Pov : Suhada
“Jadi, kalian berteman? Jangan bilang, kalian sudah merencanakan kejadian ini dari jauh hari?” Hana mencurigaiku. Meski terlihat seperti itu, tapi kenyataannya aku menikahinya karena kemauanku sendiri, bukan karena surat perjanjian itu.
“Aku enggak seperti itu.” Aku menatapnya selama beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan.
“Kalau suatu saat terbukti kamu bersekongkol dengannya untuk menghancurkanku, aku enggak akan pernah memaafkanmu, Mas!”
Aku tidak menjawab, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kamu enggak capek? Aku bersihin dulu kamar kita.”
“Kita?”
“Ya, kenapa memang?”
“Aku tidur sama kamu, Mas?”
“Jadi maunya kamu bagaimana?” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menarik tangannya dan mengajak ke kamar. Ruang berukuran 3x3 meter dengan kasur tanpa ranjang. Ada lemari plastik di ujung ruangan yang biasa kugunakan untuk tempat baju-bajuku, kemudian kamar mandi yang sangat sempit. Aku tahu dia pasti merasa risi ada di sini, karena Hana terbiasa tinggal di rumah yang bagus dan cukup megah.
Hana perlahan mendekati kasur, lalu duduk di sisinya. Kepala wanita itu masih berputar-putar, memperhatikan sekitar ruangan. Aku memutuskan keluar dan mandi, langsung berganti pakaian dan pergi ke musala untuk salat Isya.
***SM***
“Wah, Suhada. Tumben tadi telat?” tanya Pak RT menghampiri, saat aku berjalan santai menuju rumah sepulang dari musala.
“Ceritanya panjang, Pak RT. Sekalian mau kasih tahu, kalau saya sudah menikah. Wanita yang ada di rumah adalah istri saya.”
“Benarkah? Mendadak sekali? Kenapa enggak ada yang diundang di sekitar sini?”
“Soalnya enggak ada rencana, Pak.”
“Jadi, bagaimana itu?”
Aku menceritakan semuanya sambil berjalan menuju rumah. Kebetulan rumah kami hanya berselang beberapa rumah saja. Pak RT manggut-manggut mendengar ceritaku. Kukatakan sedang menghadiri undangan pernikahan salah seorang teman, dan ternyata pengantin pria tidak hadir.
Karena mengenal pengantin wanita, akhirnya aku memutuskan untuk menggantikan posisi pengantin pria. Pak RT tak berhenti tertawa mendengar ceritaku, apalagi saat kukatakan kalau kakak ipar menawarkan sebuah mobil untukku.
“Jadi, mana mobilnya?” tanyanya, saat kami sudah sampai di depan rumah.
“Aku menolak, Pak,” sahutku seraya tersenyum samar.
“Loh, kenapa? Rezeki, kok, ditolak?”
“Karena pada dasarnya saya memang sudah menyukai wanita itu sejak lama. Jadi, saya merasa mungkin dia memang ditakdirkan untuk saya dengan jalan yang tanpa saya sangka-sangka.”
“Masyaallah. Kalau pria lain, pasti enggak mikir dua kali kalau mau diberi mobil. Saya salut sama kamu, Suhada.” Pak RT menepuk pundakku. “Ya sudah, saya lanjut jalan menuju rumah, ya! Selamat melewati malam pertama. Hahahaha.”
Aku menggelengkan kepala seraya tertawa mendengar Pak RT menggoda, setelah itu dia berlalu. Masuk rumah, aku langsung menuju kamar. Terlihat Ibu dan Bibi sangat serius menonton TV di ruang tengah.
“Dari mana kamu?” tanya Hana, saat melihatku masuk.
“Dari musala, salat Isya. Kamu enggak salat?”
“Eh.”
“Salatlah. Salat itu tiang agama. Itu satu-satunya bekal kita di akhirat nanti.”
“Mas, kita masih muda, mikirnya kejauhan!”
“Memang kamu yakin, kalau besok kita masih hidup?”
Wajah wanita itu berubah pias seketika.
“Enggak ada yang bisa menjamin umur kita panjang. Menunda tobat hanya akan merugikan diri sendiri.” Aku berjalan ke arah lemari pakaian dan meletakkan peciku di sana.
“Kamu ceramahi aku, Mas?”
“Enggak.”
“Itu apa namanya?”
“Karena aku imam sekaligus nakhodamu, dan kamu itu tulang rusukku. Sudah tugasku meluruskan tulang rusukku yang bengkok.”
“Aku salat, kok. Meskipun enggak lima waktu.”
“Jadi ... Islam KTP nih?” Aku menatapnya yang mengalihkan pandangan. “Kamu itu sudah cantik memakai hijab ini.” Aku mendekatinya, kemudian membelai kepala yang tertutup hijab dengan lembut, lalu menunduk dan menatapnya sayu. Sesaat pandangan mata kami bertemu. “Akan lebih cantik, kalau hati dan tingkah lakunya sesuai dengan paras.”
Aku ingat bagaimana kriteria menantu idaman Ibu. Dia ingin punya menantu tidak hanya cantik, tapi juga salihah dan baik. Karena bagi Ibu, jika seorang istri benar-benar mencintai suaminya, dia akan meringankan hisab suaminya di akhirat dengan cara: Yang pertama seorang istri tidak suka menunda salat, segera salat saat azan berkumandang.
Dia akan menjadikan hidup itu seakan-akan hanya menunggu waktu salat. Yang kedua, wanita itu harus suka bersedekah, berbuat baik pada semua orang dan taat pada suami. Dengan begitu, berarti istri mencintaiku karena Allah. Baik suami atau pun istri sama-sama berjalan menuju ridha Allah. Hidupnya digunakan untuk saling meringankan hisab masing-masing pasangan di yaumul hisab nanti. Masalahnya, kami menikah hanya karena punya satu rasa dan cintaku bertepuk sebelah tangan. Hana tidak pernah menyukaiku seperti aku dulu menyukainya.
Cukup lama kami saling menatap, aku langsung menjauh dan berdiri membelakanginya. Bukankah wanita itu tulang rusuk yang bengkok? Jika suami memaksa meluruskannya, maka dia akan patah. Jadi butuh kesabaran dan kelembutan untuk meluruskannya, juga dengan sangat hati-hati, jangan sampai menyakiti hati.
“Maaf, bukan bermaksud lancang menasihatimu. Hanya saja, kini kamu tanggung jawabku, Hana. Aku ingin kita saling meringan hisab kita masing-masing nanti di yaumul hisab. Bukankah pasangan yang baik itu yang saling mengingatkan dan saling mendukung dalam kebaikan satu sama lain?”
Hana masih diam. Dia bahkan membuang pandangan.
Aku tersenyum tipis, masih bingung bagaimana caranya memberitahu istriku dengan baik, tanpa menyinggung atau menyakitinya. “Han.”
Dia mendongak, menatapku.
“Terima kasih sudah mau menginap di rumah yang sangat sederhana ini, dan bersikap sangat manis terhadap Ibu.”
“I-iya, Mas.”
“Sejak dulu, Ibu mendambakan memiliki menantu sepertimu. Dari raut wajahnya, dia sangat bahagia menerima kedatanganmu. Kebahagiaan itu makin sempurna, kalau kamu bisa menjadi wanita yang bukan hanya cantik di luar saja, tapi juga cantik dari dalam.” Aku menyentuh dadaku sendiri seraya kembali menatapnya dengan tatapan yang hangat.
Aku tidak berharap banyak. Mungkin aku bisa mengarahkannya secara perlahan. Jangan sampai dia merasa tertekan dengan permintaanku yang banyak. Aku ingin ia bisa berbenah dengan ikhlas dan tentu saja karena Allah di atas sana, bukan karena manusia. Aku percaya dia bisa melakukannya. Insya Allah dia gadis yang baik, aku percaya itu.
Dia pasti bisa menjadi bidadari surgaku. Pelengkap hidupku dan ibu yang baik untuk anak-anakku. Ya, meskipun impian ini terlalu mustahil. Hana terdiam, wajahnya terlihat gelisah. Ia menatapku beberapa saat, lalu tersenyum samar.
'Semoga ia tidak tersinggung dan marah.'
"Makasih nasihatnya,” sahutnya kemudian. Ia beranjak dan langsung menuju ke kamar mandi, lalu terdengar suara air keran dihidupkan. Aku tersenyum tipis melihatnya seperti itu. Bersyukur, ternyata ia tidak tersinggung dengan kata-kataku. Sebelum dia keluar dari kamar mandi, aku memutuskan keluar kamar untuk menemui Ibu. Biasanya, jam seperti ini ibu duduk di depan televisi.
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l