Share

6. Uang Mahar.

“Itu mahar.”

Leon menjawab pertanyaan Riri yang menggebu dengan santai.

Mata Riri melotot karna tak terima. Walaupun sudah mendapatkan jawabannya, dia tetap saja kesal dengan hal yang dilakukan orang tua dan suaminya di belakang tanpa sepengetahuannya.

“Tetap aja kenapa nggak bilang dulu ke aku? Kalian anggap aku itu apa?!”

Leon menatap Riri yang sudah meneteskan air mata dengan tatapan kosong, entah apa yang saat ini ada dipikiran laki-laki berbadan kekar itu.

Karena melihat orang-orang di sekelilingnya yang sudah mulai menggosipkannya, Riri melepas baju Leon dan pergi meninggalkan suaminya begitu saja.

Leon tak banyak bicara dan hanya mengikuti Riri dari belakang dengan berbagai pikiran yang sedang berkecamuk diotaknya.

'Aku harus tanya sama ibu secepatnya! Bisa-bisanya mereka sembunyiin hal besar seperti ini dari aku!'

Riri berhenti lalu menengok ke kanan dan kiri untuk mencari angkutan umum. Namun setelah 10 menit berlalu, tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat di depannya.

“Kita naik motor aja, nggak bakal ada yang lewat.”

Riri menengok ke arah Leon yang sudah terduduk di atas motornya. Karena malas dan lelah, Riri memutuskan untuk mengikuti ucapan Leon untuk pulang ke rumah Budenya menggunakan motor.

“Inget, aku masih marah sama kamu!”

Dengan wajah cemberut dan matanya yang disipitkan, Riri berdiri di depan ibunya untuk meminta penjelasan mengenai mahar yang diberikan Leon kepadanya.

“Maksud ibu apa minta mahar sebanyak itu? Kenapa ibu nggak diskusi dulu sama aku?!”

Dengan wajah yang sudah pucat pasi dan panik, Bu Khana mencoba untuk menghindari tatapan Riri yang sangat mengintimidasinya.

“Itu saran dari Om kamu," jawabnya pelan.

Dahi Riri mengkerut ketika mendengar jawaban yang diberikan ibunya. Dia jadi bertanya-tanya, apa hubungannya mahar itu dengan pamannya?

“Om kamu bilang mungkin Leon akan menolak kalau mahar yang diminta itu tinggi. Jadi ibu minta mahar 100 juta, tapi tak disangka Leon bisa menyanggupinya.”

Riri membelalak tak percaya. “Terus apa gunanya ibu menceramahi Singa garang itu kalau tujuan meminta maharnya adalah untuk menggagalkan pernikahanku?!!”

Tatapan Riri yang awalnya mengintimidasi kini berubah menjadi tatapan yang sangat menyeramkan. Amarah dan emosinya mampu membuat Riri untuk berbicara dengan nada tinggi di depan ibunya.

Ketika melihat gelagat aneh ibunya, Riri kembali berbicara, "Nggak usah bohong, katakan saja yang sejujurnya atau aku sendiri yang akan cari kebenarannya.”

Terdengar, Bu Khana menghela napas panjang sebelum membuka suara.

“Sebenarnya Om kamu menyuruh ibu untuk meminta mahar tinggi bukan karena alasan tadi." Ibunya terlihat menunduk, penuh rasa bersalah. "Sebentar lagi akan ada pemilihan caleg, Om kamu menyuruh ibu untuk meminta mahar segitu untuk biaya pencalonannya, dan uang maharnya juga sekarang dibawa sama Om kamu semua.”

“Apa?!!... Yang bener aja lah Bu, masa iya uang mahar aku dipake buat caleg sama Om! Kenapa dia nggak pakai uangnya sendiri aja?! Kenapa harus pake uang maharnya?!”

Dada Riri naik turun karena emosinya yang memuncak.

“Om kamu bilang akan mengembalikannya kalau dia sudah jadi--”

“Ya, kalau jadi, kalau nggak jadi gimana? Yang rugi itu kita! Bukan Om!”

Riri memijit pelipisnya yang senat-senut. Ini bukan kali pertama adik pertama dari ibunya mencalonkan diri. Sebelumnya, omnya itu pernah gagal sekali dalam pemilihan caleg. Namun entah mengapa paman Riri yang bernama Abdul itu tak kunjung menyerah.

Riri beranjak dari tempatnya berdiri untuk mencari pamannya tercinta.

“Enak ya santai-santai kayak gitu setelah ngerampok semua uang maharku!” serobot Riri kala melihat pamannya yang tengah dicari justru tengah duduk santai sambil menyeruput kopi di halaman belakang. “Om! Uang maharnya mana?”

Kedatangan dan ucapan dari Riri berhasil membuat laki-laki yang sedang meminum kopi itu kembali menyemburkannya keluar.

“Maksud kamu apa? Jangan buat masalah lagi deh. Nggak cukup apa kamu buat sepupu kamu itu dipukuli sama tantemu?”

Sudut bibir Riri terangkat ketika melihat wajah pamannya yang sudah pucat pasi.

“Yang seharusnya jangan buat masalah lagi itu Om! Suka banget ya menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang nggak berguna? Om nggak takut kalah lagi?” sindir Riri, mencoba mengingatkan nasib buruk pamannya di pencalonan beberapa tahun lalu.

“Hei, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, ngapain harus takut kalau nanti akhirnya bakal menang.”

“Ya kalau Om itu kalahnya pakai uang sendiri mah nggak apa-apa, tapi ini masalahnya uang mahar aku juga ikut terseret! Kalau Om nggak menang dan uangnya hilang terus aku harus gimana?”

“Uang suami kamu kan banyak, tinggal minta lagi apa susahnya sih? Gitu aja kok, repot.”

Riri mengepalkan tangannya kuat-kuat yang siap digunakan untuk meninju mulut biadab pamannya. “Om, Om tahu nggak apa kerjaan Leon?”

Niatnya, Riri ingin menakut-nakuti pamannya dengan pekerjaan suaminya itu. Namun, jawaban dari pamannya benar-benar tak terduga.

“Buat apa Om harus tahu, yang terpenting kan uangnya ada. Mau haram atau halal itu urusan suami kamu dan bukan urusan Om.”

Brak!!

Tembok yang ada di belakang paman Abdul berlubang. Serpihan tembok yang pecah perlahan runtuh akibat pukulan yang sangat kuat.

Bukan, bukan Riri yang meninju tembok itu, melainkan dari Leon yang sudah dari tadi mengekori sang istri dari belakang.

Riri tersenyum puas ketika melihat tubuh pamannya bergetar hebat

Namun tak lama, Bude Lut datang dan berteriak saat melihat suaminya sudah membeku ketakutan. “Heh! Kamu apa kan suami saya?! Dasar ya kamu preman nggak tahu diri!”

Tak mau kalah, Riri pun memasang badan membela Leon. “Idih, yang salah itu Om, enak aja nyalahin suami aku!”

“Maksud kamu apa?!! Jelas-jelas yang salah itu suami kamu!!”

Teriakan yang sangat keras dari Bude Lut berhasil mengundang perhatian seluruh penghuni yang ada di rumah itu.

Ibunya Riri sampai-sampai berusaha menengahi perkelahian sang anak dengan Bude Lut. Bahkan, yang membuat Riri dongkol setengah mati, ibunya meminta dia untuk merelakan saja mahar itu digunakan oleh pamannya yang tak tahu diri itu.

Saat Riri hendak melawan lagi, kalimat Leon terdengar menyusup.

Udah nggak apa-apa, turuti aja apa kemauan Ibu.”

Mata Riri membulat sempurna karna tak percaya dengan apa yang telah didengarnya. “Kamu nggak salah?! Itu 100 juta, loh?"

Leon mengagukkan kepalanya untuk meyakinkan istrinya yang sedang dilanda api amarah.

“Nanti setelah pemilihan caleg selesai baru ditagih lagi. Biarin dia senang dulu, toh nanti juga kalah."

Riri yang masih kesal pun akhirnya setuju untuk mengikuti perkataan suaminya.

Dia jadi tak sabar menunggu-nunggu kekalahan pamannya di pemilihan nanti.

“Tadi aja sok banget koar-koar ngatain suami aku miskin, padahal suaminya pinjam uang mahar dari suami aku,” sindir Riri, kali ini menatap sinis pada Bude Lut, istri Paman Abdul.

“Maksud kamu apa? Buat apa Mas Abdul pinjam uang dari orang miskin seperti kalian!”

Mendengar Bude Lut masih juga jumawa, Leon tiba-tiba berujar. “Kalau begitu kembalikan uang yang dipinjam sama suami kamu.”

Wajah paman Abdul sangat pucat, bahkan lebih pucat dari pada yang tadi. Tak ingin berurusan lebih lanjut dengan keponakan dan suaminya yang preman itu, akhirnya Abdul menarik tangan istrinya untuk menjauh.

Namun sebelum itu, Riri sempat memberikan satu peringatan terakhir.

“Ingat ya Om, setelah pemilihan selesai nanti uangnya bakal aku tagih lagi!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status