INICIAR SESIÓNVenus masih sibuk mengacak-acak isi lemari berkas milik Eric untuk mencari berkas yang dibutuhkan. Sesaat ia berdiri, berkacak pinggang lalu mondar-mandir seperti mandor sambil menggigit kuku tangannya.
Tring! Notifikasi pesan masuk membuat fokusnya beralih. Ia meraih ponselnya, membuka pesan masuk. Dari Eric. “Selalu pulang terlambat. Sebanyak apa sih mahasiswa yang bimbingan skripsi sama dia? Sampai dia nggak punya waktu mesra-mesraan sama aku, istrinya? Gimana mau cepet punya anak lagi kalau disentuh aja nggak!” Venus melemparkan ponselnya ke atas kasur lalu mengacak rambutnya. Ia kembali memilah berkas yang dibutuhkan untuk melengkapi formulir pendaftaran itu. Lalu saat Venus membuka sebuah map berwarna merah, matanya berbinar. “Ini dia! Akhirnya ketemu!” Ia dengan segera merapikan berkas lain yang tercecer, demi menghindari kecurigaan Eric. Kembali ke depan laptopnya, Venus lalu mengunggah berkas itu pada kolom unggah berkas di situs mountbatten.com. Tangannya sedikit bergetar saat mengarahkan pointer ke tombol ‘kirim pendaftaran’. Bahkan ia berdoa dalam hati jika keputusannya itu tak akan menimbulkan masalah baru untuk rumah tangga mereka. “Kamu nggak salah, Ve. Kamu nggak salah. Dia yang salah. Dia yang mulai duluan. Ini udah bener! Kamu ngelakuin hal yang bener!” Venus berusaha meyakinkan dirinya. Beberapa saat setelah berkas pendaftarannya terkirim, Venus menerima pesan masuk di akun surat elektronik miliknya. [Pendaftaran Anda telah berhasil. Mohon segera membawa suami Anda di titik lokasi yang sudah ditentukan untuk di-pick-up. Terima kasih.] Venus terbelalak. Lokasi yang dikirimkan adalah di garasi mobil rumah mereka. “Oke. Tinggal gimana caranya biar Eric bisa tetep ada di garasi sampai ada yang pick-up dia!” gumam Venus. Sebuah ide terlintas di benaknya. Venus menjentikkan jari. “Pakai cara paling mainstream yang udah pasti berhasil. Oke! Kita siap-siap dulu sambil nunggu dia pulang kerja!” Venus tersenyum puas. Petang itu, aroma kaldu ayam yang gurih memenuhi dapur kecil mereka. Venus dengan cermat mengiris jamur shiitake, setiap potongannya setebal tiga milimeter persis seperti resep chef LuTube favoritnya. Di kompor sebelah, bumbu ayam bakar, kecap manis, bawang putih, sedikit kayu manis, bercampur dalam wajan, mengeluarkan aroma yang membuat perutnya keroncongan. "Semoga dia suka. Kali ini, kalau berhasil, aku bakalan gagalin pendaftaran itu," gumam Venus sambil mengecek oven untuk kesepuluh kalinya. Dia menyeka dahinya dengan punggung tangan. Gaun apronnya sudah belepotan bumbu, tetapi tak masalah baginya. Malam itu harus sempurna. Sudah tiga bulan sejak terakhir kali Eric memujinya, tepat setelah presentasi promosi jabatannya di Kampus, sebelum segala sesuatu di antara mereka menjadi hambar. Pukul 19:03. Venus berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya yang mengenakan lingerie renda hitam. Desainnya terbuka di bagian punggung, persis seperti yang pernah Eric komentari dua tahun lalu saat mereka bulan madu di Bali. "Dia pasti bakalan---” Suara bel dari pintu depan berdenting memotong lamunannya. Venus menengok ke jam dinding. Pukul 19:17, Eric pulang lebih awal dari biasanya. Dadanya berdebar kencang saat dia meraih kimono sutra dan mengikatnya longgar. Venus berlari kecil untuk membukakan pintu. Wajah Eric muncul di balik pintu. Eric membeku di ambang pintu. “A-aku … nggak ….” Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Venus sudah melompat ke hadapan Eric, lalu mengikat kain penutup mata untuk Eric dengan sebuah simpul. Venus berbisik, sambil menggenggam tangan Eric. “Aku bikin kejutan buat malam ini,” katanya. Venus menuntun langkah Eric menuju dapur. Saat Venus membuka penutup matanya, Eric membelalak melihat meja makan yang dihiasi lilin dan dua porsi makanan masih mengepul. "Jangan kaget dulu!" bisik Venus, bibirnya nyaris menyentuh daun telinga Eric. Venus samar mencium bau parfum yang baru, wangi kayu oak mahal yang tidak pernah dia kenal. Eric menghela napas. "Kamu tahu? Aku capek hari ini. Bisa nggak—" "Sshh," Venus memotong, perlahan ia menuntun langkah Eric memutar menuju ke arah kamar tidur belakang. "Aku udah menyiapkan sesuatu buat kita malam ini." Eric terpana melihat tempat tidur yang dipenuhi kelopak mawar merah dan Venus berdiri di tengahnya dengan kimono yang sudah terbuka sebagian. Namun, ekspresi Eric bukanlah seperti yang diharapkan Venus. Wajahnya justru berkerut seperti mencium bau tak sedap. "Kamu kenapa sih? Aku baru seharian dihujani masalah skripsi, pulang mau istirahat—" "Aku cuma pengen kita … kayak dulu lagi," suara Venus mengecil. Eric menggosok pelipisnya. "Lain kali kasih tahu dulu. Nggak semua orang mood terus buat drama romantis." Dia segera mengambil bantal dan selimut dari lemari. "Aku tidur di kamar atas aja malam ini. Jangan ganggu aku!" Venus duduk di lantai kamar, punggungnya menempel pada pintu yang tertutup. Di luar, Venus mendengar samar suara televisi menyala, pertanda Eric memang tidak berniat menemaninya malam itu. Venus berdiri, hendak membersihkan riasan wajahnya. Tiba-tiba, telepon Eric bergetar di atas meja rias. Sebuah notifikasi dari kontak bernama N muncul. "Besok aku anterin kopi kesukaan kamu ke kantor ya. Jangan stres lagi ya ♡" Venus meletakkan ponsel itu perlahan, langkahnya terayun menuju dapur. Dia menatap piring sup jamur yang sudah tidak beruap lagi. Kuahnya mulai membentuk lapisan tipis di permukaan. "Dulu dia selalu bilang supku terlalu asin," bisiknya pada bayangan sendiri di sendok stainless. Venus lalu mengambil sup yang sudah dingin itu dan meminum kuahnya langsung dari mangkuk. Asin. Namun kali ini, dia yakin itu bukan karena salah takaran garam.Pagi itu, cahaya matahari menyinari kantor catatan sipil dengan lembut. Venus dan Ian berdiri berdekatan, tangan tak lepas saling menggenggam. Untuk pertama kalinya sejak ‘kembali’ menjadi normal, Ian tidak mengenakan topi atau berusaha menutupi bekas luka di pipi kirinya.Ian berdiri tegak, dengan sedikit senyum simpul di bibirnya, membiarkan dunia melihatnya apa adanya. Dan bagi Venus, itu justru membuatnya semakin tampan. Sebuah bukti nyata dari ketangguhan g dan keberaniannya.“Kamu yakin dengan pilihan ini?” bisik Ian, tatapannya menatap Venus dalam-dalam, seolah masih tidak percaya dengan kebahagiaan yang dialaminya.Venus hanya menjawab dengan menggenggam tangannya lebih erat. “Aku nggak pernah seyakin ini tentang apapun sebelumnya.”Cincin sederhana di jari Venus berkilau samar, sebuah janji yang kini akan mereka wujudkan dalam sebuah ikatan sakral. Proses itu berjalan lancar, penuh dengan pandangan penuh berkah dari pe
Hari itu Venus memberanikan diri untuk memeriksa kandungannya. Tanpa meminta waktu Eric untuk mendampinginya, dia memutuskan mengunjungi dokter kandungan sendiri.Saat menunggu panggilan untuk bertemu dokter, Venus mendengar suara lelaki yang familiar memanggil namanya. Dia menoleh ke arah suara, dan matanya terbelalak saat melihat pria itu. Pertemuan tak terduga itu membuat ruang tunggu dokter kandungan terasa sempit.“Kamu periksa kandungan? Eric, suami kamu gimana kabarnya?” tanya pria itu.“Eric baik-baik saja, katanya.Kalimat kebohongan itu terasa pahit di ujung lidah Venus. Venus masih terduduk, mencoba mencerna kata-katanya sendiri yang terlanjur meluncur sebagai pertahanan diri untuk menjaga citra pernikahannya dengan Eric sebelum putusan resmi dari pengadilan.Venus balik bertanya, “kamu, nemenin istri ke sini?”Pria itu—Virgo tertawa pelan, dan tawanya seperti mengurai sedikit ketegangan.
Empat bulan kemudian ….Ruang sidang itu terasa pengap, meski pendingin ruangan dinyalakan di angka 17 derajat Celsius. Setiap tarikan napas Venus terasa berat, dipenuhi ketegangan.Venus duduk tegak, tetapi tangan yang tergenggam di pangkuannya menghujam pucat. Di sampingnya, Arjuna menyusun berkas-berkas dengan tenang. Sorot matanya tajam, terpaku pada Eric yang duduk di seberang mereka dengan wajah dingin.“Yang Mulia,” suara Arjuna menggelegar, memecah kesunyian ruangan itu. “Kami hari ini tidak hanya akan membuktikan adanya keretakan perkawinan yang tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi juga menunjukkan bahwa pihak Termohon, Tuan Eric, telah secara sadar dan berulang kali melanggar janji suci pernikahan melalui hubungan di luar pernikahan dengan saudari Venus John Eleanor.”Dari dalam map berwarna coklat, Arjuna mengeluarkan setumpuk dokumen. Venus menunduk, napasnya tersendat. Ini adalah momen yang paling ditakutkan dan sek
Ruangan konsultasi yang rapi dan sejuk itu tiba-tiba terasa seperti perangkap. Venus duduk kaku, menatap tak percaya pada pria yang duduk di seberangnya. Bukan pengacara biasa yang dia harapkan, tetapi Arjuna, suami Felicia, dan yang dia curigai terlibat jauh lebih dalam dengan situs Mountbatten.com.“Aku tidak menyangka kamu akan melakukan hal seperti ini, Venus,” ucap Arjuna, suaranya datar, tetapi matanya yang tajam menelusuri setiap ekspresi di wajah Venus.Venus menahan gejolak di dadanya. “Aku sudah muak. Aku lelah bertahan, Arjuna," jawabnya, suaranya tegas meski tangannya menggenggam erat tepi kursi.Venus sudah muak dengan semua kebohongan, semua permainan, dan semua orang yang tampaknya tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri.Arjuna menyeringai, sebuah ekspresi yang membuat Venus merinding. Pria itu tidak terkejut. Sepertinya dia sudah menunggu. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebuah map d
Tanpa berkata-kata, Venus merogoh amplop cokelat yang dia sembunyikan dan mengeluarkan sebuah foto. Foto itu jelas, bujti yang tak lagi terbantahkan.Foto itu menangkap wajah Eric dan Nova, sedang keluar dari sebuah pintu kamar hotel, sedang bertatapan mesra sambil tangan mereka saling menggenggam.Wajah Eric berubah seketika. Darahnya mengalir menjauh dari wajahnya, meninggalkan warna pucat yang mencolok. Matanya membelalak, tidak percaya. “A-apa ini?” dia tergagap-gagap dengan suara serak.“Eric.” Venus menatapnya langsung, matanya yang biasanya lembut sekarang penuh dengan kekecewaan dan keputusan yang tak tergoyahkan. “Maafkan aku, aku ingin bercerai.”“Tidak!” Eric berseru, panik. Tangannya meraih lengan Venus, tapi Venus menariknya kembali. “Semuanya salah paham, Sayang!”“Tidak perlu mengelak, Eric.” Venus menggeleng, suaranya datar, lelah. Semua drama, semua kebohongan, sudah cukup. “Aku sudah tahu semuany
Udara di antara mereka terasa pengap. Nova mendekap bayinya lebih erat, wajahnya campur aduk antara terkejut, tidak percaya, dan sedikit harap saat mendengar ucapan Venus.“Aku akan bercerai dari Eric,” ucap Venus.Dia berbicara seolah Keputusannya sudah bulat.Nova terbelalak. “Apa? Kamu yakin? Kamu nggak bercanda?” Bayi di gendongan Nova menggeliat, seolah merasakan ketegangan.“Aku udah janji,” jawab Venus, menatap langsung ke mata Nova. “Begitu anak itu lahir, aku akan mengurus perceraian dengan Eric.” Janji itu, yang dulu diucapkan dalam keputusasaan untuk menenangkan Nova, untuk memenangkan hati Eric, kini dia tepati. Venus memenuhi janji itu bukan untuk Nova, melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk kebebasannya. Untuk Ian.“Ta-tapi ..." Nova tampak bingung dengan perubahan drastis itu. “Tapi Eric bilang, dia menyuruhku menjauh dari hidup kalian.” Ucapan itu seperti pengakuan, sebuah pengakuan







