Ellen dan Dimitri berdiam diri cukup lama di dalam mobil yang terparkir di tepi jalan tak jauh dari kediaman Pyordova. Ellen terdiam dengan menahan rasa malu akibat ucapannya sendiri. Dia sudah sesumbar dengan mengatakan akan segera hamil. Padahal hubungan mereka bukan sebagai suami istri pada umumnya.
"Maafkan aku," celetuk Ellen lirih dengan penuh penyesalan.
"Lupakan saja. Lagipula itu tidaklah penting," ujar Dimitri.
"Aku sangat marah tadi. Ingin rasanya aku membungkam mulutnya," kata Ellen penuh kekesalan.
"Aku tidak akan memaksamu," kata Dimitri.
"Seharusnya kau tidak menikahiku," kata Ellen. "Aku hanya menambah bebanmu saja."
"Kenapa keu berpikiran seperti itu?" tanya Dimitri.
"Aku hanya menepati janji masalalu keluarga. Tapi tidak ku sangka semua akan seperti ini. Kau menjadi korbannya," kata Ellen tertunduk lesu.
"Yang kita lakukan sudah benar. Jangan di sesali lagi," kata Dimitri. "Untuk apa yang ayahku inginkan, kau tidak perlu berpikiran sampai sejauh itu. Dia hanya mengatakan apa yang biasa orang tua katakan pada anaknya yang baru saja menikah."
"Kau sangat bijaksana," ucap Ellen tersenyum. "Terima kasih."
"Bagaimana jika kita ke rumah orang tuamu?" tanya Dimitri.
Ellen mengangguk senang. Mobil pun mulai melaju. Mereka datang ke keluarga Ellen untuk sekedar memberi salam. Eric dan Ella menyambut kedatangan mereka dengan senyuman paksa.
"Masuklah," ujar Eric dengan wajah datar.
Dimitri dan Ellen masuk ke rumah bersamaan dengan Ella yang baru saja keluar dari ruang makan.
"Kebetulan sekali kalian datang di jam makan siang," ujar Ella tersenyum.
"
"Bagaimana dengan pembatalan pernikahan?" tanya Eric ketika dirinya sedang makan siang bersama Ellen dan Dimitri juga Ella.
"Apa maksud Ayah?" tanya Ellen tak percaya.
"Seharusnya kalian tidak menikah," ujar Eric.
"Tidak, Ayah. Aku tidak akan melakukannya," kata Ellen.
"Kenapa?" tanya Eric.
"Aku sudah dewasa dan aku sudah dikatakan mampu mengambil keputusan sendiri," kata Ellen penuh keyakinan.
"Rupanya kau bermaksud menentang Ayah," ujar Eric tak percaya.
"Aku akan lakukan apa saja untuk tetap mempertahankan pernikahan ini," kata Ellen.
"Kenapa?" tanya Eric.
Ellen terdiam. Dia tidak bisa mengatakan apa pun sekarang. Ellen bahkan tak tahu alasan apa yang membuat per ikahannya harus tetap bertahan. Tak ada cinta di dalamnya. Mereka hanyalah dua insan yang di pertemukan oleh takdir yang gila.
"Karena saya mencintai Ellen," ujar Dimitri tertunduk.
Ellen terkejut mendengarnya. Tak hanya dirinya. Namun juga Ella dan Eric. Tak pernah mereka menyangka bahwa Dimitri akan mengatakan hal semacam itu. Bahkan mereka baru saja mengenal.
Ini bualan baru lagi, pikir Ellen. Demi menghindari perseturuan antara anak dan ayah, Dimitri membual. Meski begitu, Ellen tetap tak bisa berkata apa-apa. Wanita itu dia seribu bahasa.
"Saya akan menjaga Ellen seperti saya menjaga nyawa saya sendiri," ujar Dimitri.
"Dengan apa?" tanya Eric. "Apa pekerjaanmu?"
"Saya akan memberikan apapun yang Ellen inginkan," kata Dimitri.
"Dengan apa? Kau bahkan tidak memiliki pekerjaan," ucap Eric.
"Dengan uang ayahnya," jawab Ellen.
Ini benar-benar sebuah lelucon. Bagaimana bisa Ellen mengatakan hal gila seperti itu? Benar-benar memalukan. Dia tak memiliki kata-kata lain untuk membela Dimitri. Karena memang pria itu tidak berpenghasilan. Selain penghasilan yang ia dapat dari uang saku ayahnya.
"Keluarga Pyordova yang kaya raya. Rupanya kau ingin menumpang hidup pada mereka," ujar Ella terkekeh.
Kata-kata Ella membuat Ellen dan Dimitri tak berkutik. Memang benar mereka hanya bisa mengandalkan harta Pyordova. Namun itu hal yang wajar. David adalah ayah kandung Dimitri. Dia berhak memberikan uang kepada anaknya berapapun nominalnya.
"Itu jauh lebih terhormat daripada harus merebut kekasih orang lain dengan memaksanya tidur dengannya," kata Ellen tersenyum lalu menyeka bibirnya dengan serbet makan. "Sepertinya aku sudah harus pulang. Ibu dan Ayah sudah sangat kelelahan menyambut kedatangan kami. Belum lagi pernikahan Erica dan Darren."
Ellen berdiri dengan di ikuti Dimitri. Keduanya berbalik dan berjalan keluar dari ruangan tanpa pedulikan amarah Eric yang masih meluap-luap. Pria itu berdiri dan melemparkan gelas kaca ke arah Ellen.
Pyaarr!
Gelas itu pecah berkeping-keping. Namun Ellen sama sekali tidak terluka sedikitpun. Wanita itu terlihat sangat terkejut. Dia berbalik dan mendapati kepala Dimitri terluka. Raut wajah pria itu seolah menahan amarah yang besar. Seketika Ellen mulai bergidik ngeri.
Suasana menjadi sangat kacau dan Ellen hanya terpakau di tempatnya. Untuk sesaat kemudian Ellen berbalik dan menatap ayahnya tak percaya. Pria yang ia panggil dengan sebutan ayah itu menatapnya penuh amarah. Sunyi dan hanya suara sang ayah yang menggema memenuhi ruangan. Amarah yang masih belum reda.
"Ellen, seharusnya kau terima saja ketika Darren berniat menikahimu lalu dimadu. Kalian bisa masuk ke keluarga Pyordova sebagai istri Darren!" bentak Eric.
"Ayah, kau sudah terlewat batas. Aku muak mendengarkan semua ide gilamu. Andai aku bisa memilih. Aku tidak akan pernah bersedia hidup dengan darahmu mengalir di tubuhku!" Ellen tak kuasa menahan tangisnya.
Dimitri yang melihat istrinya menangis, ikut bersedih. Seolah tangisan itu merupakan luka yang teramat sangat pedih baginya.
"Ayo kita pulang," ajaknya lirih.
Ellen mengangguk lalu berbalik sambil memapah Dimitri, suaminya. Sementara itu Ella yang berdiri di belakang Eric hanya menyaksikan adegan yang baginya seru itu dengan senyuman merekah di bibirnya.
***
Ellen tertawa lepas mendengar cerita Erica. Wanita itu kehilangan bayinya. Dimitri bertanggung jawab atas itu. "Bukankah seharusnya kau senang karena sekarang anak yang bukan milik Darren telah lenyap?" tanya Ellen. "Kebusukanmu tidak akan ketahuan.""Wanita yang tidak bisa memiliki anak akan berkata seperti itu," kata Erica dengan nada menghina. "Aku termasuk wanita yang tak peduli apakah bisa memiliki anak atau tidak. Bagiku itu hal kecil dalam pernikahan. Karena aku tidak mengincar posisi Nyonya Pewaris," kata Elken."Dasar kurang ajar!" bentak Erica lalu menampar Ellen. Wanita yang sudah memiliki banyak luka dan justru tertawa lepas menghina Erica."Kau juga sudah tahu siapa Dimitri sebenarnya. Kau pasti sangat terkejut," kata Ellen dengan sisa tenaga yang ada. "Bagaimana bisa kau menikahi lelaki hebat seperti Seravin?" tanyanya pelan. "Ketika kau bahkan adalah Ellen yang sangat biasa saja.""Dimitri mengetahui identitasku sejak awal. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana dan se
Erica mengguyur wajah Ellen dengan air es. Lalu menghujaninya dengan es batu. Wanita malang itu membuka mata dengan sisa tenaga yang ia miliki. Di tatapnya wajah Erica yang tertawa lepas. "Lihatlah dirimu sekarang, Nona Madelaine. Apakah kau masih sanggup bertahan?" tanya Erica terkekeh."Kau hanya ingin melihatku menangis, bukan?" tanya Ellen. "Tapi, maafkan aku. Sepertinya akan sangat sulit. Karena hidupku penuh warna. Sangat membahagiakan.""Dengan pria yang bahkan tak bisa memberikan keturunan. Lalu dengan perasaan dengki berusaha mencelakaiku dan membunuh anakku," kata Erica penuh amarah. "Akibat dari ulahnya aku kehilangan anakku. Juga nyaris tak bisa memiliki anak lagi."Ellen tertawa lepas dengan sisa tenaga yang ada. "Rupanya hidupmu benar-benar hancur berantakan. Sesuai keinginanku. Syukurlah kalau begitu. Aku bisa bernapas lega sekarang," ujar Ellen."Aku sudah muak denganmu. Kini saatnya kau mendapatkan apa yang pantas kau dapatkan," ucap Erica.Wanita itu kemudian kembal
Chatrine sampai di sebuah perbukitan. Malam sudah larut, si penculik Ellen membawanya sampai ke tempat ini. Dengan segera ia keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah sebuah gedung terbengkalai. Sudah ada Dimitri di sana. Pria itu terlihat sangat panik. Rupanya dia datang dengan menggunakan helikopter. Pria itu memiliki lisensi untuk menerbangkan helikopter dan pesawat terbang. "Ibu, Ellen tidak ada di dalam sana. Aku hanya menemukan ini," ujar Dimitri panik sambil memberikan satu anting pada Chatrine. "Anting itu pemberian Ibu untuk istrimu," kata Chatrine. "Sebaiknya kita cari tempat lain. Semua GPS berlari ke arah yang berbeda. Salah satu nya pasti yang membawa Ellen pergi."Dimitri mengangguk panik. Dia segera masuk ke mobil ibunya. Lalu ia mengemudikan mobil itu sesuai arahan sang ibu. Dia juga mengerahkan beberapa anak buahnya untuk berpencar mencari wanita itu."Orang ini sangat berhati-hati. Bisa saja ini adalah jebakan," tebak Chatrine."Entah jebakan atau bikan, aku tidak
Ellen berjalan dari parkiran menuju pintu lift ketika seorang pria berpenampilan serba hitam dengan terburu-buru masuk ke dalam lift mendahuluinya. Dia membekap Ellen ketika wanita itu hendak menekan tombol lift. Wanita itu tak sadarkan diri dan di bawa keluar oleh pria tersebut. Sementara itu di apartemen, Chatrine sedang melakukan vidio call dengan putranya. Dia menanyakan keberadaan Ellen. "Dia pulang agak terlambat karena di perusahaan, seniornya membutuhkan dia untuk melakukan pekerjaan lain. Tapi seharusnya dia sudah sampai," kata Chatrine."Perasaanku agak tidak enak," kata Dimitri."Kau tenang saja. Istrimu tidak akan kabur kemana-mana," kata Chatrine terkekeh."Kenapa dia harus kabur?" tanya Dimitri tak terima.Chatrine tertawa melihat ekspresi putranya yang merasa tidak senang dengan ucapannya. "Apakah Ibu benar-benar memasang GPS pada cincin istriku?" tanya Dimitri ragu."Kau pasti tidak percaya," kata Chatrine. "Ibu tidak pernah sampai se peduli itu pada orang lain," k
Ellen terbangun tanpa Dimitri di sampingnya. Entah sejak kapn pria itu pergi. Dia hanya mengirimkan pesan bahwa saat ini Dimitri sedang dalam perjalanan menuju Hongkong. Wanita itu berjalan keluar sebelum membasuh mukanya yang masih berantakan. Dia terkejut mendapati ibu mertuanya sudah berada di ruang makan dengan kesibukan menata makanan di atas meja. "Ellen, kau cuci muka dulu lalu sarapan. Ibu tunggu," kata wanita itu tanpa menoleh sedikit pun. "Maafkan aku, Ibu." Ellen berlari masuk ke kamar.Sesaat kemudian dia keluar dari kamar dan berjalan ke arah ibu mertuanya. Dia duduk di depan ibu mertuanya. Wanita itu tersenyum lembut pada Ellen yang merasa canggung dan bersalah. Seharusnya yang mempersiapkan sarapan adalah dirinya. Dan bukannya ibu mertua. "Kau tidak perlu berpikiran macam-macam. Sudah ku katakan bahwa aku ini sangat berpikiran terbuka," ujar Chatrine tersenyum. Ellen tersenyum bahagia. "Terima kasih, Ibu."Chatrine memberi isyarat untuknya segera makan. Ellen pun m
"Madelaine," panggil Dimitri tersenyum lembut. Ellen terkejut mengetahui bahwa Dimitri tahu tentang Madelaine. "Aku tahu kau adalah Madelaine. Nenek itu memberikan namanya untukmu agar kau bisa melanjutkan cita-citamu sebagai desainer terkenal tanpa seorang pun tahu jati dirimu yang sesungguhnya," ujar Dimitri. "Darimana kau tahu semua itu?" tanya Ellen bingung."Aku adalah Seravin. Apapun bisa aku cari tahu. Semua hal tentangmu," jawab Dimitri. "Sejak kapan?" tanya Ellen mulai waspada. "Sejak awal pertemuan kita 10 tahun yang lalu. Aku terus mengikutimu," jawab Dimitri. "Aku selalu ada untukmu. Karena kau adalah Ellen. Bukan karena kau adalah Madelaine.""Bahkan ketika aku datang ke kediaman Pyordova kah?" tanya Ellen.Dimitri mengangangguk. "Maafkan aku," ujar Dimitri. "Kau sangat menakutkan," celetuk Ellen dengan tatapan waspada."Ellen, aku mencintaimu hingga aku merasa gila. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan leluasa. Aku hanya bisa menggunakan identitas Seravin untuk