Share

Ancaman dari Prio

Pov : Hada 

**Sylviana.M**

Aku duduk di musala kampus, setelah belanja banyak makanan titipan para dosen. Kusandarkan punggung ke kursi kayu berwarna cokelat di samping musala. Semalam, aku memberikan semua gajiku pada Hana. Aku percaya, dia pasti bisa belajar mengaturnya, meskipun itu bukan hal mudah. Dari sini aku bisa melihat kelasnya, tampak dia tertawa riang dengan beberapa teman. Kadang aku berpikir, apa aku begitu memalukan sampai dia tak mau mengakui aku sebagai suaminya? Apa pekerjaanku ini begitu buruk?

Aku menarik napas panjang, pandanganku masih tertuju ke kelas yang ada di bawah sana, di mana Hana masih asyik tersenyum dan tertawa dengan orang-orang. Aku tersenyum tipis melihat wanita itu. Senyumnya benar-benar mampu mengalihkan duniaku, bahkan sejak dulu. Seharusnya aku tahu ini tak mudah, mengingat dia berasal dari keluarga yang cukup. Sayangnya, cinta itu benar-benar tak ada logika. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju. Menurutku, mungkin ini cara Allah menyatukan kami.

“Suhada, kamu dipanggil Bu Rani—dosen mata kuliah akuntansi—di ruang dosen,” sapa Pak Husen, penjaga kampus.

“Oh, iya, Pak.” Aku segera berdiri dan memakai ransel, lalu sedikit tergesa turun. Untuk menuju ke gedung ekonomi, harus menuruni anak-anak tangga yang cukup panjang dari musala. Sampai di ruangan dosen, aku langsung menemui Bu Rani.

“Permisi, Bu. Apa Ibu panggil saya?”

“Oh, iya. Mau minta tolong belikan Ibu kertas ukuran A4, ya! Di sekitar sini lagi habis semua.”

“Baik, Bu.”

Bu Rani mengangsurkan uang, dan sedikit membungkuk aku menerimanya. Setelah itu, aku langsung menuju toko alat tulis kantor dengan mengendarai sepeda motor. Suasana toko cukup ramai, sehingga aku memutuskan duduk dulu untuk menunggu di sekitar toko. Saat sedang menunggu gawai berbunyi, segera aku merogoh saku celana dan membuka pesannya. Ternyata dari Prio.

[Bagaimana? Apa kalian sudah menikah?]

Aku tak berniat membalas, tapi gawai kembali bergetar.

[Aku meminta seseorang memata-mataimu.

Katanya kalian sudah menikah,

bahkan kini Hana tinggal di rumahmu.]

Sial! Umpatku dalam hati. Aku memutuskan membalasnya.

[Ya, kami sudah menikah.]

[Bagus, jaga baik-baik calon istriku.

Ingat perjanjian kita, JANGAN SENTUH HANA!

Jika urusanku sudah selesai, aku akan kembali ke Indonesia.]

“Astagfirullah,” ucapku lirih. Dia bahkan melarangku menyentuh istri sendiri. Saat sadar, ternyata suasana sudah agak sepi, aku segera beranjak dan mendekati pelayan, lalu membeli pesanan Bu Rani.

***

Aku sudah selesai menyapu dan mengepel semua gedung, tinggal membersihkan gedung ekonomi. Hanya saja, aku ingat janji pada Hana. Aku akan membersihkan gedung itu setelah dia pulang. Berapa kali aku mengintip, Hana dan teman-temannya masih asyik bercanda di bawah sana. Bisa-bisa aku pulang malam, kalau menunggu mereka pulang. Apa aku turun saja, supaya Hana menjauh dari sana dan segera pulang?

Akhirnya aku memutuskan turun dengan membawa ember berisi air berserta kain pel. Tampak Hana yang duduk di dekat jendela, menatapku tak berkedip dari bawah sana. Mungkin dia takut aku memasuki kelasnya. Aku mengepel kelas lain dulu, memberi kesempatan pada Hana supaya pergi. Kini tiba saatnya aku membersihkan kelas yang posisinya tepat ada di samping kelas Hana. Samar-samar, aku masih bisa mendengar suara mereka. Aku fokus pada pekerjaan, tanpa ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

Saat sedang asyik menyapu kelas, Hana melintas bersama teman-temannya. Aku menoleh, dan pandangan kami bertemu dari balik kaca jendela. Cukup lama kami saling berpandangan, hingga akhirnya Hana kembali fokus menatap ke depan dan pergi begitu saja. Sementara aku kembali sibuk dengan sapu di tangan. Tanpa kusangka, salah seorang teman Hana masuk ke kelas yang kubersihkan.

“Hai, Mas!” sapanya yang membuatku menghentikan aktivitas.

Aku tersenyum samar.

Dia yang tadinya hanya berdiri di tengah-tengah pintu, kini masuk dan berdiri tak jauh dariku. Dua temannya ikut memasuki ruangan. Aku hanya diam, menunggu apa yang ingin dia katakan. Kulihat Hana terlihat gusar di luar sana, bahasa tubuhnya mengatakan kalau dia sangat ketakutan. Beberapa kali wanita itu menggigiti kuku tangan, lalu berbalik dan ragu mengikuti langkah teman-temannya memasuki kelas ini.

“Mas, perlu bantuan enggak?” tanya wanita berambut agak ikal itu.

Aku tersenyum tipis. “Enggak, Mbak. Makasih.”

“Masnya bakal sendirian saja di sini, kalau kita nanti sudah pulang. Eh, kalau tiba-tiba masnya kesurupan setelah kita tinggal sendirian, bagaimana? Katanya gedung ini angker,” goda wanita itu sekali lagi.

“Insyaallah enggak, Mbak. Saya sudah biasa,” sahutku mencoba bersikap biasa saja. Mata ini fokus menatap Hana yang berdiri di belakang tubuh mereka, meskipun posisi wanita yang kini kuketahui bernama Maria itu tepat ada di hadapanku.

“Umur berapa, Mas?” Kali wanita yang berdiri di dekat Hana yang bertanya.

“Saya, 25 tahun.”

“Sejak kapan kerja di sini? Wah, ternyata cukup dewasa,” celetuk yang satunya.

“Saya agak terlambat kuliah, karena harus kerja dulu baru bisa berkuliah. Sudah hampir satu tahun kerja di sini, Mbak.”

“Aku duluan kalau kalian enggak mau pulang!” kata Hana tiba-tiba dengan wajah yang terlihat kesal.

“Eh, Mas. Kalau begitu, kami permisi dulu, ya! Masnya keren, sudah cakep, kerja apa saja mau. Enggak gengsi, dan tetap memprioritaskan sekolah,” kata Maria.

Aku diam saja. Kulihat Hana menaiki anak tangga dengan wajah cemberut. Apa dia marah, karena aku menjawab pertanyaan teman-temannya? Atau ... dia marah karena aku membersihkan kelas sebelum dia pulang? Apa pun itu, semoga Allah melindungi dia di jalan sampai ke rumah. Aamiin.

Aku telah selesai, kuletakkan kain pel dan ember di kamar mandi, lalu mencuci tangan dan naik ke lantai atas. Setelah sampai di atas, aku melihat Hana menuju kantin. Di sana sudah sepi, dan beberapa lampu sudah dimatikan. Aku yang awalnya akan ke parkiran mengurungkan niat, dan malah ikut menuju kantin untuk menemuinya. Tampak Hana terlihat sibuk dan menunduk beberapa kali, memeriksa setiap sudut seperti mencari sesuatu. Aku melangkah lebih mendekat, dan kini sudah ada di balik tubuh wanita itu.

“Cari apa?” tanyaku yang membuatnya berbalik seketika.

“Eh, Mas. Kamu di sini? Cari kotak bekal yang kamu bawain tadi pagi.” Kemudian dia sibuk kembali.

“Memang kamu taruh di mana?” tanyaku, ikut berusaha mencarinya.

“Di meja yang ini, Mas!” Dia menunjuk salah satu meja.

Akhirnya kami mencarinya berdua. Aku berinisiatif melihat kotak sampah, lalu membukanya, sementara Hana masih memeriksa beberapa tempat. Aku tersenyum tipis, saat melihat kotak makanan itu sudah ada di tempat sampah. Begitu banyak makanan sisa di atas dan sekitarnya, sehingga kuputuskan tidak mengambil benda tersebut. Aku kembali menutup kotak sampah dan mendekati Hana yang sudah duduk di kursi kayu dengan wajah putus asa.

“Sudah, nanti aku belikan lagi.”

“Bukan masalah itu, aku enggak enak sama kamu.”

“Enggak apa-apa, kok. Enggak usah dipikirin.”

Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan. Beberapa temannya memanggil nama Hana secara berulang. Bagaimana ini? Kami ada di tempat yang sama, dan kini duduk berdekatan. Hana menatapku dengan saksama, begitu juga aku.

“Mas, teman-teman aku!” serunya dengan wajah pucat.

“Baru Mas mau bilang sama kamu.”

“Jadi, bagaimana?”

Aku mencoba berpikir, lalu cepat mencari tempat bersembunyi ketika langkah mereka semakin ke sini. Aku berjongkok di bawah meja, lalu menarik tangan Hana untuk bersembunyi bersama. Terlihat kaki-kaki sahabatnya memasuki area kantin.

“Hana! Duh, di mana, sih, itu anak?” Seseorang duduk di ujung sana.

“Apa sudah pulang duluan, ya?” lanjut teman yang lainnya.

“Coba telepon!” perintah wanita berambut ikal.

Mata Hana membulat, dia segera merogoh tas dan menonaktifkan gawai. Tampak salah satu temannya terus menghubungi. Tiba-tiba saja seekor kecoak bermain di dekat kami. Hana ketakutan, dia hampir berteriak. Segera kututup mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya melingkari leher wanita itu. Ah, aku sudah seperti penjahat yang sedang menyekap wanita cantik.

“Sttt. Tenang,” bisikku sambil berusaha menyelentik hewan itu hingga terpental jauh. Aku baru menyadari, jarak kami saat ini sangat dekat, bahkan ujung hidung kami bersentuhan. Pandangan mata kami beradu, manik mataku menatap wajah ayu Hana lekat. Pahatan Allah pada makhluk di hadapanku ini sangat indah. Aku lebih mendekat, dan kini bisa merasakan hangat embusan napasnya. Aku merasa, seolah ada magnet yang menarik untuk lebih mendekat padanya. Kuamati wajah Hana lebih dalam, lalu tangan ini terangkat untuk merapikan anak-anak rambutnya yang sedikit keluar dari hijab.

Teriakan beberapa teman Hana tak lagi dihiraukan. Kami sibuk dengan perasaan dan pikiran masing-masing. Hingga keheningan itu hadir. Semua teman istriku menyerah. Mereka pergi, karena tak kunjung menemukan Hana di sini. Aku sudah berusaha menahan. Sialnya aku tergoda, dan akhirnya lebih mendekatkan wajah ke wajahnya. Saat kiss itu hampir landing dengan sempurna, Hana mengalihkan pandangan. Dia mendekatkan bibirnya di samping telingaku.

“Sudah malam, Mas. Aku mau pulang,” bisiknya lirih tepat di samping telinga.

Tak ada yang bisa dilakukan, kulepaskan rangkulan tangan di lehernya dan ikut keluar dari persembunyian. Setelahnya, hanya bisa menatap kepergian Hana dari sini. Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuh Hana? Sementara hasratku menggebu setiap kali ada di dekatnya. Gontai aku melangkah menuju parkiran, dan pulang setelah Hana dan temannya pergi.

***

Sampai di halaman, kumasukkan sepeda motor ke dapur yang terletak di belakang rumah, lalu menuju ke kamar Ibu. Tampak Ibu sedang berbaring, meskipun belum tertidur. Aku duduk di sisi rajang bambu dan memijat kaki Ibu pelan.

“Suhada,” panggil Ibu yang seolah mengenaliku langsung.

“Kok, tahu ini Hada, Bu?” tanyaku seraya tersenyum.

“Siapa lagi yang suka ngurutin kaki Ibu, kalau bukan kamu? Kalau Romlah, suka pijat punggung.” Ibu tersenyum. “Baru pulang, Nak?”

“Iya, Bu.”

“Kamu itu capek. Kok, malah mijetin Ibu to?”

“Hada enggak punya waktu ngurusin Ibu. Maaf, ya.”

“Nak, kamu mencari uang juga untuk menafkahi Ibu, kan? Itu bahkan sudah lebih dari cukup. Maaf, Ibu cuma bisa nyusahin dan jadi beban buat kamu.”

“Bu, enggak usah bilang begitu. Ibu itu satu-satunya titipan Allah yang paling berharga buat aku.”

Ibu tersenyum, tangannya meraba di udara dan aku mendekat. Dia menyentuh pipi, dan aku mencium punggung tangannya. Setelah berbincang banyak hal dengan Ibu, aku pamit untuk ke kamar. Kuketuk pintu beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Kuputar knop pintu, ternyata tidak dikunci. Perlahan aku memasuki kamar, terdengar suara Hana mandi di dalam sana. Ada yang berdesir, membayangkan yang tidak-tidak. Aku memijat kepala, dan berusaha mengalihkan pikiran ke arah yang lain.

Tidak berapa lama, suara gemercik air di dalam kamar mandi tak terdengar lagi. Pintu terbuka. Aku mendongak, dan mendapati Hana sudah berdiri dengan tubuh yang hanya dibalut handuk saja.

“Aaa!” teriaknya nyaring.

Aku tersadar, dan membuang pandangan ke arah lain. Wanita berkulit putih itu langsung kembali masuk ke kamar mandi. “Mas, kenapa, sih, enggak ketuk pintunya dulu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status