Selama satu hari penuh, pesta pernikahan itu berlangsung. Hanya satu hari penuh karena yang menikah adalah pria yang bahkan seperti bukan anggota keluarga Pyordova. Dimitri bahkan tinggal di sebuah apartemen studio dan bukan di sebuah rumah mewah seperti para kakak-kakaknya. Juga tidak di rumah induk yang di tempati David.
"Ini apartemenku," ujar Dimitri sembari mempersiapkan Ellen untuk masuk. "Kita akan tinggal di tempat ini."
Dengan masih mengenakan gaun pernikahan, wanita muda itu berjalan masuk perlahan ke apartemen itu. Dimitri berjalan di belakangnya sembari memberitahukan istrinya beberapa ruangan yang ada di dalamnya beserta fungsinya. Kedepannya tempat ini akan menjadi tempat tinggal mereka berdua.
"Aku akan tidur di kamar itu," kata Dimitri menunjuk sebuah pintu berwarna putih. Ellen menoleh ke arah pintu itu. Lalu pandangannya beralih ke pintu di sebelahnya. "Lalu itu kamarmu. Kau boleh mengubahnya sesuai seleramu. Aku mengatur kamar itu biasa saja. Aku tidak tahu kesukaanmu. "
"Kita..." Ellen lagi-lagi kehilangan kata-kata. Semua yang ada di otaknya tiba-tiba menghilang setiap kali kegugupan menyergapnya.
"Apakah kau berharap kita akan tidur satu ranjang?" tanya Dimitri.
"Tidak. Maaf. Maksudku, terima kasih." Ellen terbata.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Ada urusan mendesak," ucap Dimitri lalu mengambil secarik kertas dan pulpen yang kebetulan ada di atas meja nakas. Pria itu menuliskan 6 digit angka di atas kertas lalu memberikannya pada istrinya. "Ini pin pintu apartemen ini."
Tanpa menunggu jawaban Ellen, Dimitri berbalik dan bergegas pergi meninggalkan wanita itu. Entah apa yang pria itu kerjakan di larut malam ini. Tapi anehnya, Dimitri kembali sebelum mencapai pintu depan.
"Kau boleh makan apa saja di lemari es. Aku tidak membeli banyak bahan makanan. Tapi setidaknya itu bisa membungkam suara perutmu," kata Dimitri lalu berbalik dan bergegas pergi.
Ellen tersentak kaget. Dia tahu bahwa sejak tadi Ellen kelaparan. Apakah dia juga tahu kalau sejak tadi Ellen tidak makan apapun selain satu buah kue manis berujuran kecil?
"Benar-benar memalukan! Bukankah seharusnya kau diam saja? Kenapa malah mengoceh ketika dia di dekatmu? Dasar perut bodoh!" maki Ellen pada perutnya yang rata.
Wanita itu kemudian berjalan ke dapur. Di pojok itu pasti lemari es. Terlihat besar tapi simpel dengan warna senada dengan ambalan di dapur itu. Juga tidak banyak hiasan dengan desai minimalis modern secara keseluruhan.
Ellen membuka lemari es. Kedua matanya di buat takjub oleh isi dari lemari es itu. Sangat rapi dan tertata. Isinya penuh dan Dimitri masih bisa mengatakan tidak banyak bahan makanan.
"Bagaimana bisa sebanyak ini dia bilang tidak banyak bahan makanan?" gumam Ellen lalu mengambil beberapa bahan makanan untuk dia olah.
Sesaat kemudian Ellen berhenti. Ini malam pernikahan yang seharusnya ia jalani bersama Darren dengan perasaan bahagia. Tapi apa yang terjadi? Wanita itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Pria itu berkhianat dengan kakaknya sendiri.
Ellen meratap dan semua masih tetap sama. Dia menjadi istri orang lain yang tidak dia kenal. Bahkan pria yang menjadi suaminya itu terkenal kejam dan tanpa ampun. Dia juga pria yang tak memiliki apapun selain apartemen atas nama ayahnya dan satu buah mobil yang juga atas nama ayahnya.
Hingga pagi lalu siang dan malam kembali datang. Suara pin pintu terbuka. Dengan panik Ellen berjalan ke arah pintu bersiap menyambut kedatangan sang suami. Namun bukan Dimitri melainkan Darren dengan bau alkohol yang sangat menyengat memaksa masuk ke dalam apartemen itu. Rupanya Darren tahu pin pintu apartemen Dimitri.
"Ellen, kau menungguku bukan? Maaf aku terlambat pulang. Suami macam apa aku ini," ocehnya.
Ellen segera membantunya untuk duduk di sofa. Lalu wanita itu berbalik dan bersiap untuk mengambilkan segelas air hangat. Namun dengan cepat Darren menarik tangannya hingga tubuhnya terjatuh. Ellen terduduk di pangkuan Darren dengan kedua tangan Darren memeluknya begitu erat
"Darren, lepaskan!" bentak Ellen kesal. Dia berusaha melepaskan diri namun tak bisa karena tenaga pria itu begitu kuat.
"Kita belum pernah melakukannya. Bagaimana jika kita melakukannya di tempat ini?" tanya Darren tertawa kecil.
"Darren, aku rasa kau sudah gila. Ini apartemen pamanmu dan aku adalah istrinya sekarang," ucap Ellen terus berusaha melepaskan diri.
"Benarkah? Bukankah ini kamar hotel tempat kita berbulan madu?" tanya Darren linglung.
"Kau minum seberapa banyak? Kenapa sampai seperti ini?" tanya Ellen.
"Entahlah. Aku lupa," kata Darren.
"Sebaiknya kau lepaskan aku sekarang juga!" bentak Ellen.
"Aku hanya ingin melakukannya di tempat ini," ujar Darren lalu menidurkan Ellen di sofa dan mulai beraksi.
"Darren, sadarlah!" bentak Ellen berusaha melepaskan diri dari pria itu.
"Selama berpacaran, kita belum pernah melakukannya. Setidaknya sekali saja," ucap Darren.
"Kau sudah gila!" bentak Ellen berusaha melepaskan diri dari pria itu.
"Sekali saja, Ellen. Lakukan bersamaku. Kau masih sangat mencintaiku. Aku tahu itu," ujar Darren.
Ellen berhenti memberontak. Dia menatap lekat wajah Darren yang menatapnya penuh harap. Pria itu masih mencintainya. Dia tidak ingin Ellen bersama Dimitri.
"Kau belum pernah melakukannya dengan pamanku, Ellen. Aku tahu ketika aku berusaha menyentuhmu. Kau masih milikku," kata Darren bersiap mencium bibir Ellen.
Sementara wanita itu berusaha menolaknya. Tapi tak berhasil karena tenaga Darren begitu kuat menghimpit tubuh Ellen yang saat ini tengah menangis karena ulah Darren.
"Kau sudah gila, Darren!" maki Ellen tak kuasa menahan air matanya.
"Kita bisa melakukannya lebih dari ini, Sayang. Lalu katakan pada kakekku bahwa kau akan mengajukan pembatalan pernikahan," kata Darren tertawa.
"Kau sudah gila! Aku tidak akan melakukan hal itu. Tidak akan pernah," ujar Ellen.
"Pamanku itu pria payah yang bahkan tak memiliki apa-apa. Semua milik kakekku," kata Darren.
Ellen tak pernah peduli akan uang dan status seseorang. Yang ia takutkan bahkan hal lain yang lebih mengerikan. Tentang bagaimana jika Dimitri mengetahui tentang ini dan marah besar. Apakah dia akan selamat?
Pria itu menyeringai ketika melihat raut wajah Elleh yang seolaah tengah berpikir. "Kau pasti takut pamanku mengetahui ini bukan?" tanya Darren.
"Pergilah sekarang juga, Darren!" bentak Ellen penuh amarah.
Darren tertawa lepas. Sesaat kemudian ditatapnya wajah Ellen. Lalu dengan kasar ia mulai menikmati bibir Ellen, menciumnya paksa. Dia bahkan tak peduli Ellen memberontak. Hingga sak tangis tak terbendung lagi. Rasa takut mulai menyergapnya. Di tempat ini. Sendirian. Darren akan sangat gila memperlakukan Ellen. Serta tak peduli lagi dengan batas norma yang ada.
"Apa yang kalian lakukan?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Dimitri yang baru saja datang. Entah sejak kapan pria itu berdiri di tempatnya saat ini. Baik Ellen maupun Darren sangat terkejut. Pria itu tiba-tiba muncul di saat yang sangat tidak tepat bagi Darren.
***
Ellen tertawa lepas mendengar cerita Erica. Wanita itu kehilangan bayinya. Dimitri bertanggung jawab atas itu. "Bukankah seharusnya kau senang karena sekarang anak yang bukan milik Darren telah lenyap?" tanya Ellen. "Kebusukanmu tidak akan ketahuan.""Wanita yang tidak bisa memiliki anak akan berkata seperti itu," kata Erica dengan nada menghina. "Aku termasuk wanita yang tak peduli apakah bisa memiliki anak atau tidak. Bagiku itu hal kecil dalam pernikahan. Karena aku tidak mengincar posisi Nyonya Pewaris," kata Elken."Dasar kurang ajar!" bentak Erica lalu menampar Ellen. Wanita yang sudah memiliki banyak luka dan justru tertawa lepas menghina Erica."Kau juga sudah tahu siapa Dimitri sebenarnya. Kau pasti sangat terkejut," kata Ellen dengan sisa tenaga yang ada. "Bagaimana bisa kau menikahi lelaki hebat seperti Seravin?" tanyanya pelan. "Ketika kau bahkan adalah Ellen yang sangat biasa saja.""Dimitri mengetahui identitasku sejak awal. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana dan se
Erica mengguyur wajah Ellen dengan air es. Lalu menghujaninya dengan es batu. Wanita malang itu membuka mata dengan sisa tenaga yang ia miliki. Di tatapnya wajah Erica yang tertawa lepas. "Lihatlah dirimu sekarang, Nona Madelaine. Apakah kau masih sanggup bertahan?" tanya Erica terkekeh."Kau hanya ingin melihatku menangis, bukan?" tanya Ellen. "Tapi, maafkan aku. Sepertinya akan sangat sulit. Karena hidupku penuh warna. Sangat membahagiakan.""Dengan pria yang bahkan tak bisa memberikan keturunan. Lalu dengan perasaan dengki berusaha mencelakaiku dan membunuh anakku," kata Erica penuh amarah. "Akibat dari ulahnya aku kehilangan anakku. Juga nyaris tak bisa memiliki anak lagi."Ellen tertawa lepas dengan sisa tenaga yang ada. "Rupanya hidupmu benar-benar hancur berantakan. Sesuai keinginanku. Syukurlah kalau begitu. Aku bisa bernapas lega sekarang," ujar Ellen."Aku sudah muak denganmu. Kini saatnya kau mendapatkan apa yang pantas kau dapatkan," ucap Erica.Wanita itu kemudian kembal
Chatrine sampai di sebuah perbukitan. Malam sudah larut, si penculik Ellen membawanya sampai ke tempat ini. Dengan segera ia keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah sebuah gedung terbengkalai. Sudah ada Dimitri di sana. Pria itu terlihat sangat panik. Rupanya dia datang dengan menggunakan helikopter. Pria itu memiliki lisensi untuk menerbangkan helikopter dan pesawat terbang. "Ibu, Ellen tidak ada di dalam sana. Aku hanya menemukan ini," ujar Dimitri panik sambil memberikan satu anting pada Chatrine. "Anting itu pemberian Ibu untuk istrimu," kata Chatrine. "Sebaiknya kita cari tempat lain. Semua GPS berlari ke arah yang berbeda. Salah satu nya pasti yang membawa Ellen pergi."Dimitri mengangguk panik. Dia segera masuk ke mobil ibunya. Lalu ia mengemudikan mobil itu sesuai arahan sang ibu. Dia juga mengerahkan beberapa anak buahnya untuk berpencar mencari wanita itu."Orang ini sangat berhati-hati. Bisa saja ini adalah jebakan," tebak Chatrine."Entah jebakan atau bikan, aku tidak
Ellen berjalan dari parkiran menuju pintu lift ketika seorang pria berpenampilan serba hitam dengan terburu-buru masuk ke dalam lift mendahuluinya. Dia membekap Ellen ketika wanita itu hendak menekan tombol lift. Wanita itu tak sadarkan diri dan di bawa keluar oleh pria tersebut. Sementara itu di apartemen, Chatrine sedang melakukan vidio call dengan putranya. Dia menanyakan keberadaan Ellen. "Dia pulang agak terlambat karena di perusahaan, seniornya membutuhkan dia untuk melakukan pekerjaan lain. Tapi seharusnya dia sudah sampai," kata Chatrine."Perasaanku agak tidak enak," kata Dimitri."Kau tenang saja. Istrimu tidak akan kabur kemana-mana," kata Chatrine terkekeh."Kenapa dia harus kabur?" tanya Dimitri tak terima.Chatrine tertawa melihat ekspresi putranya yang merasa tidak senang dengan ucapannya. "Apakah Ibu benar-benar memasang GPS pada cincin istriku?" tanya Dimitri ragu."Kau pasti tidak percaya," kata Chatrine. "Ibu tidak pernah sampai se peduli itu pada orang lain," k
Ellen terbangun tanpa Dimitri di sampingnya. Entah sejak kapn pria itu pergi. Dia hanya mengirimkan pesan bahwa saat ini Dimitri sedang dalam perjalanan menuju Hongkong. Wanita itu berjalan keluar sebelum membasuh mukanya yang masih berantakan. Dia terkejut mendapati ibu mertuanya sudah berada di ruang makan dengan kesibukan menata makanan di atas meja. "Ellen, kau cuci muka dulu lalu sarapan. Ibu tunggu," kata wanita itu tanpa menoleh sedikit pun. "Maafkan aku, Ibu." Ellen berlari masuk ke kamar.Sesaat kemudian dia keluar dari kamar dan berjalan ke arah ibu mertuanya. Dia duduk di depan ibu mertuanya. Wanita itu tersenyum lembut pada Ellen yang merasa canggung dan bersalah. Seharusnya yang mempersiapkan sarapan adalah dirinya. Dan bukannya ibu mertua. "Kau tidak perlu berpikiran macam-macam. Sudah ku katakan bahwa aku ini sangat berpikiran terbuka," ujar Chatrine tersenyum. Ellen tersenyum bahagia. "Terima kasih, Ibu."Chatrine memberi isyarat untuknya segera makan. Ellen pun m
"Madelaine," panggil Dimitri tersenyum lembut. Ellen terkejut mengetahui bahwa Dimitri tahu tentang Madelaine. "Aku tahu kau adalah Madelaine. Nenek itu memberikan namanya untukmu agar kau bisa melanjutkan cita-citamu sebagai desainer terkenal tanpa seorang pun tahu jati dirimu yang sesungguhnya," ujar Dimitri. "Darimana kau tahu semua itu?" tanya Ellen bingung."Aku adalah Seravin. Apapun bisa aku cari tahu. Semua hal tentangmu," jawab Dimitri. "Sejak kapan?" tanya Ellen mulai waspada. "Sejak awal pertemuan kita 10 tahun yang lalu. Aku terus mengikutimu," jawab Dimitri. "Aku selalu ada untukmu. Karena kau adalah Ellen. Bukan karena kau adalah Madelaine.""Bahkan ketika aku datang ke kediaman Pyordova kah?" tanya Ellen.Dimitri mengangangguk. "Maafkan aku," ujar Dimitri. "Kau sangat menakutkan," celetuk Ellen dengan tatapan waspada."Ellen, aku mencintaimu hingga aku merasa gila. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan leluasa. Aku hanya bisa menggunakan identitas Seravin untuk