Share

8. Mantan Teman Sekelas.

"Pria itu tidak pulang?"

Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, tetapi suami barunya belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Walaupun sudah tahu Leon tak akan pulang ke apartemen, Riri tetap saja menunggunya dengan harapan setidaknya laki-laki itu bisa menemaninya. Tidurnya sampai tak tenang.

Kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru menambah kesulitan tidur yang dialami Riri. Ia yang sulit merasa nyaman di tempat baru, terlebih kali ini sendirian ... membuat matanya enggan terpejam. 

Akhirnya, karena kantuk tak kunjung datang, Riri memutuskan pergi ke balkon untuk melihat pemandangan kota Jakarta di pagi dini hari. Cahaya dari berbagai gedung membuat pemandangannya menjadi sangat indah, apa lagi dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang. Sedikit ramai dan bising memang untuk ukuran pemandangan di pagi dini hari. Namun apalah daya, yang saat ini ada di depannya adalah kota yang mendapatkan julukan sebagai kota metropolitan.

“Nggak papa! Aku kan selama ini udah hidup serba pas-pasan. Tempat tinggal yang mewah dan uang yang bisa aku dapatkan dengan mudah bukanlah hal yang menyedihkan bukan?" Riri menghibur dirinya sendiri. "Aku bisa membeli semua hal yang aku mau tanpa harus bekerja dulu. Aku bisa melakukan hal yang aku mau tanpa adanya larangan dari siapapun, toh meski dia suamiku, dia juga nggak bakal peduli kok sama apa yang udah aku lakuin.”

Merasa pikirannya mulai kondusif, Riri memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun, saat dia memasuki kamar, pemandangan yang ada di depannya membuat Riri tak bisa berkata-kata.

“Leon?!" Riri terdiam sembari terus-terusan menggosok matanya karena tak percaya dengan apa yang telah dia lihat. "Ini serius? Dia bukan arwahnya kan?”

Dengan perasaan takut Riri berjalan mendekat ke arah tempat tidur di mana laki-laki itu terlihat sedang tertidur pulas.

Riri menyentuh dahi Leon dan mengecek apakah Leon yang ada di depannya itu masih bernapas atau tidak. “Badannya hangat kok. Napasnya juga normal.”

Untuk memastikannya sekali lagi, Riri mendekatkan telinganya ke arah jantung Leon. Matanya terbelalak tak percaya saat telinganya mendengar suara detak jantung Leon yang sangat cepat.

“Dia ... nggak punya riwayat penyakit jantung kan?”

Riri mencoba melakukannya sekali lagi, hasilnya tetap sama seperti sebelumnya, detak jantung Leon terdengar sangat cepat.

Wanita itu kemudian melamun sebentar memikirkan suatu hal. Saat itu, tiba-tiba saja Leon bergerak mengganti posisi tidurnya. Buru-buru ia menghindar sebelum tubuh mereka berbenturan.

Namun demikian, Riri tak langsung menghindar. Dia justru mencondongkan tubuh guna memperhatikan Leon lebih intens lagi.  Setelah memastikan tak ada tanda kegawatan, dia pun memilih untuk kembali ke tempat tidur.

Setelah memperhatikan beberapa menit Riri menganggukkan kepalanya dengan yakin kalau Leon sudah baik-baik saja.

Namun saat Riri mengangkat selimutnya, dia berpikir sejenak. ‘Apa aku tidur di sofa lagi ya? Masa iya aku harus tidur satu ranjang sama dia, bisa-bisa aku diledekin habis-habisan.’

Riri meletakkan kembali selimutnya dan memutar badanya untuk kembali ke sofa yang ada di ruang tengah. Namun, baru juga selangkah, gadis itu kembali mengurungkan niatnya. 

“Bisa remuk tulangku kalau tidur di sofa lagi,” gumamnya sembari mengangkat selimut yang ada di sisi lain ranjang yang juga ditiduri oleh Leon.

Riri menutup matanya untuk pergi ke alam mimpi, tanpa dia sadari sudut bibir Leon terangkat.

**

“Harusnya aku dengerin aja apa kata Leon!” sesal Riri karna tak mendengarkan perkataan suaminya.

Sebelum pergi dari apartemen, Leon menitipkan pesan ke Riri kalau tidak boleh membukakan pintu dan tidak boleh membiarkan siapa saja masuk kecuali kedua orang tuanya dan kedua adiknya.

Sekarang Riri tahu apa makna dari perkataannya suaminya sebelum pergi menghilang tadi saat melihat pamannya tengah membuatkan kopi untuk teman-temannya.

Riri mencoba menelepon Leon, berniat meminta pertolongan pria itu untuk mengusir mereka. Namun, teleponnya tak kunjung dijawab oleh sang suami. Dia begitu jengkel karena pamannya benar-benar bertindak seperti tuan rumah di sini.

Membawa banyak orang asing, mengambil makanan di kulkas sepenuh hati. Kakinya dia hentak-hentakkan karena rasa kesal yang sudah membumbung tinggi.

Saat dia tengah kebingungan, Riri melihat seorang resepsionis yang kemarin membantunya menyelesaikan kasus password kamarnya. Dia pun tak ragu meminta tolong meski nyaris dicurigai. Setelah mendapatkan nomor telepon Leon, Riri pergi dengan beberapa pikiran yang berkecamuk di otaknya. ‘Kok beda ya?!’ batin Riri tak tenang.

Dengan gelisah Riri menelepon ke nomor yang baru saja dia dapatkan. Dan benar saja, dari sebelah sana terdengar suara Leon yang menyahuti panggilannya.

Tangan Riri mengepal kuat karna merasa sudah dibohongi. “Dasar tukang bohong!!!”

Riri langsung menutup teleponnya lalu berjalan ke pintu keluar apartemen. Namun langkahnya terhenti saat ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.

“Riri? Beneran Riri ya?”

Riri memutar badannya untuk melihat siapa orang yang memanggilnya, dan alangkah terkejutnya Riri saat mengetahui orang yang memanggilnya adalah teman satu kelasnya dulu.

‘Sialan! Lagi bad mood malah ketemu sama orang yang nggak tahu diri!’

Riri menatap tajam ke arah mantan teman sekelasnya yang ternyata datang dengan mantan ketua kelas.

“Wah... Akur nih? Udah jadian ya?” tanya Riri dengan wajah mengejek.

Dengan bangga wanita bernama Zahra itu memeluk lengan laki-laki di sampingnya yang bernama Adi.

Iya dong. Baru empat minggu sih aku sama Adi pacarana. Kamu gimana, udah ada gandengan? Atau jangan-jangan belum ya?” ejek wanita yang bernama Zahra. “Nggak penasaran rasanya pegangan tangan gini?”

Riri tertawa meremehkan dua sejoli yang ada di depannya. ‘Ck belum tahu dia kalau aku udah pernah tidur bareng sama cowok. Jangankan pegangan, aku bahkan udah pernah pelukan sama dia.’ Batin Riri saat mengingat tentang posisi tidurnya dan Leon tadi pagi.

Sebenarnya Riri juga penasaran bagaimana bisa dirinya tidur dalam pelukan Leon.

“Aku pernah pegang tangan bapak sama adek cowokku,” balas Riri sekadarnya.

Zahra berdecih mendengar jawaban dari Riri yang terdengar seperti orang yang tak kenal laki-laki lain selain Ayah dan adiknya.

“Cih, dasar nggak laku! Saranku, cepetan deh kamu cari cowok. Selain ke mana-mana digandeng, ada yang ingetin buat makan dan shalat, loh.”

Riri menghela napas kesal melihat kebucinan sepasang kekasih di depannya. Dia dan Leon saja yang sudah menikah tak sampai semesra itu. Apa dunia sudah akan kiamat, ya?

“Kalo nggak diingetin sama Adi kamu nggak bakal makan?” tanya Riri Kesal. “Lagian memangnya kamu nggak takut dosa? Kalian kan belum menikah,” lanjutnya.

Zahra bersedekap dada tak terima dengan ucapan Riri. “Kamu nggak usah terlalu kuno, deh. Sekarang kan banyak anak pondok yang pacaran, nyatanya mereka baik-baik aja tuh.”

Riri hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, di zaman sekarang memang banyak orang yang beranggapan bahwa pacaran dosa itu kuno atau ketinggalan zaman. Contohnya seperti Zahra sekarang, padahal kalau Riri ingat-ingat lagi, Zahra adalah orang yang paling bersemangat mengatakan bahwa pacaran itu dosa.

“Yakin kamu? Dulu yang koar-koar kalau pacaran itu dosa siapa? Sekarang mau jilat ludah sendiri?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status