“Setuju tidak setuju, kamu harus menikahi Agatha minggu depan!”
Hanya kalimat itu yang masih terdengar saat Eleanor melewati pintu masuk. Dia berjalan beriringan dengan sang suami menuju ruang keluarga. Suasana menjadi hening saat melihatnya dan Darren tiba. Eleanor segera menyalami orang yang ada di sana satu per satu. Namun, hanya Agatha dan Alden yang menolak. Dia tak ambil pusing dan duduk di samping suaminya. “Kenapa Kakek memanggil kami?” tanya Darren langsung pada intinya. “Kakek cuma mau ajak kalian makan siang bersama saja. Sekalian ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu, Darren. Kita ke ruang kerja Kakek sekarang.” Eleanor menatap sekilas sang suami sebelum mengangguk. Lalu, menatap punggung lelaki itu hingga hilang di balik pintu bercat hitam. “Bagaimana kabarmu, Elea? Maaf kalau Ayah belum bisa menjengukmu.” “Tidak apa-apa, Yah. Aku baik-baik saja.” Danu hendak bangkit dari duduk untuk mendekati Eleanor, tetapi Helena segera mencegahnya. “Duduk di sini saja, Pa. Buat apa kamu dekati anak yang sudah membuatku dan Agatha luka begini.” Helena menunjukkan luka seperti bekas cakaran di lengannya. Sontak, Eleanor membeliak melihatnya. Dia hendak membuka mulut, tetapi Agatha segera menghalangi. “Enggak usah sok terkejut begitu kamu, Elea. Sudah salah, bukannya minta maaf malah pergi begitu saja. Masih untung aku enggak teriak dan minta tolong warga buat bawa kamu ke rumah RT.” “Diam!” seru Alden sambil bangkit dari duduk. Dia menatap nyalang Agatha sebelum beralih kepada Eleanor. Lalu, mendengkus kesal dan pergi meninggalkan ruangan. “Lihat, kan? Gara-gara kamu Alden jadi marah sama aku.” Agatha langsung bangkit dari duduk dan berjalan tergesa-gesa menyusul Alden. “Tapi ....” “Halah, sudahlah, Elea. Harusnya tadi kamu enggak usah mau diajak ke sini.” Helena berbicara dengan wajah ketus. “Ma, sudahlah. Elea juga tidak tahu apa-apa.” “Bela saja terus anak kamu itu, Pa. Awas saja nanti kalau sampai rumah.” “Tapi, Ma ....” “Elea enggak apa-apa, kok, Yah.” Akhirnya Danu mengalah dan memilih diam. Sementara, Eleanor menghela napas berat melihat betapa tersiksanya sang ayah. Di satu sisi pasti dia ingin merangkul Eleanor, tetapi di sisi lain Helena dan Agatha punya seribu cara untuk memperunyam keadaan. Melihat situasi yang tidak mengenakkan, Eleanor memilih bangkit dari duduk dan pamit hendak ke kamar mandi. Ternyata, dia tidak sungguhan ke kamar mandi, melainkan pergi ke halaman belakang di mana terdapat kolam renang dan juga gazebo. Dia duduk di sana sambil menatap awan yang bergerumul. Eleanor memejamkan mata sejenak dan membiarkan angin menerpa wajah cantiknya. Senyumnya tersumir samar saat bayangan tentang sang ibu terlintas di kepala. “Apa kamu bahagia, El?” Eleanor langsung membuka mata dan menoleh saat mendengar suara Alden menyapa rungu. Dia menelan ludah dengan susah payah kala pria itu mendekat dan duduk tak jauh darinya. “Apa Darren memperlakukanmu dengan baik, El? Apa dia tidak pernah menyakitimu, El?” Suara Alden bergetar pelan. Eleanor merasa ada gundah yang sedang dipendam pria itu. Namun, wanita itu langsung menggeleng dan tidak ingin tahu mengingat status mereka sekarang. “A-aku pergi dulu, Al.” Eleanor bergegas bangkit, tetapi Alden menghalangi langkahnya. Pria itu berusaha memegang lengan Eleanor, tetapi segera ditepis. “Jangan macam-macam, Al. Aku sudah menikah.” “Aku enggak peduli, El! Aku masih sangat mencintaimu.” Eleanor segera mundur ketika Alden terus mendekat, hingga kakinya tiba di tepian kolam renang. Dia menatap air yang tenang berwarna biru di depannya sebelum menoleh kepada Alden. “Mundur, Al! Aku enggak mau orang salah paham sama kita.” “Bukannya malah bagus. Dengan begitu Darren akan segera menceraikanmu dan kamu bisa kembali padaku, Elea.” “I-itu enggak akan terjadi, Al.” Eleanor mundur karena Alden terus maju hingga tubuh mereka berjarak hanya satu inchi. Lalu, wanita itu terpeleset hingga akhirnya jatuh ke kolam renang. Panik, itulah yang dirasakan Eleanor karena tidak bisa berenang. Tangannya menggapai-gapai dengan mulut yang terengah-engah hampir kehabisan napas. Sementara, Alden hanya berdiri tanpa berbuat apa-apa. “Jika aku tak dapat memilikimu, maka tak ada yang boleh memilikimu juga, Elea.” Alden masih berdiri sambil tertawa puas melihat Eleanor gelagapan di dalam air. Namun, tawa itu berubah keterkejutan saat melihat seseorang berlari dan terjun ke air untuk menolong Eleanor. Saat tubuh Eleanor perlahan diam karena lelah dan mulai tenggelam, sepasang tangan kekar berhasil menggapai dan menariknya ke atas. Lalu, membaringkan wanita itu di tepi kolam dan segera memberikan pertolongan pertama. Kepala Eleanor ditengadahkan, kemudian mulai memberikan napas buatan setelah sebelumnya mengompresi dadanya. Hal itu dilakukan beberapa kali hingga Eleanor terbatuk dan mengeluarkan air. “Kamu tidak apa-apa?” Eleanor hanya mengangguk sebagai jawaban karena masih terbatuk. Lalu, berusaha menarik napas panjang yang terasa berat. “Tunggu di sini sebentar.” Darren bangkit dan menyusul Alden yang sudah pergi lebih dulu. Dadanya bergemuruh hebat karena saat Eleanor tenggelam, adik sepupunya itu sama sekali tidak menolong. Darren segera menarik bahu Alden dan memepetnya ke tembok. “Kamu sengaja, hah! Apa mau kamu sebenarnya, Alden?” Alih-alih merasa takut, Alden melepaskan tangan Darren dan menatapnya tajam. “Aku mau dia mati agar kamu tidak bisa memilikinya.” Darren langsung memukul rahang kiri Alden hingga membuatnya tersungkur. Lalu, kembali menarik bahu pria itu dan memukul tepat di area pelipisnya. Kali ini, Alden membalas dengan memukul balik Darren. “Stop! Apa yang kalian lakukan? Berkelahi seperti anak kecil, memalukan!” Darren dan Alden spontan menggantungkan tangan di udara begitu mendengar suara tegas milik Kakek William. Keduanya langsung beangun dan berdiri agak berjauhan. Kakek William menggeleng lemah sambil menelisik kedua cucunya. Ada luka lebam di rahang kiri dan pelipis Alden yang mengeluarkan darah segar. Sementara, Darren memiliki lebam di rahang dan sudut bibirnya berdarah. Kakek William kembali menggeleng dan hendak membuka suara, tetapi tertahan saat melihat Eleanor masuk dengan keadaan basah kuyup dan dipapah salah satu asisten rumah tangganya. “Kamu kenapa, Elea?” Eleanor hanya melayangkan tatapan penuh amarah kepada Alden sebelum kembali dibawa menuju salah satu kamar di dekat tangga. Meskipun hanya sebuah tatapan, Kakek William tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pria dengan rambut keperakan itu menggeram kesal sambil menggenggam erat tongkat di tangan kanannya. “Alden, ikut Kakek sekarang. Darren segera temui Elea dan bawa pulang jika keadaannya sudah membaik.” Kedua pria yang hanya berbeda dua tahun itu saling menatap tajam sebelum berpisah jalan. Alden mengikuti Kakek William menuju ruang kerjanya. Sementara, Darren berjalan menuju salah satu kamar di mana Eleanor berada. Ketika di depan pintu, Darren bergeming sesaat sambil mengatur napas. Lalu, memutar gagang pintu dan membukanya. Tubuhnya belum sepenuhnya masuk, ketika terdengar suara Eleanor. “Aaargh!”Dua jam setelah berkutat dengan dunia memasak di tempat les, Eleanor kembali menaiki taksi online menuju sebuah rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota. Rumah dengan dinding bercat putih dengan jendela dan pintu berwarna cokelat tua. Pada halamannya terdapat beberapa jenis sayuran dan juga tanaman buah.Eleanor mengulas senyum sesaat setelah tiba sebelum melangkah masuk. Kedua matanya langsung menangkap sosok Bu Wina yang sedang berjongkok mengambil daun kering di sela-sela ladang sayurannya.“Selamat pagi, Bu. Aku tidak mengganggu, kan?” tanya Eleanor sambil menyunggingkan senyuman.Bu Wina menoleh dan langsung tersenyum begitu melihat wanita yang sedang memakai setelah rok dan kemeja lengan pendek berwarna hijau pastel itu.“Nyonya Elea, akhirnya datang juga. Anda tidak mengganggu sama sekali. Mari masuk.”Bu Wina segera bangkit dan berlalu ke samping untuk mencuci tangan sebelum membukakan pintu dan menyuruh Eleanor untuk masuk. Setelahnya, dia beranjak ke dapur dan ke
Eleanor membekap mulutnya sebelum mundur perlahan dan memutar tumit, kemudian berjalan mengendap-endap sebelum kembali masuk ke ruang bawah tanah. Dia bergeming di samping anak tangga yang mengarah ke bawah dengan masih membekap mulut dan sesekali memejamkan mata, berharap orang yang ada di rumahnya segera pergi.Saat Eleanor masih berusaha menguasai diri, terdengar suara langkah mendekat disertai dengan suara gumaman. Meskipun samar, Eleanor masih dapat menangkap isi percakapan mereka.“Rumah segede ini, banyak tempat untuk menyembunyikan sebuah kunci.”“Iya, mana tidak boleh pergi sebelum menemukannya. Bos, sih, enak main suruh. Kita yang pusing.”“Seluruh isi rumah sudah dicari, tapi tetap tidak ketemu. Apa jangan-jangan dibawa pas kemarin kita keroyok dan kuncinya hilang di sungai, ya?”“Bisa jadi. Tapi jangan bilang bos begitu, bisa-bisa kita disuruh nguras sungai lagi.”Eleanor mendengar gelak tawa dari atas sebelum kembali dua pria itu saling berbicara. Wanita itu makin m
“Malam ini kamu saya pecat! Segera bawa barang kamu dan keluar dari sini sekarang!” “Tapi, salah saya apa, Tuan? Sudah puluhan tahun saya di sini dan saya rasa tidak pernah melakukan kesalahan.” “Itu menurutmu! Pokoknya sekarang juga kamu keluar dari sini sekarang!” Roni masuk dan menarik lengan wanita tua dengan umur kisaran enam puluh tahunan hingga ke depan lemari. Lalu, menyentak kasar hingga membuatnya terhuyung. Dengan tatapan nyalang, pria itu mengintimidasi hingga akhirnya sang wanita tua membuka lemari dan memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. “Pesangon dan gajimu bulan ini akan aku transfer. Lagipula Papa sudah tidak ada, jadi buat apa kamu masih bertahan di sini, Bu Wina.” Sang wanita tua yang diketahui bekerja sebagai kepala ART selama empat puluh tahun di kediaman keluarga Wijaya itu hanya bisa pasrah saat Roni menyambar koper dan membawanya keluar dan melemparnya. “Sekarang pergilah! Rumah ini sudah tidak membutuhkanmu lagi.” Ibu Wina yang masih gag
“Kurang ajar! Cari dia sampai dapat! Aku yakin dia pasti masih ada di sekitar sana!” Telepon terputus. Keempat orang itu langsung berpencar untuk mencari keberadaan Darren. Namun, mereka tak kunjung mendapatkannya sehingga memutuskan untuk kembali menaiki mobil dan pergi meninggalkan tempat itu. Sementara di tempat lain, tampak seseorang sedang berjalan mondar-mandir sambil menggenggam erat ponselnya. Sejak menerima telepon satu jam yang lalu, belum lagi terdengar kabar tentang hasilnya. Dia menggeram kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya di kursi. “Sialan! Masa cari satu orang yang sedang sekarat saja tidak bisa!” Orang itu menendang meja sebelum menengadah dan menghela napas panjang. Lalu, menatap langit-langit ruangan sebelum terkejut karena mendengar ponselnya berdering. Dia langsung mengangkat panggilan setelah mengetahui nama yang tertera di layar. “Bagaimana? Kalian dapat, kan?” “Maaf, Bos. Kami kehilangan dia. Seluruh rumah sakit sudah kami cari, tapi dia
Eleanor langsung mengalihkan tatapan saat berserobok dengan orang itu. Wanita itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil berharap orang itu segera pergi. Harapannya terkabul karena saat menoleh, dia tak mendapati orang itu di tempat tadi. Eleanor menghela napas lega sebelum masuk ke ruangan setelah dipanggil sang perawat. Dua puluh menit berlalu, wanita itu keluar sambil tersenyum semringah. Kedua pipinya bersemu merah, langkahnya ringan saat menyusuri lorong yang menghubungkan ke ruangan Darren. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang menghadangnya. “Mau apa kamu?” tanya Eleanor sambil berusaha menahan gelebah dalam dada. Dia menelan ludah dengan susah payah sambil mengepalkan erat kedua tangannya. “Kita sudah tidak ada lagi urusan, sebaiknya kamu minggir.” Orang di depan Eleanor menyeringai sambil melayangkan tatapan menyelidik. Sementara, Eleanor memejamkan mata sejenak sambil menghela napas panjang sebelum kembali menatapnya. “Minggir sekarang ata
Eleanor sedikit tersentak begitu Hana memeluknya erat. Lalu, melerai pelukan dan memberikan tatapan penuh tanya kepada wanita itu. Namun, belum sempat bertanya, Hana melontarkan kalimat lebih dulu. “Mereka tidak melukaimu, kan, Elea? Oh, maafkan aku karena terlalu takut saat melihat mereka keluar dari mobil.” Eleanor menggeleng lemah sebelum beranjak ke sofa dan mengempaskan bobot tubuhnya. Sementara, Hana ikut duduk di sampingnya. “Syukurlah, Elea. Aku benar-benar takut mereka akan berbuat nekat. Aku sampai hampir memanggil polisi, sayangnya itu tidak terjadi.” Eleanor mengulas senyum tipis sebelum berkata. “Aku baik-baik saja, Hana. Untung saja mereka bisa aku bohongi saat tanya di mana Darren.” Wanita itu menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi, untuk sementara aku tidak bisa terang-terangan menemui Darren di rumah sakit. Terlalu riskan untuknya karena aku yakin mereka tidak akan membiarkan Darren selamat.” Hana mengernyit heran mendenga