Share

9. Sindiran.

Zahra berjalan mendekat ke arah Riri lalu berbisik. “Udahlah, kalau iri bilang aja, lagian yang ngajak pacaran kan Adi, mana bisa ditolak. Kamu tahu sendiri kan kalau Adi itu banyak duitnya?!”

Dengan perasaan kesal campur kasihan, Riri memegang bahu Zahra lalu membalas bisikan Zahra. “Gws deh. Hati-hati, Adi punya banyak cewek.”

Setelah membisikkan itu Riri berjalan melewati Zahra dan Adi untuk pergi ke apartemennya.

“Dasar nyebelin!!...” teriak Zahra saat melihat Riri sudah berjalan menjauh. “Oh iya!! Besok anniversary aku sama Adi!! Datang ya ke hotel Arjuna!” lanjutnya.

Riri hanya bisa menggelengkan kepalanya dan tetap berjalan. Ketika Riri sampai di depan pintu unit apartemennya, Riri baru saja mengingat kalau dirinya sedang marah dan ingin pergi ke orang tuanya yang masih berada di rumah budenya.

“Sial! Aku lupa lagi.”

Di sepanjang lorong berbagai sumpah-serapah keluar dari mulut Riri, entah itu untuk Leon, Zahra, ataupun pamanya.

Di tengah-tengah kekesalan Riri, tiba-tiba saja ada suara seseorang yang sangat dia kenal.

“Mau ke mana kamu!!”

Suara yang tinggi dengan nada menyolot, Riri kenal sekali siapa pemilik dari suara itu. Dengan kesal Riri menengok samping kanan untuk melihat orang yang baru saja memanggilnya.

Riri menatap tajam kearah suaminya yang berdiri dengan keringat bercucuran. “Bukan urusanmu!”

Kesal karna mendapatkan seperti itu Leon berjalan menghampiri Riri lalu menarik jaketnya.

“Mau dibawa ke mana?!!” teriak Riri kencang namun tak mendapatkan sahutan dari Leon.

Leon tetap diam dengan wajah seramnya sambil menyeret Riri menuju lift.

Di sepanjang perjalanan Riri terus meronta dan Leon hanya diam saja.

“Aku nggak mau balik ke sana!! Di sana ada orang nyebelin!!” teriak Riri lagi.

“Kamu di sini? Om dari tadi cari kamu loh.”

Riri berdecih sebal saat melihat wajah pamannya keluar dari balik pintu apartemennya.

“Halo tuan Ganada, selamat siang,” sapa salah satu teman paman Abdul.

Tak hanya satu saja, semua teman paman Abdul langsung mengerumuni Leon dan Riri.

Alis Leon mengkerut melihat ada banyak sekali orang-orang di apartemennya.

Riri yang melihat itu langsung berbisik pelan. “Aku nggak sengaja buka pintunya. Tapi bukan aku kok yang kasih tahu alamatnya."

Leon melirik Riri sebentar lalu menatap tajam ke arah paman iparnya. “Kamu masuk dulu, ini urusanku.”

Riri menatap Leon bingung. “Aku maksudnya??” tanya Riri sambil menunjuk dirinya sendiri.

Leon hanya diam dan mengangguk sebagai jawabannya. Walaupun bingung Riri tetap menuruti agar tidak mendapat masalah.

Entah apa yang Leon bicarakan pada paman dan teman-teman berandalnya itu, Riri tak tahu. Yang jelas, suaminya itu bisa mengusir mereka dengan mudah.

Keesokan harinya, Riri penasaran dengan undangan yang dilontarkan Zahra padanya. Memikirkan mungkin ada keuntungan yang bisa dia dapatkan saat menghadiri undangan tersebut, seperti bertemu teman yang bisa memberikannya lowongan pekerjaan, mungkin … akhirnya Riri memutuskan untuk datang.

Tentu, setelah mendapatkan izin dari Leon, dan bahkan pria itu sendiri yang mengantarnya ke hotel tempat acara tersebut diadakan.

“Kamu belum pernah kan datang ke hotel bintang 5?”

Sesampainya di tempat acara, kalimat cemoohan langsung diterimanya dari salah satu temannya.

Bukannya norak atau kampungan, namun Riri benar-benar takjub dengan tatanan, hiasan, dan interior hotelnya. Hotel yang saat ini dia datangi benar-benar lebih bagus dan lebih indah dari hotel yang sebelumnya dia datangi dengan Leon.

Riri memutar badannya dan menatap tajam ke arah tiga perempuan dan satu laki-laki yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. ‘Niatnya mau healing malah ketemu masalah di sini. Ya salah aku juga sih karena nekat datang ke sini.’

“Kok dia bisa sampai di sini sih? Rusak pemandangan aja!” kesal Wulan yang merupakan salah satu teman satu kelas Riri dulu.

“Aku kok yang mengundang dia ke sini, lagian dulu kan kita pernah deket,” ucap Zahra sambil bergelayutan manja di lengan Adi.

Riri memilih untuk mengabaikannya saja karena tak mau membuat masalah dengan mantan teman dekatnya.

“Ayo kita masuk!” ucap Zahra lagi mengajak mereka untuk memasuki sebuah ruangan yang sudah dipesan oleh Adi dan Zahra.

“Hati-hati ya kalau senggol barang di sini, harganya mahal tau!” sindir Farikha—wanita yang tak suka dengan kehadiran Riri, dengan wajah juteknya.

Lagi-lagi Riri tak menggubris dan merespon ejekan dan sindiran teman-temannya, Riri memilih untuk tetap diam dan mengikuti Zahra.

Tanpa Riri sadari dari balik tembok ada seseorang yang menatapnya dengan tajam.

Bersenang-senang adalah rencana Riri hari ini sebelum mengunjungi pernikahan sepupunya yang tentunya akan menguras tenaganya karena nyinyiran dari mulut saudara ibunya. Namun rencana Riri telah hancur karena sebelum mendapatkan nyinyiran dari tante-tantenya, Riri sudah mendapatkan nyinyiran terlebih dahulu dari mantan teman sekelasnya.

“Minimal kalau nggak kuliah ya kerja sih … dari pada nganggur di rumah nggak ngapa-ngapain?”

“Iya tuh. Kalau aku jadi kamu udah pasti langsung loncat deh dari gedung lantai 14, biar mati sekalian!”

“Dulu aja sok-sokan mau kuliah, dan sekarang? Jangankan kuliah, kerja aja nggak ada yang mau terima.”

“Namanya juga orang bodoh, mau ngapain aja ya tetap bakal gagal. Mana sok banget lagi mau merubah nasib keluarga.”

“Kalau mau ubah nasib keluarga ya kerja. Kalau kuliah mah nggak bakal merubah apapun, bukannya kaya malah makin tambah miskin.”

Riri menutup matanya sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat, sindiran teman-temannya ternyata tak kalah pedas dari sindiran tante dan tetangganya. ‘Kalau tahu gini mending aku tidur aja di rumah!’ sesal Riri dalam hati.

“Kalau nggak mau kerja minimal cari aja suami orang yang kaya, kan bisa diporoti hartanya.”

Sudut bibir Riri terangkat yang menciptakan senyum licik penuh misteri. “Wah... Makasih ya atas sarannya, kayaknya boleh dicoba deh. Kan udah ada yang pernah coba, bahkan sampai check-in di hotel berdua lagi,” ucap Riri yang tengah sibuk memotong steik di depannya.

“Maksud kamu apa?!! Kamu lagi sindir aku?!!” teriak Nafi tak terima.

Kepala Riri terangkat lalu menatap wanita di depannya penuh kemenangan. “Merasa tersindir ya? Padahal aku asal bicara loh.”

Tentu saja itu bohong, sebenarnya waktu cek in di hotel bersama Leon, Riri tak sengaja melihat Nafi sedang berjalan dengan seorang pejabat yang cukup terkenal. Riri tahu sekali siapa pejabat itu dan apa hubungannya dengan Nafi. Namun karena tak mau membuat masalah Riri memilih untuk diam.

“Dasar sialan!! Memangnya kamu punya bukti kalau aku check-in di hotel sama pejabat itu!” pekik Nafi menantang.

Riri memasang wajah polosnya yang seolah-olah tak tahu apa-apa. “Loh kamu check in sama pejabat?” tanya Riri dengan wajahnya yang sok kaget.

Wajah Nafi langsung pucat dan bergegas meninggalkan ruangan itu.

Zahra mendekatkan kepalanya ke Riri lalu berbisik. “Nafi beneran check-in di hotel sama pejabat? Emang dia siapa?”

Riri melirik ke arah Adi sebentar lalu membalas bisikan Zahra. “Dia...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status