Pernikahan adalah hal yang sangat sakral dan tidak bisa dibuat main-main. Pernikahan akan terjadi ketika kedua belah pihak saling mencintai. Itulah hal yang diketahui oleh Riri. "Mereka sudah berbuat zina didesa ini!... Nikahkan saja mereka berdua!." Teriak Ibu-ibu yang terus saja memanas-manasi keadaan. Rinanda Audrelia atau yang kerap disapa Riri, adalah seorang remaja berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA. Saat mengunjungi sepupunya yang akan menikah, Riri mendapatkan kesialan yang tak disangka-sangka. Riri harus menikah dengan orang yang tak dikenalnya, apalagi laki-laki itu adalah seorang preman yang sangat kasar dan berkuasa. Bayangan tentang kehidupan rumah tangga yang bahagia kini hanya tinggal khayalan saja.
Lihat lebih banyak(Dominic’s POV)
Women were like champagne; best when expensive, bubbly, and easy to forget in the morning. A fresh bottle every night kept the taste sharp, the bubbles alive. I’d had enough to drown a weaker man. Brunettes with pouting lips, blondes with manicured nails that dug into my skin like they wanted to own me, redheads who swore they’d be the one to tame me. They all blurred together in the end. Names forgotten, perfume fading, lingerie left like trophies in my penthouse drawers. My only rule was simple: never taste the same bottle twice. The moment a woman started looking at me with expectation instead of hunger, she was done. The magic was in the chase, the momentary surrender, the way they gasped like no one had ever touched them the way I did. After that, it was tedious. Predictable. I didn’t fall in love. I didn’t commit. I devoured. And why wouldn’t I? When you’re young, rich, and ruthless enough to own everything you touch, women are just another luxury—like cars, watches, or thousand-dollar bottles of vintage Dom Pérignon. Except women smiled prettier when you unwrapped them. The gala was now in full swing. Crystal chandeliers glittered above a sea of gowns and tuxedos, the kind of opulence that had people drinking too much champagne just to feel like they belonged. I’d hosted half these people before, done business with the other half, and slept with more of them than I cared to admit. Tonight was no different. My eyes skimmed over the crowd lazily, landing on a pretty brunette in a backless dress who’d been trying to catch my attention all night. If memory served me right, she was one of our recent rising stars, Hollywood’s newest little darling. The press called her a sweetheart, a “good girl with a golden smile.” Golden girl my ass. I’d seen her on her knees at an after party last summer, lipstick smeared around some producer’s cock. If she was a golden girl them I must be some kind of Saint. My gaze traveled down her body like I was scanning a new merchandise. Tits round, perky and full enough to fill my palms, probably fake though. Waist slim, narrow and easily breakable, the kind of figure women starve themselves for. Ass plump, round and just begging for a handprint. She’d wrapped herself in a tight, short blue dress that left nothing to the imagination. The way she kept licking her lips as I assessed her told me exactly how badly she wanted me or rather, how badly she wanted what being with me could do for her career. A secured position. Bigger role. A headline. Women like her never came without an agenda and I didn’t mind that. In this world, everyone was selling something. Sex, talent, an illusion of purity. I just happened to be the man who owned the stage they all wanted to perform on. And I loved every second of it. Who wouldn't? What could possibly be better than fucking whomever you wanted, whenever you wanted? I gave her my signature smile that always had women tripping over themselves, and within five minutes, she was in front of me. Leaning down, I whispered to her ear, “Wait for me upstairs. Second door on the right.” Her cheeks flushed crimson, and she practically ran for the elevator. Easy. Predictable. And exactly the way I liked it. I adjusted the cuffs of my tuxedo and started toward the private suites, but before I could take three steps, something collided into me. A girl. She stumbled against my chest, smelling faintly of spilled champagne and something sweeter, vanilla maybe. I looked down and met a pair of wide, innocent hazel eyes blinking up at me, glossy and unfocused, lips parted like she was lost. “Help me…” she whispered. I frowned. She looked too young, too soft, too… innocent to be here. Her dress wasn’t the designer kind I was used to seeing instead it was simple silk, pale against her flushed skin, clinging in all the right places but her legs wobbled like she couldn’t keep herself upright. I didn't linger though and quickly shoved her off me. The last thing I needed was someone else’s drunk little darling clinging to me like I was a knight in shining armor. Then a voice rang out over the music. “Aria! Aria, where the hell are you?” The girl stiffened running back into my arms. Her fingers clutched at my jacket like I was her lifeline. “It’s my boyfriend,” she whispered, breathy. “He...he put something in my drink. Please, don’t let him find me.” Her eyes. Damn it. Huge, pleading and glassy with unshed tears. I should have walked away. This wasn’t my problem. She was a complete stranger to me, plus I already had a woman waiting upstairs for me, wet and willing. I didn’t have to be the saviour of some supposed damsel in distress. But something about the way she trembled against me made my jaw clench. The footsteps came closer. “Shit,” she gasped, tugging on my hand. “Please, just...hide me. Please.” Before I knew it, she was dragging me toward a side corridor, her heels clicking frantically against the marble. She shoved open the first door she found, pulling me inside. I barely had time to register the guest room before I heard footsteps coming fast. Think quickly. It was purely reflex as I pushed her down onto the bed, covering her with my body. Her startled gasp was soft, as my weight pressed into her. The door creaked open. The man stood there, eyes wide, taking in the scene before him. Her sprawled on the bed beneath me, my hand braced on either side of her head, our bodies so close it was obvious what he’d interrupted. “Oh, shit...sorry, sorry,” he stammered, backing out of the room so fast he nearly tripped. The door slammed shut. Silence. The girl's chest rose and fell beneath me, fast. I could feel the thud of her heartbeat against my suit, the heat radiating from her skin. Slowly and hesitantly, she tilted her face up to mine. Those damn eyes again. I didn't know why but anytime they stared at me I just felt my knees go weak. Too wide, too trusting. For once in my life, I just stared back, dumbfounded. I didn’t have a ready line. Didn’t have a practiced smirk or a dirty promise waiting on my tongue. “Please…” she whispered, voice trembling. “My body…it feels too hot.”Kabar menghilangnya Ariza membuat heboh keluarga besar bu Khansa, Riri yang tidak memiliki hubungan baik dengan Ariza terpaksa ikut mencari keberadaan sepupunya itu. “Nak Leon, tolong paman, dia anak perempuan paman satu-satunya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.” Ujar pak Abdul dengan wajah melasnya. Tentu saja orang yang paling di sasar pertama adalah Leon, koneksi dan anak buah Leon yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi modal utama pak Abdul untuk mencari putrinya. Riri yang melihat pamannya seperti itu menjadi tak tega. Walaupun tidak memiliki hubungan yang baik, bagaimana pun Ariza adalah sepupu Riri, sejahat apa pun dia tentu saja Riri harus membantu untuk mencarinya. “Bantu saja mas, aku tidak tega melihatnya.” Bisik Riri tepat di samping telinga Leon. Bagi Leon yang mengetahui niat buruk Ariza kepada Riri sangat sulit untuk melepaskannya, terlebih lagi kejadian beberapa hari yang lalu bisa terulang kembali. “Kita bicarakan nanti di kamar.
“Lebih baik kamu jauhkan sapu tangan itu sebelum nyawamu melayang!.” Mendengar ada suara yang menghentikannya, tanpa menoleh sedikit pun, wanita itu mengeluarkan sebuah pisau dari tasnya menggunakan salah satu tangannya yang lain. Sebelum berhasil melancarkan aksinya, Leon melempar sepatu yang di pakainya hingga membuat pisau itu terjatuh di lantai. Dua orang bergegas berlari dan menangkap wanita itu, namun naasnya sapu tangan yang di bawa wanita itu terjatuh tepat di atas wajah salah satu anak Leon. Leon berlari menghampiri putranya, untung saja dia tidak apa-apa. Leon melirik sinis kearah wanita itu setelah memastikan kondisi ketiga putranya baik-baik saja. “Aku akan menghancurkan hidup anakmu!!...” Teriak wanita itu dengan di iringi tawanya yang menggelegar. Arga masuk ke dalam kamar Leon sembari membawa sapu tangan yang persis seperti milik wanita itu. “Di sapu tangannya terdapat air keras, kalau menetes di kulit sedikit saja, wajahnya pasti akan rusak.” Wanita itu
“Mereka semua pergi dengan keinginan mereka sendiri. Tapi kalau kamu mau, aku bisa bawa mereka kembali ke sini.” Riri kembali terdiam, sudah banyak hal yang dia lewatkan setelah berada di Villa selama tiga bulan, dan segalanya kini menjadi rumit. Bagi Riri yang telah lama merasa bosan dan kesepian, dia pasti akan tetap memilih untuk membawa keluarganya kembali pulang ke rumah, namun hati nurani Riti tidak mengizinkannya untuk bersikap egois, karna bagaimana pun semua berhak untuk hidup sesuai dengan keinginannya masing-masing. “Lalu Satria bagaimana?.” Tanya Riri yang melewatkan satu orang. “Dia memilih untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya dan meninggalkan jurusan bisnis seperti yang dia inginkan. Sekarang dia berada di Inggris bersama tiga bocah kematian itu, jadi kamu tidak perlu khawatir.” ***** Leon mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari sakunya. Sudah sangat lama sekali dia tidak merokok, terakhir kali pun Leon merokok ketika mendapatkan kabar kalau mertuanya terk
Kedua mata Riri perlahan-lahan terbuka, hal yang pertama kali di lihat oleh Riri adalah sebuah langit-langit putih berhiaskan emas yang berkilauan. “Akhirnya kamu sadar juga nak, Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu, untung saja dokter bilang tidak apa-apa.” ‘Ada apa ini, apa yang sudah terjadi kepadaku?.’ Tanya Riri dalam hati. Riri menoleh kearah Ibunya yang dengan khawatir memegang salah satu tangannya erat-erat. Kepalanya yang terasa sangat sakit membuat Riri kesulitan untuk berpikir. Berbagai pertanyaan mengenai kondisinya berkecamuk di pikiran Riri yang membuat rasa sakit di kepalanya bertambah semakin menjadi-jadi. Riri merintih kesakitan, telinganya juga tiba-tiba berdenging sangat nyaring, tubuh Riri meringkuk ketika kepalanya terserang rasa sakit yang luar biasa. Melihat putrinya yang merintih kesakitan, bu Khansa berteriak memanggil nama Leon. Mendengar teriakan dari Ibu mertuanya, Leon bergegas menghampiri sumber suara. Ketika sudah berada di depan kamar
“Malu kamu bilang?! Kalau kamu masih memiliki rasa malu! Ganti rugi atas kematian anakku! Kalian harus membayarnya!.”“Benar! Kamu harus membayar empat triliun kepada kami!. Kalau kamu tidak membayarnya, kami akan menghancurkan rumah ini!.”Tangan Riri mengepal kuat dan akan bersiap untuk menghantam wajah empat orang yang berada di depan matanya. Di saat Karina sedang di kabarkan sakit bahkan sampai sekarat di rumah sakit, bukannya menjenguk mereka malah datang meminta sejumlah uang ganti rugi.“Anak yang mana? Kalau maksud tante itu kak Karina, sampai saat ini dia masih hidup dan masih bisa bernafas!.”“Tapi kak Karina sekarat karna kalian! Kalian sudah menaruh racun ke dalam makanannya!. Kalau kalian tidak suka setidaknya jangan membunuh kak Karina!.”Riri mengelus dadanya sembari mengatur nafas agar tidak terbawa emosi, cerita tentang kekejaman mereka yang di ceritakan oleh Leon melekat jelas di ingatan Riri. Peran saudara dan ibu tiri yang mereka lakukan sangat baik hingga me
Suara ketukan terdengar di pintu kamar pengantin yang akan menghabiskan waktu bersama setelah serangkaian acara yang melelahkan. Suara ketukan itu tak kunjung berhenti sampai salah satu dari kedua orang yang berada di kamar itu membuka pintu. “Kenapa Leon? Apa kamu tidak akan membiarkan aku beristirahat dengan tenang malam ini?.” Leon menatap wajah pamannya lalu mengintip ke dalam kamar. Di sana sudah terdapat sebuah meja dengan berbagai makanan yang di hidangkan. Di salah satu sisi meja sudah ada seorang wanita yang mengenakan sebuah gaun putih yang cantik, jika di lihat dari posisinya wanita itu terlihat akan segera menyantap hidangan di depannya. “Jangan makan apa pun sampai besok siang.” Asrof menatap heran kearah Leon, dan seketika ekspresi wajah Asrof berubah menjadi panik. Asrof menoleh ke belakang dan menatap istrinya yang akan memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Tanpa berpikir lama Asrof langsung berlari dan menepis tangan Karina dengan kasar. Sendok
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen