Sukma berdiri di dapur apartemen mewah itu, masih dengan kaos oversize dan rambut diikat asal. Uap sup ayam jahe mengepul dari panci, memenuhi udara dengan aroma hangat dan sedikit pedas, menembus sampai meja makan. Di meja, Carlos bersandar malas, kemeja putihnya setengah terbuka, memperlihatkan dada bidang dan kulit yang seperti sengaja mengundang tatapan. Dia mengamati Sukma dengan pandangan yang terlalu lama untuk disebut wajar. “Sukma…” suaranya berat, rendah, seperti seseorang yang sedang menyimpan niat. “Kamu ingat kan, aku udah keluarin uang… dua puluh miliar, plus ongkos operasi hymenoplasti yang seharga motor sport itu.” Sukma hanya menoleh sekilas sambil mengaduk sup. “Hmm iya… terus?” “Terus…” Carlos menyipitkan mata, senyum miringnya muncul. “Kamu janji kasih imbalan. Dan karena… kondisi bawah kamu belum pulih total, aku pikir…” Ia merendahkan suaranya setengah oktaf. “Tangan sama mulut itu kan bisa berfungsi. nggak butuh masa pemulihan, kan?” Sukma mendengus.
Langit mulai berwarna biru muda di balik tirai vila yang belum sepenuhnya tertutup. Udara masih hangat sisa malam panjang itu, dan tubuh-tubuh yang saling bertumpuk di atas ranjang belum juga benar-benar terlelap. Carlos memandangi dua istrinya yang kini terbaring di kiri dan kanan. Ruby dengan rambut berantakan dan leher penuh bekas ciuman. Livia dengan nafas teratur tapi mata masih menyala, menatap Carlos seolah siap ronde lagi. Ia tersenyum kecil—senyum seorang pria yang tahu ia dimiliki dan memiliki. Perlahan, Carlos duduk. Tubuhnya masih telanjang, penuh tanda, penuh bukti. Ia meraih dompet kulit di meja samping. Lalu membuka kunci logam kecil di bagian dalam. Ada segepok uang tunai—nominal besar, lembaran baru. Carlos tak bicara apa-apa saat menyelipkan masing-masing setumpuk uang ke telapak tangan Ruby dan Livia. “Uang bulanan,” bisiknya singkat. “Lebih dari biasanya. Kalian berdua kerja lembur semalam.” Ruby terkekeh geli. “Gila… ini lebih dari cukup buat beli butik.
Carlos masih terengah ketika tangan Ruby mulai menyusuri perutnya, lembut tapi penuh arah. Livia, yang masih rebah di dadanya, ikut menoleh dan tersenyum kecil saat melihat tangan Ruby yang mulai nakal. "Aku kira kamu mau istirahat," bisik Livia, menggoda. Ruby membalas dengan lirikan penuh arti. “Istirahatnya cukup segitu. Sekarang gantian main bareng.” Carlos belum sepenuhnya pulih, tapi tubuhnya menjawab lebih dulu. Saat Ruby mulai mencium pangkal lehernya dari sisi kiri, Livia justru naik perlahan dari sisi kanan, menekan dada Carlos dengan tubuh hangatnya yang masih berkeringat. Gerakan mereka sinkron seperti orkestra malam yang sudah terlatih. Ruby naik ke atas, menunduk untuk menciumnya, kali ini lebih dalam, lebih penuh rasa. Bibir mereka bertaut lama, sementara Livia justru menelusuri bagian bawah tubuh Carlos dengan jemarinya yang dingin namun terlatih. Carlos hampir merintih lagi, tapi Ruby menahan bibirnya dengan jari telunjuk. "Diam. Sekarang bagian kita yang be
Malam itu, udara vila terasa hangat dan berat. Lampu-lampu temaram menyinari ruangan bernuansa kayu yang elegan, dengan aroma melati menguar dari lilin aromaterapi di sudut kamar. Carlos baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, handuk melingkar di pinggang. Ia menatap tempat tidur besar yang sudah dipenuhi dua sosok berbeda: Ruby duduk bersandar dengan gaun tidur satin merah marun yang melorot dari bahu, sementara Livia berbaring santai dengan piyama tipis berwarna putih susu, satu kakinya ditekuk, terlihat seperti sedang menunggu giliran. Ruby lebih dulu bersuara. "Tadi malam keira, kan? Sekarang waktunya adil." Carlos tersenyum kecil. Ia tahu ini bukan sekadar soal giliran, tapi soal perasaan. Ruby memang cemburuan, tapi itulah yang membuatnya hidup dan penuh api. Ia menghampirinya duluan. "Kamu kelihatan seksi malam ini," ucap Carlos sambil mencium bahu Ruby, menciptakan jejak basah dari bibirnya ke tengkuk. Ruby mendesah pelan tapi belum sepenuhnya menyera
Keira baru saja selesai menyisir rambutnya ketika suara pintu kamar berderit pelan. Wangi Carlos langsung menguar begitu pintu terbuka—aroma kayu manis dan kulit, maskulin, hangat, menenangkan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan jaket hitam masih melekat di tubuhnya. Tatapan matanya lebih teduh dari biasanya, lebih lembut, seperti baru pulang bukan dari urusan bisnis, tapi dari perjalanan menemukan rindu. “Pulang,” ucap Keira, pelan, nyaris seperti bisikan, seolah takut suaranya akan memecah sesuatu yang magis. Carlos menutup pintu, lalu melangkah perlahan ke arahnya. Ia tidak langsung bicara. Hanya menarik napas panjang dan menatap Keira seperti sedang mencoba menghafal ulang detail wajah istrinya. Ada senyum tipis di bibirnya—bukan senyum lelah, tapi senyum yang mengandung sesuatu. Sesuatu yang manis. Sesuatu yang… penuh harap. “Kenapa lihat aku kayak baru pertama ketemu?” tanya Keira, menyembunyikan grogi dalam senyumnya. Carlos tak menjawab. Tangannya mengangkat dagu K
Pesawat pribadi Carlos mendarat mulus di landasan. Sukma turun lebih dulu, mengenakan rok hitam pendek yang mengungkap pahanya nyaris sepenuhnya, dipadukan dengan tanktop krem yang melekat seperti lapisan kulit kedua. Jaket hanya dijinjing, rambutnya dikuncir asal-asalan. Wajahnya tanpa makeup berat, tapi kulitnya bersinar. Bukan sinar bedak, tapi bekas tidur nyenyak dan... aktivitas lain. Di belakangnya, suara Carlos terdengar, tajam dan penuh candaan kotor yang sudah jadi ciri khasnya. > "Pakai rok pendek gitu, nggak takut bekas jahitan robek kalau aku godain?" Sukma menoleh cepat, sinis. > "Nggak. Aku pakai pendek biar kalau kamu ngintip, yang kelihatan cuma celana dalam." Carlos menyeringai. > "Padahal aku suka yang tanpa celana. Langsung tembus pandang." Sukma nyaris tergelak, tapi menahannya. > "Mulut kamu tuh kayak kamar hotel — gelap, pengap, isinya najis semua." > "Lho, tapi tetap bikin betah, kan? Kamarku aja kamu datengin kemarin malam, apalagi aku." Su