***"Ya ampun, kayanya udah pagi."Adara bergumam dengan suara yang parau ketika perlahan kedua matanya mulai terbuka. Tak tidur di kamar, semalaman penuh dia tidur meringkuk di sofa ruang tamu setelah semalam Danendra mengabari jika dia tak bisa pulang karena harus menjaga Felicya.Ah, sepertinya semua tak akan mudah. Usaha Adara untuk belajar mencintai Danendra nyatanya akan mendapat halang rintang yang tak main-main karena Felicya sepertinya tak akan mundur.Gadis itu terlihat akan tetap memperjuangkan Danendra atau mungkin merebutnya lagi dari Adara dan tentunya sebuah pesan yang diterima Adara dini hari tadi semakin membuat dia yakin jika Felicya tak tinggal diam.Tak hanya pesan teks. Pesan yang dikirim Felicya berupa foto Danendra yang tertidur di kursi sambil memegangi tangan kanan Felicya yang dibalut infus. Mengambil foto selfie, gadis itu mengukir senyum seolah sebuah kode penegasan jika dirinya belum kalah.Felicya masih cukup percaya diri untuk merebut Danendra lagi karen
***"Udah, Dan?"Danendra yang baru saja masuk kembali ke dalam mobil mengukir senyuman manisnya ketika pertanyaan itu dilontarkan Adara."Udah nih," ucap Danendra sambil menunjukkan kresek putih berisi beberapa bungkus roti untuk Felicya. Tak hanya untuk Felicya, Danendra pun membelikan dua bungkus roti sisir kesukaan Adara. "Dan inu buat kamu.""Ih ya ampun, makasih, Dan," ucap Adara antusias. Tanpa basa-basi dia langsung mengambil dua bungkus roti tersebut lalu membuka kemasannya dengan segera. "Aku makan ya.""Iya harus, kamu kan belum sarapan," kata Danendra. "Makin lengkap, sarapannya pake ini."Merogoh sesuatu dari saku jas yang dia pakai, Danendra menyimpan susu kotak coklat rendah lemak di atas dashboard dan tentunya semua itu membuat Adara semakin senang."Danendra ih, kamu udah buat aku speechles pagi-pagi," kata Adara."Suka enggak?""Suka bangetlah! Makasih ya.""Sama-sama," ucap Danendra. Memakai kembali safetybeltnya, dia kembali menyalakan mesin. "Kita ke rumah sakit s
***"Makan yang banyak ya, supaya kuat."Adara tersenyum. "Iya, Dan. Kamu juga ya," ucapnya."Siap, Ra. Kalau gitu aku tutup teleponnya ya.""Iya, Dan.""Ra.""Ya?""I love you."Adara menahan senyum sambil memandangi layar laptopnya lalu menjawab. "I love you too, Dan," ucapnya kemudian.Setelah itu sambungan telepon terputus. Menyimpan kembali ponselnya di atas meja kerja, Adara kembali fokus dengan laptop sambil menunggu jam makan siang tiba.Lima belas menit sebelum jam dua belas, Danendra menghubungi Adara untuk mengabari jika makan siang kali ini dia tak akan datang ke kantor sang istri karena harus menemui klien penting di jam makan siang.Tak protes karena mengerti, Adara memutuskan untuk menghabiskan makan siangnya nanti di kantin perusahaan."Danendra," gumam Adara pelan. "Dia manis banget ternyata."Menyelesaikan pekerjaan yang tinggal separuh, Adara men-shutdown laptopnya lalu beranjak dari kursi tepat setelah jam dinding di ruangannya menunjukkan pukul dua belas.Keluar d
***"Pokoknya saya tidak mau ada satu pun berita itu muncul di halaman beranda, kalau masih ada nanti saya komplen lagi.""Baik, Pak Danendra."Memutuskan sambungan telepon, Danendra menghempaskan tubuhnya di kursi kerja lalu bersandar di sana. Selesai meeting dengan klien, dia bergegas kembali ke kantor untuk segera menelepon beberapa pihak yang bisa dia minta untuk menurunkan berita buruk tentang Adara.Dan kini, Danendra hanya tinggal menunggu hasil sebelum nanti dia mengabari Adara."Felicya ... dia keterlaluan," gumam Danendra.Menunggu selama hampir sepuluh menit, Danendra beringsut ketika ponselnya berbunyi singkat—tanda pesan masuk dan tentunya pesan yang didapat Danendra adalah pesan yang berisi kabar tentang bersihnya halaman instagram dari berita buruk tentang Adara."Ah, hilang juga," gumam Danendra sambil mengukir senyumnya.Membuka jas lalu menyampirkannya di kursi, dia kemudian beringsut lalu melangkahkan kakinya keluar untuk bergegas pergi menuju kantor Adara dan menga
***"Aw!"Adara meringis lalu refleks mengusap pergelangan tangannya ketika cipratan minyak panas dari wajan mengenainya. Mundur beberapa langkah, dia memandangi ayam goreng yang sedang dia buat.Danendra lembur dan pulang malam, Adara pulang sendiri ke apartemen memakai mobilnya yang sudah kembali pulih.Belajar menjadi istri yang baik sekaligus mengisi kekosongan waktu di apartemen sampai nanti Danendra pulang, Adara memutuskan untuk belajar memasak.Bukan makanan yang aneh memang karena yang dia buat sore ini hanyalah sop juga ayam goreng. Berbelanja ke supermarket yang kebetulan tak jauh dari apartemen, dia membeli ayam mentah, sayuran juga bahan makanan lainnya.Danendra memang memaklumi ketidakmampuan Adara memasak, tapi sepertinya semakin lama Adara juga malu jika setiap makan mereka harus membeli. Berbekal resep dari google, pada akhirnya Adara memberanikan diri bereksperimen dan tentunya apa yang dia lakukan sekarang berhasil membuat dapur yang semula bersih dan rapi berubah
***"Jangan egois, Dara.""Jangan mau menang sendiri.""Mama mohon kamu mengerti.""Kamu kan rebut Danendra dari Felicya."Ucapan Teresa beberapa jam lalu terus terngiang-ngiang di pikirannya, Adara yang sedang menuangkan air dari dispenser ke gelas tak sadar jika gelas yang dia pegang sudah penuh—bahkan lantai pun sudah cukup basah."Ra, itu basah!""Astaga!"Tersentak, Adara refleks melepaskan pegangannya pada gelas sampai gelas tersebut jatuh di lantai dan tentu saja pecah dan berserakan."Ya ampun," ucap Adara."Kamu kenapa, Ra?" tanya Danendra yang sigap menarik Adara untuk menjauh dari pecahan gelas yang berserakan di lantai agar tak mengenai kaki sang istri yang kini telanjang tanpa alas. "Kamu ngelamun?""Dan." Masih dengan raut wajah terkejut, Adara memandang Danendra dengan napas yang terengah. "Iya, maaf ya.""Enggak apa-apa, aku juga minta maaf karena udah ngagetin kamu," kata Danendra tak enak.Pulang tepat pukul tujuh, Danendra yang lelah memang meminta tolong pada Adara
***"Kamu boleh ceraikan aku, Dan. Aku siap.""Ra."Danendra menatap lekat Adara yang kini duduk di depannya—mencari kesungguhan bahkan alasan dibalik ucapan tiba-tiba sang istri yang tentu saja mustahil dia lakukan.Menikahi Adara—meskipun hanya menjadi pengganti, adalah sebuah anugerah yang tak pernah dibayangkan oleh Danendra sebelumnya. Jika diibaratkan, ketika Adara tiba-tiba mengajaknya menikah, Danendra seperti mendapatkan jackpot yang tak ternilai harganya.Seburuk apapun Adara, sebanyak apapun kekurangan yang dia miliki, Danendra akan menerima semuanya dengan senang hati.Dan tentu saja—sejak Rafly dipastikan meninggal dunia, tak pernah terbersit sedikit pun di hati putra kedua Adam Alexander itu untuk menceraikan Adara."Aku malu, Dan. Kamu nikah sama aku dan ninggalin Felicya itu kaya buang berlian terus ambil batu, tau enggak?"Danendra tersenyum. "Perumpamaan macam apa itu, Ra?" tanyanya."Semuanya bener, Dan."Danendra menghela napas lalu beranjak dari kursinya. Mengitar
"Raf? Maksud kamu Rafly?"Adara merutuki dirinya sendiri. Dalam hati dia jelas mengumpat memarahi bibirnya yang sial justru menyebut Rafly. Padahal sudah jelas jika yang sedang bersamanya adalah Danendra."Dan ... aku." Adara kehabisan kata-kata, tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semuanya karena kini Danendra pasti kecewa. Dia pasti marah.Tentu saja. Tidak ada pria yang tak akan marah ketika di tengah kegiatan 'intim' yang sedang dilakukannya bersama sang istri, ada nama pria lain yang digumamkan.Danendra tersenyum. "Masih ingat Rafly ya, Ra?" tanyanya. Tak terlihat emosi, Danendra bersikap begitu tenang di depan Adara—sementara tubuhnya kini masih berada di atas Adara, mengungkung istrinya dengan kedua tangan yang ada di sisi kanan dan kiri Adara."Dan, maaf. Aku enggak senga-""Its okay," jawab Danendra dengan segera—bahkan sengaja memotong ucapan Adara. Beringsut, Danendra menyingkir dari atas tubuh Adara lalu duduk di pinggir kasur, dan Adara yang kini hanya memakai kaos ta