Keesokan paginya, Venus berdiri di belakang tirai jendela kamar, menatap Eric yang sedang bersiap berangkat kerja. Matanya merah dan bengkak setelah semalam menangis hingga tertidur. Namun, pagi itu, ada sesuatu yang mengeras di dalam dadanya. Sebuah tekad yang membuat jemarinya menggenggam kunci garasi dengan erat.
"Eric, tunggu sebentar," panggilnya tiba-tiba saat Eric hendak membuka pintu depan. Suaranya datar, tidak seperti biasanya. Eric berbalik dengan wajah kesal. "Apa lagi? Aku udah terlambat—" Tanpa peringatan, Venus menarik lengan Eric dengan kekuatan yang tidak pernah dia tahu ada pada dirinya. "Kita perlu bicara. Sekarang!" Venus menariknya ke samping rumah. Pintu garasi terkunci dengan bunyi klik. Eric yang tiba-tiba terkurung di garasi, terbelalak. Dia masih belum menyadari bagaimana istrinya tiba-tiba seperti orang asing pagi itu. Rambutnya acak-acakan, mata bersinar dengan intensitas aneh, dan tangan yang menggenggam sesuatu di balik punggungnya. “Kamu gila? Aku udah telat ke Kampus! Buka pintunya!" Eric membentak sambil memukul pintu. Venus berteriak dari balik pintu. "Nggak akan, sebelum kamu jujur. Siapa 'N’ itu?" Wajah Eric berubah pucat. "D-Dia cuma temen kerja—" "Jangan bohong!" teriak Venus, suaranya memecah keheningan garasi. Untuk pertama kalinya, Eric merasakan sesuatu yang mengerikan dari istrinya, kombinasi sakit hati dan kemarahan yang sudah terlalu lama dipendam. Lima belas menit kemudian, suara klakson dari truk kontainer memekakkan telinga terdengar di depan rumah mereka. Bunyinya semakin keras, sampai lantai garasi tempat Eric berdiri bergetar. "Apa itu—" Eric mulai bertanya. Namun, mendengar suara memekakkan telinga membuat Venus tiba-tiba memegangi kepalanya. "Suaranya ... suaranya ...." Ia terhuyung-huyung, matanya berkunang-kunang. Eric lupa sejenak tentang pertikaian mereka. "Venus? Buka pintunya! Kamu nggak apa-apa? Sayang! Jawab aku!" Venus tidak menjawab. Tubuhnya limbung sebelum akhirnya ambruk ke lantai beton dengan suara keras yang cukup membuat jantung Eric berhenti sejenak. *** Venus membuka mata. Dia berada di sofa ruang tamu dengan bantal dingin di dahi. Lelaki asing dengan wajah tertutup masker duduk di sampingnya. "Anda ... Anda pingsan, Nona,” kata lelaki itu, suaranya tidak stabil. "Dokter sudah memeriksa Anda. Katanya mungkin tekanan darah rendah." Venus mengerutkan kening. "Dokter? Tapi ... kenapa aku di sini? Terakhir aku ingat sedang membuat sup jamur untuk suamiku dan dia tidur di kamar atas. Lalu ….” Lelaki itu dan dokter yang berdiri di belakangnya bertukar pandang. ”Nona," kata lelaki itu pelan, "Anda sudah pingsan selama dua hari." Mata Venus membeliak. Ia bertanya dalam hati, ‘jadi, apa yang terjadi pada Eric?’ *** Sore harinya, suara dering telepon memecah kesunyian kamar. Venus terbangun dari lamunannya, tangan gemetar meraih ponsel di atas meja rias. Nomor asing tertampil di layar. Tidak ada nama, hanya angka-angka acak yang membuat jantungnya berdegup kencang. "Dengan Ibu Venus John Eleanor?" Suara perempuan di seberang sana terdengar datar, hampir seperti rekaman. Venus mengerutkan kening. “Ya? Saya sendiri." "Mohon untuk menandatangani tanda terima untuk paket Tukar Suami yang akan segera tiba di depan rumah Anda. Terima kasih.” Klik. Sambungan terputus sebelum sempat Venus bertanya. Ia melangkah ke luar untuk melihat paket yang dimaksud penelepon. Semilir angin sore menerpa kulit Venus di balik kaus tipisnya saat ia membuka pintu rumah. Di depan matanya, sebuah paket berbentuk kubus besar terbungkus kertas kado berwarna merah muda dengan pita biru berdiri di lantai teras. Tidak ada alamat pengirim, tidak ada stempel kurir, hanya sebuah stiker bertuliskan "TUKAR SUAMI - EDISI PREMIUM" dengan font elegan. Jantungnya berdebar liar. ‘Ini pasti lelucon,’ pikirnya sambil menyeret paket itu ke dalam. Namun, ketika ia melihat sisi lain kotak itu, sebuah detail membuat darahnya membeku. Di bagian bawah, tertulis dengan tinta emas. Tanggal Pernikahan: 05-05-2018. Venus mengernyit. Itu tanggal pernikahan mereka. Venus mengayun langkah ke dapur untuk meraih gunting. Gunting dapur memotong lancar selotip dan ikatan pita biru. Venus menarik napas dalam sebelum membuka tutup kotak. Sepotong kertas dengan tulisan tangan muncul di balik tutup kotak itu. "Suami pengganti sudah menunggu. Tinggalkan yang lama, ambil yang baru. Syarat dan Ketentuan berlaku,” gumam Venus membaca kalimat di kertas itu. Venus menjatuhkan diri ke kursi, tangannya menutup mulut. Bau parfum yang sama dengan Eric keluar dari kotak. Aroma sandalwood yang familiar, bau yang sama seperti yang selalu Eric pakai bahkan belakangan ini saat mereka mulai hambar. Telepon berdering lagi. Nomor yang sama. Venus meraih ponselnya untuk menerima panggilan kedua itu. "Apakah Ibu sudah menerima paket dari kami?" suara perempuan di seberang masih terdengar tanpa emosi. "Siapa sebenarnya kalian? Ini lelucon siapa?” tuntut Venus, suaranya setengah berteriak. Ia diam sejenak. Lalu suara perempuan di seberang telepon terdengar. "Kami hanya penyedia jasa, Ibu. Sesuai dengan yang Ibu pesan. Tapi mungkin Ibu perlu tahu, kalau suami Ibu juga sudah pernah mendaftar ke jasa kami. Hanya saja ... yang dia pesan adalah 'Tukar Istri'." Klik. “Apa? Apa maksudnya?” Sambungan telepon terputus sepihak. “Halo … ?” Venus berteriak melalui telepon. Suara benda jatuh membuat Venus berbalik. Di balik tumpukan karton, Eric berdiri pucat tanpa alas kaki, dengan senyum sehangat mentari pagi. Membuat jantung Venus berdebar kencang. “Eric? Kamu … ternyata beneran kamu, ya? Aku … sempet bingung kamu kemana,” katanya. Alunan lagu romantis di kepala Venus terhenti saat matanya menyusuri tubuh Eric. Wajah, leher, bagian dada hingga ke perut, lalu— Venus sontak mengalihkan pandangan sambil menelan ludah. Ia berbalik menatap Eric setelah berhasil memenangkan gejolak dalam dirinya. “Tunggu sebentar! Jangan kemana-mana dulu! Kamu harus pake baju!” Venus buru-buru berlari ke kamar.Sebelum Venus sempat menjawab, ponselnya bergetar. Ia meminta maaf pada Ian untuk melepaskan tangannya dan beranjak meraih ponselnya. Venus membuka pesan masuk dari Felicia. "Aku butuh bantuanmu. Arjuna menghilang.”Venus terbelalak.“Ada apa, Sayang?” tanya Ian.Venus menggigit bibirnya sesaat sebelum menjawab. “Itu … Felicia bilang, Arjuna menghilang.”Ian mendekat ke arahnya. “Kamu nggak perlu takut. Ceritakan semua sama aku, Sayang. Aku suami kamu,” katanya.Venus mengangguk. “Jadi gimana? Aku harus ketemu Felicia.”Ian menggeleng. “Ada kalanya kita perlu menunggu, Sayang. Aku yakin suami sahabatmu itu baik-baik saja. Seperti yang kita tahu, Arjuna adalah orang sibuk. Bisa saja dia ada urusan bisnis mendadak. Atau sesuatu yang—”“Tunggu!” Venus menepuk lengan Ian. “Kamu kenal sama Arjuna?”Ian mengangguk. “Semuanya ada di catatan.”Venus mu
Cahaya sore mulai menyoroti teras belakang rumah Felicia, menciptakan bayangan panjang di wajah Ian yang duduk tenang di samping Venus. Felicia mengamatinya dengan tatapan penuh selidik, bibirnya menyungging senyum nakal yang terlalu familiar bagi Venus.“Pantesan dia diem aja pas ada aku," ujar Felicia tiba-tiba, suaranya bernada menggoda. "Eric 'kan biasanya heboh, dia pasti nanya, 'semalem kamu berapa ronde sama Arjuna?' kayak gitu."Venus mengatupkan bibir. Setiap kata dari mulut Felicia terasa seperti jarum kecil yang menusuk-nusuk kesabarannya. Namun ia hanya mengangguk, berusaha menahan gejolak di dadanya.Felicia mengetuk-ngetuk jarinya ke dagu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. "Tapi ... Aku masih nggak percaya deh. Jangan-jangan Eric cuma pura-pura buat ngetes kamu? Makanya dia ngaku jadi orang lain. Jadi suami pengganti, pake nama ….” Felicia melirik lelaki berwajah persis Eric itu. “Siapa tadi namany
Venus menatap Ian yang sedang asyik menggosok tangannya dengan spons itu. Spons yang sebelumnya berwarna merah tetapi kini kembali putih bersih karena Ian membersihkannya dengan cepat.“Kamu yakin nggak tahu di mana Eric?” tanya Venus lagi, mencoba menyembunyikan getar di suaranya.Ian mengangkat bahu, senyumnya tetap santai. “Aku nggak tahu. Aku di sini untuk menggantikan Eric. Aku Eric, suamimu sekarang." Jawabannya seperti sebuah rekaman yang sudah diprogram terlalu sempurna. Venus mengangguk pelan, menelan ludah yang terasa pahit. "Kalau begitu, kita harus menemui Felicia.""Oh. Felicia yang itu. Sahabatmu." Ian tiba-tiba berkata, jari-jarinya berhenti menggosok. "Aku nggak masalah, Sayang."Dalam hati, Venus membatin, ‘dia memang manusia. Seperti Eric.' Tapi sesuatu terasa salah. Terlalu salah.’“Aku bakalan ganti baju dulu. Kamu tunggu di luar aja, ya.” Venus mendorong Eric ke luar kamar mandi.Venus ke luar kamar usai memakai pakaian lengkap. Ian sudah menunggunya di meja mak
Pagi itu, Venus terbangun oleh sentuhan dingin di pipinya. Matanya perlahan terbuka, menyambut sinar mentari yang menyelinap lewat celah tirai jendela. Di depan tempat tidurnya, Eric, atau pria yang wajahnya sangat mirip dengan Eric—berdiri dengan handuk melilit pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air. Bau sabun mandi pria yang familiar itu memenuhi udara. "Sayang, maaf aku bangunin kamu," ujarnya, suaranya lembut seperti melodi yang sudah lama tak terdengar. Venus mengubah posisinya menjadi bersandar di sisi ranjang. Ia menatap wajah yang mirip Eric di hadapannya. “Aku habis mandi. Kamu mau sarapan apa? Aku bikinin, ya?" suaranya terlalu lembut di telinga Venus. Venus mengerutkan kening. Suara itu, senyum itu, terlalu sempurna baginya. Terlalu … sama seperti Eric di masa lalu. "Aku ... nasi goreng aja," jawabnya perlahan, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Pria itu mengangguk antusias, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah. Sambil
Ian terjatuh seperti boneka yang talinya terputus. Tubuhnya yang biasanya begitu gagah kini tergeletak kaku di trotoar, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu jalan berwarna kuning keemasan. Venus menjatuhkan diri di sampingnya, tangannya gemetar menekan nomor medis darurat. "Tolong, suami saya pingsan!" teriaknya pada operator, suaranya pecah. Di kejauhan, sirene ambulans mulai terdengar.Ambulans berhenti dengan ban berdecit. Pintu terbuka, dan seorang dokter berjas putih melompat keluar. Wajah yang sama yang memeriksa Venus setelah ia pingsan di garasi. “Dokter?” gumam Venus saat mereka bertatapan.Nama di kalung identitasnya tertulis Dr. Argus Watson.“Kita bertemu lagi, Nyonya Eleanor," katanya sambil berlutut di sebelah Ian.Venus mengangguk. Tangan dokter Argus dengan cepat memeriksa denyut nadi lalu pupil mata Ian."Kondisinya stabil. Tapi saya perlu membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” katanya.Dia mengangkat pandangannya, menatap Venus dengan tatapan t
Tali kimono sutra itu terasa dingin di antara jari-jari Venus saat ia mengikatnya perlahan. Eric atau pria yang mengaku sebagai Ian, terus menatapnya dengan senyum yang terlalu sempurna. Matanya berbinar dengan kehangatan yang tidak pernah ia lihat pada suaminya selama enam bulan terakhir. "Kamu ... Kamu jadi aneh. Kemarin lusa kita sempet bertengkar lho pas aku nyiapin makan malam romantis," Venus mencoba protes, suaranya bergetar. Namun, pria itu hanya tertawa lembut sebelum tiba-tiba meraih tangannya. Bibirnya yang hangat menyentuh buku-buku jari Venus dengan kelembutan yang membuat lututnya melemah."Aku Ian, suami pengganti," bisiknya, napasnya hangat di kulit Venus."Aku bakalan jadi Eric, suami kamu. Tapi, dalam versi yang lebih sempurna."Sebelum Venus sempat bereaksi, dunia di sekelilingnya tiba-tiba berputar. Ian dengan mudah mengangkat tubuhnya dalam gendongan. Satu tangan Ian menopang punggungnya, yang lain di bawah lututnya, seperti mempelajari setiap lekuk tubuh Venus