Share

7. Apartmenen Leon.

“Ke Apartemenku.”

Mata Riri menyipit tak percaya, rumah kecil saja digunakan bersama-sama, masa iya Leon mempunyai sebuah Apartemen? Kalaupun iya, kenapa Leon tak menggunakannya? Itulah yang ada di pikiran Riri saat ini.

Ada banyak sekali rasa keraguan yang ada di dalam hatinya. Namun Riri tetap mencoba untuk percaya.

Riri mengangguk lalu berjalan ke arah Leon yang sudah duduk manis di atas motornya, kendaraan beroda dua itu melaju kembali ke kota Jakarta untuk pergi ke tempat yang akan disinggahi oleh Riri.

Tak terasa satu jam berlalu, montor yang dikendarai mereka kini berbelok ke arah gedung pencakar langit yang ada di salah satu kota metropolitan.

Riri memandang tanpa berkedip ketika motor Leon sudah memasuki area basemen yang hanya ada mobil mahal di dalamnya.

‘Ini serius? Aku bakal tinggal di sini?’

Riri tak bisa mengalihkan pandangannya dari beberapa mobil mahal yang terparkir di sana. Rasa takjub dan kagum tak bisa dia kendalikan lagi, bahkan Riri sampai tak sadar kalau motor Leon sudah berhenti dari tadi.

“Mau tidur di sini apa turun?!”

Riri tersentak kaget lalu bergegas turun dari motor. “Kita serius bakal tinggal di sini?”

“Kamu aja yang di sini.”

“Terus kamu tinggal di mana? Balik lagi ke rumah itu?”

“Iya.”

Dengan perasaan jengkel, Riri mengikuti Leon untuk menuju unit mana dirinya akan tinggal.

Mulut Riri terbuka lebar saat kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah apartemen yang akan menjadi tempatnya singgah.

Apartemen dengan nuansa modern itu berhasil membuat Riri tak bisa berkata-kata, apa lagi saat melihat ada beberapa foto Leon yang terpajang rapi dengan bingkai emas sebagai pembungkusnya.

Riri menatap Leon di sampingnya dan membandingkannya dengan Leon yang ada di dalam bingkai itu. “Kok sama, tapi beda ya?”

“Kamu bisa pakai kamar itu. Dan di sini ada uang yang bisa kamu gunain sesuka hati. Setiap bulan nanti aku kirim lewat situ. Passwordnya tanggal lahir kamu.”

 

Tangan Riri terulur untuk mengambil dua kartu yang ada di tangan Leon dengan sebisa mungkin untuk tidak berbicara di dalam hati. ‘Tenang... Jangan sampai kedengeran.’

“Masih kedengeran!”

Riri mengaruk tengkuknya karna malu telah ketahuan “Hehehe... Masa sih?”

“Kamu susun aja sana barang bawaanmu. Sekalian ini titip.” Leon melemparkan tas bawaannya lalu pergi entah kemana.

Riri mengambil barang bawaan Leon dan berjalan menuju kamar yang ditunjuk Leon. “Gila!... Punya apartemen sebagus ini kenapa nggak ditinggali?”

Tak ingin berlarut-larut dalam keindahan apartemen Leon, Riri memutuskan untuk membereskan barangnya, lalu makan siang.

Riri berjalan keluar apartemen dengan perasaan senang karena akhirnya dirinya dapat menginjakkan kaki di salah satu gedung pencakar langit yang selalu dia impikan.

 Hidup di dalam keluarga yang perekonomiannya sangat pas-pasan membuat Riri memiliki banyak mimpi untuk mengunjungi berbagai tempat yang indah. Dan salah satunya adalah apartemen yang saat ini dia tempati. “Akhirnya salah satu keinginanku ada yang terwujud. Aku kira mustahil kalau bisa tinggal di sini walaupun cuma satu hari.”

Setelah selesai membereskan barang bawaannya, Riri keluar dari apartemen untuk mencari penjual makanan. Beruntungnya Riri langsung menemukan tukang mie tek-tek yang kebetulan lewat di depan apartemen.

Riri berjalan kembali ke unit apartemennya untuk menyantap makanan yang baru saja dia beli. Namun ada satu hal yang dilupakan oleh Riri.

Riri terbengong ketika melihat deretan angka yang ada di depan unit apartemennya, Riri lupa menanyakan berapa kata sandi untuk membuka pintu itu.

Tak tahu dan bingung caranya masuk ke dalam, Riri memutuskan untuk menelepon Leon, tapi memang dasarnya Riri itu orang pelupa, lagi-lagi dia lupa kalau dirinya belum meminta nomor telepon Leon.

“Sialan! Kok udah pikun aja. Perasaan aku belum tua-tua banget deh.”

Riri mondar-mandir di depan unit apartemennya untuk mencari cara agar bisa masuk ke dalam.

Sedangkan di sisi lain Leon yang sedang berhadapan langsung dengan beberapa warga yang sudah membuatnya menikah dengan Riri.

“Gimana nih bos? Mau diapakan mereka?” tanya salah satu anak buah Leon.

Leon menatap tajam ke arah mereka satu persatu, dan tatapannya berhenti saat matanya melihat ke arah wanita paruh baya yang sedang menggigil ketakutan. “Mia sudah diberi makan?”

“Belum bos.”

“Kasih aja dia ke Mia.”

Anak buah Leon mengangguk lalu menyeret wanita paruh baya itu ke kandang buaya yang ada di pekarangan markasnya. Tak hanya wanita paruh baya itu saja, semua keluarganya yang ada di sana juga ikut diseret ke dalam kandang buaya.

Leon kembali menatap ke arah sekerumunan orang yang tengah ketakutan, kali ini tatapannya berhenti ketika obyek penglihatannya adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun. “Pencalonan ketua RT yang baru kapan?”

“Empat bulan lagi bos.”

Leon mengangguk lalu berjalan mendekat kearah laki-laki itu dengan senyuman menyeramkan di wajahnya. “Berapa kandidatnya?”

“Ada 6 bos. 3 ketua dan 3 lagi wakilnya.”

“Nggak masalahkan kalau ketua RT-nya diganti sekarang? Lagi pula, kan masih ada wakilnya. Pergi ke Pak Lurah sekang, bilang kalau ketua RT-nya harus diganti. Kan nggak lucu kalau nanti desa ini nggak punya pemimpin karena sudah mangkat duluan... Kirim orang ini ke Michael."

Pak Dimas menggelengkan kepalanya saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Leon. Sudah bisa dipastikan dirinya tak akan selamat kalau sang Raja sudah membuka mulutnya dan memberikan titah.

Salah satu anak buah Leon mengangguk lalu pergi dari sana untuk menyampaikan pesan dari bosnya untuk pak lurah.

“Dan mereka semua. Seret mereka ke penjara karna sudah melakukan fitnah dan pencemaran nama baik.”

Suara teriakan menggema di seluruh ruangan saat mereka yang sudah menuduh Riri dan Leon berzina diseret keluar markas untuk dikirimkan ke kantor polisi.

“Tapi bos, rata-rata mereka itu pedagang di pasar Kebon. Kalau mereka masuk penjara yang bakal bayar uang keamanan siapa?”

Leon melirik ke arah kaki tangannya yang sedang mencemas pemasukan mereka. “Paling juga dipenjara 9 bulan aja. Gak bakal mempengaruhi pemasukan tahunan kita. Nanti kalau mereka sudah keluar, tarik uang keamanannya 5 kali lipat dari biasanya!”

**

Dengan cemas Riri mengikuti pengurus apartemen yang dia tempati. Karena bingung tak tahu harus bagaimana, Riri akhirnya meminta tolong ke security dan diarahkan ke ruang staf di sana.

Untung saja Leon sudah memasukkan Riri sebagai anggota penghuni unit apartemennya, sehingga dengan mudah Riri bisa mendapatkan pertolongan.

“Di sini sudah terpasang sidik jari Nona, jadi Anda bisa menempelkan jari jempol Anda, dan pintu akan terbuka.”

Riri mengangguk dengan mulutnya yang sudah membulat sempurna.

“Kalau untuk kata sandinya Anda bisa melihat di dalam kartu ini. Dan jika ingin lebih mudah lagi, Anda bisa menggunakan kartu akses ini untuk dapat membuka pintu secara otomatis, pintu akan terbuka jika anda menempelkannya di sini. Kalau tidak ada pertanyaan lagi saya permisi dulu.”

Riri menerima kedua kartu itu dengan tatapan terheran-heran. ‘Kok kartunya kayak familiar ya?’ Riri merogoh sakunya untuk mencari sesuatu. Dan ketemu, Riri melihat ke arah kedua kartu itu lalu membenturkan kepalanya ke didinding. “Bego banget sih jadi orang!... Lagian dia juga kenapa nggak ngasih tahu sih soal kartunya?!!...”

Riri menatap ke arah serentetan angka di dekat pintu lalu menekan beberapa di sana. “Bisa?!... Passwordnya beneran tanggal lahirku?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status