Ellen segera melepaskan diri ketika Darren yang mulai lengah. Wanita itu segera berlari ke belakang Dimitri. Meski sejujurnya dia sangat ketakutan. Dimitri, suaminya melihatnya sedang berciuman dengan mantan kekasihnya, yang merupakan keponakannya.
"Aku dan Ellen saling mencintai. Kami melakukan apa yang pasangan lain lakukan," ucap Darren.
"Tapi dia istriku sekarang," kata Dimitri.
Darren menatap wajah Ellen lalu beralih ke Dimitri. Pria itu tertawa lepas. Di saat itulah Dimitri mencium bau alkohol.
"Paman, kau bahkan belum pernah menyentuhnya. Malam pertama kalian gagal, bukan? Kau tidak bisa menyentuhnya. Dia itu milikku," ucap Darren.
Dimitri segera menelepon seseorang untuk segera datang dan membawa Darren pulang. Pria itu tak ingin berdebat dengan siapapun. Terlebih Darren si pewaris sah. Dimitri lebih memilih tetap diam dan tak banyak bicara.
Setelahnya pun Dimitri tetap tak berkomentar apapun. Dia hanya diam saja. Sepertinya memang inilah sifat aslinya. Dia pendiam dan tak banyak bicara. Juga tidak suka mencampuri urusan orang lain. Meskipun ini tentang istrinya sekalipun.
"Maafkan aku," celetuk Ellen sambil memberikan secangkir kopi pada Dimitri.
Awalnya pria itu hanya menatap secangkir kopi tersebut. Sesaat kemudian dia menerima kopi itu dari tangan Ellen. Ditatapnya wanita yang baru saja ia nikahi itu. Lalu menyesap kopinya perlahan dan di letakkan di atas meja. Mereka perlu bicara. Meski sejujurnya Dimitri sedikit menahan amarah.
"Apakah kau ingin membahas pembatalan pernikahan kita?" tanya Dimitri to the point.
Ellen terkejut dengan pertanyaan Dimitri yang tanpa aba-aba itu. Bagaimana mungkin Dimitri bisa semudah itu mengatakan hal macam itu?
"Kau masih berharap bisa menikah dengan Darren bukan?" tanya Dimitri lagi. "Kau bisa menikahinya setelah pembatalan pernikahan kita."
"Tidak. Kau salah paham, Paman. Aku sama sekali tidak ingin kembali padanya," jawab Ellen segera sebelum imajinasi sang suami semakin jauh.
"Kau masih mencintainya bukan?" tanya Dimitri.
"Bohong jika aku memungkirinya. Aku masih sangat mencintainya. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Itu sangat lama sehingga melupakannya tak semudah itu. Di sisi lain pengkhianatan itu sudah sangat cukup membuatku tersadar bahwa cintaku padanya tidak bisa berlanjut lagi," kata Ellen sedih.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dimitri.
Ellen tersenyum. "Sebelum itu, mari berkenalan terlebih dahulu. Namaku Hellena Byorka," ujar Ellen menyodorkan telapak tangannya siap berjabat tangan. "Siapa namamu?"
"Dimitri Pyordova," jawabnya canggung.
"Aku mengharapkan pernikahan ini tetap berjalan," kata Ellen. "Tapi meskipun terlambat, kita perlu membuat surat perjanjian."
"Surat perjanjian. Apakah yang kau maksud adalah surat kontrak pernikahan?" tanya Dimitri.
"Iya. Kita perlu membuat semuanya menjadi jelas," kata Ellen. "Karena kita sebelumnya tidak saling mengenal, apakah kau memiliki wanita yang kau cintai?"
Dimitri menggelengkan kepala bingung. Entah apa yang akan Ellen lakukan. Serta apa yang ada di otak wanita itu. Yang pasti Dimitri tak ingin mencari masalah atau semacamnya. Dia hanya harus mengendalikan emosinya agar tetap seimbang.
"Baiklah. Kita putuskan bahwa masa pernikahan ini berlangsung selama tak ada wanita yang kau cintai," kata Ellen. "Jika ada wanita yang kau sukai, kataan saja padaku."
Ponsel Dimitri berdering. Seseorang meneleponnya. Seketika wajahnya berubah menjadi sangat serius. Entah siapa yang meneleponnya. Ellen hanya bisa memendam rasa penasarannya seorang diri.
"Terserah kau sajalah," kata Dimitri lalu bangkit dari duduknya, pergi membawa secangkir kopi miliknya buatan sang istri. Dimitri masuk ke dalam kamarnya sambil mengangkat telepon dari seseorang.
Sementara Ellen segera membuatnya dengan tulisan tangan. Dia mencari pulpen dan kertas rangkap dua. Lalu segera ia menuliskan beberapa hal di dalamnya. Tentang poin-poin pernikahan kontrak yang akan berakhir ketika Dimitri mencintai wanita lain.
Beberapa saat kemudian, Dimitri keluar dari kamarnya dengan cangkir kopi yang sudah kosong. Tanpa banyak bicara, pria itu berjalan ke dapur dan mencuci cangkir bekas dia minum. Ellen segera memanggilnya.
"Paman, kau baca dulu isinya. Jika ada yang ingin di tambahkan maka kau bisa menambahkannya di bawah," ujar Ellen. "Aku harap ini bisa menjadi kesepakatan kita berdua meskipun tidak terlalu formal. Bahkan aku tak membubuhkan materai."
Dimitri berjalan ke arah Ellen lalu duduk di sofa dekat sang istri. Tanpa membaca, Dimitri langsung menandatangani surat perjanjian tersebut. Hal itu membuat Ellen bingung. Bahkan tanpa membaca dia langsung serta merta menandatanganinya, batin Ellen.
"Tidakkah seharusnya kau membacanya terlebih dahulu, Paman?" tanya Ellen.
"Tidak perlu," jawab Dimitri usai menandatangani dua lembar surat perjanjian.
"Bagaimana jika perjanjian itu justru merugikan dirimu?" tanya Ellen.
"Aku bahkan tak memiliki apa-apa. Bagaimana bisa rugi?" tanya Dimitri.
"Apakah kau tak ingin menambahkan satu atau beberapa poin lagi?" tanya Ellen.
"Asalkan Darren menjadi pengecualian di antara kita," ucap Dimitri. "Kau boleh mencari pria lain asal bukan Darren. Carilah cinta dari pria lain maka aku akan mengabulkan permbatalan pernikahan kita."
"Aku setuju," celetuk Ellen tersenyum lalu segera menuliskan satu poin di bawahnya kemudian ia menandatangani surat itu.
Masing-masing membawa 1 surat untuk di simpan. Dimitri memilih untuk menyimpannya di laci meja nakas di dekatnya. Sementara Ellen akan membawa surat itu ke dalam kamar nanti.
"Paman, apakah besok kita perlu untuk memberi salam pada kakek dan nenek?" tanya Ellen.
Dimitri menyatukan kedua alisnya. Dia bertanya-tanya tentang siapa yang Ellen maksud itu. Sudah menjadi tradisi di keluarganya bahwa setiap pasangan yang batu menikah di wajibkan memberi salam pada tetua di rumah induk. Ellen tahu betul tentang hal itu. Sebelumnya pasti Darren sudah memberitahunya tentang ini.
"Maaf," celetuk Ellen yang menyadari kesalahan penyebutan. Bukan kakek dan nenek tapi ayah dan ibu. "Maksudku ayah dan ibu. Aku belum terbiasa. Maafkan aku."
"Apakah kau bersedia ke tempat itu?" tanya Dimitri. Raut wajahnya seikit beeribbyyy
"Apakah kita tidak di perbolehkan kesana?" Ellen balik bertanya.
"Ayahku menyuruh kita datang besok pagi," ucap Dimitri.
"Baiklah. Besok aku akan bersiap," kata Ellen.
Ellen menatap wajah Dimitri. Seolah ada sesuatu yang memang sengaja tidak dia katakan. Entah apa tapi Ellen enggan untuk bertanya. Wanita itu menikahi pria yang tidak hanya pendiam namun juga tertutup. Tak banyak yang ia katakan dan hanya hal-hal penting saja.
"Kau boleh memakai baju apa saja asalkan nyaman," ujar Dimitri.
Pria itu mulai menunjukkan sisi baiknya dengan sediki perhatian pada apa yang akan Ellen kenakan besok. Tapi tetap saja ada sesuatu yang masih mengganjal dan itu sedikit membuatnya penasaran.
"Setelah ke rumah induk keluarga Pyordova, bisakah kita juga mengunjungi keluargaku?" tanya Ellen ragu.
"Baiklah. Kita akan kesana," kata Dimitri.
"Kau sama sekali tidak keberatan?" tanya Ellen.
"Tidak," jawab Dimitri singkat.
Pria yang telah menjadi suaminya ini terlihat begitu menawan. Ellen tak pernah menyangka dia akan menikahi pria setampan Dimitri. Namun pria itu tetaplah pria buangan di keluarganya. Sama sekali tidak berarti.
***
Ellen tertawa lepas mendengar cerita Erica. Wanita itu kehilangan bayinya. Dimitri bertanggung jawab atas itu. "Bukankah seharusnya kau senang karena sekarang anak yang bukan milik Darren telah lenyap?" tanya Ellen. "Kebusukanmu tidak akan ketahuan.""Wanita yang tidak bisa memiliki anak akan berkata seperti itu," kata Erica dengan nada menghina. "Aku termasuk wanita yang tak peduli apakah bisa memiliki anak atau tidak. Bagiku itu hal kecil dalam pernikahan. Karena aku tidak mengincar posisi Nyonya Pewaris," kata Elken."Dasar kurang ajar!" bentak Erica lalu menampar Ellen. Wanita yang sudah memiliki banyak luka dan justru tertawa lepas menghina Erica."Kau juga sudah tahu siapa Dimitri sebenarnya. Kau pasti sangat terkejut," kata Ellen dengan sisa tenaga yang ada. "Bagaimana bisa kau menikahi lelaki hebat seperti Seravin?" tanyanya pelan. "Ketika kau bahkan adalah Ellen yang sangat biasa saja.""Dimitri mengetahui identitasku sejak awal. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana dan se
Erica mengguyur wajah Ellen dengan air es. Lalu menghujaninya dengan es batu. Wanita malang itu membuka mata dengan sisa tenaga yang ia miliki. Di tatapnya wajah Erica yang tertawa lepas. "Lihatlah dirimu sekarang, Nona Madelaine. Apakah kau masih sanggup bertahan?" tanya Erica terkekeh."Kau hanya ingin melihatku menangis, bukan?" tanya Ellen. "Tapi, maafkan aku. Sepertinya akan sangat sulit. Karena hidupku penuh warna. Sangat membahagiakan.""Dengan pria yang bahkan tak bisa memberikan keturunan. Lalu dengan perasaan dengki berusaha mencelakaiku dan membunuh anakku," kata Erica penuh amarah. "Akibat dari ulahnya aku kehilangan anakku. Juga nyaris tak bisa memiliki anak lagi."Ellen tertawa lepas dengan sisa tenaga yang ada. "Rupanya hidupmu benar-benar hancur berantakan. Sesuai keinginanku. Syukurlah kalau begitu. Aku bisa bernapas lega sekarang," ujar Ellen."Aku sudah muak denganmu. Kini saatnya kau mendapatkan apa yang pantas kau dapatkan," ucap Erica.Wanita itu kemudian kembal
Chatrine sampai di sebuah perbukitan. Malam sudah larut, si penculik Ellen membawanya sampai ke tempat ini. Dengan segera ia keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah sebuah gedung terbengkalai. Sudah ada Dimitri di sana. Pria itu terlihat sangat panik. Rupanya dia datang dengan menggunakan helikopter. Pria itu memiliki lisensi untuk menerbangkan helikopter dan pesawat terbang. "Ibu, Ellen tidak ada di dalam sana. Aku hanya menemukan ini," ujar Dimitri panik sambil memberikan satu anting pada Chatrine. "Anting itu pemberian Ibu untuk istrimu," kata Chatrine. "Sebaiknya kita cari tempat lain. Semua GPS berlari ke arah yang berbeda. Salah satu nya pasti yang membawa Ellen pergi."Dimitri mengangguk panik. Dia segera masuk ke mobil ibunya. Lalu ia mengemudikan mobil itu sesuai arahan sang ibu. Dia juga mengerahkan beberapa anak buahnya untuk berpencar mencari wanita itu."Orang ini sangat berhati-hati. Bisa saja ini adalah jebakan," tebak Chatrine."Entah jebakan atau bikan, aku tidak
Ellen berjalan dari parkiran menuju pintu lift ketika seorang pria berpenampilan serba hitam dengan terburu-buru masuk ke dalam lift mendahuluinya. Dia membekap Ellen ketika wanita itu hendak menekan tombol lift. Wanita itu tak sadarkan diri dan di bawa keluar oleh pria tersebut. Sementara itu di apartemen, Chatrine sedang melakukan vidio call dengan putranya. Dia menanyakan keberadaan Ellen. "Dia pulang agak terlambat karena di perusahaan, seniornya membutuhkan dia untuk melakukan pekerjaan lain. Tapi seharusnya dia sudah sampai," kata Chatrine."Perasaanku agak tidak enak," kata Dimitri."Kau tenang saja. Istrimu tidak akan kabur kemana-mana," kata Chatrine terkekeh."Kenapa dia harus kabur?" tanya Dimitri tak terima.Chatrine tertawa melihat ekspresi putranya yang merasa tidak senang dengan ucapannya. "Apakah Ibu benar-benar memasang GPS pada cincin istriku?" tanya Dimitri ragu."Kau pasti tidak percaya," kata Chatrine. "Ibu tidak pernah sampai se peduli itu pada orang lain," k
Ellen terbangun tanpa Dimitri di sampingnya. Entah sejak kapn pria itu pergi. Dia hanya mengirimkan pesan bahwa saat ini Dimitri sedang dalam perjalanan menuju Hongkong. Wanita itu berjalan keluar sebelum membasuh mukanya yang masih berantakan. Dia terkejut mendapati ibu mertuanya sudah berada di ruang makan dengan kesibukan menata makanan di atas meja. "Ellen, kau cuci muka dulu lalu sarapan. Ibu tunggu," kata wanita itu tanpa menoleh sedikit pun. "Maafkan aku, Ibu." Ellen berlari masuk ke kamar.Sesaat kemudian dia keluar dari kamar dan berjalan ke arah ibu mertuanya. Dia duduk di depan ibu mertuanya. Wanita itu tersenyum lembut pada Ellen yang merasa canggung dan bersalah. Seharusnya yang mempersiapkan sarapan adalah dirinya. Dan bukannya ibu mertua. "Kau tidak perlu berpikiran macam-macam. Sudah ku katakan bahwa aku ini sangat berpikiran terbuka," ujar Chatrine tersenyum. Ellen tersenyum bahagia. "Terima kasih, Ibu."Chatrine memberi isyarat untuknya segera makan. Ellen pun m
"Madelaine," panggil Dimitri tersenyum lembut. Ellen terkejut mengetahui bahwa Dimitri tahu tentang Madelaine. "Aku tahu kau adalah Madelaine. Nenek itu memberikan namanya untukmu agar kau bisa melanjutkan cita-citamu sebagai desainer terkenal tanpa seorang pun tahu jati dirimu yang sesungguhnya," ujar Dimitri. "Darimana kau tahu semua itu?" tanya Ellen bingung."Aku adalah Seravin. Apapun bisa aku cari tahu. Semua hal tentangmu," jawab Dimitri. "Sejak kapan?" tanya Ellen mulai waspada. "Sejak awal pertemuan kita 10 tahun yang lalu. Aku terus mengikutimu," jawab Dimitri. "Aku selalu ada untukmu. Karena kau adalah Ellen. Bukan karena kau adalah Madelaine.""Bahkan ketika aku datang ke kediaman Pyordova kah?" tanya Ellen.Dimitri mengangangguk. "Maafkan aku," ujar Dimitri. "Kau sangat menakutkan," celetuk Ellen dengan tatapan waspada."Ellen, aku mencintaimu hingga aku merasa gila. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan leluasa. Aku hanya bisa menggunakan identitas Seravin untuk