Sedan hitam itu memasuki gerbang mewah. Kediaman Pyordova yang sangat mewah. Sambutan yang biasa Dimitri terima membuatnya tak canggung sedikitpun. Berbeda dengan Ellen yang merasa sedikit canggung. Dia datamg sebagai menantu dan bukan cucu menantu.
Pria itu mengenakan setelan jas hitam. Sementaa istrinya mengenakan gaun dengan tema victorian. Keduanya nampak sangat serasi. Para pelayan bahkan takjub dibuatnya.
Seorang pelayan wanita menyambut keduanya. "Selamat datang Tuan dan Nyonya," celetuknya sambil membungkuk.
"Apakah ayahku ada di rumah?" tanya Dimitri.
"Tuan besar sudah menunggu kedatangan Tuan," ujar wanita itu.
Ellen terlihat cemas. Dimitri yang menyadarinya pun meraih telapak tangan istrinya lalu ia genggam erat. "Kau tenang saja. Ada aku disini," bisiknya lembut.
Ellen mencoba mengatur nafas. Dia teramat canggung. Terlebih rumah ini sudah sering ia datangi. Dulu. Sebagai calon cucu menantu. Dan sekarang dia datang sebagai menantu.
"Tuan besar menunggu kalian di taman belakang," kata wanita itu ramah.
Wanita itu kemudian mengantarkan mereka ke taman belakang untuk bertemu David. Rupanya pria itu sudah menunggu kedatangan mereka. Keduanya duduk di hadapan David.
"Ayah sudah menunggumu. Ku kira kau tidak akan datang kemari," ujar David.
"Tetap saja aku harus tetap datang kemari, bukan? Entah hari ini atau kapan pun itu. Aku harus tetap datang menemui Ayah," kata Dimitri.
"Baguslah. Kau sudah tumbuh dewasa rupanya," ujar David. Pandangannya beralih ke Ellen. David tersenyum ramah pada wanita itu. "Jika anak Ayah menyakitimu, katakan pada Ayah makan Ayah akan memukulinya."
"Paman adalah pria yang sangat baik," kata Ellen.
David menatap Dimitri dengan tatapan bingung. Sementara Dimitri sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa. Sesaat, Ellen menyadari kesalahannya.
"Maaf," celetuk Ellen kebingungan mencari kata-kata. "Aku akan mulai membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan nama saja."
David terkejut. Dia menatap Dimitri lagi. Kali ini pria itu harus menjelaskan sesuatu. "Ayah, ini hal baru baginya. Dia terlalu canggung."
"Ah iya. Maafkan Ayah yang lama menyadarinya. Ayah terlalu bahagia akhirnya Dimitri bisa menikah," ujar David tertawa kecil.
"Seharusnya aku yang meminta maaf, Ayah. Sudah sepantasnya aku memanggilnya dengan sebuatan suamiku atau semacamnya," ujar Ellen.
"Sudahlah, Ayah. Untuk apa mempermasalahkan hal sepele ini?" tanya Dimitri.
"Ayah ingin segera menimang cucu dari anak nakal ini," kata David ketika Dimitri memberikan secangkir teh pada istrinya yang perlahan ia minum.
Ellen tersedak. Dengan lembut Dimitri menepuk lembut punggung Ellen. Dia sangat terkejut dengan pernyataan David. Bahkan dirinya tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Dimitri pada Ellen.
Wanita itu mengangguk peahan lalu tersenyum. Ia kemudian menatap wajah David dan tersenyum. "Aku baik-baik saja," bisik Ellen.
"Apakah sebaiknya kita pulang saja?" tanya Dimitri cemas.
"Kenapa buru-buru pulang?" tanya David. "Kita sarapan dulu. Sambil kita bahas masalah keturunan nanti. Hanya kau yang belum memiliki keturunan."
"Pernikahan kami baru saja berlangsung, Ayah. Kami masih harus saling mengenal satu sama lain lebih dalam," ujar Ellen.
"Apakah pernikahan kalian akan segera berakhir?" tanya David ragu.
Pertanyaan itu terdengar oleh Darren yang baru saja datang berkunjung bersama Erica. Pria itu bersama wanitanya berjalan ke arah Ellen.
"Kalian juga datang," celetuk David tidak senang.
"Tentu saja, Kakek. Aku harus memastikan sesuatu terlebih dahulu," ujar Darren tersenyum.
"Memastikan apa?" tanya David.
"Aku ingin melihat ekspresi pamanku setelah berhasil merebut calon istriku," jawab Darren.
"Tutup mulutmu, Darren!" bentak David kesal.
"Aku ini berbicara kenyataannya, Kakek. Lagipula sepertinya hubungan mereka tidak kuat," kata Darren.
"Jaga cara bicaramu, Darren!" bentak David. "Apakah aku perlu menamparmu sekali lagi?"
"Tidak perlu, Kakek. Aku tidak bermaksud membuat onar. Aku hanya ingin dia tahu posisinya di rumah ini," ujar Darren penuh penekanan dengan tatapan tidak senang terarah pada Dimitri.
Erica terlihat kesal. Pria yang mengajaknya kemari hanya ingin melihat Ellen dan mempermalukan Dimitri saja. Tapi dia harus tetap tenang. Semua ini perlu berproses. Dia hanya harus mebunggu saja.
"Pria yang tidak mampun melindungi istri sah tidak memiliki hak untuk memiliki keturunan," kata Darren dengan pandangan terarah pada Dimitri.
"Apalagi dia tidak bekerja. Bagaimana mungkin dia menumpang pada keluarganya? Mau sampai kapan?" tanya Erica menghina.
"Darren, biar bagaimanapun dia itu pamanmu. Kau tidak sepantasnya berbicara seperti itu terhadapnya," ujar Ellen kesal.
"Memang apa yang salah? Aku hanya mengatakan hal yang sudah sepantasnya ku katakan," kata Darren terkekeh.
Ellen tak bisa berbicara apa-apa. Dia merasa terpojok dan tak tahu harus berbuat apa untuk bisa mebela suaminya. Sementara Dimitri yang tak banyak menuntut hanya diam saja.
"Ayah, aku akan segera hamil anak Dimitri. Waktu untuk saling menengal akan kami pergunakan sebaik-baiknya," kata Ellen tersenyum penuh keyakinan.
***
Chatrine sampai di sebuah perbukitan. Malam sudah larut, si penculik Ellen membawanya sampai ke tempat ini. Dengan segera ia keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah sebuah gedung terbengkalai. Sudah ada Dimitri di sana. Pria itu terlihat sangat panik. Rupanya dia datang dengan menggunakan helikopter. Pria itu memiliki lisensi untuk menerbangkan helikopter dan pesawat terbang. "Ibu, Ellen tidak ada di dalam sana. Aku hanya menemukan ini," ujar Dimitri panik sambil memberikan satu anting pada Chatrine. "Anting itu pemberian Ibu untuk istrimu," kata Chatrine. "Sebaiknya kita cari tempat lain. Semua GPS berlari ke arah yang berbeda. Salah satu nya pasti yang membawa Ellen pergi."Dimitri mengangguk panik. Dia segera masuk ke mobil ibunya. Lalu ia mengemudikan mobil itu sesuai arahan sang ibu. Dia juga mengerahkan beberapa anak buahnya untuk berpencar mencari wanita itu."Orang ini sangat berhati-hati. Bisa saja ini adalah jebakan," tebak Chatrine."Entah jebakan atau bikan, aku tidak
Ellen berjalan dari parkiran menuju pintu lift ketika seorang pria berpenampilan serba hitam dengan terburu-buru masuk ke dalam lift mendahuluinya. Dia membekap Ellen ketika wanita itu hendak menekan tombol lift. Wanita itu tak sadarkan diri dan di bawa keluar oleh pria tersebut. Sementara itu di apartemen, Chatrine sedang melakukan vidio call dengan putranya. Dia menanyakan keberadaan Ellen. "Dia pulang agak terlambat karena di perusahaan, seniornya membutuhkan dia untuk melakukan pekerjaan lain. Tapi seharusnya dia sudah sampai," kata Chatrine."Perasaanku agak tidak enak," kata Dimitri."Kau tenang saja. Istrimu tidak akan kabur kemana-mana," kata Chatrine terkekeh."Kenapa dia harus kabur?" tanya Dimitri tak terima.Chatrine tertawa melihat ekspresi putranya yang merasa tidak senang dengan ucapannya. "Apakah Ibu benar-benar memasang GPS pada cincin istriku?" tanya Dimitri ragu."Kau pasti tidak percaya," kata Chatrine. "Ibu tidak pernah sampai se peduli itu pada orang lain," k
Ellen terbangun tanpa Dimitri di sampingnya. Entah sejak kapn pria itu pergi. Dia hanya mengirimkan pesan bahwa saat ini Dimitri sedang dalam perjalanan menuju Hongkong. Wanita itu berjalan keluar sebelum membasuh mukanya yang masih berantakan. Dia terkejut mendapati ibu mertuanya sudah berada di ruang makan dengan kesibukan menata makanan di atas meja. "Ellen, kau cuci muka dulu lalu sarapan. Ibu tunggu," kata wanita itu tanpa menoleh sedikit pun. "Maafkan aku, Ibu." Ellen berlari masuk ke kamar.Sesaat kemudian dia keluar dari kamar dan berjalan ke arah ibu mertuanya. Dia duduk di depan ibu mertuanya. Wanita itu tersenyum lembut pada Ellen yang merasa canggung dan bersalah. Seharusnya yang mempersiapkan sarapan adalah dirinya. Dan bukannya ibu mertua. "Kau tidak perlu berpikiran macam-macam. Sudah ku katakan bahwa aku ini sangat berpikiran terbuka," ujar Chatrine tersenyum. Ellen tersenyum bahagia. "Terima kasih, Ibu."Chatrine memberi isyarat untuknya segera makan. Ellen pun m
"Madelaine," panggil Dimitri tersenyum lembut. Ellen terkejut mengetahui bahwa Dimitri tahu tentang Madelaine. "Aku tahu kau adalah Madelaine. Nenek itu memberikan namanya untukmu agar kau bisa melanjutkan cita-citamu sebagai desainer terkenal tanpa seorang pun tahu jati dirimu yang sesungguhnya," ujar Dimitri. "Darimana kau tahu semua itu?" tanya Ellen bingung."Aku adalah Seravin. Apapun bisa aku cari tahu. Semua hal tentangmu," jawab Dimitri. "Sejak kapan?" tanya Ellen mulai waspada. "Sejak awal pertemuan kita 10 tahun yang lalu. Aku terus mengikutimu," jawab Dimitri. "Aku selalu ada untukmu. Karena kau adalah Ellen. Bukan karena kau adalah Madelaine.""Bahkan ketika aku datang ke kediaman Pyordova kah?" tanya Ellen.Dimitri mengangangguk. "Maafkan aku," ujar Dimitri. "Kau sangat menakutkan," celetuk Ellen dengan tatapan waspada."Ellen, aku mencintaimu hingga aku merasa gila. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan leluasa. Aku hanya bisa menggunakan identitas Seravin untuk
10 tahun yang lalu."Paman, jangan terlalu memaksakan diri. Kau bisa terluka lagi nanti," ujar Ellen cemas ketika mendapati Seravin berjalan lunglai ke arah taman. Ellen kecil dengan sekuat tenaga memapahnya untuk berjalan dan duduk di kursi taman. Pria itu menatapnya waspada."Kau tida perlu cemas. Aku hanyalah gadis SMP yang kebetulan lewat dan tak sengaja bertemu denganmu. Kau terluka dan aku tak bisa hanya berlalu begitu saja. Keluarga ini sangat baik terhadapku. Hanya ada seorang nenek baik hati dan aku saja," jelas Ellen."Lalu kenapa kau selalu pulang? Apakah kau tida tinggal di tempat ini?" tanya pria itu, Seravin."Aku memang tidak tinggal di rumah ini. Aku tinggal di flat yang tak jauh dari tempat ini. Kami tidak memiliki hubungan darah. Tapi dia selalu baik dan memperlakukanku seperti cucunya sendiri," kata Ellen."Siapa dia?" tanyanya."Madelaine Laurent," jawab Ellen tersenyum. "Dia seorang desainer terkenal saat ini. Tapi sayangnya dia sebatang kara. Kebetulan aku juga
"Ellen, aku sangat mencintaimu."Pernyataan itu berasal dari seorang Dimitri yang perlahan mendekati Ellen dan menghimpitnya. Prlahan pria itu menidurkan wanitanya di atas sofa. Lalu perlahan ia menciumnya. Kian lama kian dalam dan penuh hasrat. Salah satu tangannya bahkan telah sampai di paha istrinya yang justru mulai menerimanya.Pria itu mencumbunya tanpa henti usai menyatakan cintanya kepada sang istri. Perasaan cintanya begitu nyata untuk Ellen. Sikap lembutnya membuat Ellen tak kuasa menahannya. Wanita itu nyaris menyerahkan hal yang paling berharga pada pria itu. Pria yang semula sangat asing entah sejak kapan diamenjadi pria yang begitu dekat dengannya. "Bisakah aku tidur denganmu?" tanyanya di tengah hasrat yang kian memanas. Ellen tertegun sesaat. Pria ini menuntut lebih. Dia tidak bisa menolaknya. Namun untuk bersama dalam waktu yang cukup lama, Ellen meragukan itu. Mengingat Dimitri masih pria asing baginya beberapa bulan yang lalu. Sulit untuknya dekat dengan orang. Na