Mata Jihan membulat memandang sang mama yang saat ini tersenyum padanya, wanita itu sekilas melirik ke arah Alfian namun Alfian masih sibuk dengan gawainya."Tanya Alfian, Ma. Kalau aku belum siap," jawab Jihan sambil mengambil air mineral yang sedari tadi ada di samping piring miliknya."Loh, kenapa belum siap?" Tanya Sandra."Nanti keburu tua," cetus Tasya."Untuk apa cepat-cepat punya anak yang akhirnya bukan dia sendiri yang urus," timpal Jihan kesal.Alfian mematikan gawai yang ada di tangannya, pesan yang baru saja masuk ternyata dari Safitri. Wanita itu memberi kabar oleh Alfian kalau bos pemilik perusahaan itu memintanya untuk kembali bekerja di sana.Alfian bingung dengan sifat mereka yang diam, sementara dia benar-benar tidak mendengar obrolan apa yang baru saja di bahas oleh mereka."Al, di tanya mama tuh," jawab Jihan."Ada apa, Ma?" Tanya Alfian memandang Sandra."Kapan kalian berencana punya anak? Mama pengen gendong cucu dari kalian," ucap Sandra.Alfian menelan ludah,
Mata Tasya fokus memandang papa karena lelaki berkumis tebal itulah yang merespon ceritanya dari antara mereka yang ada di sana. Tasya lebih terlihat ceria di hari-hari biasanya, seperti telah melepaskan beban yang selama ini dia pikul sendiri.Tasya terus menyuap nasi sambil sesekali melirik ke arah Alfian. Wanita itu tidak segan-segan tersenyum lebar di depan kakaknya, dalam hatinya dia telah menemukan sahabat baru dalam hidupnya."Memangnya selama ini kamu enggak pernah jalan sama suami kamu? Sampai-sampai mereka kepikiran kalau kamu sudah menikah lagi. Kapan terakhir kamu jalan dengan suami kamu? Lima bulan kah atau setahun?" Tanya Jihan dengan nada datar tanpa memandang Tasya."Jangan pernah tanyakan hal itu padaku," ucap Tasya sedikit ketus."Kenapa? Kalau suami istri jalan bareng itu hal yang wajar 'kan?" Jihan meraih segelas air mineral lalu meneguknya.Kedua orang tuanya hanya bisa diam dan saling tatap, mereka sekarang mengerti kalau putri sulungnya tidak suka suaminya jalan
"Enggak. Enggak apa-apa kok, emang hawanya malam ini panas aja mungkin," jawab Jihan gugup. Wanita itu mengibaskan beberapa kali telapak tangannya di dekat bagian leher.Alfian percaya begitu saja, pemuda itu mengambil bantal dan selimut miliknya yang ada di dekat Jihan tanpa curiga sedikitpun.Jihan membenahi bantal miliknya lalu merebahkan tubuhnya, seperti biasanya Alfian tidur di sofa sedangkan Jihan tidur di ranjang.Jihan tidak bisa tidur, pikirnya jauh pergi entah kemana setelah membaca pesan dari Safitri yang ada di gawai Alfian, sesekali wanita itu merubah posisi untuk mendapatkan posisi ternyaman. Namun, sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari pun matanya belum juga terpejam."Ih, ada apa sih dengan pikiranku ini?" Bisiknya kesal sambil menghela nafas panjang. Matanya terbuka dengan wajah yang menghadap meja rias. Ingin rasanya mencari tahu apa maksudnya tapi wanita itu mengerti kalau dia tidak boleh gegabah."Sebenarnya ini ada apa sih? Apa bener Safitri hamil karena Al
Sandra masih duduk di kursi roda di ambang pintu sedangkan Tasya masih berdiri menghadap ke arah luar. Jihan melangkah mendekati mereka sambil mendengarkan sang adik yang masih merengek kepada mama."Tasya, kamu kenapa? Mau nomornya Alfian?" Tanya Jihan sambil menggeser-geser layar gawai, "Nih, catat," lanjutnya sambil melangkah mendekati mereka.Dengan sigap Tasya menghidupkan layar gawai lalu mencatat beberapa angka yang di sebutkan oleh kakaknya. Wanita itu tidak menyadari bahwa sang mama memandangnya dengan tatapan tak suka.Wajah Tasya tampak semringah setelah selesai mencatat nomor itu, dalam hati Jihan, Alfian bukanlah miliknya sehingga dia tidak seharusnya melarang siapapun yang ingin dekat dengannya."Sudah," ucap Tasya sambil tersenyum."Sudah? Lain waktu kamu jangan bohongi mama lagi, ya," ucap Jihan sambil tersenyum sinis."Bohongi mama? Maksudnya kamu apa sih, Mbak?" Tanya Jihan sekilas memandang sang mama yang masih memandang Jihan."Jadwal posyandu Zaky besok, bukan sek
Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i
“Tuhaaaaaan ... Tolong keluarkan aku dari masalah ini! Tolong keluarkan aku dari jeratan mereka semuaaa ...” Teriak Jihan ketika berada di atas motor.Hujan mulai turun, namun, Jihan tetap mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Tak di hiraukan orang-orang yang mulai menepi menghindar dari guyuran hujan, dia tetap menarik gas motor.Guyuran hujan di kota Bogor mulai deras, Jihan tidak lagi bisa melihat dengan jelas jalan yang dia tempuh, entah seberapa jauh dan entah di mana sekarang berada pun tak tahu. Hanya saja dia mengikuti jalan yang ada di depan matanya.“Tuhaaaann, tolong akuuuu,” teriaknya lagi dengan kepala mendongak ke atas dan mata yang terpejam.Duuuaaarrrr!!! Tabrakan pun terjadi. Sebuah mobil Alphard berwarna hitam yang menabrak tak peduli dengan keadaannya. Sisi mobil berada tepat di samping tubuh Jihan, namun perlahan pergi begitu saja.Di keheningan malam hanya terdengar suara derasnya hujan, Jihan tergeletak di tepi jalan tanpa ada satu orang pun yang lewat d
“Tenang, aku enggak akan berbuat jahat. Hanya saja aku ingin Hanum tahu kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.”Motor Alfian melaju kencang, jalanan masih terlihat basah setelah beberapa jam yang lalu di guyur hujan. Tanpa segan Jihan memeluk Alfian dari belakang seolah mereka adalah sepasang kekasih.Setelah menempuh perjalanan selama enam jam, Alfian menepikan motornya di warung makan yang ada di tepi jalan. Jam baru menunjukkan pukul empat pagi namun sudah terlihat beberapa penjual makanan berjejer di sana.“Al, masih jauh?” Tanya Jihan sambil mengucek mata.“Enggak. Sebentar lagi kok, sini duduk,” ujarnya sambil menepuk bangku yang ada di sampingnya.Jihan duduk di samping Alfian dengan bermalas-malasan karena menahan kantuk. Kepalanya di letakkan di atas meja dengan beralaskan lengannya.Sesekali mata Jihan mengatup, tak pernah dia bayangkan akan selelah ini jika bepergian jauh dengan mengendarai sepeda motor.“Ji, di makan dulu itu nasinya, ini enak loh,” ujar Alfian dengan mata s
"Bojone deweke lah, masa bojone uwong." Tiba-tiba panggilan berakhir ...Wanita tua berambut putih yang di sanggul itu memandang Jihan dengan penuh kasih sayang sambil tersenyum."Cucuku ki elek kok yo ulih bojo ayu tenan," ucapnya sambil berdiri dan melangkah menghampiri Jihan yang sedari tadi masih tetap berdiri. "Sini duduk, namanya siapa?" Sapa sang nenek."Jihanna, Nek, panggil saja Jihan," ujarnya."Jihan, ayu temen to cah cah," puji sang nenek sambil memperhatikan wajah Jihan yang berbentuk oval. Jihan yang tak tahu artinya hanya bisa meringis bingung serta penasaran dengan arti yang baru saja di ucapkan sang nenek.Seketika Alfian terdiam ketika mengingat hari ini adalah hari pernikahan sang kekasih, denyutan dalam dada terasa sangat dan amat perih untuknya.Bibir Jihan yang tadinya merekah lebar seketika mengerut melihat ekspresi wajah Alfian yang murung, wanita itu mengira bahwa ucapan sang nenek tidaklah baik untuknya."Assalamualaikum," ucap salam dari sang kakek."Waalaik