MasukVenus meraih cangkir kopi, menyesap sedikit kopi latte buatannya sendiri. Tangannya bergerak di atas alas tetikus, ia mengarahkan pointer sebelum menekan tombol ‘publish’ di artikel miliknya.
Sebagai penulis lepas di situs web yang mengulas kuliner, Venus menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kuliner. Ia juga selalu tertarik mencoba resep masakan baru, atau mencoba memodifikasi beberapa resep masakan untuk menciptakan menu baru. Sambil mencari informasi tentang hal-hal terkait kuliner, Venus melihat sebuah forum bernama Curcol Aja. Di sana, ia melihat banyak cerita-cerita yang dikirim oleh anggota forum. Mamah Holy: Bunda, maaf aku mau curhat tentang rumah tangga aku. Aku punya ipar rese banget. Dia nitipin anaknya sedangkan dia sendiri kerja. Tapi, nggak pernah sekalipun ngasih sesuatu gitu karena udah dibantu jagain anaknya. Mana anaknya makan di sini, jajan dari aku, mandi sama cebok juga di sini. Aku harus gimana ya? Venus membaca 1042 komentar di bawah postingan itu. User2308: ih ipar kayak gitu mah mending santet aja, Bund Cicak-Man: sabar bund Jijiaa: ih kalo aku jadi bunda udah aku maki-maki itu iparnya, biar tahu diri!! Venus menggeleng pelan. Ia mencoba memahami posisi Mamah Holy. Banyak komentar yang menguatkan, tetapi tak sedikit juga yang menyayangkan sikap Mama Holy karena dianggap terlalu sabar. “Apa aku curhat aja di sini biar ada jalan keluar ya? Siapa tahu ada yang pernah punya pengalaman sama kayak aku? Apalagi sampai sekarang ‘kan aku masih belum punya anak,” gumam Venus. Ia melirik jam di layar laptopnya. Pukul 09:32. Eric sudah meninggalkan rumah sejak dua jam lalu. Setelah menimbang-nimbang, Venus akhirnya bergabung ke forum Curhat Aja dengan nama pengguna Anonymous. Jarinya dengan lincah mengetik kalimat di beranda forum itu. “Halo, kenalin aku anggota baru forum ini. Namaku, panggil aja Ve biar lebih akrab. Aku udah nikah selama enam tahun. Suamiku seorang dosen, sebut aja namanya E. Dia baik. Baik banget malah. Tapi, aku bingung. Akhir-akhir ini dia jadi nggak sehangat dulu. Dia nggak pernah ngajak aku ‘tidur bareng’, kalian tahu lah ya? Perempuan yang udah menikah pasti ngerti gimana rasanya kalau suami jadi jarang ngajak tidur bareng ya ‘kan? Aku jadi overthinking juga. Aku takut buat mikirin yang aneh-aneh, karena aku ngerasa pernikahan kami baik-baik aja. Tapi, ya, masalah kami selain anak adalah, sikap dia yang mulai dingin. Aku harus gimana? Coba kasih aku saran. Thanks.” Venus mendesah. Ia berharap menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Sambil menunggu jawaban yang masuk dari pengguna forum lain, Venus mencoba untuk mencari referensi untuk artikel kulinernya. Saat ia membaca artikel, tiba-tiba sebuah iklan situs web muncul. Hal yang paling mencolok dari iklan tersebut adalah kata Tukar Suami yang eye catching. “Hah? Apa ini?” Mata Venus melotot seketika. “Anda bosan dengan suami Anda saat ini? Tukar suami Anda sekarang. Klik di sini,” gumam Venus sambil membaca kalimat itu. Venus menganga. “Ini beneran? Emang ada situs kayak gini? Jangan-jangan ini situs judol? Atau video aneh-aneh? Nggak, deh! Jangan diklik!” Namun, sisi lain dirinya mencoba mengambil alih. Tangannya bergerak, dan menekan kursor tepat di tautan situs tersebut. Venus mencoba memahami setiap kalimat di sana. Situs mountbatten.com yang menawarkan sebuah solusi untuk permasalahannya selama ini. “Terus nanti gimana? Eric bisa dituker kayak barang yang aku beli di toko online gitu?” Venus bertanya-tanya. Ia melihat sebuah nomor kontak di bawah halaman situs tersebut. Dengan cepat, Venus mencoba menghubungi nomor yang tertera. “Dengan Mountbatten Situs Tukar Suami Terpercaya di Zenantara. Saya Mika, ada yang bisa dibantu?” suara seorang perempuan menyambut Venus. Venus kebingungan, “y-ya, ha-halo, sa-saya … ingin bertanya.” “Iya, Bu. Apa ada masalah dengan penjelasan di website kami?” “Nggak. Nggak. Apa— apa bener saya bisa tukar suami saya di sini?” Venus tanpa sadar mulai menggigit kukunya. “Betul, Ibu. Sebelumnya Ibu sudah isi formulir pendaftarannya?” “Ya? Gimana, gimana? Saya belum paham.” “Kalau Ibu masih terhubung dengan situs web kami, silakan Ibu unduh formulir pendaftarannya lalu submit di kolom yang sudah disediakan. Nantinya, kami akan menjemput suami Ibu sesuai dengan alamat yang Ibu berikan.” “Tapi ini bukan penipuan ‘kan? Suami saya nggak akan kenapa-kenapa ‘kan?” Venus merasa khawatir. “Untuk hal itu sebaiknya Ibu baca di surat perjanjian yang ada di halaman belakang formulir pendaftaran. Terima kasih sudah menghubungi Mountbatten, saya tutup teleponnya ya, Bu. Selamat melanjutkan aktivitas.” Venus memijit pelipisnya. “Kalau aku daftarin Eric ke sini, apa iya dia jadi lebih baik? Ini mirip barak militernya KDW kali ya? Suami yang dingin bisa jadi hangat lagi setelah digembleng? Tapi … Gimana kalau dia nggak balik lagi? Nanti Mama sama Vivian makin ngajakin aku gelud ‘kan?” Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari nomor tak dikenal. Venus meraih ponselnya dan menjawab telepon itu dengan hati-hati. “Ha-halo?” “Selamat pagi, dengan Ibu Venus John Eleanor?” tanya seorang perempuan dari telepon. Venus mengembuskan napas lega. Semula ia mengira telepon itu dari Vivian atau Angel yang mengganti nomor mereka. “Ya, saya sendiri,” jawab Venus. “Baik Ibu, kami dari Arthur Art School ingin mengonfirmasi terkait pendaftaran kelas Ibu untuk bulan Agustus,” kata perempuan di seberang telepon itu lagi. “Ya, saya daftar kelas di sana.” “Baik, Ibu. Sebelumnya kami mohon maaf Bu, untuk kelas di bulan Agustus terpaksa kami jadwalkan ulang dikarenakan ada sebuah kecelakaan yang menimpa tutor kelas melukis kami.” “Jadi gimana? Kelasnya batal?” “Tidak, Ibu. Ibu tidak perlu khawatir, karena kelas akan kembali diadakan pada bulan September dengan tutor pengganti. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Terima kasih.” “Ya.” Venus mendesah pelan. “Jadi makin bosen di rumah kalau kayak gini. Kayaknya aku emang harus nyoba situs tukar suami itu deh! Siapa tahu berhasil!”Pagi itu, cahaya matahari menyinari kantor catatan sipil dengan lembut. Venus dan Ian berdiri berdekatan, tangan tak lepas saling menggenggam. Untuk pertama kalinya sejak ‘kembali’ menjadi normal, Ian tidak mengenakan topi atau berusaha menutupi bekas luka di pipi kirinya.Ian berdiri tegak, dengan sedikit senyum simpul di bibirnya, membiarkan dunia melihatnya apa adanya. Dan bagi Venus, itu justru membuatnya semakin tampan. Sebuah bukti nyata dari ketangguhan g dan keberaniannya.“Kamu yakin dengan pilihan ini?” bisik Ian, tatapannya menatap Venus dalam-dalam, seolah masih tidak percaya dengan kebahagiaan yang dialaminya.Venus hanya menjawab dengan menggenggam tangannya lebih erat. “Aku nggak pernah seyakin ini tentang apapun sebelumnya.”Cincin sederhana di jari Venus berkilau samar, sebuah janji yang kini akan mereka wujudkan dalam sebuah ikatan sakral. Proses itu berjalan lancar, penuh dengan pandangan penuh berkah dari pe
Hari itu Venus memberanikan diri untuk memeriksa kandungannya. Tanpa meminta waktu Eric untuk mendampinginya, dia memutuskan mengunjungi dokter kandungan sendiri.Saat menunggu panggilan untuk bertemu dokter, Venus mendengar suara lelaki yang familiar memanggil namanya. Dia menoleh ke arah suara, dan matanya terbelalak saat melihat pria itu. Pertemuan tak terduga itu membuat ruang tunggu dokter kandungan terasa sempit.“Kamu periksa kandungan? Eric, suami kamu gimana kabarnya?” tanya pria itu.“Eric baik-baik saja, katanya.Kalimat kebohongan itu terasa pahit di ujung lidah Venus. Venus masih terduduk, mencoba mencerna kata-katanya sendiri yang terlanjur meluncur sebagai pertahanan diri untuk menjaga citra pernikahannya dengan Eric sebelum putusan resmi dari pengadilan.Venus balik bertanya, “kamu, nemenin istri ke sini?”Pria itu—Virgo tertawa pelan, dan tawanya seperti mengurai sedikit ketegangan.
Empat bulan kemudian ….Ruang sidang itu terasa pengap, meski pendingin ruangan dinyalakan di angka 17 derajat Celsius. Setiap tarikan napas Venus terasa berat, dipenuhi ketegangan.Venus duduk tegak, tetapi tangan yang tergenggam di pangkuannya menghujam pucat. Di sampingnya, Arjuna menyusun berkas-berkas dengan tenang. Sorot matanya tajam, terpaku pada Eric yang duduk di seberang mereka dengan wajah dingin.“Yang Mulia,” suara Arjuna menggelegar, memecah kesunyian ruangan itu. “Kami hari ini tidak hanya akan membuktikan adanya keretakan perkawinan yang tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi juga menunjukkan bahwa pihak Termohon, Tuan Eric, telah secara sadar dan berulang kali melanggar janji suci pernikahan melalui hubungan di luar pernikahan dengan saudari Venus John Eleanor.”Dari dalam map berwarna coklat, Arjuna mengeluarkan setumpuk dokumen. Venus menunduk, napasnya tersendat. Ini adalah momen yang paling ditakutkan dan sek
Ruangan konsultasi yang rapi dan sejuk itu tiba-tiba terasa seperti perangkap. Venus duduk kaku, menatap tak percaya pada pria yang duduk di seberangnya. Bukan pengacara biasa yang dia harapkan, tetapi Arjuna, suami Felicia, dan yang dia curigai terlibat jauh lebih dalam dengan situs Mountbatten.com.“Aku tidak menyangka kamu akan melakukan hal seperti ini, Venus,” ucap Arjuna, suaranya datar, tetapi matanya yang tajam menelusuri setiap ekspresi di wajah Venus.Venus menahan gejolak di dadanya. “Aku sudah muak. Aku lelah bertahan, Arjuna," jawabnya, suaranya tegas meski tangannya menggenggam erat tepi kursi.Venus sudah muak dengan semua kebohongan, semua permainan, dan semua orang yang tampaknya tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri.Arjuna menyeringai, sebuah ekspresi yang membuat Venus merinding. Pria itu tidak terkejut. Sepertinya dia sudah menunggu. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebuah map d
Tanpa berkata-kata, Venus merogoh amplop cokelat yang dia sembunyikan dan mengeluarkan sebuah foto. Foto itu jelas, bujti yang tak lagi terbantahkan.Foto itu menangkap wajah Eric dan Nova, sedang keluar dari sebuah pintu kamar hotel, sedang bertatapan mesra sambil tangan mereka saling menggenggam.Wajah Eric berubah seketika. Darahnya mengalir menjauh dari wajahnya, meninggalkan warna pucat yang mencolok. Matanya membelalak, tidak percaya. “A-apa ini?” dia tergagap-gagap dengan suara serak.“Eric.” Venus menatapnya langsung, matanya yang biasanya lembut sekarang penuh dengan kekecewaan dan keputusan yang tak tergoyahkan. “Maafkan aku, aku ingin bercerai.”“Tidak!” Eric berseru, panik. Tangannya meraih lengan Venus, tapi Venus menariknya kembali. “Semuanya salah paham, Sayang!”“Tidak perlu mengelak, Eric.” Venus menggeleng, suaranya datar, lelah. Semua drama, semua kebohongan, sudah cukup. “Aku sudah tahu semuany
Udara di antara mereka terasa pengap. Nova mendekap bayinya lebih erat, wajahnya campur aduk antara terkejut, tidak percaya, dan sedikit harap saat mendengar ucapan Venus.“Aku akan bercerai dari Eric,” ucap Venus.Dia berbicara seolah Keputusannya sudah bulat.Nova terbelalak. “Apa? Kamu yakin? Kamu nggak bercanda?” Bayi di gendongan Nova menggeliat, seolah merasakan ketegangan.“Aku udah janji,” jawab Venus, menatap langsung ke mata Nova. “Begitu anak itu lahir, aku akan mengurus perceraian dengan Eric.” Janji itu, yang dulu diucapkan dalam keputusasaan untuk menenangkan Nova, untuk memenangkan hati Eric, kini dia tepati. Venus memenuhi janji itu bukan untuk Nova, melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk kebebasannya. Untuk Ian.“Ta-tapi ..." Nova tampak bingung dengan perubahan drastis itu. “Tapi Eric bilang, dia menyuruhku menjauh dari hidup kalian.” Ucapan itu seperti pengakuan, sebuah pengakuan







