yang ada di dekat rumah.

“Eh, Han! Kamu lihat pria yang pake hoodie warna cream itu?” K**i tiba-tiba berbisik di telingaku.

“Ke-kenapa memang?” tanyaku gagap.

“Dia itu yang kataku mirip sama pria yang menikahimu kemarin? Eh, dia, kan petugas kebersihan di sini juga, ya? Sekalian kuliah katanya. Dia anak kelas C, ambil kelas malam.”

“Oh, ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Iya. Beda sama kita yang ambil kelas A. Jadi masuk pagi.”

“Bunyinya saja kelas pagi, kadang ada dosen-dosen tertentu yang malas masuk pagi, terus seenaknya minta kita masuk malam. Kayak Bu Rona tuh!” sambung Maria tiba-tiba.

Dari sini, terlihat seorang pria mendekati Mas Hada dan membisikkan sesuatu. Temannya segera mengumandangkan ikamah, disusul langkah kaki suamiku yang memosisikan diri menjadi imam. Melihat itu, waktu seolah melambat, demikian dengan degup jantungku yang kian melemah. Fokusku pada posisi berdiri kami. Aku merasa, hanya ada aku dan dia.

“Allahu Akbar!”

Aku tersadar, kemudian menggelengkan kepala dan berusaha khusyuk untuk salat.

Selesai salat, aku langsung pergi. Sementara Mas Hada dan teman-temannya kembali khusyuk menjalankan salat sunah. Aku dan K**i menuju kelas, sementara Maria dan Isna memutuskan untuk ke ruangan dosen terlebih dahulu.

“Bagaimana menurut kamu, Han?” tanya K**i, saat kami menuruni anak tangga menuju ke gedung ekonomi. “Soal cleaning servise tadi. Mirip enggak sama suami kamu?”

“Ngaco, mana ada mirip. Suami aku itu lebih tinggi.”

“Masa, sih?”

“Enggak percaya? Ya sudah!” Aku meninggalkannya begitu saja yang masih mencoba mengingat-ingat dan berpikir keras.

“Han, tunggu! Aku kok ditinggal, sih?”

***

Aku sedang berkunjung ke restoran Ibu. Suasana lumayan ramai hari ini. Beberapa pelayan terlihat sibuk ke sana kemari melayani pelanggan, sementara Ibu sibuk di meja kasir. Sesekali aku menoleh ke arahnya yang tidak bisa diganggu sama sekali. Dari pagi sampai malam, itulah yang dilakukan oleh Ibu. Bokongnya seakan tertempel lem di kursi kasir, sampai tak bisa lagi bergerak barang sedikit saja. Jam menunjukkan pukul 14.30. Sejak aku datang, bahkan belum disapa.

“Bu, aku pulang, ya!”

“Sama siapa, Nak?” tanyanya sambil sibuk menghitung lembaran uang di tangan.

“Naik taksi OL saja, Bu. Aku masih ada kelas, tapi malam.”

“Ya sudah, nanti saja pulangnya.”

“Enggak enak sama Mas Hada, Bu. Besok saja aku ke sini lagi.”

“Enggak apa-apa, Nak, pulang sendiri?”

“Iya, enggak apa-apa.”

“Hati-hati, ya, Nak,” pesan Ibu yang tangannya kini beralih pada kalkulator berukuran jumbo. Saat dia sedang fokus—entah menghitung apa, aku mendekat.

“Bu.”

“Iya, Nak?” tanyanya, tapi mata masih fokus pada alat tersebut.

Aku diam, dan dia baru menoleh. “Kenapa, Sayang?”

“Aku pamit pulang, ya.” Aku mengambil punggung tangan Ibu dan menciumnya. “Ibu, ojo lali salat.”

Ibu tertegun menatapku lama, lalu tersenyum kecil dan mengatakan. “Suwun, loh, ya, sudah diingetin ibunya,” sahutnya sambil membelai lembut pipiku seraya tersenyum.

“Sama-sama ibuku. Assalamu’alaikum.”

“W*’alaikumsalam.”

Kami sama-sama melempar senyum. Aku berbalik dan pergi dari sana, sementara tatapan mata Ibu masih tak berkedip mengantar kepergianku.

***

Baru saja turun dari taksi OL, aku dikejutkan dengan ketinggalannya kotak makanku di kampus. Duh, diambil orang enggak, ya? Mau pergi lagi, tapi Mas Suhada keburu memergokiku.

“Han, mau ke mana?” teriaknya yang memaksa tubuhku berputar arah, berbalik dan melangkah ke arah rumah.

“Ada yang ketinggalan di kampus, Mas,” kataku tersenyum tidak enak padanya, mengingat kotak makanan itu pemberian dia.

“Apa?”

Aku sudah ada di depan pintu, lalu berusaha menjelaskan kejadian saat makan di kantin tadi siang.

“Oh, enggak apa-apa. Nanti malam kita cari sama-sama, ya, di kampus.”

Aku diam saja, masuk dan menemui Ibu yang sedang ada di kamar. Sampai di kamar Ibu, ternyata ada Bik Romlah.

“Ya ampun, jadi ini menantu kita, Mbak?” tanyanya saat aku menyalami mereka.

“Hehe. Iya, Bik.”

“Ayu to?” tanya Ibu tak mau kalah.

“Namanya siapa, Cah Ayu?”

Sedikit tersipu aku menjawab, “Hana.”

“Kok, pas banget. Hana, dan Hada.”

Semua orang tertawa, termasuk Mas Hada yang berdiri di ambang pintu.

“Karena itu jodoh. Lusa kita mau ketemu sama keluarganya. Kamu pakai baju yang apik, ya!” pinta Ibu pada Bik Romlah.

“Jelas. Nanti aku pilih baju paling indah untuk bertemu pihak besan.”

Kami bicara banyak hal. Puas berbincang, Mas Hada mengekorku masuk ke kamar, lalu menyerahkan amplop berwarna cokelat.

“Apa ini, Mas?”

“Buka saja.”

Aku duduk di ujung ranjang seraya membuka isinya. Ternyata di dalam amplop tersebut berisi beberapa lembar uang berwarna merah.

“Tolong diatur keuangan keluarga kita. Terima kasih sebelumnya.”

Jumlah uang ini bahkan tak ada seperempatnya dari yang biasa ditransfer Mas Irwan kepadaku, itu pun hanya untuk aku sendiri. Sedangkan ini? Aku harus mengatur keuangan rumah tangga selama satu bulan dengan uang yang hanya segini. Apa cukup?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status