“Qizha, kamu dipanggil Bu Weni, tuh.”Suara itu membuat Qizha mengangkat wajah dan menatap sosok yang memanggilnya. Staf itu berdiri di ujung koridor.“Maaf, aku nggak kerja di bagian ruangan Bu Weni lagi. Jadi Bu Weni nggak bisa menyuruh- nyuruh aku,” balas Qizha berushaa untuk tegas. Dia menang telak saat ini. jangan harap mau disuruh-suruh oleh mereka yang tak punya perasaan.“Bu Weni Cuma mau ketemu saja kok. Bukan mau menyuruhmu. Temui saja dia dulu.”“Maaf. saya nggak punya urusan lagi sama Bu Weni.” Qizha berjalan mendekati wanita itu. “Sampaikan saja ke beliau kalau saya nggak bisa menemuinya. Dia bisa memanggil OB yang berkepentingan dengan beliau. Bukan saya. Permisi.” Qizha berlalu pergi.Masih ingat di pikiran Qizha bagaimana perlakuan Bu weni terhadapnya, yang dengan semena- mena memerintah Qizha, bahkan mengatur- ngatur dengan suara keras, tatapan bengis, bahkan sok berkuasa. Terakhir kali, Weni memintanya menyusun file di gudang di luar jam kerja, namun j
"Apa yang terjadi?" tanya Qasam, pria dengan wajah bersih, rambut klimis oleh minyak rambut, plus penampilan khas stelan jas yang menunjukkan kewibawaannya. Dia benar- benar jauh berbeda dengan sosok Qasam yang menjadi suaminya. Wajahnya bersih sekali. Sedangkan Qasam yang selama ini berpenampilan seperti preman itu memiliki kulit wajah yang kusam, rambut gondrong acak- acakan, tentu saja Qizha tak bisa mengenali wajah itu. Penyamaran Qasam sungguh sempurna.Brak brak brak...Terdengar suara pintu gudang digedor dari arah dalam, berisik sekali."Qizha, keluarkan aku!" Suara keras itu bersumber dari dalam gudang."Siapa itu?" tanya Qasam masih merangkul tubuh Qizha yang lemas."Bu Weni.""Kau mengurungnya?" tanya Qasam."Dia menyerang saya sampai saya jadi begini," sahut Qizha, takut disalahkan. Jika pandangan Qasam terhadapnya berubah gara- gara kejadian ini, bisa mampus dia. Tak ada lagi orang yang melindunginya.Qasam menatap darah yang mengalir di sudut bibir Qizha. Penampilan Qiz
“Ada masalah apa kau dengan Weni?” tanya Qasam dengan suara tenang.Qizha mendadak merasa canggung dan tegang. Apakah ia akan dihakimi?“Nggak ada masalah apa- apa. Saya bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Bu Weni, kenapa dia nggak suka sama saya. Dia terus- terusan saja memusuhi saya. Dia menghina, memojokkan, bahkan menyerang saya. Sampai akhirnya mau mencelakai saya. Saya nggak punya kesalahan apa- apa sama dia, tapi dia terus membenci saya seolah saya ini musuh besarnya.”Capek- capek Qizha menjelaskan sesuatu yang jelas sudah diketahui alasannya oleh Qasam. Andai saja Qizha tahu kalau penjelasannya itu percuma, tentu dia tak akan bicara panjang lebar hanya untuk hal yang sia- sia.“Setahuku Weni adalah staf yang baik,” ucap Qasam.“Apakah ini maksudnya bapak nggak percaya sama saya?” lirih Qizha.“Tidak ada asap jika tidak ada api. Awalnya kau mendapatkan jabatan sekretaris, lalu kini menjadi OB. Apakah itu alasannya sehingga kau bersikap semena- mena pa
Pemandangan yang menyembul di balik kemeja menjadi pusat perhatian Qasam. Pria itu menundukkan kepala dan berkata pelan, "Kau akan menyerahkan milikmu kepadaku sekarang."Seluruh tenaga Qizha benar- benar hilang, bahkan untuk mengangkat kepala pun tak bisa lagi, Jika ia memiliki kekuatan, tentu ia sudah melakukan perlawanan kuat.Sedikit demi sedikit, kesadarannya pun mulai memudar. Namun ia masih bisa merasakan apa yang terjadi dengan jelas ketika sang CEO menikmati sisi sensitif di dadanya, pria itu nyaris seperti bayi. Kemeja Qizha dilepas sempurna, kemudian celananya dipelorotkan ke bawah. Kini Qizha tanpa busana. Tak sehelai pun menutupinya. Ah, kemana tenaganya? Kenapa tubuhnya jadi lemas sekali tanpa kekuatan apa pun? Sama sekali tak bisa melakukan pemberontakan.Tangannya terangkat hendak melawan, namun kembali terjatuh dengan lemas.Ia merasakan sentuhan demi sentuhan, bahkan ia merasakan sensasi saat area inti menjadi pusat sasaran lelaki itu. Air mata Qizha berderai dari
Qizha membuka kelopak mata secara perlahan, kepalanya berdenyut. Tubuhnya pegal semua. Bagian sensitifnya terasa ngilu saat ia bergerak.Hah? Apa yang telah terjadi padanya? Qizha menatap tubuhnya yang terbaring di sofa tanpa lapisan sehelai benang pun. Pakaiannya berserakan di segala arah.Lalu tangisnya pecah saat teringat kejadian terakhir. Ah, pria kejam itu telah melecehkannya. Pria itu telah merenggut kesucian yang dia jaga dengan baik selama ini. Benar- benar pria biadab! Dengan segala bujuk rayu, pria itu berusaha mendapatkan Qizha. Cih, tapi Qizha sama sekali tidak tertarik. Dia pasrah saat lelaki itu menggagahinya bukan karena rela, tapi tak sanggup melawan rasa lemas.Qizha ingat bagaimana lelaki itu menggagahinya, ingat bagaimana pria itu memberikan sentuhan- sentuhan hangat, juga ingat bagaimana benda asing itu mengoyak selaput dara miliknya. Kini ia tidak lagi memiliki mahkota yang bisa dia banggakan kepada sang suami.Qizha benar- benar merasa hancur. Ia m
Tatapan Qasam fokus ke tubuh Qizha yang terbaring di atas kasur. Hidungnya mungil dan mancung. Bulu matanya lentik, bibirnya merah ranum. Kembali bayangan insiden hangat itu terekam di kepala Qasam. Ia ingat bagaimana Qizha terlihat pasrah di bawahnya, lalu dengan leluasa Qasam melakukan apa saja terhadap Qizha. Termasuk melakukan penyatuan panas itu. Tubuh Qasam tiba- tiba memanas mengenang hal itu. Namun detik berikutnya kepalanya menggeleng.Plak!Tangan Qizha terhempas dan jatuh ke bawah, menempel tepat di paha Qasam. Sentuhan tangan Qizha di paha Qasam membuat pria itu merasakan sensasi yang berbeda. Aneh, semenjak ia melakukan hubungan badan dengan Qizha, kenapa perasaannya jadi berubah begini? Seperti ada sesuatu yang menggelora bilamana ia berdekatan apa lagi sampai bersenggolan begini?Ah ya ampun, jangan bilang Qasam menikmati hubungan itu hingga menimbulkan perasaan yang menagih.Tapi… apakah salah kalau seorang suami menikmati berhubungan dengan istrinya sendiri?“Eumhh
Qizha bersujud di shalat subuhnya. Lama ia bersujud sambil melafazkan doa. Kemudian ia mengucap takbir untuk tahiyat akhir. Saat mengucap salam, Qizha meneteskan air mata. Bukan kesedihan yang membuat Qizha meneteskan air mata. Tapi entah kenapa shalatnya kali ini terasa sangat berbeda. Hati Qizha seperti dihujani kesejukan, ia merasa sangat tenang dan damai. Tak ada kegundahan yang menyelimuti benaknya. Senyumnya mengembang di akhir doa. Ia seperti mendapat kekuatan baru. Ia menyadari bahwa semua yang dia alami ini adalah ujian yang bila ia mampu melewatinya maka akan naik derajatnya. Qizha memohon petunjuk, apakah ia harus menyudahi pernikahannya dengan Qasam, ataukah menyudahinya? Tuhan pasti tahu yang terbaik untuk kehidupannya. Qasam nyaris seperti musibah bagi Qizha, yang setiap waktu hadir hanya untuk menyakiti Qizha. Lalu, apakah Qizha masih harus bertahan? Apakah setelah Qasam meminta maaf maka Qizha akan memberi kesempatan sekali lagi untuk melihat perubahan pad
Tepat saat Qasam terlena, Qizha pun mendorong tubuh Qasam yang menjadi penghalang di hadapannya, kemudian ia melompat turun dari meja dan melangkah pergi dengan cepat. "Aku harus pergi," ucap Qizha sambil menoleh dan mengedipkan satu mata ke arah Qasam, tak lupa pula tangannya bergerak mengancingkan bra di punggung. Ia meninggalkan Qasam yang berdiri mematung menatap kepergiannya dengan raut tertipu.Sepertinya kali ini Qizha menang. Muka Qasam lucu sekali saat merasa ditipu begitu.Disebabkan perut kelaparan, terpaksa Qizha membeli lontong di emperan jalan untuk mengisi perutnya pagi itu. Selain berhemat, makan lontong di sana juga enak. Ia tidak bisa hidup boros. Ia tidak mendapatkan nafkah dari Qasam, juga belum gajian. Tiba- tiba terlihat seseorang menghampiri warung dan duduk di sisi Qizha. "Mbak, lontong dua ya!" seru sosok wanita yang tak lain adalah Sina. Qizha dan Sina bertukar pandang. "Loh, Kak Qizha? Kamu di sini?" Sina yang kini berpenampilan modis itu menatap Qiz