Rumah Sakit Anggrek menjulang seperti monumen beton yang dingin di hadapannya. Venus melangkah cepat melalui pintu putar, jari-jarinya menggenggam erat kartu nama dokter Argus yang sudah lecek. Bau disinfektan menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma ketakutan yang nyaris terasa.
Seorang petugas keamanan dengan senyum terlalu lebar menyambutnya. “Apa yang bisa saya bantu, Nyonya?”“Saya ingin bertemu dokter Argus,” kata Venus tanpa basa-basi, suaranya bergetar meski berusaha tegas.Petugas itu mengangguk, matanya terlalu berbinar. “Mari, saya antar menuju ruangannya.”Koridor rumah sakit itu sepi, membuat Venus sedikit merinding. Setiap langkah mereka bergema di lantai marmer, seperti berada dalam kuburan mewah. Ruangan dokter Argus terletak di ujung, dengan pintu kayu mahoni yang membuatnya terasa lebih seperti ruang direktur daripada ruang dokter.Dokter Argus duduk di belakang meja besar, wajahnya terkubuSuasana kafe yang nyaman tiba-tiba terasa sangat pengap. Venus duduk kaku di hadapan Virgo, cangkir kopinya yang hangat tidak lagi terasa menenangkan.“Venus,” Virgo memulai obrolan antara mereka, matanya tidak berkedip. Dia menatapnya dengan intensitas yang membuat Venus ingin menghilang. “Aku minta maaf kalau aku menyinggung perasaanmu.”“Ya?” jawab Venus, suaranya hampir seperti bisikan, berusaha tetap tenang.“Sebenarnya,” Virgo menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian, “aku masih mencintaimu.”Kalimat itu menggantung di antara mereka, berat dan tidak terbantahkan. Venus terbelalak, kopi di tangannya nyaris tumpah. Darahnya berdesir dingin, lalu panas. Ini bukan pengakuan yang dia harapkan, bukan di saat hidupnya sudah begitu rumit.“Virgo, aku ….” dia terbata-bata, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi ucapan Virgo. “Aku istri orang lain sekarang.”Kalimat itu akhirny
Esoknya, Ian kembali mengajar setelah mengantar Venus ke pertemuan sesama penulis di Balai Kota Nayakarta. Insting lelakinya mengatakan sesuatu yang tak terduga akan terjadi. Namun, Ian memilih mengabaikan itu dan fokus pada pekerjaannya.Matahari bersinar terik, menerangi taman yang asri di samping Balai Kota. Usai menghadiri pertemuan penulis, Venus memutuskan untuk menikmati udara segar dengan berjalan-jalan di area taman. Namun, dia tak menyangka akan bertemu Virgo lagi. Seolah-olah takdir sengaja mempertemukan mereka.“Eh, Venus! Kebetulan banget bertemu di sini,” sapa Virgo dengan senyum lebar, matanya berbinar melihat kehadiran Venus.Venus membalas senyum, meski sedikit gugup karena dia tak ingin lagi bertemu dengan Virgo setelah kejadian sore kemarin lalu. “Iya, Virgo. Kebetulan banget,” balasnya.“Kamu mau jalan-jalan sebentar? Aku temenin boleh dong?” kata Virgo, mencoba memanfaatkan momen.Venus mengan
Mobil Ian berhenti persis di tempat dia menurunkan Venus tadi. Senyumnya, yang sudah siap menyambut istrinya, sedikit memudar ketika dia melihat Venus tidak sendirian. Seorang pria tinggi dengan aura seniman yang santai berdiri di sampingnya, terlibat dalam obrolan yang tampak akrab.Ian mematikan mesin mobilnya dan keluar dengan langkah yang tenang namun penuh wibawa. Wajahnya netral, tetapi matanya yang tajam sudah memindai setiap detail tentang pria asing itu. Postur tubuhnya, cara berpakaian, dan yang paling penting, jarak antara pria itu dan Venus.“Sayang,” sapa Venus, sedikit terkejut melihat Ian benar-benar sudah datang menjemput. Senyumnya mendadak kaku. "Oh, iya. Ini Virgo, dia kakak kelasku waktu SMA. Kakak kelas kita,” katanya.Ian mengalihkan pandangannya ke Virgo. Tangannya yang biasanya langsung merangkul Venus sekarang tergantung di samping tubuhnya. “Kita pernah bertemu?” tanyanya, suaranya datar, tidak bersahabat, tetapi ju
Pagi datang dengan harapan baru bagi Venus. Usai sarapan bersama, Venus mengatakan jadwal kelas melukisnya hari itu. Dan Ian bersedia mengantarkan sekaligus menjemputnya hari itu.Mobil hitam yang dikemudikan Ian berhenti dengan halus di sisi trotoar. Venus mendekatkan tas lukisnya ke pangkuannya, bersiap untuk turun.Ian membungkuk, bibirnya menyentuh pipi Venus dengan lembut, hangat, dan familiar. Lalu, dengan gerakan alami, dia mengecup bibir istrinya itu. Singkat, manis, penuh sisi romantis. Sebuah ritual perpisahan yang sudah menjadi rutinitas mereka.“Hati-hati di jalan,” pesan Venus, tangannya membelai lengan Ian sebentar. “Jangan ngebut.” Sebuah pesan yang tulus terpancar dari matanya.Ian mengangguk, senyum kecil menghiasi bibirnya. “Iya. Aku akan menjemputmu selesai kuliah hari ini,” dia berjanji. Suaranya terdengar seperti sebuah melodi di telinga Venus.“Iya. Bye,” ucap Venus, membuka pintu dan melangk
Sementara itu, cahaya lilin temaram menari-nari di dinding kamar, memantulkan bayangan tubuh Venus yang sedang bersiap. Aroma vanilla dan sandalwood, parfum favorit Ian—memenuhi udara, menciptakan aura sensual yang memabukkan.Venus berdiri di depan cermin panjang, menatap pantulan dirinya. Lingerie merah darah itu melekat sempurna di tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk yang biasanya tersembunyi. Kain rendanya transparan di beberapa tempat, memberikan bayangan kulitnya yang mulus dan sudah dibalur lotion berkilau.Dia menggosok tubuhnya lebih lama tadi, bukan hanya untuk membersihkan kotoran dan debu halus, tetapi untuk memastikan setiap inci kulitnya terasa seperti sutra, siap untuk disentuh. Jari-jarinya dengan hati-hati mengatur rambutnya yang tergerai bebas di bahu, menambahkan sentuhan akhir yang sempurna.Drrtt … drrttt …Ponselnya bergetar di atas meja rias. Sebuah pesan dari Ian.[Ian]: Aku pulang, sayang.
Mobil yang dikemudikan Ian meluncur pelan memasuki area apartemen mewah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di wajahnya yang tegang. Dia memarkir mobilnya di tempat yang sedikit tersembunyi, matanya mengamati sekeliling dengan waspada sebelum akhirnya mematikan mesin.Dia tidak langsung keluar. Tangannya masih memegang kemudi, erat, seolah mencari kekuatan. Pikirannya berputar pada grafik medis yang diberikan Dokter Argus, pada ancaman halus Arjuna, dan pada suara Venus yang masih hangat di telinganya. Semuanya bertabrakan, menciptakan badai dalam kepalanya.Dengan napas berat, dia akhirnya keluar dari mobil. Langkahnya mantap menuju pintu masuk apartemen, melewati lobi yang sepi dengan kepala ditundukkan. Dia naik lift menuju lantai tujuh, jarinya menekan tombol di lift dengan pasti.Ding.Pintu lift terbuka. Koridor yang mewah dan sepi terbentang di depannya. Ian berjala