Sebelum Venus sempat menjawab, ponselnya bergetar. Ia meminta maaf pada Ian untuk melepaskan tangannya dan beranjak meraih ponselnya. Venus membuka pesan masuk dari Felicia.
"Aku butuh bantuanmu. Arjuna menghilang.”Venus terbelalak.“Ada apa, Sayang?” tanya Ian.Venus menggigit bibirnya sesaat sebelum menjawab. “Itu … Felicia bilang, Arjuna menghilang.”Ian mendekat ke arahnya. “Kamu nggak perlu takut. Ceritakan semua sama aku, Sayang. Aku suami kamu,” katanya.Venus mengangguk. “Jadi gimana? Aku harus ketemu Felicia.”Ian menggeleng. “Ada kalanya kita perlu menunggu, Sayang. Aku yakin suami sahabatmu itu baik-baik saja. Seperti yang kita tahu, Arjuna adalah orang sibuk. Bisa saja dia ada urusan bisnis mendadak. Atau sesuatu yang—”“Tunggu!” Venus menepuk lengan Ian. “Kamu kenal sama Arjuna?”Ian mengangguk. “Semuanya ada di catatan.”Venus muBibir Ian menyentuh daun telinga Venus, napasnya hangat tapi terukur seperti mesin yang diprogram untuk bernapas. “Ayo kita lakukan yang sempat tertunda tadi, Sayang,” bisiknya, suaranya seperti rekaman sempurna dari suara Eric yang sedang berada dalam mode suami di atas tempat tidur. Venus merasakan tangan Ian menelusuri punggungnya. Setiap gerakan dihitung dengan presisi, setiap sentuhan jatuh tepat di titik saraf yang paling sensitif. Membuat Venus harus menahan diri.“Kamu ... kamu ingat?” Venus berbisik. Suaranya gemetar, mengingat malam minggu lalu saat mereka terinterupsi.Ian tersenyum, senyum yang terlalu sempurna. “Aku ingat segalanya, Venus. Setiap detik. Setiap desahanmu.”Jari-jari Ian yang semula terasa hangat kini mulai menunjukkan keanehan. Ujungnya terasa lebih keras, seperti logam yang dibungkus dengan kulit. Klik!Suara halus dari pergelangan tangan Ian. Venus membuka matanya lebar-lebar saat melihat kulit di lengan Ian tiba-tiba retak, memperlihatkan kilata
Di sudut kamar, cermin besar memantulkan bayangan mereka. Venus yang terlihat kaku, dan Ian yang terlalu bersemangat. “Kamu dingin,” desis Venus, jarinya menyentuh dada Ian, di mana detak jantung lelaki itu terlalu cepat. Ian tersenyum, senyum yang tiba-tiba membuat Venus semakin tak bisa mempertahankan akal sehatnya. “Aku bisa menghangatkan diri jika kamu mau.”Dari dalam dadanya, terdengar suara mesin halus yang mulai bekerja. Lalu tiba-tiba kulitnya terasa hangat, seperti Eric saat malam-malam yang dingin. “Lihat?” bisik Ian.Ia menuntun Venus untuk menyentuh dadanya yang kembali menghangat. “Aku bisa menjadi apapun yang kamu inginkan, Sayang.”Namun, saat tangannya meraih lebih dalam, Venus melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.Kuku Ian yang semula pendek dan rapi, kini memanjang.Tajam.Berkilau seperti logam.Venus menelan lu
Sebelum Venus sempat menjawab, ponselnya bergetar. Ia meminta maaf pada Ian untuk melepaskan tangannya dan beranjak meraih ponselnya. Venus membuka pesan masuk dari Felicia. "Aku butuh bantuanmu. Arjuna menghilang.”Venus terbelalak.“Ada apa, Sayang?” tanya Ian.Venus menggigit bibirnya sesaat sebelum menjawab. “Itu … Felicia bilang, Arjuna menghilang.”Ian mendekat ke arahnya. “Kamu nggak perlu takut. Ceritakan semua sama aku, Sayang. Aku suami kamu,” katanya.Venus mengangguk. “Jadi gimana? Aku harus ketemu Felicia.”Ian menggeleng. “Ada kalanya kita perlu menunggu, Sayang. Aku yakin suami sahabatmu itu baik-baik saja. Seperti yang kita tahu, Arjuna adalah orang sibuk. Bisa saja dia ada urusan bisnis mendadak. Atau sesuatu yang—”“Tunggu!” Venus menepuk lengan Ian. “Kamu kenal sama Arjuna?”Ian mengangguk. “Semuanya ada di catatan.”Venus mu
Cahaya sore mulai menyoroti teras belakang rumah Felicia, menciptakan bayangan panjang di wajah Ian yang duduk tenang di samping Venus. Felicia mengamatinya dengan tatapan penuh selidik, bibirnya menyungging senyum nakal yang terlalu familiar bagi Venus.“Pantesan dia diem aja pas ada aku," ujar Felicia tiba-tiba, suaranya bernada menggoda. "Eric 'kan biasanya heboh, dia pasti nanya, 'semalem kamu berapa ronde sama Arjuna?' kayak gitu."Venus mengatupkan bibir. Setiap kata dari mulut Felicia terasa seperti jarum kecil yang menusuk-nusuk kesabarannya. Namun ia hanya mengangguk, berusaha menahan gejolak di dadanya.Felicia mengetuk-ngetuk jarinya ke dagu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. "Tapi ... Aku masih nggak percaya deh. Jangan-jangan Eric cuma pura-pura buat ngetes kamu? Makanya dia ngaku jadi orang lain. Jadi suami pengganti, pake nama ….” Felicia melirik lelaki berwajah persis Eric itu. “Siapa tadi namany
Venus menatap Ian yang sedang asyik menggosok tangannya dengan spons itu. Spons yang sebelumnya berwarna merah tetapi kini kembali putih bersih karena Ian membersihkannya dengan cepat. “Kamu yakin nggak tahu di mana Eric?” tanya Venus lagi, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Ian mengangkat bahu, senyumnya tetap santai. “Aku nggak tahu. Aku di sini untuk menggantikan Eric. Aku Eric, suamimu sekarang." Jawabannya seperti sebuah rekaman yang sudah diprogram terlalu sempurna. Venus mengangguk pelan, menelan ludah yang terasa pahit. "Kalau begitu, kita harus menemui Felicia." "Oh. Felicia yang itu. Sahabatmu." Ian tiba-tiba berkata, jari-jarinya berhenti menggosok. "Aku nggak masalah, Sayang." Dalam hati, Venus membatin, ‘dia memang manusia. Seperti Eric.' Tapi sesuatu terasa salah. Terlalu salah.’ “Aku bakalan ganti baju dulu. Kamu tunggu di luar aja, ya.” Venus mendorong Eric ke luar kamar mandi. Venus ke luar kamar usai memakai pakaian lengkap. Ian sudah menunggunya
Pagi itu, Venus terbangun oleh sentuhan dingin di pipinya. Matanya perlahan terbuka, menyambut sinar mentari yang menyelinap lewat celah tirai jendela. Di depan tempat tidurnya, Eric, atau pria yang wajahnya sangat mirip dengan Eric—berdiri dengan handuk melilit pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air. Bau sabun mandi pria yang familiar itu memenuhi udara. "Sayang, maaf aku bangunin kamu," ujarnya, suaranya lembut seperti melodi yang sudah lama tak terdengar. Venus mengubah posisinya menjadi bersandar di sisi ranjang. Ia menatap wajah yang mirip Eric di hadapannya. “Aku habis mandi. Kamu mau sarapan apa? Aku bikinin, ya?" suaranya terlalu lembut di telinga Venus. Venus mengerutkan kening. Suara itu, senyum itu, terlalu sempurna baginya. Terlalu … sama seperti Eric di masa lalu. "Aku ... nasi goreng aja," jawabnya perlahan, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Pria itu mengangguk antusias, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah. Sambil